PENDAHULUAN
Latar Belakang
Terung belanda atau tamarillo
(Cyphomandra betacea) termasuk dalam famili
Solanaceae (terung-terungan) sama seperti kentang, terung sayur, dan tomat. Buah ini belum cukup populer di
Indonesia dan baru ditanam di beberapa daerah.
Sedangkan di beberapa negara seperti di Amerika Tengah, Amerika Selatan, Karibia, Australia dan New Zealand
buah ini telah populer. Di New Zealand,
terung belanda bahkan sudah dikembangkan menjadi industri komersial.
Terung belanda masuk ke Indonesia
pada tahun 1941 dan mulai dikembangkan di Bogor, Jawa Barat. Di
Indonesia buah ini mungkin pertama kali dibawa
dan dikembangkan di Indonesia oleh orang Belanda, sehingga dikenal dengan nama terung belanda, padahal buah
tersebut berasal dari daerah Amazon di Amerika Latin. Terung belanda termasuk
komoditi hortikultura unggulan yang dikembangkan
di Sumatera Utara yang memiliki masa depan dan bisa menembus pasar lokal maupun internasional, sehingga
penanganan pasca panen yang baik pada
terung belanda sangat dibutuhkan. Menurut Kader (2001) terung belanda bersifat non-klimakterik dengan produksi
CO2(10 -12 ml CO2/kg/jam) pada suhu o C, etilen yang dihasilkan termasuk rendah yaitu lebih rendah dari 0,1
μL/kg/jam pada suhu o Buah non klimakterik
tidak akan mengalami proses pematangan ketika sudah dipetik dan tidak merespon perlakuan
etilen kecuali dalam proses degreening
(perombakan klorofil) sehingga harus dipanen pada kondisi matang optimal (Kader,1999). Pemeraman pada buah non
klimakterik pada jeruk dan C.
terung belanda
dengan tujuan untuk menyeragamkan warna (degreening) sehingga dihasilkan buah dengan mutu yang
seragam terutama dilihat dari segi warna
dan penampakannya. Senyawa yang umum digunakan dalam proses degreening
adalah etilen atau bahan-bahan yang dapat mengahasilkan etilen seperti asetilen, karbid atau ethepon. Setiap
zat perangsang pematangan yang berbeda
akan menghasilkan efek yang berbeda pada buah.
Warnamerupakan proses yang paling
menonjol pada waktu pematangan.
Perubahan warna yang terjadi pada buah-buahan sering dijadikan sebagai kriteria utama bagi konsumen untuk
menentukan mentah-matangnya suatu buah.
Warna pada buah-buahan disebabkan oleh pigmen, yang umumnya dibedakan atas empat kelompok yaitu, klorofil,
antosianin, flavonoid, dan karotenoid
(Winarno dan Aman, 1981).
El-Zeftawi, dkk. (1988) menemukan
bahwa terung belanda dengan warna kulit
merah tua dapat meneruskan proses pematangan setelah dipanen, dimana buah menjadi lebih lunak dan berair (juicy)
dan disarankan untuk memanen buah pada saat warna kulit masih ungu (tingkat
kematangan fisiologis atau bukan yang masak).
Prohens, dkk. (1996) telah
melakukan penelitian mengenai pematangan terung belanda dengan zat perangsang
pematangan yaitu ethepon. Terung belanda yang diberi perlakuan dengan ethepon 500
mg/liter dan 750 mg/liter yang disimpan
pada suhu o C menunjukkan bahwa skor
warna, indeks kematangan, dan asam
askorbat menyerupai buah terung belanda yang matang di pohon, sehingga memungkinkan dipanen 36 hari lebih
cepat. Pada kondisi tersebut, susut bobot
buah lebih rendah dari 8,5%, sehingga buah hanya sedikit mengerut dan hal ini tidak mempengaruhi nilai komersialnya.
Berdasarkan latar belakang di
atas maka penulis mencoba meneliti tentang “Pengaruh Jenis Perangsang Pematangan
Terhadap Mutu Buah Terung Belanda
(Cyphomandra betacea)”.
Tujuan Penelitian Untuk
mengetahui dan mengkaji pengaruh berbagai jenis perangsang pematangan terhadap mutu buah terung belanda.
Kegunaan Penelitian Sebagai
sumber informasi untuk mengetahui pengaruh dari jenis perangsang
pematangan terhadap mutu buah terung belanda dan sumber data dalam penyusunan skripsi di Program Studi Ilmu
dan Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian,
, Medan.
Hipotesis Penelitian Tingkat
kematangan, jenis perangsang pematangan, dan interaksi tingkat kematangan dan jenis perangsang pematangan
berpengaruh terhadap mutu buah terung
belanda.
Download lengkap Versi PDF