BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dekade ini,
pencemaran terhadap lingkungan
berlangsung di mana-mana dengan laju
yang sangat cepat
dan beban pencemaran
dalam lingkungan sudah semakin berat seiring dengan semakin
banyaknya industri yang membuang limbah di
perairan. Menurut SK
Menteri Kependudukan Lingkungan
Hidup No.02/MENKLH/1988,
pencemaran adalah masuk
atau dimasukkannya makhluk hidup, zat,
energi, dan/atau komponen
lain ke dalam
air/udara, dan/atau berubahnya tatanan
(komposisi) air/udara oleh kegiatan manusia dan proses alam, sehingga kualitas
air/udara menjadi kurang
atau tidak dapat
berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya (Anynomous, 2007).
Pencemaran terhadap
lingkungan dapat menimbulkan
permasalahan yang perlu ditangani
secara khusus salah
satunya adalah logam
berat. Permasalahan spesifik yang
ditimbulkan dari pencemaran
logam berat di
lingkungan adalah terjadinya akumulasi
pada rantai makanan
dan akan menyebabkan
kerusakan atau keracunan pada
manusia atau hewan
yang mengkonsumsinya, menyebabkan kerusakan pada udara, air dan
tanah bila konsentrasi logam berat terlalu tinggi.
Banyak bencana
yang terjadi diakibatkan
logam berat karena
kelalaian manusia sehingga mengakibatkan
penderitaan bagi masyarakat,
seperti kasus Teluk Buyat
di Indonesia dan
kasus Teluk Minamata
di Jepang. Masyarakat
pada contoh kasus tersebut
mengalami kelainan fisik,
penurunan mental, dan
kematian setelah mereka
memanfaatkan air yang
tercemar logam berat
di teluk untuk kebutuhan sehari-hari.
Kasus keracunan
akibat logam berat
di atas terjadi
akibat kelalaian kita sendiri,
sehingga bencana juga
akan menimpa manusia
itu sendiri. Allah
Swt dan Rasul-Nya telah
memperingatkan kepada manusia
agar jangan melakukan kerusakan di bumi, akan tetapi
manusia mengingkarinya. Allah Swt berfirman “Dan bila
dikatakan kepada mereka:
“Janganlah membuat kerusakan
di muka bumi”, Mereka
menjawab: “Sesungguhnya kami
orang-orang yang mengadakan
perbaikan.” (QS. Al-Baqarah/2 :11).
Keingkaran mereka
disebabkan oleh keserakahan
mereka dan mereka mengingkari petunjuk
Allah Swt dalam
mengelola bumi, sehingga
terjadilah ketidak
seimbangan dalam sistem
kerja bumi. Ketidak
simbangan menyebabkan terjadinya bencana
alam dan kerusakan
di bumi karena
ulah tangan manusia.
Allah Swt berfirman “Telah nampak
kerusakan di darat
dan di laut
disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah
merasakan kepada mereka
sebagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka
kembali (ke jalan
yang benar)” (QS. Ar-Rum/30 : 41).
Logam berat
sangat berpotensi dalam
memberikan konstribusi terhadap terjadinya masalah
pencemaran lingkungan yang
berkaitan erat terhadap
dampak negatif bagi kesehatan
manusia dan biota
lingkungan perairan jika
melebihi ambang batas. Pencemaran
logam berat pada
makanan (ikan dan
hasil olahannya) harus sesuai
dengan nilai ambang
batas maksimum yang
telah ditentukan oleh Dirjen
POM (Direktorat Jendral
Pengawasan Obat dan
Makanan) nomor : 03725/B/SK/VII/89 adalah
sebesar 500 ppb
(0,5 ppm) (Sudarmaji,
2005), karena itu pemakaian logam
berat harus dibatasi.
Salah satu
logam berat yang
sering mencemari lingkungan
dan berbahaya adalah logam Cr.
Pencemaran logam Cr di perairan dihasilkan dari proses industri seperti tekstil,
keramik, dan lain-lain.
Kromium (Cr) termasuk
logam berat yang mempunyai daya
racun tinggi. Nilai
LC50 (konsentrasi letal
terhadap waktu paparan) untuk
kromium pada ikan
adalah 7 dan
400 ppm dan untuk alga
adalah 0.032-6.4 ppm (Anonymous, 2007). Sifat
racun yang dibawa oleh
logam ini dapat mengakibatkan terjadinya
keracunan akut, kronis,
dan karsinogenik (Palar, 1994:139). Upaya dalam menanggulangi
dan menurunkan konsentrasi logam berat dalam
limbah sebelum dibuang
ke lingkungan harus
dilakukan agar terhindar
dari keracunan logam berat. Suatu metode dibutuhkan untuk memisahkan ion
logam agar terhindar dari keracunan
dan menurunkan konsentrasi
logam berat Kromium
di lingkungan perairan. Metode
koagulasi merupakan salah
satu metode alternatif
yang tidak membutuhkan biaya
yang terlalu besar
dan efektif dalam
mengendapkan
partikelpartikel ion logam
berat yang sulit
mengendap. Metode koagulasi
adalah proses pencampuran koagulan
dan air baku
yang disertai dengan
pengadukan secara cepat di
dalam suatu wadah,
agar diperoleh suatu
campuran koagulan sehingga proses pembentukan
gumpalan atau flok
dapat terjadi secara
merata pula. Faktorfaktor
yang harus diperhatikan
dalam proses koagulasi
agar memperoleh hasil yang
optimum adalah dosis
koagulan, kecepatan pengadukan,
derajat keasaman (pH), waktu
pengendapan, pengaruh garam-garam
di air, pengaruh
kekeruhan, pengaruh jenis koagulan,
pengaruh temperatur, dan
komposisi kimia larutan.
Berbagai jenis
koagulan sudah banyak
diteliti kemampuannya dalam
proses pengolahan limbah salah
satunya Biji Kelor
(Moringa oleifera Lamk) (Anonymous, 2006).
Biji kelor
(Moringa oleifera Lamk)
merupakan buah dari
tumbuhan kelor yang memiliki
kandungan protein yang
cukup tinggi, vitamin
A, vitamin B, vitamin
C, zat besi,
kalsium, sebagai bahan
pembuatan sabun dan
kosmetik. Biji kelor (Moringa
oleifera Lamk) juga
mampu mengadsorpsi, menggumpalkan sekaligus menetralkan
tegangan permukaan dari
partikel-partikel air limbah,
hal ini disebabkan adanya
zat aktif 4-alfa-4-rhamonsiloxy-benzil-isothiocyanate yang terkandung dalam biji kelor (Ritwan,
2004).
Pemanfaatan biji kelor (Moringa
oleifera Lamk) dalam pengolahan limbah dan
air baku baik
sekala kecil, sedang
dan besar telah
banyak dilakukan dan dipelajari. Menurut
penelitian Rahardjanto, biji
kelor dapat digunakan
untuk memperbaiki sifat fisiko
kimia air limbah
industri tekstil. Parameter
yang diamati meliputi turbiditas,
warna, waktu pengendapan,
zat padat total,
COD, amonium, nitrat, Cd,
Mn, Cr, Cu,
dan Pb. Hasil
penelitian ini memperlihatkan bahwa
biji kelor (Moringa oleifera
Lamk) dapat meningkatkan
kualitas air limbah
industri tekstil.
Efektifitas bioflokulan pada
konsentrasi optimum (2250
ppm) berturutturut adalah
99,84 %; 99,25
%; 90,83 %;
79,9 %; 75,36
%; 83,70 %;
20,8 %; 99,94 %;
82,06 %; 75
%; 59,05 %
dan 16,15 %.
Bioflokulan Moringa oleifera Lamk
dapat mereduksi parameter
fisiko kimia lebih
baik dibandingkan PAC
dan mampu meningkatkan kualitas
air limbah sesuai
dengan baku mutu
limbah cair dan kriteria
kualitas air. Dengan
demikian biji kelor
dapat digunakan sebagai alternatif bioflokulan untuk air
limbah industri tekstil (Rahardjanto, 2004).
Penelitian ini
diarahkan pada faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu
proses koagulasi yaitu
meliputi dosis optimum,
waktu pengendapan optimum dan
pH larutan optimum.
Selain berpangaruh terhadap efisiensi bioflokulan
biji kelor (Moringa
oleifera Lamk), pH
berpangaruh terhadap kondisi anion
yang dibentuk oleh
Cr(VI) dalam larutan
yaitu CrO 2-, Cr2O 2-dan HCrO -.
Waktu pengendapan dosis
optimum yang cukup
diperlukan untuk mencapai kesetimbangan pengendapan.
Download lengkap Versi PDF