BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pemanfaatan batubara
sebagai sumber energi
telah mengubah dan mengarahkan pola
hidup manusia, mendatangkan
keuntungan, serta mampu menimbulkan
kegiatan industri-industri baru yang bermanfaat untuk masyarakat.
Dibalik itu
semua, pemanfaatan batubara
juga menimbulkan masalah
terhadap lingkungan. Batubara
sebagai bahan bakar, khususnyauntuk Pembangkit Listrik Tenaga
Uap (PLTU) akan
menghasilkan fly ash (abu layang).
Sukandarrumidi (2006) menyatakan
bahwa pada tahun 2005, tercatat lebih dari 150 juta ton tiap tahun abu layang dihasilkan oleh PLTU di
seluruh dunia. Indonesia memiliki dua PLTU
dengan bahan bakar batubara yang setiap
tahunnya menghasilkan banyak sekali
limbah abu layang. Pertama, PLTU di Suralayamenghasilkan limbah abu layang
sebanyak 700.000 ton/tahun
dan kedua, adalah PLTU
di Paiton Jawa Timur dengan
produksi abu layang
mencapai 1.000.000 ton/tahun (Andoyo, 2006).
Abu layang
adalah salah satu
residu hasil pembakaran
batubara, jika tidak
diolah lebih lanjut
dapat menyebabkan dampak
negatif bagi lingkungan.
Abu layang dapat mengkontaminasi
air tanah dengan kandungan pengotor seperti arsenik,
barium, berillium, boron,
kadmium, kromium, thallium,
selenium, molibdenum dan
merkuri (Farini, 2006).
Namun segala ciptaan Allah
tak ada 1 yang
tidak memiliki manfaat, termasuk abu
layang. Allah berfirman dalam Surat Shaad
ayat 27: “Dan Kami
tidak menciptakan langit
dan bumi dan
apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu
adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah
orang-orang kafir itu
karena mereka akan
masuk neraka” (QS.Shaad:27).
Kata ”bâthilan” dapat berarti
sia-sia tanpa tujuan, atau dengan permainan (Shihab, 2003), sebagaimana firman-Nya”Dan Kami
tidak menciptakan langit
dan bumi dan
apa yang ada
antara keduanya dengan
bermain-main” (QS. ad-Dukhan:38).
Kebenaran ayat
tersebut telah terbukti
secara ilmiah, diantaranya
adalah bahwa abu
layang dapat digunakan
sebagai bahan dasar
sintesis zeolit, karena komponen
utamanya adalah SiO dan Al 2O
yang
secara kimia sesuai
dengan komponen zeolit
(Sukandarrumidi, 2006). Abu
layang dapat juga
digunakan sebagai membran
filtrasi dengan biaya yang murah
(Jedidi, 2009). Antara News (2008) juga
melaporkan bahwa abu layang dapat mengurangi kadar air sehingga dapat
menambah kekerasan beton.
Penelitian Ningrum (2008)
menyimpulkan bahwa beton dengan
bahan tambah abu layang mempunyai kuat
tekan dan kuat tarik lebih besar dari
pada beton normal, sedangkanpabrik semen menggunakan abu layang
sebagai pengganti batuan
trass yang bersifat pozzolanic untuk pembuatan
semen tahan asam
(PPC) (MENLH, 2009),
bahkan Kim and
Kim 2 (2004)
membuat keramik-gelas dari
abu layang yang
kandungan klornya telah dikurangi.
Tanah lempung
merupakan salah satu
dari ketiga bahan
baku utama pembuatan keramik selain feldspar dan pasir.
Kombinasi bahan-bahan pembangun badan
keramik sangat menentukan karakteristik badankeramik yang dihasilkan, karena
masing-masing bahan pembangun
tersebut mempunyai sifat
fisika dan kimia
yang spesifik. Sifat
penting produk keramik
bergantung pada karakter kimia,
fisika, dan mineralogi
dari semua bahan
baku, seperti komposisi
kimia, ukuran partikel, impuriti
dan lain-lain (Kasmayadi dan Murwani, 2007).
Sejak tahun 1984 telah
dikembangkan berbagai jenis produk keramik baru sesuai dengan perkembangan kebutuhan akan
bahan yang tahan suhu yang lebih tinggi,
tekanan yang lebih besar serta sifat-sifat
mekanik yang lebih baik (Austin, 1996).
Seperti halnya dalam proses industri keramikmaju, karakteristik lempung sebagai
bahan keramik konvensional
atau gerabah dapat
ditingkatkan dengan menambahkan
zat imbuh tertentu
kedalamnya (Susetyaningsih, 2008),
termasuk abu layang.
Pengaruh penambahan
abu layang terhadap
perubahan sifat-sifat tanah telah dibuktikan
oleh beberapa peneliti,
seperti Prabakar et.al.
(2004) yang melaporkan
bahwa penambahan abu
layang pada tanah
dengan nilai kohesi pertengahan dapat meningkatkan kohesinya,
tetapi tidak pada tanah dengan nilai kohesi tinggi.
Haiying et.al. (2007)
mengetahui bahwa keramik
yang diperoleh dengan menambahkan 20 % abu layang pada
campuran lempung dan kapur dapat menurunkan daya
absorpsi air sebesar
7,4 %, sedangkan
kuat tekan meningkat 3 menjadi
18,6 MPa/cm . Keuntungan lain
keramik-gelas hasil sintesis dengan abu layang
adalah tidak berbahaya (Zhang et.al., 2007).
Kandungan utama abu layang hampir
sama dengan lempung. Erol (2000) menemukan
kristal penyusun abu layang batubara sebagai kuarsa (SiO ), mullite (Al Si2O13),
enstatite [(Mg,Fe)SiO ], anorthit (CaAl Si2O ) dan hematit (Fe 2O ).
Kristal CaO,
Al2O3 dan 3Al 2O3.2SiO 2 juga
pernah dilaporkan terdapat
pada abu layang batubara (Zhang et.al., 2007 dan Little
et.al., 2008).
Dalam pembuatan
keramik dengan metode
badan plastis, terutama
bila dilakukan tahap
jiggering, jolleying, injection
molding, ekstruksi, pressing dan roller-tool
forming, maka sifat
plastisitas lempung sangat berpengaruh.
Perilaku plastis pada
lempung dinyatakan dalam
besaran Plastisitas. Lempung
bersifat plastis jika
basah, artinya lempung
basah mudah dibentuk
(Barroroh, 2007).
Lempung yang
dipakai dalam manufaktur
keramik bersifat plastis
dan dapat dibentuk bila basah, dapat mempertahankan
bentuknyabila dikeringkan.
Nilai plastisitas
lempung yang akan
digunakan sebagai keramik
harus diketahui dengan
tepat supaya tidak
timbul keretakan, cacat,
atau perubahan bentuk ketika proses pembuatan keramik. Salah
satu faktor yang mempengaruhi plastisitas
menurut Currie dalam
Abdulloh (2004) adalah
komposisi partikel.
Atterberg (1973)
dalam Wahyudi, dkk
(1998) mengidentifikasikan kesesuaian lempung sebagai bahan baku untuk gerabah
berada pada rentang indeks plastisitas 20 hingga
30 dan batas
plastis 15 hingga
25. Aineto et.al. (2006)
menerangkan bahwa pengaruh
penambahan abu layang
bergantung pada sifat
keplastisan lempung, sehingga
dalam penelitian ini dilakukan
kajian tentang plastisitas 4 lempung
yang biasa digunakan sebagai bahan baku gerabah dengan zat imbuh abu layang, kemudian memperbandingkannya dengan
plastisitas lempung dengan zat imbuh
bahan perekat dan pemlastis.
1.2 Rumusan Masalah a.
Bagaimana pengaruh penambahan
abu layang terhadap
indeks plastisitas lempung sebagai bahan baku gerabah? b.
Bagaimana perbedaan plastisitas
campuran lempung-abu layang
terhadap plastisitas campuran
lempung dengan zat imbuh pembanding? c. Bagaimana
komposisi campuran lempung-abu
layang dengan indeks plastisitas yang memenuhi kriteria pembuatan
gerabah? d. Bagaimana
topologi permukaan lempung
dan morfologi permukaan
secara sederhana campuran lempung-abu
layang pada berbagaikomposisi? e. Apa
saja jenis mineral
penyusun campuran lempung-abu
layang yang memiliki
perbedaan indeks plastisitas
terbesar dan bagaimana
persentase unsur-unsur dalam
lempung dan abu layang? 1.3 Tujuan Penelitian a.
Mengetahui pengaruh penambahan
abu layang terhadap
indeks plastisitas lempung sebagai bahan baku gerabah.
b. Mengetahui
perbedaan plastisitas campuran
lempung-abu layang terhadap plastisitas campuran lempung dengan zat imbuh
pembanding.
5 c.
Mengetahui komposisi campuran
lempung-abu layang dengan
indeks plastisitas yang memenuhi
kriteria pembuatan gerabah.
d. Mengetahui
topologi permukaan lempung
dan morfologi permukaan secara sederhana campuran lempung-abu layang pada
berbagaikomposisi.
e. Mengetahui
jenis mineral penyusun
campuran lempung-abu layang
yang memiliki perbedaan
indeks plastisitas terbesar
dan persentase unsur-unsur dalam lempung dan abu layang 1.4
Hipotesis Salah satu
yang faktor yang
mempengaruhi plastisitas adalah
komposisi partikel. Currie dalam
Abdulloh (2004) menemukan bahwa mineral yang berbeda menunjukkan
sifat yang berbeda.
Hal ini memberikan
kemungkinan bahwa jika abu
layang ditambahkan pada lempung, maka akan mempengaruhi plastisitasnya.
Download lengkap Versi PDF