PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
kerusakan tanaman akibat serangan
hama telah merupakan bagian budidaya
pertanian sejak manusia mengusahakan pertanian ribuan tahun yang lalu. Manusia menanam tanaman untuk dipungut
hasilnya serta untuk pemenuhan kebutuhan
sandang dan pangan. Oleh karena keberadaannya di pertanaman yang merugikan dan tidak diinginkan, sejak semula
manusia selalu berusaha untuk membunuh
dan memusnahkan hama yang dengan cara apapun yang diciptakan oleh manusia (Untung, 1996).
Ternyata cara kimia atau
pestisida yang paling sering digunakan petani di lapangan. Bahkan biasanya, diaplikasikan
secara berjadwal. Penggunaan pestisida hampir
menjadi satu-satunya cara pengendalian karena pestisida bekerja sangat efektif, praktis serta cepat membunuh patogen
dan hama. Namun, ternyata penggunaan
pestisida mengakibatkan dampak yang sebelumnya tidak diperhitungkan. Pestisida dapat menyebabkan
terjadinya resistensi pada patogen tumbuhan
dan hama, populasi hama dapat meningkat setelah disemprot pestisida berkali-kali, bahkan dapat terjadi ledakan
hama yang dulunya dianggap tidak penting.
Dan yang lebih penting lagi adalah dampak negatif pestisida terhadap kesehatan manusia dan pelestarian lingkungan
(Abadi, 2005).
Pengendalian terpadu yang tepat
guna dapat mengatasi keberadaan hama dari
berbagai tanaman pangan. Jauh dari ketidakcocokan antara pengendalian biologis dan kimiawi, maka pengendalian
terpadu yang menggunakan pengendalian
biologis sebagai komponennya yang utama, dilihat oleh banyak entomologi sebagai pendekatan yang penting
memberikan harapan baik kepada pengendalian
hama di dalam produksi tanaman pangan yang berbentuk moderen (Hufaker dan Mesenger, 1989).
Pentingnya serangga-serangga dan
tungau-tungau pemangsa juga telah terbukti
dengan cara memberikan makanan-makanan
tambahan dengan tujuan untuk memelihara,
menangkap, atau menarik mereka, dan bagi beberapa predator untuk meningkatkan oviposisi mereka. Tepung
sari yang ditaburkan pada tanaman-tanaman
telah meningkatkan efektivitas tungau-tungau tertentu yang meningkat karena adanya peningkatan pada
tungau-tungau bukan hama yang hidupnya
dari tepung sari tersebut dan yang bertindak sebagai mangsa pengganti (Huffaker dan Mesenger, 1989).
Predator menggunakan berbagai
stimulus untuk menemukan mangsanya.
Beberapa mungkin mencoba untuk
menangkap dan makan apapun yang bergerak dalam kisaran ukuran tertentu dan menggunakan
isyarat visual atau mekanis sederhana
untuk mendeteksi mangsa. Sebagian besar spesies, relatif mencari mangsa-spesifik (memakan hanya beberapa atau
satu spesies mangsa) (Gillot, 1982).
Penggunaan serangga predator
dalam pengendalian biologis umumnya dari
ordo Dermaptera, Mantidae, Hemiptera,
Coleoptera, Neuroptera, Hymenoptera dan
Diptera, dengan Hemiptera, Coleoptera, Diptera dan Hymenoptera yang paling penting. Lebih dari 30
famili serangga adalah predator.
Predator paling tidak dapat
menyelesaikan siklus hidupnya pada satu host, tetapi harus menemukan, menaklukkan, dan mengonsumsi
serangkaian host untuk tumbuh dewasa dan
perkembangan telurnya. Mencari habitat mangsa biasanya dilakukan oleh betina dewasa reproduktif yang
juga mencari lokasi bertelur.
Predator yang hidup di tanaman
tahunan mungkin perlu pindah untuk mencari mangsa jika lokasi tidak lagi cocok.
Pemberantasan hama dengan predator dapat dipengaruhi oleh makanan lain yang dimangsa
oleh predator. Predator terkadang beralih
dari memangsa hama target menjadi pemangsa hama/mangsa alternatif (Driesche et
al, 2008).
Di Indonesia salah satu spesies
Reduviidae yaitu Rhynocoris fuscipes adalah
kepik yang berwarna hitam dan merah dengan abdominal strip yang berwarna putih, kepik ini merupakan predator
larva Spodoptera litura, Hellothis dan
Aphid di pertanaman tembakau. Di india diketahui sebagai predator kumbang Epilachna spp. dan Chrysomelid. Dysdercus,
coccid, dan laron juga diserangnya (Kalshoven,
1981).
Penggunaan predator untuk
mengendalikan hama tanaman menjadi sangat penting dalam upaya mewujudkan teknik
pengendalian hama terpadu.
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Ambrose et al (2010) bahwa Rhynocoris marginatus dapat mengendalikan
Corcyra cephalonica, lebih lanjut lagi
dikemukakan oleh Saharayaj and Vinothkanna (2011) bahwa R. fuscipes dapat
mengendalikan Spodoptera litura, dan selanjutnya Sujatha et al
(2012) mengemukakan bahwa
Rhynocoris fuscipes Fabricus dapat mengendalikan Achea janata, S. litura dan Disdercus cingulatus.
Download lengkap Versi PDF