BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Energi
merupakan salah satu hal yang sangat penting di dunia. Banyak negara berperang
untuk mendapat atau
mempertahankan sumber-sumber energi
tersebut.
Saat ini sumber energi utama umat
manusia diperoleh dari bahan bakar
fosil. Bahan bakar
fosil sendiri merupakan
sumberdaya yang tidak
dapat diperbaharui dan
suatu saat pasti habis.
Harga bahan
bakar minyak yang
terus menerus meningkat
dan cadangan minyak
dunia yang makin
terbatas telah mendorong
upaya manusia untuk mendapatkan bahan
bakar alternatif. Berbagai
faktor seperti kenaikan
bahan bakar minyak,
kesadaran untuk meningkatkan
pendapatan domestik, dan kesadaran untuk menurunkan emisi
gas rumah kaca
sangat mempengaruhi peningkatan
minat untuk memproduksi bahan bakar nabati (Rogers dalam
Iryani, 2006).
Salah satu
alternatif pengganti bahan
bakar fosil adalah
dengan bioenergi seperti bioetanol yang jauh lebih ramah
terhadap lingkungan. Bioetanol adalah
etanol hasil fermentasi gula
monosakarida oleh mikroba. Brasil merupakan negara penghasil bioetanol
terbesar di dunia
selama dekade terakhir,
walaupun produksi Amerika Serikat mulai mendekati produksi Brasil.
Perbedaan utamanya adalah struktur biaya produksi
yang lebih rendah
di Brasil karena
menggunakan bahan baku
tebu, sedangkan di
Amerika Serikat lebih
banyak menggunakan bahan
baku tepung dan jagung
(Henniges dalam Iryani, 2006).
Minat untuk mendapatkan bahan
bakar alternatif di Indonesia akhir-akhir ini juga
meningkat, karena Indonesia
adalah negara penghasil
sekaligus pengimpor minyak
bumi. Produksi etanol
nasional ditargetkan 150 juta
liter per tahun
dengan bahan baku singkong. Untuk dapat memproduksi bioetanol sebanyak
itu,dibutuhkan luas area minimal 600.000
ha. Percepatan produksi etanol sekaligus dapat menghemat devisa
negara hingga 16
triliun per tahun
dan menghasilkan pendapatan
dari pajak hingga 7,5 triliun, serta membuka lebih banyak
lapangan pekerjaan.
Etanol dapat diproduksi melalui
beberapa cara yaitu, secara kimiawi
dengan bahan baku dari bahan bakar fosil
atau melalui proses biologi dengan cara fermentasi gula
yang hasilnya berupa
bioetanol. Bahan bakunya
bisa berupa bahan
bergula seperti tebu,
nira, sorghum manis
dan bahan berpati
seperti jagung, singkong,
ubi jalar, kentang,
bit. Apabila bahan
tersebut digunakan secara
terus menerus akan mempengaruhi
produktivitas bahan pangan yang ada.
Di Indonesia
saat ini bahan
bakar alternatif banyak
diusahakan oleh para pemilik modal.
Mereka membeli jutaan
hektar lahan untuk
ditanami jagung, singkong,
dan tebu tetapi
tidak untuk dijadikan
bahan pangan melainkan
dijadikan sebagai bahan bakar. Hal ini merupakan salah satu penyebab tingginya harga
pangan yang berdampak pada ratusan juta
orang.
Indonesia adalah negara kepulauan
terbesar di dunia. Perairan laut yang luas membentang, menghubungkan pulau-pulau
tersebut. Panjang pantai 81.000 km atau 14% garis pantai seluruh dunia, di mana 2/3
wilayah Indonesia berupa perairan laut.
Luas laut
ZEE 2.7 jt km . Kekayaan
alam yang terkandung
antara lain adalah
350 fauna, 28.000 flora, 110.000
mikroba, dan 600 terumbu karang termasuk ikan, udang, moluska,
kerang mutiara, kepiting,
alga, hutan bakau,
hewan karang dan
biota laut lainnya. Semua kekayaan laut tersebut dapat dimanfaatkan oleh manusia (Richocean, 2009).
Allah menciptakan alam semesta
untuk manusia adalah agar mau bersyukur.
Bersyukur berarti
memanfaatkan rahmat-rahmat Allah
dengan selayaknya, karena pemberian Allah adalah penuh dengan rahmat.
Allah berfirman dalam Al qur’an “Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu
tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan
segala macam buah-buahan.
Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar
ada tanda (kekuasaan
Allah) bagi kaum
yang memikirkan” (QS.
16 : 11).
Ayat tersebut menerangkan bahwa,
sesungguhnya Allah memepunyai tujuan dalam segala
penciptaannya, untuk itu
manusia harus memikirkannya, karena manusia diberi
akal agar dapat
memanfaatkan segala penciptaan
Tuhan (Harun Yahya, 2007).
Salah satu
budidaya laut yang
dapat dimanfaatkan pada
produksi bioetanol adalah alga.
Alga termasuk tumbuhan autrotof,
yang tidak tergantung pada makhluk hidup
lain dan termasuk tumbuhan fotosintesis. Dua hal pokok yang dibutuhkan
alga dalam pertumbuhan
adalah sinar matahari
yang cukup dan
karbondioksida (CO ).
Salah satu jenis alga yang sudah dikenal dan dibudidayakan di Indonesia adalah alga merah seperti Eucheuma spinosum dan Eucheuma
cottoni. Alga memiliki
potensi untuk menjadi
bahan bioetanol. Alga
lebih ramah lingkungan
dan tidak membutuhkan
lahan di darat.
Selain itu hanya
memerlukan waktu 45
hari untuk memanennya.
Eucheuma spinosum dan Eucheuma
cottoni tergolong dalam kelas alga merah.
Ciri khusus
secara morfologis, jenis
ini memiliki duri-duri
yang tumbuh berderet melingkar. Kandungan karbohidrat Eucheuma spinosum sampai dengan 10-13% dan berdasarkan
penelitian yang dilakukan
oleh Suzanti dalam
Iryani, (2007) diperoleh jumlah polisakarida berupa rendemen selulosa
sebanyak 18,10%. Dari data tersebut dapat
dilihat bahwa residu rumput laut berpotensi dikaji lebih lanjut untuk dikonversi
menjadi bioetanol.
Kandungan polisakarida
seperti selulosa merupakan
suatu bahan alternatif yang
sangat potensial untuk
difermentasikan dengan bantuan
mikroorganisme menjadi bioetanol
setelah sebelumnya dikonversi
menjadi glukosa melalui
proses hidrolisis. Selulosa merupakan komponen utama penyusun
dinding sel tanaman dan hampir tidak
pernah ditemukan dalam
keadaan murni di
alam melainkan berikatan dengan lignin dan hemiselulosa membentuk
lignoselulosa (Lynd, 2002).
Rangkaian penelitian
mengenai hidrolisis selulosa
telah dilakukan oleh Febriansyah dengan
menggunakan Glacilaria coronopifolia
dalam Iryani (2008), dimana
kondisi optimum hidrolisis
menggunakan H 2SO sebagai katalis
dengan konsentrasi 7%
menghasilkan glukosa sebesar 31,075 g/L.
Berdasarkan kandungan
selulosanya, alga dapat
dimanfaatkan dalam proses biokonversi
selulosa menjadi glukosa.
Selama ini glukosa
dihasilkan dari hidrolisis pati
atau selulosa menggunakan
asam kuat atau
enzim. Upaya untuk
menghemat biaya produksi,
pembuatan glukosa dilakukan
hidrolisis dengan menggunakan kapang
penghasil enzim selulase.
Kapang merupakan mikroorganisme utama penghasil enzim
selulase, kapang dari
genus Aspergillus telah
dikenal secara luas merupakan penghasil
enzim selulase yang
baik. Salah satu
kapang dari genus Aspergillus adalah
Aspergillus niger. Aspergillus
niger mempunyai produktivitas enzim dan kapasitas biodegradasi yang tinggi
dibanding kapang lain (Rahman, 1992), selain
itu Aspergillus niger mudah diperoleh karena banyak dikembangbiakkan untuk keperluan
industri, oleh sebab
itulah pada penelitian
ini digunakan kapang Aspergillus
niger untuk mendegradasi selulosa
dalam alga menjadi glukosa melalui proses fermentasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
proses konversi antara lain, jenis
substrat, mikroorganisme, dan
kondisi lingkungan yang
meliputi pH, temperatur,
dan waktu hidrolisis.
Kondisi lingkungan mempengaruhi
pertumbuhan dan perilaku
kapang Aspergillus niger
sehingga berpengaruh terhadap
enzim selulase yang
dihasilkan (Rahman, 1992).
Pada penelitian Narasimha
dkk (2006) dilaporkan
bahwa Aspergillus niger
memiliki pH optimum 5 dalam produksi enzim selulase. Iyayi dan Losel
(2001) menyatakan Aspergillus
niger memerlukan waktu
10-15 hari untuk mendegradasi selulosa. Menurut Gokhale dkk
(1991) bahwa produksi enzim selulase dari
Aspergillus niger optimum pada temperatur o C.
Penelitian ini difokuskan pada “Kajian
Hidrolisis Enzimatis Selulosa
Dari Alga Merah(Euchema
spinosum dan Eucheuma cottoni) Menggunakan Enzim Selulase Dari Aspergillus
Niger”, melalui pengukuran glukosa yang
dihasilkan pada variasi kondisi lingkungan meliputi variasi konsentrasi
ekstrak kasar enzim
selulase dan lama
hidrolisis. Analisis glukosa menggunakan
metode Nelson-Somogyi. Pengukuran
absorbansi dilakukan pada panjang
gelombang 540 nm (Hasanah, 2010).
1.2 Rumusan Masalah a. Bagaimana
pengaruh konsentrasi ekstrak
kasar enzim selulase
dari Aspergillus niger terhadap hidrolisis selulosa pada alga
merah menjadi glukosa? b. Bagaimana pengaruh
waktu hidrolisis terhadap
hidrolisis selulosa pada
alga merah menjadi glukosa
menggunakan enzim selulase dari Aspergillus niger? c. Bagaimana
pengaruh proses perendaman
dengan dan tanpa
menggunakan menggunakan H2SO4 terhadap hidrolisis
selulosa pada alga
merah menjadi glukosa menggunakan enzim selulase dari
Aspergillus niger? 1.3 Tujuan Penelitian
a. Untuk
mengetahui pengaruh konsentrasi
enzim selulase dari Aspergillus niger terhadap hidrolisis selulosa pada alga
merah menjadi glukosa.
b. Untuk mengetahui pengaruh waktu
hidrolisis terhadap selulosa pada
alga merah menjadi glukosa dengan
bantuan Aspergillus niger.
c. Untuk mengetahui pengaruh proses perendaman
dengan dan tanpa menggunakan H2SO4 terhadap hidrolisis selulosa pada alga
merah menjadi glukosa.
1.4 Batasan Masalah a. Jenis alga yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Eucheuma spinosum dan Euchema
cottoni.
b. Glukosa yang diperoleh diukur dan dianalisis
dengan Spektronik c. pH
optimum enzim selulase
adalah pH 5
dan suhu optimum
enzim selulosa adalah o
C.
d. Analisis glukosa menggunakan metode
Nelson-Somogyi 1.5 Manfaat Penelitian a. Meningkatkan produktivitas bioetanol yang
berasal dari sumber daya laut.
b. Mengurangi
penggunaan bahan pangan berpati
khususnya yang ada di Indonesia dalam pembuatan bioetanol.
Download lengkap Versi PDF