BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup
penting dalam kegiatan perekonomian di
Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar
yaitu sekitar 14,72 persen pada tahun
2011 atau merupakan urutan kedua setelah
sektor industri pengolahan.
Pada waktu krisis ekonomi, sektor pertanian yang cukup kuat menghadapi goncangan ekonomi dan ternyata dapat
diandalkan dalam pemulihan perekonomian
nasional. Dalam sektor pertanian, salah satu subsektor yang cukup besar
potensinya adalah subsektor perkebunan. Meskipun kontribusi subsektor perkebunan terhadap pembentukan Produk Domestik
Bruto (PDB) sekitar 2,07 persen pada
tahun 2011 atau merupakan urutan ketiga di sektor pertanian
setelah subsektor tanaman bahan
makanan dan perikanan, akan tetapi subsektor ini merupakan penyedia bahan baku untuk sektor
industri, penyerap tenaga kerja, dan penghasil
devisa (Badan Pusat Statistik, 2011).
Pembangunan pertanian subsektor
perkebunan memiliki arti penting, terutama di negara berkembang yang selalu berupaya untuk
memanfaatkan kekayaan sumber daya alam
secara lestari dan berkelanjutan. Subsektor perkebuan mendorong pembangunan nasional, terutama dalam
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat, penerimaan devisa negara, penyediaan
lapangan kerja, perolehan nilai
tambah dan daya saing, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam Universitas Sumatera Utara negeri, bahan baku
industri dalam negeri, serta optimalisasi pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan (Anonimous,
2008).
Tanaman perkebunan merupakan
salah satu komoditas yang bisa diandalkan sebagai sentra bisnis yang menggiurkan.
Terlebih produk-produk tanaman perkebunan cukup ramai permintaannya, baik di
pasar dalam negeri maupun pasar luar
negeri. Selain itu, harga jual yang tinggi juga membuat tanaman perkebunan menjadi salah satu penyumbang devisa negara
yang tidak sedikit. Saat ini puluhan jenis
komoditas perkebunan yang cukup potensial, antara lain karet, kakao, kelapa sawit, kopi, tembakau, dan cengkeh (Anonimous,
2008).
Salah satu komoditi dari
subsektor perkebunan yang mempunyai peran cukup penting dalam kegiatan perekonomian di
Indonesia adalah kelapa sawit. Kelapa sawit
merupakan salah satu komoditi ekspor Indonesia yang menghasilkan devisa yang besar untuk negara sesudah minyak dan
gas. Indonesia merupakan negara produsen
dan eksportir kelapa sawit terbesar dunia (Badan Pusat Statistik, 2011).
Tanaman kelapa sawit (Elaeis
guineensis Jack.) berasal dari Nigeria, Afrika Barat.
Namun, ada sebagian pendapat yang justru menyatakan
bahwa kelapa sawit berasal dari kawasan
Amerika Selatan yaitu Brazil. Hal ini dikarenakan lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit di hutan
Brazil dibandingkan dengan di Afrika.
Pada kenyataannya tanaman kelapa sawit hidup subur di luar daerah asalnya seperti Malaysia, Indonesia, Thailand,
dan Papua Nugini. Bahkan, mampu memberikan
hasil produksi per hektar yang lebih tinggi. Indonesia adalah negara dengan luas areal kelapa sawit terbesar di
dunia, yaitu sebesar 34,18 persen dari luas
areal kelapa sawit dunia namun menempati posisi kedua dunia dalam hal Universitas Sumatera Utara produksi.
Pencapaian produksi rata-rata kelapa sawit Indonesia tahun 2004-2008 tercatat sebesar 75,54 juta ton tandan buah
segar (TBS) atau 40,26 persen dari total
produksi kelapa sawit dunia (Fauzi, 2012).
Dalam dasawarsa terakhir ini,
kelapa sawit mengalami tren apresiasi yang positif karena dinilai prospektif dalam mengoptimalkan
pemanfaatan kekayaan alam yang dimiliki,
menghasilkan produk dengan daya saing yang tinggi, serta memiliki nilai ekonomi yang strategis baik
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri
maupun sebagai komoditas ekspor di pasar dunia. Tren ini mendorong pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di
Indonesia. Pesatnya pertumbuhan perkebunan
kelapa sawit di Indonesia juga didorong oleh terus meningkatnya permintaan minyak nabati dan lemak hewani
dunia sebagai akibat pertumbuhan penduduk
dan peningkatan pendapatan domestik bruto. Peningkatan konsumsi minyak nabati
dan lemak hewani tersebut berdampak pada meningkatnya permintaan minyak kelapa sawit (crude palm
oil, CPO) yang pada akhirnya ikut mendorong
pertumbuhan areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia (Pahan, 2007).
Perkembangan pesat perkebunan
kelapa sawit dimulai pada akhir tahun 1980an, ketika perkebunan besar swasta (PBS) mulai
masuk ke sektor perkebunan dan pengolahan
minyak kelapa sawit dalam jumlah besar. Sebelumnya perkebunan kelapa sawit didominasi oleh perkebunan milik
negara (PBN). Sejalan dengan harga crude
palm oil yang terus meningkat, maka selain perkebunan besar swasta, petani kecil pun mulai ikut menanam kelapa
sawit. Semula kebun sawit milik rakyat
dibangun dalam skema inti plasma dengan perkebunan besar baik swasta Universitas Sumatera Utara maupun milik negara
sebagai inti, namun kemudian perkebunan rakyat (PR) semakin berkembang di luar skema inti plasma.
Luas area perkebunan kelapa sawit
di Indonesia selama tujuh tahun terakhir cenderung menunjukkan peningkatan yakni
berkisar 1,92 – 9,05 persen per tahunnya. Pada tahun 2006 lahan perkebunan
kelapa sawit Indonesia tercatat seluas
6,28 juta hektar, meningkat menjadi 8,55 juta hektar pada tahun 2010. Pada tahun 2011, luas areal perkebunan kelapa sawit
meningkat sebesar 2,64 persen dari tahun
2010 menjadi 8,77 juta hektar dan ditahun 2012 meningkat sebesar 1,92 persen menjadi 8,94 juta hektar. Hal ini
dapat dilihat dari tabel 1 di bawah ini.
Sumber : Badan Pusat Statistik, Dari data tersebut dapat dilihat bahwa sebagian
besar perkebunan kelapa sawit pada tahun
2012 diusahakan oleh perkebunan besar swasta yakni 52,72 persen atau 4,71 juta hektar, sementara perkebunan
rakyat mengusahakan 39,54 persen atau
3,53 juta hektar dan hanya 7,70 persen atau 0,69 juta hektar yang diusahakan oleh perkebunan besar negara.
Selama periode tahun 2006 – 2012
areal perkebunan kelapa sawit Indonesia tersebar
di 22 provinsi yakni seluruh provinsi di Pulau Sumatera dan Kalimantan, Universitas Sumatera Utara Jawa Barat, Banten,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Papua dan Papua Barat. Dari ke
22 provinsi tersebut, Provinsi Riau
merupakan provinsi dengan areal perkebunan kelapa sawit yang terluas di Indonesia yakni 1,78 juta hektar pada tahun
2010 atau 20,82 persen dari total luas areal
perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan pada tahun 2011 luas kelapa sawit di Provinsi Riau ialah sebesar 1,79 juta
hektar (Badan Pusat Statistik, 2011).
Potensi areal perkebunan
Indonesia masih terbuka luas untuk tanaman kelapa sawit. Pengembangan perkebunan tidak hanya
diarahkan pada sentra-sentra produksi
seperti Sumatera dan Kalimantan, tetapi daerah potensi pengembangan seperti Sulawesi, Jawa, Papua terus dilakukan.
Perkembangan luas areal perkebunan
kelapa sawit Indonesia pada empat dekade terakhir ini meningkat cukup pesat, yaitu dari 133,30 ribu ha pada
tahun 1970 menjadi 7,51 juta ha tahun 2009
atau meningkat rata-rata 11,12% per tahun.
Jika dilihat dari status pengusahaannya
maka rata-rata pertumbuhan per tahun pasca krisis ekonomi di Indonesia (antara tahun 1998 - 2009) yaitu Pekebunan Rakyat sebesar 11,83%, Perkebunan Besar Negara 1,89%, dan Perkebunan
Besar Swasta sebesar 8,34% (Pusdatin
Pertanian, 2010).
Luas perkebunan rakyat yang terus
meningkat menunjukkan minat rakyat yang terus
meningkat untuk usaha ini. Namun, peningkatan ini tidak serta merta didukung dengan kestabilan harga. Atas dasar
inilah diperlukan perangkat ukuran berupa
kriteria investasi untuk memberikan verifikasi terkait dengan kelayakan finansial
usaha perkebunan kelapa sawit khjual skripsisnya perkebunan kelapa sawit
rakyat. Untuk mencapai maksud tersebut
akan dilakukan: (1) Penyjual skripsinan cash inflow dan outflow dalam usaha
perkebunan kelapa sawit dalam jangka waktu Universitas Sumatera Utara tertentu;
dan (2) Perhitungan besaran-besaran
terkait dengan kriteria investasi finansial
untuk menunjukkan nilai kelayakan usaha.
Seperti halnya berbagai macam
jenis usaha, para pelaku usaha perkebunan kelapa sawit rakyat tentulah menginginkan agar usaha
mereka dapat menguntungkan.
Kiranya dengan dengan
dilakukannya analisis finansial untuk tanaman kelapa sawit rakyat, para petani rakyat dapat melihat
layak atau tidak usahatani yang sedang
dikelolanya serta dapat memberikan pencerahan bagi para pelaku agribisnis perkebunan kelapa sawit rakyat
untuk dapat membuat
perhitunganperhitungan dalam mengelola usahanya
sehingga hasil yang diperoleh bisa optimal dan tentunya bisa memberikan
keuntungan.
1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang didapat antara lain: 1)
Berapa besar biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani kelapa sawit
rakyat di daerah penelitian? 2)
Berapa besar pendapatan petani
kelapa sawit rakyat per tahun di daerah penelitian? 3)
Bagaimana tingkat kelayakan finansial kelapa sawit rakyat di daerah penelitian? Universitas Sumatera Utara 1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan identifikasi masalah, maka tujuan penelitian
adalah sebagai berikut : 1) Untuk
mengidentifikasi besar biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani kelapa sawit rakyat di daerah penelitian.
Skripsi agribusiness:Analisis Usahatani Dan Prospek Pengembangan Kopra
Download lengkap Versi PDF >>>>>>>KLIK DISINI
Bab I
|
Download
| |
Bab II
|
Download
| |
Bab III - V
|
Download
| |
Daftar Pustaka
|
Download
| |
Lampiran
|
Download
|
