BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Malasit hijau merupakan
senyawa kimia yang bersifattoksik. Malasit hijau memiliki
nama lain, yaitu
4-[(4-dimetilaminofenil)-fenil-metil]-N,N-dimetilanilin, atau
secara komersial disebut
juga Basic Green
4, Victoria Green
B, Aniline Green,
dan Diamond Green B (Ariyanto,
2009). Malasit hijau
dapat ditemukan pada air limbah
dari industri tekstil atau industri warna. Malasit hijau secara
luas telah digunakan
sebagai senyawa pemberantas
bakteri dan infeksi jamur dalam sistem perairan tertutup, seperti
untukmelindungi ikan dan telur ikan dari
gangguan bakteri, infeksi jamur, dan parasit. Namun di sisi lain, malasit hijau
juga digunakan sebagai zat pewarna
makanan, desinfektan, pewarna pada sutera, wool, rami, kulit, katun dan kertas
(Srivastava et al, 2003).
Penggunaan
malasit hijau seperti
yang telah disebutkan
di atas, sudah tentu akan
menghasilkan limbah pewarna
yang dapat merusak
lingkungan.
Kehidupan tumbuhan dalam air misalnya, dengan
adanya pewarna pada air maka dapat menghalangi
masuknya cahaya matahari
dan mengganggu proses fotosintesis. Apabila proses fotosintesis
terganggumaka asupan oksigen dalam air juga
akan berkurang, lalu bagaimana ikan-ikan dapatbernafas jika oksigen dalam air berkurang. Dampak selanjutnya adalah jika
perairan tersebut merupakan faktor penting
bagi aktifitas masyarakat sehari-hari, misalnya mandi dan mencuci, sudah tentu
hal itu akan
mengganggu kehidupan dan
aktifitas masyarakat sehari-hari.
Allah SWT telah menyebutkan dalam Al-Qur’an
surat Ar-Rum ayat 4: “Telah nampak
kerusakan di darat
dan di laut
disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah
merasakan kepada mereka
sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali
(ke jalan yang benar)”(QS. ArRum: 41).
Dampak
negatif malasit hijau
di Indonesia terlihat
beberapa waktu lalu yang sangat
merugikan para pengusaha
perikanan, terutama di
daerah Gresik.
Ekspor hasil produk perikanan ke luar negeri
khususnya ke daerah Eropa ditolak.
Kejadian yang demikian itu disebabkan karena
ditemukannya kandungan malasit hijau
pada ikan, padahal para pengusaha itu mengetahui bahwa zat kimia tersebut telah dilarang penggunaannya, apalagi
negara-negaratujuan ekspor mereka adalah negara
yang mengetahui tentang
dampak negatif malasit
hijau. Food and
Drug Administration (FDA) bahkan
sudah memasukkan malasit
hijau dalam daftar perioritas
utama bahan kimia
yang dites oleh
#ational Toxicity Program pada tahun 2003 (Lerant, 2010).
Toksisitas malasit hijau dapat terjadi pada
ikan maupun pada mamalia dan binatang lainnya.
Sifat malasit hijau
yang persisten terhadap
lingkungan menyebabkan kesehatan
terancam bahaya dan
sangat berpotensi untuk menimbulkan masalah-masalah lingkungan.
Srivastava et al (2003)
juga menambahkan bahwa malasit
hijau dapat menyebabkan toksisitas akut dan kronis, karsinogenik,
mutagenik, teratogenik, kerusakan
kromosom, dan juga
dapat mereduksi kelahiran.
Malasit hijau dalam
tubuh mamalia atau
binatang lainnya terkenal mempunyai dampak negatif terhadap
multi organ. Dalam sebuah kajian 3 disebutkan bahwa malasit hijau dapat
menyebabkan menurunnya asupan makanan dan fertilitas
pada hewan; kerusakan
hati, limpa, ginjal,
dan jantung; menyebabkan luka pada kulit, mata, paru-paru,
dan tulang; selain itu juga dapat menyebabkan efek
teratogenik pada tikus.
Pada mamalia lain,
malasit hijau bersifat
sitotoksik terhadap sel,
karsinogenik pada hati dan
kelenjar tiroid, serta dapat menyebabkan
munculnya tumor di
paru-paru dan dada
(Srivastava et al, 2003).
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk
menghilangkan malasit hijau dari
suatu larutan (Ariyanto,
2009), seperti presipitasi,
flokulasi, adsorpsi, pertukaran ion, dan pemisahan menggunakan
membran. Crini et al(2007) dalam Sudova
et al (2007) menyebutkan
metode yang dapat
digunakan untuk menghilangkan
malasit hijau adalah
adsorpsi dengan menggunakan
bentonit, fly ash, abu serbuk gergaji, dan nanopartikel
magnetik.
Metode yang digunakan sebagai metode yang
paling sederhana dan efektif adalah menggunakan
metode adsorpsi (penyerapan).
Adsorpsi terkenal sebagai metode alternatif untuk mengolah limbah, yang
telah digunakan secara luas untuk menghilangkan senyawa-senyawa toksik
dari limbah. Bahan
yang secara luas telah
digunakan sebagai adsorben selama 3 dekade terakhir adalah Karbon Aktif, akan
tetapi tingginya harga
yang harus dikeluarkan
untuk mendapatkan karbon aktif telah memotivasi para peneliti untuk
mendapatkan adsorben yang murah dan efektif.
Adsorben yang dimaksud adalah adsorben yang keberadaannya melimpah di
alam, sehingga proses
mendapatkannya menjadi mudah
dan tidak menghabiskan banyak waktu. Beberapa
peneliti akhirnya menemukan adsorben- 4 adsorben
seperti zeolit, lempung,
pasir merah, dan
fly ash (Papandreou et al,
2007). Jenis adsorben yang dipercaya
mampu sebagai adsorben yang murah dan efektif dalam penelitian ini adalah fly ash
batubara.
Fly ashmerupakan salah satu limbah material
yang sangat melimpah yang berasal dari
pembakaran berbahan dasar
batubara (Cetin dan
Pehlivan, 2006).
Kelimpahan
fly ash telah digunakan
oleh negara-negara di
dunia sebagai bahan pembuat
beton dan batu bata, akan tetapi masih menyisakan fly ashdalam jumlah yang
besar. Putri (2010)
mengatakan bahwa pada
umumnya fly ash dibuang begitu
saja di lahan
kosong. Hal tersebut
sudah pasti mengganggu
masyarakat sekitar, misalnya
saja jika fly
ash tersebut tertiup angin,
sudah dapat dipastikan bahwa material berbentuk abu tersebut akan
mengganggu pernafasan masyarakat di
sekitarnya. Masyarakat mungkin belum banyak yangtahu bahwa sebenarnya fly ash dapat
dimanfaatkan sebagai adsorben
yang baik. Cetin
dan Pehlivan (2006) saja
mengatakan bahwa fly
ash memiliki potensi yang
baik untuk digunakan dalam
mengatasi atau mengolah
limbah di perairan
melalui proses adsorpsi.
Sekian
banyak fly ash memang
semestinya diolah lebih
lanjut sehingga dapat digunakan untuk
hal yang lebih
bermanfaat dari pada dibuang
begitu saja dan dapat
merugikan masyarakat sekitar.
Islam
mengajarkan kepada kita
untuk berpola hidup
tidak berlebihlebihan, dengan
cara memanfaatkan segala
sesuatu yang dianggap
merugikan menjadi sesuatu
yang bermanfaat, karena
sesungguhnya orang-orang yang berlebih-lebihan
adalah orang yang ingkar kepada Allah.
Allah berfirman dalam surat Al-An’am
ayat 141 dan surat Al-Isra’ ayat 27: “Dan Dialah
yang menjadikan kebun-kebun
yang berjunjung dan
yang tidak berjunjung,
pohon korma, tanam-tanaman
yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan
warnanya)dan tidak sama (rasanya).
Makanlah
dari buahnya (yang
bermacam-macam itu) bila
dia berbuah, dan tunaikanlah
haknya di hari memetik hasilnya (dengandisedekahkan kepada fakir miskin);
dan janganlah kamu
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan”(QS. Al-An’am: 141).
“sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah
saudara-saudara syaitan dan syaitan
itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”(QS. Al-Isra’: 27).
Kemungkinan fly ashdapat digunakan sebagai
adsorben dapat dilihat dari komponen-komponen penyusunnya.
Komponen-komponen fly ash bervariasi tergantung dari sumber batubara yang dibakar,
misalnya SiO , Al 2O3, FeO , CaO, MgO, SO , Na 2O, K O, dan LOI, akan tetapi
semua fly ashmengandung SiO dan CaO
(Loka, 2009). Sisi-sisi aktif dari senyawa-senyawa tersebut sangat berperan aktif
terhadap terjadinya proses
adsorpsi. Telah diketahui
bahwa silika dan alumina sering
digunakan sebagai adsorben
atau fase diam pada
proses kromatografi lapis
tipis, dengan demikian
sifat-sifat silika dan
alumina pada fly ash
dapat pula diterapkan
sebagai adsorben dalam
media yang lain. Muatanmuatan negatif dari senyawa-senyawa
pada fly ashakan menarik muatan-muatan positif dari
adsorbat, sehingga terjadilah
proses adsorpsi. Fly
ash sendiri dapat 6 bersifat sangat
asam (pH 3-4)
tetapi pada umumnya
bersifat basa (pH
10-12) (Loka, 2009).
Penelitian-penelitian terdahulu
mengenai pemanfaatan fly ash
batubara sebagai adsorben
sebenarnya telah banyak
dilakukan. Lin et al (2007)
telah memanfaatkan fly
ashbatubara sebagai adsorben terhadap pewarna
Metilen Blue.
Fly ashbatubara yang digunakan ada yang tidak
diaktifasi terlebih dahulu dan ada yang diaktifasi
menggunakan larutan asam
sulfat (H 2SO ). pH
yang digunakan dalam adsorpsi ini divariasi dari pH 6-12 dan
diperoleh pH optimumnya adalah 8,65.
Hasil adsorpsi yang diperoleh ternyata berbeda, pada pH 8,65 kemampuan adsorben yang telah diaktifasi dengan H 2SO lebih
tinggi dari pada adsorben yang tidak
diaktifasi, dalam hal menyerap Methylene Blue.
Afrianita
dkk (2010) juga
telah memanfaatkan fly
ash batubara sebagai adsorben, namun dalam hal ini dilakukan untuk
mengadsorpsi Chemical Oxigen Demand (COD)
dari limbah cair
hotel Inna Muara,
Padang. Pada penelitian
ini digunakan variasi pH dari 4-8
dan variasi waktu kontak 30, 60, 90, 120, dan 150 menit. Hasil
yang diperoleh menunjukkan bahwa pH 5
merupakan pH optimum dalam
mengadsorpsi COD, sedangkan waktu kontak terbaik terjadi pada 90 menit yang mampu mengadsorpsi COD dengan efisiensi
91%.
Berdasarkan uraian di atas, metode ini sangat
tepatjika diterapkan dalam proses
adsorpsi limbah pewarna dari sebuah perairan, sehingga penelitian tentang penggunaan fly ashbatubara untuk mengadsorpsi
malasit hijau dari sebuah larutan layak
untuk dilakukan.
Download lengkap Versi PDF