PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tembakau dibudidayakan oleh orang
India pada saat menemukan Amerika.
Kata tembakau berasal dari kata
tobacco, nama pipa yang digunakan oleh orang Indian untuk merokok. Tanaman tembakau di
Indonesia diperkirakan dibawa oleh Bangsa
Portugis dan Spanyol pada abad ke XVI. Menurut Rumphius, tanaman tembakau pernah dijumpai di Indonesia tumbuh
dibeberapa daerah yang belum dijelajahi
oleh bangsa Portugis dan Spanyol (Matnawi, 1997).
Tembakau deli saat ini masih
menjadi primadona tembakau cerutu, kegunaannya lebih diutamakan untuk pembungkus cerutu,
bahkan daun tembakau Deli lebih terkenal sebagai pembungkus cerutu nomor satu didunia. Sehingga tetap dibutuhkan oleh
pabrik penghasil cerutu berkualitas
tinggi (Erwin, 2000).
Gangguan hama dan penyakit pada
tembakau Deli merupakan salah satu masalah penting yang senantiasa dihadapi yang
senantiasa dihadapi pada setiap musim tanam tembakau. Gangguan ini dapat menimbulkan
kerugian yang cukup besar, tidak bisa terhadap produksi tetapi juga terhadap kualitas
tembakau itu sendiri. Seperti di ketahui bahwa tembakau Deli harus dapat memenuhi beberapa
persyaratan kualitas antara lain daun harus utuh, memiliki rasa dan aroma yang baik, warna
terang dan rata dengan daya bakar yang baik.
Untuk memenuhi persyaratan diatas, sangat bergantung pada banyak factor, antara
lain faktor lingkungan yaitu iklim dan
tanah dan faktor teknis yang perlu mendapat perhatian terus adalah pengendalian hama dan penyakit
(Abidin,2004).
Permasalahan yang sangat dirasakan pada tahun
terakhir adalah rendahnya produktifitas
tembakau deli, meskipun berbagai upaya telah dilakukan. Volume produksi untuk lelang Bremen masih belum
terpenuhi sesuai permintaan konsumen yang
berkisar antar 8000-10000 bal per tahunnya. Penyebabnya tidak terpenuhinya pasar tersebut cukup komplek antara lain
akibat serangan hama dan penyakit disamping
factor fisik dan lingkungan seperti iklim terutama curah hujan dan factor tanah (Erwin, 2000).
Hama-hama yang umum terdapat pada
tanaman tembakau antara lain Spodoptera
litura (Ulat grayak), Agrotis ipsilon (Ulat tanah), Cyrtopeltis tenuis (Capside), Bemisia tabaci (kutu putih),
thrips, dan Myzus persicae (Deptan, 2008).
Sebenarnya capside ini tidak
selalu merugikan tanaman tembakau, karena makanannya tidak hanya menghisap cairan daun,
tetapi juga mampu menghisap cairan ulat
yang baru menetas maupun kutu capside yang mati bahkan seranggaserangga lain
termasuk predator atau musuh alami
bagi hama tembakau (Kalshoven, 1981) Penggunaan perangkap warna berperakat
merupakan suatu metode sederhana untuk
mengetahui ukuran relatif serangga dan untuk mendeteksi awal munculnya serangga. Metode ini lebih efisien
dibandingkan dengan metode satuan unit contoh, karena perangkap langsung mengumpulkan
serangga yang berada yang berada disekitar
tanaman. Efisiensi perangkap dapat ditingkatkan dengan penggunaan umpan berupa makanan maupun zat atraktan. Perangkap
seperti ini dapat digunakan memonitor
populasi hama bahkan dalam tingkat kepadatan rendah (Heinz dkk, 1982).
Tujuan Penelitian Mengetahui efektifitas perangkap warna
berperekat dalam mengendalikan hama Capside
(Cyrtopeltis tenuis Reut.) pada tanaman tembakau di lapangan.
Hipotesis Penelitian 1. Perangkap warna berperekat dapat mengendalikan hama Capside (Cyrtopeltis tenuis Reut.) pada tanaman
tembakau.
2. Perangkap warna dengan warna kuning lebih
efektif mengendalikan hama Capside
(Cyrtopeltis tenuis Reut.) pada tanaman tembakau, dari pada perangkap warna lainnya.
Kegunaan Penelitian - Skripsi sebagai salah satu syarat untuk dapat
memperoleh gelar sarjana pertanian di program studi agroekoteknologi,
Departemen Ilmu Hama dan Penyakit
Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan -
Sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan.
Download lengkap Versi PDF