PENDAHULUAN
Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan
mendasar bagi manusia untuk dapat mempertahankan hidup dan untuk itu pangan bagi setiap orang setiap waktu merupakan hak azasi yang layak dipenuhi.
Berdasar kenyataan tersebut masalah pemenuhan
kebutuhan pangan bagi seluruh penduduk setiap saat di suatu wilayah menjadi sasaran utama kebijakan pangan bagi pemerintahan suatu negara (Suryana,
2005).
Sesuai peraturan pemerintah
Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 tentang ketahanan pangan, ketahanan pangan adalah
kondisi terpenuhinya pangan yang tercermin
dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Pangan adalah
segala sesuatu yang berasal dari sumber
hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi manusia,
termasuk bahan tambahan pangan, dan
bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan pembuatan makanan atau minuman. Ketersediaan
pangan adalah tersedianya pangan dari
hasil produksi dalam negeri atau sumber lain. Terjangkau adalah keadaan dimana rumah tangga secara
berkelanjutan mampu mengakses pangan sesuai
dengan kebutuhan, untuk hidup yang sehat dan produktif.
Secara umum, terdapat empat aspek
ketahanan pangan, yaitu: 1) aspek ketersediaan pangan, makanan yang cukup jumlah
dan mutunya, serta aman digunakan; 2) aspek stabilitas ketersediaan/pasokan,
stabilitas pasokan pangan setiap waktu
dan lokasi; 3) aspek konsumsi, kemampuan tubuh manusia untuk mencerna dan melakukan metabolisme terhadap
makanan yang dikonsumsi dan kecukupan
asupan; 4) aspek keterjangkauan,
ketersediaan makanan dan kesesuaian
dengan preferensi, kebiasaan, budaya dan kepercayaan. Keempat aspek tersebut saling berhubungan satu dengan
yang lainnya (Hariyadi, 2009).
Ketersediaan pangan harus
dipertahankan sama atau lebih besar daripada kebutuhan penduduk. Jika keadaan ini tercapai
maka ketahanan pangan akan berada pada
tingkat yang aman. Ketersediaan pangan di suatu daerah atau wilayah ditentukan oleh berbagai faktor seperti
keragaman produksi pangan, tingkat kerusakan
dan kehilangan pangan karena penanganan yang kurang tepat, dan tingkat ekspor impor (Mahfi, 2009).
Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 216 juta jiwa dengan angka pertumbuhan
1,7 % per tahun. Bahan pangan pokok yang paling besar adalah beras, tingginya konsumsi beras di Indonesia
menyebabkan diterapkanya impor yang
menyiksa petani dan mengancam kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan diversifikasi pangan untuk
mengatasi tingginya konsumsi beras (Hutapea
danMashar, 2010).
Diversifikasi pangan adalah
penganekaragaman konsumsi pangan untuk memenuhi
kebutuhan protein masyarakat di sebuah negara, untuk mencegah terjadinya kekurangan protein pada masyarakat,
dan meminimalisir permasalahan kelaparan
di sebuah negara, mencegah kenaikan harga yang signifikan terhadap satu jenis bahan pangan. Diversifikasi
dilakukan dengan cara merubah pola pikir masyarakat dengan tidak harus mengkonsumsi
beras sebagai makanan pokok, ada bahan
pangan lain yang mempunyai kandungan protein bahkan lebih besar dari beras (Khalik, 2010).
Penguatan pangan nasional dimulai
dari tujuh komoditas strategis, menyl laju permintaan pangan yang cukup tinggi. Ketujuh
komoditas tersebut adalah beras, jagung,
kedelai, gula, minyak goreng, tepung terigu dan daging (Bulog, 2011).
Bagi Indonesia, jagung merupakan
tanaman pangan kedua setelah padi. Bahkan di beberapa tempat, jagung merupakan bahan
makanan pokok utama pengganti beras atau
sebagai campuran beras. Kebutuhan jagung di Indonesia saat ini cukup besar yaitu lebih dari 10 juta ton pipilan kering
per tahun (Khalik, 2010).
Produksi jagung dunia menempati
urutan ketiga setelah padi dan gandum yaitu sebesar 612,5 juta ton. Distribusi penanaman
jagung terus meluas di berbagai negara
di dunia karena tanaman ini mempunyai daya adaptasi yang luas di daerah subtropik ataupun tropik. Indonesia merupakan
negara penghasil terbesar di kawasan
Asia Tenggara, maka tidak berlebihan bila Indonesia mencanangkan swasembada jagung (Rukmana, 2008).
Selain sebagai makanan pokok,
jagung juga berfungsi sebagai pakan ternak.
Ketersediaan bahan baku yang
kontiniu dan bermutu tinggi sering kali menjadi kendala utama, industri pakan ternak yang
bahan bakunya 50 persen jagung setiap tahun
harus mengimpor jagung rata-rata 1,5 juta ton untuk memenuhi kapasitas pabriknya. Dengan kebutuhan pakan sebesar 3,5
juta ton pertahun, seharusnya dapat
dipenuhi oleh produksi dalam negeri yang mencapai sekitar 10 juta ton per tahun. Namun hal ini tidak dapat dipenuhi
karena ketersediaan jagung yang tidak kontiniu
(Subhana, 2010).
Produksi jagung terbesar di
Indonesia terdapat di Pulau Jawa, yakni Jawa Timur dan Jawa Tengah, masing-masing lima juta ton
per-tahun. Setelah itu menyl beberapa
daerah di Sumatera, antara lain Sumatera Utara dan Lampung, sehingga produksi Indonesia mencapai 16 juta ton
pertahun (Tim Karya Tani Mandiri,2010).
Selain untuk industri pakan
ternak dan konsumsi bahan pangan, kebutuhan jagung juga meningkat untuk kebutuhan industri bahan
pangan olahan (snack food)dan industri
pengolahan jagung moderen (corn wet dan miling) yang memproduksi corn starch, corn gluten dan corn meal yang
diperkirakan membutuhkan 1.000 ton
jagung perharinya. Produksi jagung di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 17,2 juta ton atau naik sekitar 4,3 persen
dibandingkan produksi tahun 2010 masih mampu
memenuhi kebutuhan jagung nasional yang meningkat rata-rata 9,6 persen pertahun. Kecenderungan konsumsi jagung di
Indonesia yang makin tinggi menyebabkan
makin besarnya jumlah impor (Subhana, 2010).
Pada tahun 2008 Sumatera Utara
diharapkan menjadi sentra produsen jagung terbesar di Indonesia. Hal ini diupayakan
untuk menjawab tantangan kekurangan jagung
di Sumatera Utara. Untuk berbagai kepentingan, Sumatera Utara masih kekurangan jagung. Kebutuhan jagung Sumatera
Utara mencapai 2000 ton per hari
sementara kebutuhan ini hanya dipenuhi sebesar 700 ton. Akibatkekurangan itu harus
dipenuhi dengan cara mengimpor. Agar impor itu bisa dikurangi, Sumatera Utara terus berupaya mengembangkan produksi jagung (Pemprovsu,
2007).
Kebutuhan jagung tidak setiap
saat terpenuhi. Walaupun mudah diusahakan dan selalu ditanam, namun pada saat tertentu
persediaan jagung dipasar bebas berkurang.
Meskipun ada, terkadang harganya cukup tinggi. Hal ini merupakan masalah bagi peternak. Sebab peternak dituntut
untuk memenuhi ransum ternaknya demi
kelangsungan usahanya. Agar kelangsungan persediaan jagung tetap ada, berbagai cara dan usaha telah
dilakukan (AAK, 1993).
Selama ini yang menjadi
permasalahan petani jagung di Sumatera Utara adalah banyaknya impor yang menyebabkan jatuhnya
harga jagung lokal sehingga merugikan
petani. Harga jagung impor seringkali lebih murah dari pada jagung lokal. Impor itu sendiri, dikarenakan
permintaan pengusaha pakan ternak yang mengaku
kekurangan pasokan jagung lokal sehingga harus melakukan impor.
Skripsi agribusiness:Analisis Usahatani Dan Pemasaran Jagung
Download lengkap Versi PDF >>>>>>>KLIK DISINI
Bab I
|
Download
| |
Bab II
|
Download
| |
Bab III - V
|
Download
| |
Daftar Pustaka
|
Download
| |
Lampiran
|
Download
|
