BAB I PENDAHULUAN
A. LatarBelakang Masalah Sejak 1 Januari 2001,
Republik Indonesia menerapkan otonomi daerah yang didasarkan pada UU No. 22 tahun 1999 yang
direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang “ Pemerintah Daerah” dan UU
No. 25 tahun 1999 yang direvisi menjadi
UU No. 33 tahun 2004 tentang “Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah”. UU No. 32 tahun 2004 pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih
mengutamakan pelaksanaan asas
desentralisasi dimana kota dan kabupaten bertindak sebagai “motor” sedangkan pemerintah propinsi sebagai ”koordinator”. Kebijakan penerapan otonomi daerah merupakan jawaban atas
permasalahan lokal bangsa Indonesia berupa
kemiskinan, ketidakmerataan pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat, dan masalah pembangunan sumber
daya manusia. Otonomi daerah merupakan
langkah strategis bangsa Indonesia untuk menyongsong era globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perekonomian
daerah.
Sejak diberlakukannya otonomi
daerah, telah terjadi pelimpahan kewenangan
yang luas kepada pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan
fungsi pemerintah daerah. Dengan otonomi,
daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih
adanya bantuan dari pemerintah pusat
dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat.
Dalam era otonomi daerah sekarang
ini, daerah diberikan kewenangan yang
lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Tujuannya antara lain adalah
untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk
memantau dan mengontrol penggunaan dana
yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),
menciptakan persaingan yang sehat
antar daerah dan mendorong timbulnya
inovasi. Sejalan dengan kewenangan tersebut, Pemerintah Daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber
keuangan khsnya untuk memenuhi kebutuhan
pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui pendapatan asli daerah. Otonomi
menuntut kemandirian daerah dalam berbagai
bidang , termasuk kemandirian dalam
membiayai pelaksanaan pembangunan
di daerahnya. Oleh karena itu daerah dituntut untuk meningkatkan pendapatan asli daerah sendiri untuk
mengurangi tingkat ketergantungan terhadap pusat.
Tuntutan peningkatan
pendapatan asli daerah semakin besar
seiring dengan semakin banyaknya
kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada daerah disertai pengalihan personil,
peralatan, pembiayaan dan dokumentasi (P3D)
ke daerah dalam jumlah besar. Sementara, sejauh ini dana perimbangan yang merupakan transfer keuangan oleh pusat
kepada daerah dalam rangka mendukung
pelaksanaan otonomi daerah, meskipun jumlahnya relatif memadai yakni sekurang-kurangnya sebesar 25 persen dari Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN, namun daerah harus lebih kreatif
dalam meningkatkan pendapatan asli
daerahnya untuk meningkatkan akuntabilitas dan keleluasaan dalam pembelanjaan anggaran pendapatan belanja
daerahnya.
Sumber-sumber penerimaan daerah
yang potensial harus digali secara maksimal,
namun tentu saja di dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan adanya kebijakan otonomi
daerah, bagi daerah-daerah yang memiliki
potensi sumber daya yang dapat diandalkan, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam, kebijakan ini
disambut baik, karena memberikan kesempatan
yang lebih cepat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Bagi daerah yang tidak memiliki potensi yang memadai,
kebijakan tersebut sangat memberatkan
karena akan kesulitan dalam membiayai belanja mereka. Kreativitas dan inisiatif suatu daerah dalam menggali sumber
keuangan akan sangat tergantung pada
kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah itu sendiri.
Mobilisasi sumber daya keuangan
untuk membiayai berbagai aktivitas daerah ini dapat meningkatkan kinerja pemerintah daerah
dalam menjalankan fungsinya.
Salah satu aspek dari pemerintah
daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan
anggaran daerah. Anggaran daerah
digunakan sebagai alat untuk menentukan besar pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan
dan perencanaan pembangunan, otorisasi
pengeluaran di masa-masa yang akan datang, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja.
Proses penynan dan pelaksanaan anggaran
hendaknya difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan aktivitas atau program yang menjadi prioritas
dan potensi daerah yang bersangkutan.
Kaho (1998:123) mengatakan bahwa
salah satu kriteria penting untuk mengetahui
secara nyata kemampuan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri adalah kemampuan
self-supporting di bidang keuangan.
Keuangan merupakan hal yang
penting dalam mengukur tingkat kemampuan daerah melaksanakan otonominya. Kemampuan
daerah dimaksud sampai dalam arti
seberapa jauh daerah dapat menggali sumber-sumber keuangan sendiri untuk membiayai
kebutuhannya tanpa harus selalu menggantungkan diri pada bantuan dan subsidi pemerintah.
Sebelum era otonomi harapan yang besar dari
pemerintah daerah untuk dapat membangun
daerah berdasarkan kemampuan dan kehendak daerah sendiri ternyata dari tahun ke tahun dirasakan semakin
jauh dari kenyataan (Mardiasmo, 2002).
Pada saat ini yang terjadi adalah ketergantungan fiskal dan subsidi serta bantuan pemerintah pusat sebagai wujud
ketidakberdayaan pendapatan asli daerah (PAD)
dalam membiayai belanja daerah. Pendapatan asli daerah dapat dipandang sebagai indikator untuk mengukur
ketergantungan suatu daerah kepada pemerintah
pusat yang pada prinsipnya adalah
semakin besar sumbangan pendapatan asli
daerah terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) akan menunjukkan semakin kecilnya
ketergantungan daerah kepada pemerintah
pusat. Pendapatan asli daerah yang merupakan sumber penerimaan dari daerah itu sendiri perlu terus
ditingkatkan agar dapat membantu dan memikul sebagian beban biaya untuk penyelengaraan
pemerintahan dan kegiatan pembangunan
yang semakin meningkat. Hal ini akan menunjukkan bahwa kemandirian dan otonomi daerah yang luas,
nyata dan bertanggungjawab dapat dilaksanakan.
Kebijakan desentralisasi ditujukan untuk mewujudkan kemandirian daerah. Pemerintah daerah otonom mempunyai
kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat (UU No. 32 tahun 2004).
Inti hakekat otonomi adalah adanya kewenangan
daerah, bukan pendelegasian ( Saragih, 2003) Berdasarkan data dari PAD dalam
APBD seluruh daerah kabupaten dan kota
di Sumatera Utara selama 5 tahun ( 1995/1996 – 1999/2000), peranan PAD masih relatif kecil terhadap APBD. Hal ini
dapat dilihat dari kontribusi rata-rata PAD
terhadap APBD hanya sebesar 10,55%. Download lengkap Versi PDF