BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Apabila dilihat berdasarkan luas
areal perkebunan kopi, Indonesia berada di urutan kedua terbesar. Namun, untuk produksi dan
ekspor masih berada di posisi keempat.
Permasalahan yang dihadapi adalah
produktivitas yang masih rendah dan kontribusi ekspor kopi
terhadap penerimaan devisa pada subsektor perkebunan dan sektor pertanian juga cenderung menurun. Hal ini
karena perkebunan kopi Indonesia sebagian
besar adalah perkebunan rakyat yang penanamannya masih secara tradisional dengan pengelolaan budidaya dan
penanganan pasca panen masih kurang memadai,
yang pada akhirnya menghasilkan kualitas kopi yang rendah jika dibandingkan negara produsen kopi lainnya Data
perkebunan kopi dari Ditjen Perkebunan
2006 menyebutkan luas areal seluas 1.308.732 hektar yaitu 96 Persen diantaranya milik perkebunan rakyat dan
sisanya 4,10 persen diusahakan dalam bentuk perkebunan besar, dengan volume ekspor sebesar 413.500 ton, dan total produksi
sebesar 743.409 ton. Tingkat produktivitas
rata-rata ini sebesar 792 kg biji kering pertahun, tingkat produktivitas tanaman kopi di Indonesia cukup rendah bila
dibandingkan dengan negara produsen utama
kopi di dunia lainnya, seperti Vietnam dengan 1.540 kg/hektar/tahun (Anonimous a
, 2009).
Dari segi produksi yang paling
menonjol dalam kualitas dan kuantitas adalah jenis arabika, andilnya dalam pasokan dunia tidak
kurang dari 70% . Jenis Robusta yang mutunya
dibawah Arabika, mengambil bagian 24% dari produksi dunia, sedangkan Liberika dan Excelsa masing masing 3%. Arabika
dianggap lebih baik daripada robusta karena rasanya lebih enak dengan
jumlah kafein yang lebih rendah. Hal ini menyebabkan kopi Arabika lebih mahal daripada
kopi robusta (Siswoputranto, 1992).
Umur tanaman kopi Arabika menjadi
ukuran dalam menentukan produktivitas dari jumlah produksi buah merah (cherry red).
Biasanya tanaman kopi sudah berproduksi pada
umur 2.5 sampai 3 tahun. Sebagian besar petani pada daerah penelitian lebih banyak menjual produksi kopi Arabika dalam
bentuk kopi beras yaitu buah kopi merah
setelah proses pengolahan hasil, selain karena harga jual yang didapat lebih tinggi petani juga dapat menggunakan kulit
dari buah kopi tersebut sebagai bahan pembuatan
pupuk kompos. Tetapi masalahnya, produksi kopi beras yang dapat dijual jika umur tanaman tidak lebih dari 8 tahun
kerena pada saat itu kualitas (mutu) buah kopi merah baik dengan kadar air yang lebih
ringan yaitu maksimum 12.5% sehingga layak
untuk dilakukan pengolahan hasil menjadi kopi beras. Apabila umur tanaman berkisar 9 -10 tahun maka petani harus menjual
produksi mereka dalam bentuk buah merah
dan jika mereka tetap menjual dalam bentuk kopi beras maka biji kopi beras yang dihasilkan banyak yang pecah.
Ini sangat penting karena sejak
puluhan tahun kopi Arabika telah menjadi sumber pendapatan bagi petani dan hal ini jelas
menurunkan produktivitas hasil serta penurunan
pendapatan petani padahal di daerah penelitian yang berada pada ketinggian 700-1600m dpl sangat mendukung
untuk produktivitas yang tinggi pada tanaman
kopi Arabika.
Hampir 70% produksi kopi
Indonesia dipasarkan ke berbagai negara dan hanya sekitar 30% yang digunakan untuk konsumsi
domestik. Kondisi ini menggambarkan bahwa
kopi Indonesia sangat tergantung pada pasar ekspor. Keberhasilan perbaikan mutu kopi Indonesia tidak hanya memperbaiki
citra kopi Indonesia, tetapi juga ikut membantu
perbaikan harga kopi di tingkat petani dan harga kopi dunia, sekaligus dapat membangkitkan kembali peran kopi bagi
perekonomian Indonesia. Namun kenyataan
yang dihadapi bahwa rendahnya mutu produksi kopi Arabika terutama disebabkan oleh pengelolaan kebun, panen dan
penanganan pasca panen yang kurang memadai
karena hampir seluruhnya kopi Arabika diproduksi oleh perkebunan rakyat.
Disamping itu, pasar kopi masih
menyerap seluruh produk kopi dan belum memberikan
insentif harga yang memadai untuk kopi bermutu baik. Budidaya kopi sebenarnya sudah dilakukan oleh petani sejak
jaman penjajahan, tetapi pengelolaannya
masih tetap tradisional. Kesalahan yang paling fatal yang umum dilakukan petani adalah pada fase pemetikan
dan penanganan pasca panen, sehingga menghasilkan
kopi mutu rendah.Di hampir semua sentra produksi kopi, petani memetik buah kopi sebelum usia panen (petik
hijau) dengan berbagai alasan seperti desakan
kebutuhan hidup dan rawan pencurian. Kemudian saat penanganan pasca panen, penjemuran kopi umumnya dilakukan
ditepi jalan atau tempat-tempat yang sanitasinya
tidak memadai, sehingga terkontaminasi berbagai kotoran. Disamping itu, penjemuran yang dilakukan tidak dapat mencapai
kadar air maksimum yang diizinkan yaitu
12,5%, sehingga biji kopi sering berjamur. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa perbaikan mutu kopi membutuhkan kerja
keras terutama untuk mensosialisasikannya
kepada jutaan petani kopi Indonesia. Apabila hal ini tidak ditangani secara tepat maka setelah tahun
2003, ekspor kopi Indonesia akan turun drastis
dan pasar kopi domestik akan kelebihan penawaran yang pada gilirannya akan menurunkan harga kopi. (Harian Bisnis
Indonesia Nasional, 20 April 2011).
Download lengkap Versi PDF
