Skripsi Kimia:IDENTIFIKASI POLA KHAS SPEKTRA INFRA MERAH PROTEIN DAGING SAPI DAN BABI REBUS MENGGUNAKAN METODE SECOND DERIVATIVE (2D)

BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Di  era  globalisasi  seperti  saat  ini,  kehidupan  menjadi  semakin  kompleks.
Kemajuan tekhnologi telah membawa kita pada permasalahan-permasalahan yang  membutuhkan  solusi  tepat  sebagai  upaya  untuk  menjalani  kehidupan  menjadi  lebih baik. Adanya kemajuan tekhnologi tersebut, juga membawa kita pada suatu  sistem kehidupan yang penuh dengan kewaspadaan, terutama dalam hal makanan  dan minuman.
Manusia  sebagai  salah  satu  makhluk  hidup  ciptaan  Allah  SWT  selalu  membutuhkan  bahan  pangan  untuk  kelangsungan  hidupnya.  Bahan  pangan  ini  dapat bersumber dari tumbuhan dan hewan. Bahan pangan yang dimaksud adalah  bahan  pangan  yang  mengandung  sejumlah  komponen  (zat  makanan)  yang  digolongkan menjadi enam kelompok,  salah satunya  adalah protein. Jumlah dan  susunan zat makanan ini tidak sama untuk semua bahan pangan, tergantung pada  jenis  maupun  keadaan  bahan  pangan  seperti  spesies,  varietas,  umur,  kondisi  pemeliharaan dan lain sebagainya.
Menurut  Winarno  (2002),  protein  merupakan  salah  satu  unsur  dalam  makanan yang terdiri dari asam-asam amino yang sangat dibutuhkan bagi tubuh.

Sumber-sumber  protein  sendiri  terdiri  dari  dua  macam  yaitu  protein  nabati  dan  hewani, namun protein yang berasal dari hewan yang dalam hal ini adalah daging  merupakan  penghasil  protein  terbesar.  Terdapat  berbagai  macam  jenis  daging   hewan  yang  mengandung  protein  tinggi,  salah  satunya  adalah  daging  sapi  yang  sering digunakan sebagai bahan utama dalam makanan. Daging adalah salah satu  bahan pangan yang bernilai gizi tinggi karena kaya akan protein, lemak, mineral  serta  zat  lainnya  yang  sangat  dibutuhkan  tubuh.  Allah  swt  telah  memberikan  petunjuk-Nya  kepada  manusia  tentang  protein  hewani  khususnya  yang  berasal  dari darat.
 “Allahlah yang menjadikan binatang ternak untuk kamu, sebagiannya untuk kamu  kendarai dan sebagiannya untuk kamu makan”. (QS. Al-Mu‟min [40]: 79) Dalam  surat  Al-Mu‟min  ayat  79,  Allah  menjelaskan  bahwa  Allah  menjadikan  binatang  ternak  yang  memiliki  banyak  manfaat  bagi  manusia  diantaranya untuk dikendarai dan dimakan dagingnya („Aidh al-Qarni, 2007).
Meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap protein hewani menyebabkan  jumlah pemotongan hewan ternak sapi meningkat, sehingga menyebabkan jumlah  populasi sapi menurun dari tahun ke tahun yang pada akhirnya akan menyebakan  berkurangnya pasokan daging sapi ke pasaran.  Faktor inilah  yang menyebabkan  harga daging sapi menjadi mahal. Telah kita ketahui dengan jelas bahwa saat ini  banyak terjadi permasalahan-permasalahan dalam hal memanfaatkan suatu daging  sebagai  bahan  atau  menjadikannya  untuk  berbagai  produk  makanan.  Berbagai  usaha  telah  dilakukan  untuk  mengantisipasi  adanya  kasus  penghalalan  produk  makanan yang bahan dasarnya berasal dari  daging atau suatu bagian dari hewan   yang  telah  diharamkan  oleh  syari‟at  Islam,  salah  satu  contoh  hewan  tersebut  adalah babi.
Sampai  saat  ini,  banyak  terjadi  kasus  pencampuran  daging  sapi  dengan  daging  babi  yang  dilakukan  oleh  oknum  pedagang  pasar  untuk  memperoleh  keuntungan yang besar. Hal ini terjadi karena harga daging babi yang relatif lebih  murah dan jika dilumuri dengan darah sapi, maka warna dan bau asli dari daging  babi sulit dibedakan dari daging sapi  yang sebenarnya secara kasat mata.  Untuk  itu perlu dilakukan suatu upaya untuk dapat mendeteksi keberadaan daging babi  secara  mudah  dan  cepat.  Dari  data  statistik  dapat  diketahui  bahwa  pemotongan  daging  sapi  dari  tahun  1996  mengalami  peningkatan  sebesar  6,46%  pertahun.
Selain  itu  jumlah  peternakan  babi  yang  mencapai  379  jauh  lebih  tinggi  dari  peternakan  sapi  yang  hanya  berjumlah  64  ikut  mendorong  terjadinya  kasus  pencampuran daging sapi oleh daging babi. Pencampuran oleh daging babi salah  satunya  biasanya  berupa  pencampuran  dalam  bakso.  Bakso  sendiri  merupakan  salah  satu  produk  olahan  yang  sangat  popular.  Istilah  bakso  biasanya  diikuti  dengan  nama  jenis  dagingnya,  seperti  bakso  ikan,  bakso  ayam,  bakso  sapi  dan  bakso  udang.  Bakso  dapat  ditemukan  di  pasar  tradisional  maupun  supermarket,  bahkan banyak juga dijual oleh pedagang keliling.
Islam  telah  memperhatikan  dengan  seksama  kepada  pemeluknya  agar  berhati-hati  dalam  memilih  makanan  dengan  memperhatikan  aspek  halal  dan  haram  serta  baik  untuk  dikonsumsi  bagi  kesehatan.  Persyaratan  makanan  yang  baik (thayyib)  menurut ilmu gizi ialah yang dapat memenuhi fungsi-fungsi yang  telah dikemukakan oleh badan kesehatan internasional (WHO)  yaitu memperbaiki   kondisi manusia, baik jasmani, rohani maupun akal, sosial dan bukan semata-mata  memberantas  penyakit.  Semakin  banyak  fungsi  yang  dapat  dipenuhi  oleh  suatu  bahan pangan, semakin baik sifatnya. Dari sudut pandang agama Islam, terdapat  beberapa  jenis  makanan  dan  bahan  makanan  yang  jelas-jelas  haram  dan  tidak  boleh dimakan. Sesungguhnya larangan terhadap bahan makanan tersebut adalah  salah satu bentuk kasih sayang Allah SWT terhadap makhluk ciptaan-Nya, agar  sehat baik jasmani maupun rohani (Minarno dan Hariani, 2008).
Peraturan  Pemerintah  Republik  Indonesia  dalam  Purwaningsih  (2005),  Nomor 69 Tahun 1999 (PP 69/1999) tentang label dan iklan pangan dalam pasal 1  ayat  5  disebutkan  bahwa  pangan  halal  adalah  pangan  yang  tidak  mengandung  unsur  atau  bahan  yang  haram  atau  dilarang  untuk  dikonsumsi  umat  islam,  baik  yang menyangkut bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, bahan bantu dan  bahan  penolong  lainnya  termasuk  bahan  pangan  yang  diolah  melalui  proses  pengolahan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum agama Islam. Allah  berfirman dalam Al-Qur‟an yang berbunyi:  “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di  bumi,  dan  janganlah  kamu  mengikuti  langkah-langkah  syaitan;  karena  sesungguhnya  syaitan  itu  adalah  musuh  yang  nyata  bagimu”.  (QS.  Al-Baqarah  [2]: 168)  Ayat  168  surat  Al-Baqarah  Allah  menyuruh  kepada  setiap  manusia  untuk  memakan  makanan  yang  tidak  hanya  baik  tetapi  juga  halal  untuk  dimakan.
Menurut  pandangan  agama  Islam,  telah  diketahui  dengan  jelas  bahwa  penggolongan  makanan  dan  minuman  yang  halal  dan  haram  secara  tegas  disebutkan  dalam  Al-Qur‟an  salah  satunya  adalah  daging  babi,  yang  dijelaskan  pada surat Al-Maidah (5) ayat 3.
 “Diharamkan  bagimu  (memakan)  bangkai,  darah,  daging  babi....”.  (QS  AlMaidah [5]: 3) Ayat  tersebut  juga  telah  menjelaskan  keharaman  memakan  daging  babi  dengan alasan karena hewan tersebut kotor (najis). Pengharaman terhadap babi ini  tidak  hanya  sebatas  pada  dagingnya,  melainkan  seluruh  tubuh  hewan  tersebut.
Secara  medis,  daging  babi  digolongkan  sebagai  makanan  yang  dapat  membahayakan  kesehatan  karena  daging  babi  mengandung  benih-benih  cacing  pita  dan  cacing  Trachenea  lolipia.  Cacing-cacing  ini  akan  berpindah  kepada  manusia yang mengkonsumsi daging babi tersebut (Ahmad, 2008).
Dalam meneliti ada atau tidak kandungan daging babi pada suatu bahan atau  produk makanan,  dapat dilakukan dengan identifikasi melalui lemak, protein  dan  DNAnya.  Sampai  saat  ini  telah  banyak  dikembangkan  metode  untuk  mengidentifikasi  adanya  daging  babi  pada  suatu  produk  makanan,  meliputi  metode  Kromatografi  Cair  Kinerja  Tinggi  (KCKT)  (Boes,  2000)  dan  Elektroforesa  (Purwaningsih,  2005),  sementara  uji  DNA  babi  dilakukan  dengan   bantuan  alat  PCR  (Protein  Chain  Reaction  (Boes,  2000).  Metode  KCKT  tidak  dapat  digunakan  apabila  proteinnya  sudah  terdenaturasi  atau  sudah  mengalami  proses  pemasakan.  Metode  PCR  cukup  handal  untuk  identifikasi  keberadaan  kontaminan daging babi  pada berbagai produk sampai pada tingkat pencampuran  diatas  5%  (Boes,  2000),  dan  dapat  digunakan  untuk  protein  yang  sudah  terdenaturasi  akan  tetapi  masih  cukup  mahal  (Lawrie,  1991),  sedangkan  untuk  metode elektroforesa cukup baik untuk pencampuran diatas 50%. Metode ini tidak  mahal  tetapi  metodenya  cukup  rumit  penyiapannya  dan  memakan  waktu  serta  bahan kimia yang cukup banyak (Purwaningsih, 2005).
Metode  baru  yang  telah  dikembangkan  sejak  tahun  2003  sampai  saat  ini  oleh  kelompok  peneliti  dari  Department  of  Biotechnology,  international  Islamic  University  Malaysia  (IIUM)  yang  dipimpin  oleh  Jaswir,  yaitu  metode  FTIR.
Metode  FTIR  dapat  memberikan  hasil  analisa  asam  lemak  dari  babi  yang  bercampur  dengan  lemak-lemak  binatang  lain  secara  konsisten,  bahkan  dengan  kandungan  yang  sangat  rendah.  Analisa  menggunakan  metode  FTIR  ini  melibatkan basis data yang luas dengan analisa data menggunakan software yang  telah disesuaikan. Metode FTIR ini merupakan metode identifikasi yang bersifat  cepat,  sederhana,  mudah  dan  relatif  murah,  bahkan  dapat  dilakukan  uji  sampel  langsung  tanpa  melalui  tahap  preparasi  yang  rumit.  Identifikasi  kontaminan  daging babi melalui lemak masih cukup rumit karena lemak babi biasanya dalam  jumlah sedikit dan selalu ada bersama dagingnya.
Pada  tahun  2004,  Edy  Susanto  juga  telah  melakukan  penelitian  tentang  pencampuran  daging  babi  dengan  daging  sapi  pada  produk  olahan  yaitu  daging   bakso.  Penelitian  tersebut  dilakukan  melalui  karakterisasi  fraksi  protein  dengan  menggunakan  SDS-PAGE.  Penelitian  ini  menggunakan  tiga  perlakuan  yaitu,  daging segar, daging rebus tanpa diolah dengan suhu pemanasan  o C selama 15  menit,  dan  daging  olahan  berupa  bakso.  Konsentrasi  kontaminasi  daging  babi  yang digunakan adalah 100%, 50%, dan 25%. Penelitian ini masih terbatas pada  konsentrasi kontaminan daging babi 25%.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Barroroh (2009), yang telah mencoba  memberikan  terobosan  baru  tentang  identifikasi  kontaminan  daging  babi  pada  suatu  bahan  makanan,  yaitu  melalui  uji  proteinnya.  Adanya  protein  khas  pada  daging  babi  yang  tidak  terdapat  pada  daging  hewani  lainnya,  memberikan  kemungkinan terdapatnya sifat fibrasi molekuler yang khas dari protein babi yang  tidak  terdapat  pada  protein  hewani  lainnya.  Penelitian  ini  menggunakan  sampel  daging  babi  dan  sapi  dengan  berbagai  konsentrasi  dari  100%  sampai  0.1%.
Metode  yang  digunakan  adalah  metode  FTIR,  dengan  bantuan  analisa  data  menggunakan turunan kedua (second derivative) yang dikenal sebagai metode 2D.
Metode tersebut dapat mempertajam spektra khas dan  memberikan resolusi yang  lebih  jelas  untuk  puncak-puncak  yang  mungkin   bertumpukan,  bahkan  dapat  mengidentifikasi  keberadaan  kontaminan  yang  berada  pada  level  dibawah  5%.
Hasil yang telah diperoleh dari penelitian tersebut adalah vibrasi molekuler khas  protein daging babi mentah muncul pada turunan kedua spektra IR pada bilangan  gelombang 1680-1695 cm - dan 1075-1090 cm - . Konsentrasi kontaminasi protein  babi pada daging sapi terkecil yang masih dapat dideteksi melalui metode turunan  kedu  spectra  IR  adalah  sampai  0,1%.  Penelitian  ini  masih  terbatas  pada  daging   mentah  dan  belum  bisa  diaplikasikan  pada  produk  olahan  yang  sudah  melalui  proses pemasakan.
Mengacu pada penelitian Susanto (2004) dan Barroroh (2009), penelitian ini  akan dilakukan identifikasi protein khas daging babi rebus dan daging sapi rebus  dengan  pemanasan   o C  selama  15  menit  menggunakan  metode  FTIR  dengan  bantuan analisis data menggunakan metode Second Derivative (2D). Penelitian ini  juga dilakukan pengulangan perlakuan sebanyak 4 kali dengan  sampel dari hewan  sapi  dan  babi  yang  berbeda.  Pengulangan  dilakukan  untuk  generalisasi  atau  keseragaman  dan  untuk  memenuhi  analisa  data  statistik,  dimana  analisa  data  minimal  3  kali  pengulangan.  Untuk  mengetahui  keseragaman  dari  tiap  ulangan  dan untuk mendukung hasil penelitian, maka dilakukan analisa data menggunakan  ANOVA,  sedangkan untuk mengetahui  hubungan  dari  setiap perlakuan  terhadap  hasil  penelitian,  dilakukan  analisis  korelasi.  Data  hasil  Second  Derivative  (2D) yang  berdevisiasi  rendah  dan  seragam  dianalisis  kembali  secara  teori  menggunakan interpolasi lagrange  dengan bantuan program  Aryafilan Numerical Analyzer  dan Matlab untuk memvalidasi hasil analisis spektra  Second Derivative  (2D).

 1.2  Rumusan Masalah Berdasarkan  uraian  latar  belakang  diatas,  maka  permasalahan  yang  akan  dipecahkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a.  Bagaimana  karakteristik  pola  spektra  inframerah  pada  daging  sapi  rebus  dan daging babi rebus dengan metode Second Derivative (2D)? b.  Bagaimanakah validasi hasil analisis pola spektra infra merah daging sapi  rebus  dan  daging  babi  rebus  dengan  metode  Second  Derivative  (2D)  menggunakan pendekatan interpolasi Lagrange? c.  Apa jenis vibrasi molekuler khas yang terdapat pada protein babi tersebut? 1.3  Batasan Masalah a.  Sampel yang digunakan direbus pada suhu  o C selama 15 menit.

Download lengkap Versi PDF