BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia
termasuk negara yang
kaya dengan berbagai spesies flora.
Kekayaan negara
ini tidak lain
adalah anugerah dari Allah
SWT yang telah menciptakan
berbagai macam tumbuhan yang tentunya berguna bagi masyarakat Indonesia.
Semua kekayaan di
bumi Indonesia ini
diciptakan oleh Allah
SWT tanpa ada yang sia-sia,
seperti dijelaskan dalam surat Ibrahim ayat 32-33 “Allah-lah yang Telah
menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari
langit, Kemudian dia
mengeluarkan dengan air
hujan itu berbagai
buahbuahan menjadi rezki
untukmu; dan dia
Telah menundukkan bahtera
bagimu supaya bahtera
itu, berlayar di
lautan dengan kehendak-Nya,
dan dia Telah menundukkan
(pula) bagimu sungai-sungai. Dan dia Telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan Telah menundukkan bagimu malam dan siang.” Ayat
di atas menjelaskan
bahwa kekayaan alam
ini diperuntukkan bagi manusia bukan
diciptakan tanpa ada
manfaat apapun. Akan
tetapi untuk mengetahui manfaat dari suatu hal yang
diciptakan oleh Allah manusia dianjurkan untuk berfikir mencari sesuatu yang belum kita
ketahui manfaatnya baik itu benda mati
maupun mahluk hidup seperti hewan dan tumbuhanyang ada dimuka bumi ini
(Lajnah, 2000). Orang
yang berfikir adalah
orang yang mau
memperhatikan dan menyelidiki
ciptaan Allah seperti
yang telah difirmankan
dalam surat AnNahl ayat 11 “Dia menumbuhkan
bagi kamu dengan
air hujan itu
tanaman-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan.
Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar
ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.” Potongan
ayat diatas telah
menyebutkan bahwa berbagai
tanaman yang bermanfaat
dan memiliki khasiat
bagi kesehatan. Pemanfaatan
tanaman sebagai insektisida
nabati merupakan salah
satu cara untuk
mengambil pelajaran dan memikirkan tentang
kekuasaan Allah SWT.
Semua yang telah
diciptakan mempunyai manfaat dan
itu merupakan tanda-tanda kebesaran Allah SWT (lajnah (2000) dalam Ahmad, 2008).
Tanaman jarak
pagar (Jatropha curcas L.)
sudah lama dikenal
oleh masyarakat kita
sebagai tanaman pembatas
atau pagar, tanaman
obat dan penghasil minyak untuk lampu, pada zaman
penjajahanJepang minyaknya diolah untuk
bahan bakar pesawat terbang. Tanaman ini diduga berasal dari daerah tropis di Amerika Tengah dan saat ini telah menyebar
diberbagai tempat di Afrika dan Asia. Jarak
pagar merupakan tanaman
serbaguna, tahan kering,
dan tumbuh dengan
cepat. Tanaman ini
dapat digunakan sebagai
kayu bakar, mereklamasi lahan-lahan
tererosi atau sebagai
pagar hidup dipekarangan
dan kebun karena tidak disukai oleh ternak. Manfaat lain dari
minyaknya selain sebagai bahan bakar juga sebagai
bahan untuk sabun
dan bahan industri
lainya. Tanaman ini
secara umum terdapat di
pagar-pagar rumah pedesaan di tanah air, dipekuburan, bahkan tumbuh
liar di tepi-tepi
jalan. Daerah-daerah yang
berpeluang untuk pengembangan
tanaman jarak pagar
di Indonesia sangat
banyak dan luas
(Arif, 2008).
Indonesia adalah
Negara yang mempunyai
iklim tropis sehingga pembudidayaan tanaman jarak pagar ini cukup
luas. Hal ini telah dilaporkan oleh Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanah
dan Agroklimat (2001)
dan Sumber Daya
Iklim (Balai Penelitian
Agroklimat dan Hidrologi,
(2003)) bahwa penyebaran
lahan yang sesuai
untuk jarak pagar
di Indonesia meliputi
berbagai provinsi diantaranya
Nanggroe Aceh Darussalam
(180.139 ha), Sumatera
Utara (215.393 ha), Riau (4.269
ha), Jawa Barat (231.011 ha), Jawa
Tengah (439.630 ha), Jawa Timur (960.595
ha), Nusa Tenggara Barat (37.877 ha), Nusa Tenggara Timur (595.421 ha) (Arif, 2008).
Salah satu
masalah utama dalam
budidaya jarak pagar adalah
serangan hama dan penyakit
tanaman. Serangan hama yang menyerang tanaman jarak pagar dapat
berakibat fatal yang
mengakibatkan penurunan produksi.
Salah satu hama yang biasa
menyerang tanaman Jarak
pagar adalah Thrips
(Heliothrips haemorrhoidalis Bouche)
Hama Thrips mempunyai panjang tubuh sekitar 1-1,2 mm,
serangga ini tergolong
sangat kecil namun
masih bisa dilihat dengan
mata telanjang. Thrips
dewasa berwarna kuning
pucat, coklat atau
hitam. Semakin rendah suhu suatu lingkungan warna Thrips
biasanya lebih gelap. Serangan hama Thrips yang hebat dapat menurunkan produksi
sampai 100% dan mengakibatkan kerusakan tanaman hingga 50% (Anonymous, b ).
Untuk menghindari
kerugian yang disebabkan
oleh hama thrips
telah dilakukan pengendalian
dengan berbagai cara,
antara lain secara kimiawi
dan secara hayati.
Pengendalian secara kimiawi
yaitu usaha pengendalian
dengan bahan kimia (insektisida
sintetis). Penggunaan insektisida kimia yang berlebihan dapat
menimbulkan dampak pencemaran
lingkungan (Natawiria, 1973).
Hal ini sangat
bertentangan dengan firman
Allah SWT yang
menyeru kepada manusia agar
bersikap ramah terhadap
lingkungan seperti firmannya
dalam surat Al Qashash
ayat 77 Artinya: “Dan carilah
pada apa yang
Telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang
lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan.” Ayat
diatas menjelaskan bahwa
kita sebagai manusia tidak
melakukan kerusakan dimuka
bumi ini karena
Allah tidak menyukai
orang yang berbuat kerusakan seperti halnya penggunaan
insektisida sintetik secara berlebihan karena dapat
mencemari lingkungan, maka
salah satu cara
untuk menjaga kelestarian lingkungan
dapat memanfaatkan potensi
alam yaitu tanaman
yang mengandung bioinsektisida. Salah satunya adalah tanaman
serai (Cymbopogon nardus L.) yang dapat
dimanfaatkan sebagai pengusir serangga karenamengandung zat-zat seperti Sitronelal dan geraniol. Dalam kehidupan
sehari-hari sitronelal digunakan sebagai obat serangga semprot (Natawiria, 1973).
Senyawa sitronelal
mempunyai sifat racun
dehidrasi (desiscant). Racun tersebut merupakan
racun kontak yang
dapat mengakibatkan kematian
karena kehilangan cairan
terus menerus. Serangga
yang terkena racun
ini akan mati karena
kekurangan cairan. (Abdillah, 2004 dalam Wahyuni, 2005).
Kardinan (1992) dalam Hardi dan Kurniawan (2007) menyatakan bahwa tanaman sereh wangi merupakan salah satu
tanaman penghasil insektisida nabati yang mempunyai
kemampuan untuk menurunkan
populasi hama. Bagian
dari daun sereh
wangi banyak mengandung
minyak atsiri yang
terdiri dari senyawa Sitral,
Sitronelal, Geraniol, Mirsena,
nerol, farsenol methil
heptenon, dan dipentena.
Sedangkan bahan aktif
yang diduga mematikan
bagi hama adalah Sitronelal dan Geraniol. Dalam konsentrasi
tinggi senyawa sitronelal ini memiliki sifat
racun kontak. Sebagai racun kontak, zat tersebut apabila dalam konsentrasi tinggi
dapat menyebabkan kematian
akibat kehilangan cairan secara
terusmenerus sehingga tubuh
rayap kekurangan cairan,
sedangkan dalam konsentrasi rendah dapat bersifat sebagai racun perut.
Sitronelal dapat
diisolasi dengan cara
destilasi fraksinasi pengurangan tekanan atau dengan menggunakan senyawa kimia
NaHSO (Guanter, 1950 dalam Handayani,
dkk: 2004). Hasil
penelitian Handayani, dkk,
(2004) yang berjudul Reaksi Siklisasi Sitronelal dengan Katalis
Polieugenol Sulfonat Tanpa Media dan dengan Media
Benzena menyatakan bahwa
destilasi fraksinasi 300
ml minyak sereh pada tekanan 61,5 mmHg, dapat memisahkan
sitronelal dengan kadar yaitu 64,49 %
dengan volume 40 ml, sedangkan hasil redestilasi didapatkan sitronelal dengan kemurnian yang lebih tinggi yaitu 85,67
% dengan volume 36 ml.
Anshori, dkk.,
(2008) dalam penelitiannya
Siklisasi-Asetilasi Sitronelal Dikatalisis FeCl dan ZnCl menambahkan destilasi pengurangan tekanan 250
mL minyak sereh
wangi pada kondisi
pemisahan 110- C/2,5
cmHg diperoleh sitronelal difraksi ke-2 sebanyak 45% (± 112,5
mL) dan redestilasi pada kondisi yang sama diperoleh sitronelal sebanyak 89,82%.
Download lengkap Versi PDF