BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai
makhluk sosial tidak
dapat hidup tanpa
melakukan hubungan dan bekerja sama dengan manusia lainnya. Mereka hidup
dalam bentuk kelompok-kelompok sebab tanpa berkelompok individu tidak dapat
hidup secara wajar. Individu sebagai
anggota kelompok sosial
harus mentaati norma-norma yang berlaku
di dalam masyarakat
kelompoknya untuk menciptakan
kehidupan yang aman, tertib,
dan sejahtera. (Hidayati. Kedudukan dan
Peran Individu Sebagai Pribadi
dan Anggota Masyarakat.
http://pjjpgsd.dikti.go.id/file.php/1/repository/dikti/Mata%20Kuliah%20Awal/Pen
gembangan%20Pendidikan%20IPS%20SD/BAC/Pengembangan_Pendidikan_IPS _SD_UNIT_8.pdf>[15
September 2013 pukul 18.00 WIB]).
Ketika sebuah norma yang telah
ada dalam masyarakat dilanggar atau tidak dipatuhi maka ada sanksi megikat yang
akan diberikan atas segala penyimpangan terhadap nilai
norma yang telah
dilanggar. Sanksi yang
diberikan beragam tergantung pada
besarnya pelanggaran yang
dilakukan pihak yang
bersalah, namun sanksi tersebut bersifat tegas. Segala yang telah
menjadi ketentuan sanksi dijalankan
oleh pihak terkait
di bawah kekuasaan
pihak yang berwenang menjalankan sanksi. Pedoman perilaku
berupa rumusan tentang perintah/kewajiban dan
larangan larangan yang
disertai sanksi. Suatu
perintah menunjukkan jalan yang
telah ditetapkan, yakni
perilaku yang dianggap dapat membawa
manfaat atau tidak
membahayakan kehidupan bersama.
Rumusan tentang larangan, berarti menolak dan menghindarkan diri dari
perilaku-perilaku yang dianggap mengganggu
ketenangan masyarakat dan
mencegah anggotaanggota masyarakat
untuk berbuat di
luar ketentuan norma-norma
sosial yang berlaku
(RetnoWahyuningsih. Fungsi Norma Sosial Dalam Mengatur Hubungan Antar Manusia
Pada Kelompok Atau
Masyarakat.
http://sekitaraku94.blogspot.com/2013/06/fungsi-norma-sosial-dalammengatur.html>[15
September 2013 pukul 18.20 WIB]).
Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan
bagian dari masyarakat umum yang
dipersiapkan secara khs
untuk melaksanakan tugas
pembelaan negara.
Guna melaksanakan tugas dan
kewajibannya, TNI dilatih untuk selalu mematuhi perintah-perintah atasan
tanpa membantah dan
dapat melaksanakannya dengan tepat, berdaya guna, dan berhasil
guna. Dalam kewenangannya, TNI dibatasi oleh undang-undang dan
peraturan militer. Peraturan-peraturan yang
dibuat oleh lembaga yang
berwenang ini memiliki
maksud dan tujuan
tertentu yang pada hakikatnya mengatur guna menciptakan
ketertiban, keteraturan, dan disiplin serta adanya sanksi bagi para
pelanggarnya. Setiap bentuk pelanggaran memiliki sanksi yang berbeda tergantung
dari tingkat pelanggaran yang dilakukan.
Setiap anggota
TNI harus tunduk
dan mematuhi ketentuan
peraturanperaturan yang berlaku
bagi militer yaitu
Kitab Undang-Undang Pidana
Militer (KUHPM), Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM),
Peraturan Disiplin Militer (PDM), dan peraturan-peraturan lainnya. Peraturan hukum
militer inilah yang berlaku
dan harus diterapkan
kepada anggota TNI
baik Bintara, Tamtama, maupun
Perwira yang melakukan suatu tindakan
yang merugikan kesatuan TNI,
masyarakat umum dan
negara yang tidak
lepas dari peraturan lainnya yang berlaku juga bagi
masyarakat umum. Pasal 1 KUHPM menyebutkan bahwa pada
waktu memakai undang-undang
ini, berlaku aturan-aturan
Hukum Pidana Umum, termasuk disitu Bab kesembilan dari Buku Pertama
Kitab UndangUndang Hukum Pidana
tentang arti beberapa
sebutan yang dipakai
dalam kitab undang-undang (Pasal
86-102 KUHP), kecuali
aturan-aturan yang menyimpang yang ditetapkan dalam
undang-undang.
Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Militer
(KUHPM) pada awal pembentukannya dalam
Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1947 jo. Staatsblad 1934 Nomor
167 bernama Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
Tentara (KUHPT). Staatsblad 1934 Nomor 167 bernama Wetboek van Militair
Strafrecht, sesuai dengan perkembangan zaman, banyak ahli hukum sekarang dalam
tulisantulisannya menggunakan kata
militer berdasarkan terjemahan
dari kata militair daripada menggunakan
kata tentara. Penggunaan
kata militer sebagai
pengganti kata tentara
dapat terlihat juga
pada Undang-Undang Nomor
31 Tahun tentang
Peradilan Militer. Undang-undang ini menggunakan kata peradilan militer bukan peradilan
tentara seperti pada
Undang-Undang Nomor 7
Tahun tentang
Pengadilan Tentara. Ketentuan
Pasal 2 Undang-Undang
No. 5 Tahun 1950 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam
Peradilan Ketentaraan dilakukan oleh Pengadilan Tentara, Pengadilan Tentara
Tinggi, Mahkamah Tentara Agung dan telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, pengadilan di lingkungan peradilan
militer terdiri dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan
Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran.
Dengan diterapkannya
asas unity of command di
bidang hukum, maka kemungkinan terjadinya bentrokan adalah
sangat kecil sekali. Hal ini terlihat bilamana terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seorang anggota militer
dan suatu kesatuan, maka disamping mengganggu kepentingan TNI itu sendiri,
juga akan mengganggu
kepentingan masyarakat umum. Sebab kepentingan TNI
itu pada hakikatnya
juga adalah kepentingan
masyarakat umum (Moch. Faisal Salam, 2002: 21).
Anggota militer yang melakukan
tindak pidana berlaku ketentuan-ketentuan Hukum
Pidana Umum, namun
bagi militer terdapat
ketentuan-ketentuan yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam KUHP yang khs diberlakukan bagi
militer. Ketentuan-ketentuan yang
khs itu diatur
di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Militer
(KUHPM) yang hal
tersebut merupakan
penambahan dari aturan-aturan
yang telah diatur
di dalam KUHP.
Adapun alasan
diadakannya
peraturan-peraturan tambahan dari
KUHP itu disebabkan (Moch. Faisal
Salam, 2006: 40-41) : 1. Adanya beberapa perbuatan yang hanya dapat dilakukan
oleh militer saja bersifat asli militer
dan tidak berlaku bagi
umum, contohnya desersi, menolak perintah dinas,
insubardinasi, dan sebagainya.
2. Beberapa perbuatan
yang bersifat berat
sedemikian rupa, apabila dilakukan oleh
anggota militer di
dalam keadaan tertentu,
ancaman hukuman dari hukum pidana umum dirasa terlalu ringan.
3. Apabila peraturan-peraturan khs
yang diatur di
dalam KUHPM dimasukkan ke dalam
KUHP akan membuat KUHP sukar dipergunakan, karena terhadap ketentuan-ketentuan
itu hanya tunduk sebagian kecil dari anggota masyarakat, juga peradilan yang berhak melaksanakannya juga tersendiri
yakni peradilan militer.
Tindak
pidana terhadap peraturan
militer yang sering
terjadi dalam lingkungan militer
adalah tindak pidana
desersi. Tindak pidana
desersi ini diatur dalam
Pasal 87 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
Militer yang menyebutkan: (1) Diancam karena desersi, militer: Ke-1, Yang
pergi dengan maksud
untuk menarik diri
untuk selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang,
menyeberang ke mh, atau memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan
lain tanpa dibenarkan untuk itu.
Skripsi Hukum:Tinjauan Tentang Pertanggungjawaban Pidana Desersi Oleh Anggota Tni Dalam Lingkungan Peradilan Militer
Download lengkap Versi PDF >>>>>>>KLIK DISINI
Bab I
|
Download
| |
Bab II
|
Download
| |
Bab III - V
|
Download
| |
Daftar Pustaka
|
Download
| |
Lampiran
|
Download
|