PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jamur tiram adalah salah satu jenis jamur yang
dapat dimakan dan dapat dikonsumsi.
Jenis jamur tiram yang dibudidayakan hingga saat ini adalah jamur tiram putih, coklat dan merah muda. Jamur ini
tumbuh di kayu yang mengalami pelapukan
atau yang sudah mati, tumbuh pula di
ilalang, sampah tebu dan sampah sagu.
Jamur tersebut tidak beracun dan boleh dimakan.
Selain dikonsumsi dalam keadaan
segar, jamur juga kerap dikonsumsi setelah mengalami pengeringan untuk pengawetan.
Produksi jamur tiram menempati
posisi kedua setelah jamur merang, kuantitasnya mencapai 30% dari total produksi
nasional (naturindonesia.com). Di Indonesia
sentra penghasil jamur tiram berada di daerah-daerah berhawa sejuk, seperti Bandung, Garut, dan Bogor (Jawa
Barat), serta Sleman dan Yogyakarta (Jawa
Tengah) (Rahmat dan Nurhidayat, 2011).
Jamur tiram merupakan jamur yang
sangat populer dan potensial untuk dikembangkan.
Dengan kadar protein-nya yang tinggi dibandingkan dengan jamur jenis lainnya menjadikan suatu
keunggulan yang dimiliki jamur tiram.
Adapun kandungan beberapa jenis
jamur tiram dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan gizi beberapa
jamur tiram Komposisi Jamur Shiitake (Lentinus edodes) Jamur Tiram
Coklat (Pleurotus cystidiosua) Jamur Tiram Putih (Pleurotus flarida) Protein Lemak
Karbohidtrat Serat Abu Kalori 17.5% 8% 70.7% 8%
7% 392 kkal 26.6% 2% 50.7% 13.3%
6.5% 300 kkal 27% 1.6% 58% 11.5%
9.3% 265 kkal Sumber: Cahyana, dkk (2001) Selain itu dalam hal budidaya, jamur tiram
memiliki kemudahan dan keuntungan yang
membuat beberapa petani ingin menggeluti bisnis ini. Budidaya jamur tiram tidak terlalu sulit dengan bahan
baku yang cukup tersedia melimpah di
pedesaan. Dengan melakukan budidaya jamur tiram maka dapat mengurangi limbah, terutama limbah serbuk kayu dan limbah
bekatul yang ada di wilayahnya.
Budidaya jamur tiram dengan
sistem susun merupakan suatu alternatif cara bertani secara mudah, karena tidak membutuhkan
lahan yang luas dan perawatan yang tidak
terlalu sulit. Daya serap pasar yang tinggi dan semakin meningkat serta belum banyaknya petani jamur tiram,
membuat bisnis ini semakin potensial.
Dalam skala nasional belum ada
catatan yang pasti mengenai kebutuhan jamur
dalam negeri. Menurut catatan Tabloid Peluang Usaha (2009), kebutuhan jamur tiram untuk Jakarta mencapai 15 ton per
hari dan Bandung mencapai 7-10 ton per
hari. Jumlah ini belum ditambah kebutuhan dari berbagai kota besar lainnya, sepertiSurabaya, Semarang, dan Medan
(Rahmat dan Nurhidayat, 2011).
Orang Indonesia sering mengolah
jamur tiram untuk campuran sayur. Di negara-negara
Eropa, banyak yang mengkonsumsi langsung dalam bentuk salad.
Produk olahan lain dari jamur
tiram adalah jamur crispy atau keripik. Sampai saat ini, jamur tiram baru sebatas untuk memenuhi
pasokan di Indonesia, terutama dalam
bentuk segar. Selama ini ekspor yang sudah dilakukan masih berbentuk crispy atau keripik. Mutu jamur tiram yang
baik adalah tidak berlendir dan lembaran-lembaran
tubuh buahnya masih utuh (AgroMedia, 2002).
Jamur adalah komoditas pertanian
yang cepat layu dan rusak. Kerusakan utama
disebabkan oleh serangga, mikroba pembusuk,
dan proses fermentasi.
Umumnya fermentasi terjadi karena
adanya enzim polifenolase yang dipengaruhi udara. Tandanya berupa keluarnya lendir pada
tubuh buah jamur, perubahan warna dari
putih menjadi kecoklatan, dan keluarnya bau yang tidak enak (AgroMedia, 2002).
Kerusakan jamur tiram putih dapat
disebabkan oleh mikroorganisme, reaksi
biokimia (pencoklatan enzimatis) dan kimia (pencoklatan nonenzimatis) serta kerusakan fisik. Jamur tiram putih yang
tidak diberi perlakuan (dibiarkan pada
suhu ruang) hanya dapat bertahan satu hari dan setelah itu tidak layak lagi untuk dikonsumsi. Sulfur dioksida dan garamnya
merupakan bahan pengawet yang dapat
menghambat reaksi pencoklatan dan enzimatik. Pengawetan dengan sulfit akan memberikan ketahanan warna dan
menghambat pertumbuhan serangga, kapang,
dan khamir.
Download lengkap Versi PDF