BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana
korupsi di Indonesia
sudah mengakar ke
berbagai sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Tindak pidana korupsi bahkan
tidak hanya menjalar
ke wilayah birokrasi
pemerintahan (beaurocratic
corruption), tetapi juga ke dalam sistem peradilan (judiciary cor ruption) di
Indonesia (Aziz Syamsuddin,2011:175).
Tanpa disadari, korupsi muncul
dari kebiasaan yang
dianggap lumrah dan
wajar oleh masyarakat umum (M. Syamsa Ardisasmita,2006:1 ).
Saat ini, banyak berita mengenai tindak pidana
korupsi yang ada di media cetak maupun
elektronik. Tindak pidana
korupsi jumlahnya semakin meningkat
dan modus operandi yang
digunakan oleh para
pelaku juga semakin
berkembang seiring dengan
semakin majunya perkembangan
ilmu pengetahuan dan
teknologi. Oleh karenanya,
korupsi menjadi salah
satu kejahatan yang berkembang.
Di
dunia Internasional, terdapat
suatu lembaga survei yang
merupakan gabungan dari
beberapa lembaga survei
yang bernama Transparency International.
Di Indonesia terdapat
Transparency International Indonesia
(TII) yang merupakan
salah satu chapter Transparency International, sebuah jaringan global NGO
antikorupsi yang mempromosikan transparansi
dan akuntabilitas kepada lembaga-lembaga negara, partai politik, bisnis,
dan masyarakat sipil.
Setiap tahun Transparency International (TI) mengeluarkan Corruption Perception Index
(CPI), sebuah indeks pengukuran tingkat
korupsi global. CPI merupakan
indeks agregat yang
dihasilkan dari penggabungan beberapa indeks yang dihasilkan
berbagai lembaga. Indeks ini mengukur
tingkat persepsi korupsi sektor publik, yaitu korupsi yang dilakukan oleh
pejabat negara dan
politisi. Pada tahun 2011, CPI
mengukur tingkat korupsi
dari 183 negara
dan Indonesia berada
di posisi nomor
100, dengan rentang indeks antara 0 sampai dengan 10, di
mana 0 berarti negara tersebut dipersepsikan sangat
korup, sementara 10
berarti negara yang bersangkutan dipersepsikan
sangat bersih. Pada
tahun 2011, skor
Indonesia dalam CPI adalah
3.0 (Teten Masduki, 2011 : http://www.ti.or.id/index.php/publication/ 011/12/01/corruption-perception-index-2011). Banyaknya
tindak pidana korupsi
di Indonesia terlihat
dari data Indeks
Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) yang
dirilis kembali oleh lembaga survei yang sama pada tahun 2012. Tahun 2012 skor Indonesia adalah
32, pada urutan 118 dari 176 negara yang
diukur. Skor 32
menunjukkan bahwa Indonesia
masih belum dapat
keluar dari situasi
korupsi yang sudah
mengakar (Natalia Soebagjo, 2012:http://www.ti.or.id/index.php/publication/2012/12/12/corruptionpercepti
on-index-2012).
Indonesia
menempati urutan ke
118 dari 176
negara dalam survey terhadap
beberapa negara terhadap
tingkat tindak pidana
korupsi di dunia (Lembaga Transparency Internasional Indonesia,
2013: http://www.transparen cy.org/country#idx99).Berdasarkan data
statistik di atas, Indonesia
termasuk ke dalam golongan negara
dengan tingkat korupsi di dunia.Dilihat dari angka indeks
persepsi dimana Indonesia
menempati posisi negara
yang termasuk dalam
jajaran negara korup,
tentu saja telah
menunjukkan bahwa Indonesia khususnya
pemerintah Indonesia telah
mengalami kegagalan dalam
upaya pemberantasan korupsi.
Khususnya
di negara-negara yang
sedang berkembang, korupsi menyebabkan
kerapuhan ekonomi dan
sosial.Hal ini menimbulkan kerugian negara
yang besar dan mempengaruhi segala
aspek kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Berkembang dari
berbagai aspek, baik modus, jenis, serta cara
untuk melakukannya. Tidak
hanya hal tersebut,
terkait dengan meningkatnya
kasus tindak pidana
korupsi di Indonesia
mengakibatkan semakin banyak pula
kerugian terhadap keuangan dan perekonomian negara.
Data
Badan Pusat Statistik pada Agustus
2011 menunjukkan angka kemiskinan
berada pada angka 30,02 juta orang masih berada di bawah garis kemiskinan
(12,49%). Hal ini
menjadi sebuah kenyataan
yang memperihatinkan mengingat alokasi anggaran untuk pengentasan
kemiskinan pada tahun yang sama
adalah Rp.86,1triliun (Bambang, 2011: http://www.anta ranews.com/berita/
248422/dpr-apbn-2011-belum-efektif-atasi-kemiskinan).
Pada saat acara hari anti korupsi dunia di
Jakarta, tanggal 4 Desember 2012 yang lalu,
KPK juga mengeluarkan
data kerugian negara
akibat korupsi di Indonesia. Kerugian
yang diderita negara
akibat korupsi yang
terjadi antara tahun
2004-2011 sebesar Rp
39,3 Triliun. Lebih
lanjut KPK juga mengungkapkan bahwa
uang sebesar itu
seharusnya dapat dipergunakan untuk membangun 393 ribu unit rumah baru,
sekolah gratis untuk 68 juta anak Sekolah Dasar
selama setahun penuh,
dan membelikan 7,9 juta unit computer di sekolah sebagai
sarana belajar (Sultoni, 2013: http:// www.pajak.go.id/content/article/memiskinkan-koruptor-melalui-uu-pajak).
Kerugian
negara yang diakibatkan oleh pejabat
publik yang mengambil hak yang
semestinya menjadi milik
masyarakat untuk mendapatkan
fasilitas pelayanan publik yang
baik.
Tindak
pidana korupsi ternyata
sudah ada pada
saat peradaban Mesir, Babilonia,
Yunani Kuno, Cina,
Romawi Kuno. Pada kenyatanya terus berkembang meskipun telah banyak
upaya pemberantasan yang dilakukan
pemerintah Indonesia.
Fase
pengaturan hukum pidana
(kriminalisasi) terhadap Tipikor
di Indonesia ditandai
oleh banyaknya peraturan
perundang- undangan tentang Tipikor yang
telah mengalami beberapa
kali perubahan (Aziz Syamsuddin, 2011 : 181). Banyaknya perubahan serta
penambahan pengaturan perundangundangan
yang mengatur mengenai
korupsi menunjukkan bahwa
korupsi merupakan suatu kejahatan
luar biasa atau biasa disebut dengan extraordinary crime,
disebut demikian karena
tindak pidana korupsi
memiliki dampak negative bagi perekonomian negara, kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Ada
beberapa persoalan yang
berkaitan dengan gagalnya
atau sulitnya memberantas
korupsi di negara
kita, seperti penegakan hukum
yang lemah (rendahnya
probabilitas untuk tertangkap, dituntut dan dihukum), administrasi birokrasi
yg membuka peluang
(perijinan, kewenangan yg
luas, mantai birokrasi), gaji rendah, peluang terbuka,
kesenjangan gaji, rendahnya etika dan moralitas
(Topo Santoso, 2011 :1).
Selain
hal-hal tersebut, korupsi
masih belum bisa
diminimalisasi karenarasa kekeluargaan
yang kental sehingga
membuka peluang untuk dilakukannya korupsi. Tindak pidana
korupsi termasuk ke
dalam golongan tindak
pidana khusus.“Tindak pidana
khusus merupakan tindak
pidana yang diatur
secara khusus dalam
undang-undang lain, misalnya
tindak pidana korupsi” (Winarno Budyatmojo, 2008:12).
“Sebagai
suatu tindak pidana
khusus, tindak pidana
korupsi diatur tersendiri di dalam undang- undang khusus, di
luar KUHP. Kejahatan korupsi dimasukkan golongan white collar
crime, kemudian meningkat
lagi menjadi trans-national
crime” ( Otto Cornelis Kaligis,
2006 :153). Sejak Sutherland menggunakan
istilah White Collar Crime (Kejahatan Kerah
Putih), berbagai buku menelaah
jenis kejahatan ini,
antara lain ditulis
David R. Simon
dan Stanley Eitzen
yang menggunakan istilah Elite
Deviance (1993) . “Buku ini dengan tajam
membahas praktek-praktek kejahatan
dan penyimpangan oleh kalangan
elit, yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat dalam angka yang lebih
spektakuler-dibanding
kejahatan konvensional seperti
pencurian atau perampokan” (Topo Santoso, 2011 :70).
Dimasukannya tindak pidana korupsi ke dalam
golongan white collar crime atau
kejahatan kerah putih
karena kebanyakan korupsi
dilakukan oleh orang- orang
dengan tingkat pendidikan tinggi dan tingkat ekonomi yang relatif cukup.
Lord
Acton membuat sebuah
ungkapan yang menghubungkan
antara korupsi dengan kekuasaan,
yakni power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely, bahwa kekuasaan cenderung
untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut
cenderung korupsi absolut (Ermansjah Djaja , 2008 :1). Korupsi terjadi pula di berbagai pemerintah daerah di
Indonesia, baik yang dilakukan oleh pejabat
legislatif, eksekutif, yudikatif,
dan konglomerasi (Widiada Gunakaya, 2012 :191).
Praktek
korupsi, kolusi dan
nepotisme tidak hanya
dilakukan antar Penyelenggara
negara melainkan juga
antara Penyelenggara Negara
dengan pihak
lain yang dapat
merusak sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara serta membahayakan
eksistensi negara, sehingga
diperlukan landasan hukum untuk mencegahnya (Ermansjah Djaja, 2008 :17).
Berbagai
upaya telah dilakukan
pemerintah dari rangka pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sejak awal
dimasukannya korupsi sebagai suatu
tindak pidana. Dibentuknya berbagai institusi baik permanen maupun ad hoc nyatanya belum mampu menghapus korupsi
dari negeri ini. Hingga pada tahun 2009,berdasarkan amanat
Undang- Undang Nomor
46 Tahun 2009 tentang Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi, dibentuk suatu
peradilan khusus yang berwenang memeriksa danmengadili perkara
tindak pidana korupsi yaitu Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang telah
beroperasi diantaranya yang
pertama kali pada awal
tahun 2010 di Pengadilan
Jakarta Pusat, Surabaya, Semarang dan Bandung.
Berdasarkan
Surat Keputusan Ketua
Mahkamah Agung RI No.
022/KMA/SK/II/2011 Tentang
Pengoperasian 14 Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi Pada
Pengadilan Negeri Medan,
Pengadilan Negeri Padang, Pengadilan
Negeri Pekanbaru, Pengadilan
Negeri Palembang, Pengadilan Negeri
Tanjung Karang, Pengadilan
Negeri Serang, Pengadilan
Negeri Yogyakarta, Pengadilan
Negeri Banjarmasin, Pengadilan
Negeri Pontianak, Pengadilan
Negeri Samarinda, Pengadilan
Negeri Makassar, Pengadilan Negeri
Mataram, Pengadilan Negeri
Kupang Dan Pengadilan
Negeri Jayapura (Mahkamah Agung
Republik Indonesia, 2011: http://www.mahkamahagung.go.id/rnews.asp?bid=1912).
“Hakim
merupakan salah satu pilar
penegak hukum, yang mempunyai tugas pokok di bidang judicial, yaitu
menerima, memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan
setiap perkara yang diajukan kepadanya” (Bambang Sutiyoso, 2007 :
5). Hakim berwenang
untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus perkara, dalam hal wilayah Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi perkara yang dimaksud adalah perkara tindak pidana
korupsi.Putusan merupakan mahkota bagi setiap
hakim, oleh karena
kewibawaan seorang hakim
ditentukan oleh setiap putusan yang dijatuhkannya.
Pada
uraian Pasal 53
ayat 2 Undang- Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman, penetapan
dan putusan harus
memuat pertimbangan hukum
hakim yang didasarkan
pada alasan dan
dasar hukum yang tepat dan benar. Pertimbangan hakim dalam
memutus suatu kasus tindak pidana korupsi
akan mempengaruhi jumlah
kasus korupsi dalam
masa yang akan
mendatang. Putusan hakim merupakan
jawaban untuk menyelesaikan konflik pidana yang terjadi antara pelanggar
dengan korban (Rena Yulia, 2012 :226).
Dalam setiap putusan
yang dibuat oleh
hakim akan melalui
sebuah proses pertimbangan
hukum dan sosiologis
yang cukup lama,
agar putusan yang
dihasilkan dapat memenuhi
rasa keadilan baik
bagi terpidana maupun bagi
masyarakat yang secara
tidak langsung juga
dirugikan akibat tindak pidana korupsi.
Skripsi Hukum:Kajian Terhadap Putusan Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Semarang Terhadap Perkara Tindak Pidana Korupsi
Download lengkap Versi PDF