BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia tahun 1945 dalam Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa
Negara Indonesia adalah
negara hukum. Negara
Indonesia sebagai negara hukum
berdasarkan atas Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945, yang menjunjung
tinggi hak asasi
manusia dan memberikan perlindungan
bagi kesejahteraan masyarakat untuk tujuan
Negara Indonesia seperti yang
tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.
Sebagai negara hukum maka negara dalam hal ini
dilakukan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara maupun Lembaga-Lembaga Negara lainnya di dalam melaksanakan tindakan
apapun juga harus
dilandasi oleh hukum
atau dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum (Edy Herdyanto, Jurnal Yustisia
Edisi Januari-Maret, 2005:1313). Dalam
hal ini hukum
sangat berperan guna
mengatur semua tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat
pada umumnya.
Manusia
dimata hukum memiliki
kedudukan yang sama,
baik itu pejabat
maupun rakyat kecil, semua
memiliki hak dan
kedudukan yang sama
untuk memperoleh keadilan dan
kebenaran materiil.
Tujuan
dari adanya hukum
adalah terciptanya suatu
ketertiban dalam masyarakat untuk
mencapai keadilan, keamanan, ketentraman
dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Membicarakan hukum
adalah membicarakan hubungan
antara manusia, membicarakan hubungan
antara manusia adalah
membicarakan keadilan (Satjipto
Raharjo, 2006 :
15). Keadilan merupakan
hal yang relatif
bagi setiap manusia, akan
tetapi keadilan dapat dicapai dengan
adanya suatu aturan yang telah dibuat
oleh Pemerintah sebagai
penyelenggara negara agar
dapat dijadikan patokan manusia dalam melakukan suatu
tindakan.
Peraturan-peraturan yang
telah dibuat merupakan
salah satu cara
dalam penegakan hukum, sebagai
pedoman dalam menegakkan
keadilan bagi masyarakat.
Penegakan hukum bermuara pada suatu pengadilan
dimana terdapat aparatur-aparatur penegak
hukum yang menjalankan
suatu proses hukum.
Terdapat tata cara
dalam menjalankan suatu proses
hukum yang telah
diatur dalam hukum
acara, khususnya dalam hukum
acara pidana.
Hukum
acara pidana adalah
hukum yang mengatur
bagaimana cara alat perlengkapan pemerintah
melaksanakan tuntutan, memperoleh
putusan hakim, dan melaksanakan putusan tersebut apabila ada
orang yang melakukan perbuatan pidana (Wirjono
Prodjodikiro, 1980 :
35). Tujuan dari
hukum acara pidana
adalah untuk mencari dan
mendapatkan atau setidaknya
mendekati kebenaran materiil (Andi Hamzah, 2013
: 7). Langkah – langkah serta
tata cara dalam
menjalankan proses hukum tersebut
telah diatur dan ditentukan dalam beberapa Undang – Undang secara khusus serta
secara umum dimuat
dalam Kitab Undang – Undang Hukum
Acara Pidana yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang untuk selanjutnya disebut dengan KUHAP.
Proses hukum yang telah diatur dalam hukum
acara serta langkah-langkah tata cara
dalam menjalankan proses
hukum yang diatur
dalam KUHAP adalah
untuk mencapai suatu keadilan dalam penegakan hukum.
Penegakan hukum di Indonesia sangat diperlukan
guna terciptanya keadilan, keamanan, ketentraman dan
kesejahteraan rakyat Indonesia.
Salah satu instrumen penegakan
hukum untuk mencapai tujuan hukum adanya kepastian, keadilan dan
kemanfaatan adalah suatu
sistem peradilan pidana
yang bersih dan berwibawa.
Suatu lembaga peradilan
disebut baik bukan saja
jika prosesnya berlangsung jujur bersih dan tidak memihak, namun
disamping itu ada lagi kriteria
yang harus dipenuhi
yaitu prinsip-prinsip yang
sifatnya terbuka, korektif dan
rekorektif. Dalam hal
ini salah satu
sisi yang patut menjadi
perhatian manajemen peradilan
adalah adanya sistem
upaya hukum yang baik
sebagai bagian dari
prinsip fairness dan trial
independency yang menjadi prinsip-prinsip yang diakui universal (Parman
Soeparman, 2007: 2).
Penegakan
hukum membutuhkan sistem
peradilan yang bersih
jujur dan berpihak pada keadilan.
Oleh karena itu aparatur yang berada dalam sistem perdilan tersebut
harus memiliki pengetahuan
yang mendalam mengenai
hukum agar dapat mengimplementasikan ke dalam
kasus-kasus yang ditangani agar tidak menyebabkan kekeliruan dalam mengadili.
Hakim sebagai aparatur penegak hukum harus bertindak adil dalam menangani suatu
perkara dengan menggunakan peraturan-peraturan yang telah ada
atau dengan menemukan
hukum baru apabila
belum ada peraturan
yang mengaturnya.
Pengadilan
selalu harus bertindak
adil, karena apabila
tidak, maka terjadi contradictio in terminis.
Bangsa-bangsa menggunakan kata bermacam-macam untuk menyebut
Pengadilan, seperti court of
jastice, ball of
justice, gerechtshaf. Di dalamnya duduk
para pengadil, bernama
“Hakim”, “judge”,””justice”, “rechef”. Semuanya menunjuk pada sebuah
institut dan manusia, yang bekerja
untuk memuliakan sebuah
nilai yang bernama Pengadilan. Semua
yang terlibat dalam
urusan Pengadilan berhubungan dengan justice judgement
judiciary adjudication
berechtigen (Satjipto Rahardjo, Jurnal Hukum Pantarei Vol No. 3.2009:8).
Sistem
peradilan yang bersih
tidak terlepas dari
aparatur penegak keadilan khususnya Hakim,
hakim mempunyai peranan
untuk mengadili suatu
perkara yang disidangkan. Mengadili
merupakan serangkaian tindakan
hakim untuk menerima, memeriksa dan
kemudian memutus tindak
pidana yang disidangkan
dalam pengadilan. Oleh karena
itu Hakim memiliki peranan
yang sangat penting
dalam penegakan hukum, karena
hakim adalah seorang
yang dapat menjatuhkan
putusan bagi setiap orang
yang diproses dalam
pengadilan. Oleh karena
itu hakim harus memiliki pengetahuan yang cukup luas
dalam menerapkan hukum guna menegakan keadilan. Seperti pendapat Goldstein yang
dikutip oleh Muladi dalam Majalah hukum nasional Nomor 2 tahun 2003 menjelaskan
: Penegakan hukum sendiri
harus dilihat dalam
kerangka yang luas.
Pertamatama harus diartikan sebagai “total enforcement concept” dimana
diharapkan hakim agar menegakan hukum secara menyeluruh baik norma maupun
segala nilai yang ada dibelakang norma tersebut. Hal ini
tidak mungkin dilakukan, karena hukum
dalam kerangkan “due process of law” juga membatasi dirinya sendiri “self
derogated” antara lain dengan hukum acara yang ketat. Kedua, “full enforcement
concept” yang diharapkan ditegakan secara penuh setelah mengalami “self derogated” tersebut ternyata memiliki “gray area” yang penuh diskresi karena
pelbagai keterbatasan baik dibidang
substansi hukum, struktur maupun
kultur hukum. Yang
tersisa adalah “actual enforcement concept” (Muladi, 2012 : 43).
span s^ � = m �_F �\B un:yes'>
peraturan daerah yang
muncul dari inisitif Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah
masih sangat terbatas, walaupun
secara usulan pengajuan rancangan
peraturan daerah bisa
dilakukan oleh eksekutif
maupun legislatif.
Berdasarkan hasil
penelitian terkait pelaksanaan
fungsi legislasi di
Kota Kudus Jawa Tengah tahun 2010
misalnya, dengan menyoroti pelaksanaan fungsi legislasi DPRD Kota Kudus tahun 2004-2009 oleh
Marfian Rifki (2010) diperoleh simpulan bahwa
pelaksanaan fungsi legislasi
tersebut belum terlaksana
dengan baik, terbukti
dengan tidak adanya
peraturan daerah usulan
atau inisiatif DPRD setempat
yang lolos dalam
pembahasan, dan hanya
sampai pada tahap
usulan rancangan peraturan
daerah kepada pimpinan
DPRD Kudus. Hal
serupa juga berhasil
diteliti oleh Angga
Sulistyo Pamungkas (2009),
yang menunjukkan pelaksanaan
fungsi legislasi dengan
tolak ukur pembentukan
peraturan daerah usulan atau inisiatif DPRD
Kabupaten Wonogiri tidak berjalan dengan baik. Hal ini
ditunjukkan dengan data
peraturan daerah periode
tahun 2004-2009 yang kesemuanya
berasal dari prakarsa eksekutif.
Adanya permasalahan-permasalahan dalam
pelaksanaan fungsi legislasi oleh
DPRD di berbagai
kabupaten/kota tersebut di atas, membuat penulis tertarik untuk mengadakan kajian
fungsi legislasi di DPRD Kota Surakarta guna
melihat implementasi fungsi
tersebut, dalam penulisan
hukum yang berjudul “IMPLEMENTASI
FUNGSI LEGISLASI DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
KOTA SURAKARTA DALAM
KERANGKA DESENTRALISASI DAN
OTONOMI DAERAH”.
B. Rumusan Masalah Perumusan masalah
merupakan bagian penting
dalam suatu penulisan hukum
agar terarah dan
tidak menyimpang dari
pokok permasalahan, sehingga sangat
diperlukan untuk memfokuskan
masalah agar dapat
dipecahkan secara sistematis. Berdasarkan latar belakang di atas
maka penulis merumuskan masalah sebagai
berikut: 1. Bagaimana
implementasi fungsi legislasi
DPRD Kota Surakarta periode 2009-2013? 2. Faktor apa yang menghambat pelaksanaan
fungsi legislasi DPRD Kota Surakarta
dalam pembentukan peraturan daerah dan apa solusi-nya? C. Tujuan Penelitian Penelitian merupakan
sarana yang dipergunakan
oleh manusia untuk memperkuat, membina
serta mengembangkan ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan
yang merupakan pengetahuan
yang tersusun secara
sistematis dengan menggunakan
kekuatan pemikiran, pengetahuan,
senantiasa dapat diperiksa dan ditelaah secara kritis, akan
berkembang terus atas dasar
penelitianpenelitian yang dilakukan
oleh pengasuh-pengasuhnya. (Soerjono
Soekanto, 2007:3). Dalam
suatu penelitian dikenal
ada dua macam
tujuan, yaitu tujuan objektif dan tujuan subjektif. Adapun tujuan
yang hendak dicapai penulis adalah sebagai
berikut: 1. Tujuan Objektif Tujuan objektif
merupakan tujuan penelitian
dilihat dari tujuan umum
yang berasal dari
penelitian itu sendiri,
yaitu sebagai berikut dengan: a.
Untuk mendeksripsikan implementasi
fungsi legislasi DPRD
Kota Surakarta, periode
2009-2013; b. Untuk mengetahui
faktor-faktor penghambat pelaksanaan
fungsi legislasi oleh
DPRD Kota Surakarta
dalam pembentukan peraturan daerah,
sekaligus mewacanakan solusi
optimalisasi fungsi legislasi DPRD Kota Surakarta.
2. Tujuan Subjektif Tujuan Subjektif
merupakan tujuan penelitian
dilihat dari tujuan pribadi
penulis sebagai dasar
dalam melakukan penelitian,
yaitu sebagai berikut: a.
Untuk memperoleh data
dan informasi sebagai
bahan utama dalam menyusun
penelitian hukum (skripsi) agar dapat
memenuhi persyaratan akademis guna
memperoleh gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta; b. Untuk
menerapkan ilmu dan
teori-teori hukum yang
telah penulis peroleh
agar dapat memberi
manfaat bagi penulis
sendiri serta memberikan kontribusi positif bagi
perkembangan ilmu pengetahuan di bidang
hukum; c. Untuk memberikan
kontribusi kritis bagi
penyelenggaraan Pemerintah Daerah
Kota Surakarta serta
masukan bagi pemerintah
daerah kabupaten/Kota lain di
Indonesia; d. Untuk memperluas
pengetahuan dan pengalaman
serta pemahaman aspek hukum di dalam teori dan praktek
penulis dalam bidang hukum tata negara.
pa. y e P�B ��< cerun:yes'>
memuat pertimbangan hukum
hakim yang didasarkan
pada alasan dan
dasar hukum yang tepat dan benar. Pertimbangan hakim dalam
memutus suatu kasus tindak pidana korupsi
akan mempengaruhi jumlah
kasus korupsi dalam
masa yang akan
mendatang. Putusan hakim merupakan
jawaban untuk menyelesaikan konflik pidana yang terjadi antara pelanggar
dengan korban (Rena Yulia, 2012 :226).
Dalam setiap putusan
yang dibuat oleh
hakim akan melalui
sebuah proses pertimbangan
hukum dan sosiologis
yang cukup lama,
agar putusan yang
dihasilkan dapat memenuhi
rasa keadilan baik
bagi terpidana maupun bagi
masyarakat yang secara
tidak langsung juga
dirugikan akibat tindak pidana korupsi.Skripsi Hukum:Tinjauan Implikasi Yuridis Kelalaian Hakim Mencantumkan Uraian Fakta Yuridis Dalam Putusan Dan Upaya Hukumnya Oleh Penuntut Umum Dalam Perkara Memasuki Pekarangan Orang Secara Melawan Hukum
Download lengkap Versi PDF