BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah “Fiat justitia
et pereat mundus”
, sebuah adagium
yang bermakna meskipun
dunia ini runtuh
hukum haruslah ditegakkan,
negara kita tercinta Indonesia diidealkan dan dicita-citakan
sebagai negara hukum oleh the founding fathers,
hukum sebagai urat
nadi seluruh aspek
kehidupan berbangsa. Hukum mempunyai posisi
yang strategis dan
dominan dalam kehidupan
masyarakat bernegara. Pada
intinya negara hukum adalah negara dimana tindakan pemerintah maupun
rakyatnya didasarkan atas
hukum guna mencegah
terjadinya tindakan sewenang-wenang dari
pemerintah sebagai penguasa
dan tindakan rakyat
yang dilakukan menurut kehendak
sendiri.
Dalam
suatu negara hukum,
pemerintah harus menjamin
adanya penegakan hukum guna
tercapainya tujuan hukum itu sendiri. Dalam penegakan hukum
ada tiga unsur
yang harus selalu
mendapat perhatian, yaitu:
keadilan, kemanfaatan atau
hasil guna (doelmatigheid), dan
kepastian hukum (Sudikno Mertokusumo
dan A. Pitlo,
1993: 1). Hukum
bertugas menciptakan kepastian hukum dan kepastian hukum akan memungkinkan
tercapainya tujuan hukum yang lain yaitu
ketertiban masyarakat. Penegakan
hukum pada satu
sisi harus ada kepastian hukum yang juga
diusahakan harus memberi
manfaat dalam masyarakat, selain tentu saja menciptakan
keadilan. Tentara
Nasional Indonesia yang
lebih kita kenal
sebagai TNI adalah bagian dari bangsa Indonesia yang bertanggung
jawab dalam menjaga pertahanan keamanan negara
Indonesia. TNI harus
mempunyai sikap dan
perilaku disiplin sebagaimana
yang tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 tahun
1997 tentang Hukum
Disiplin Prajurit Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia yang berbunyi: “Untuk
menegakkan tata kehidupan
Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia, setiap prajurit dalam
menunaikan tugas dan kewajibannya wajib bersikap dan berperilaku disiplin”. TNI dalam melaksanakan tanggung jawabnya tersebut tentu saja terdapat kemungkinan penyimpangan
yang dilakukan oleh
anggota TNI tersebut. Bentuk penyimpangan
itu antara lain
pelanggaran Hak Asasi
Manusia, pelanggaran hukum
disiplin dan tindak
pidana militer. Seringkali
anggota TNI melakukan penyimpangan
dalam bentuk tindak
pidana militer. Setiap
tindak pidana yang dilakukan oleh
anggota TNI pada
umumnya diselesaikan di
Peradilan Militer kecuali
ditentukan lain oleh
perwira penyerah perkara
yang berpendapat bahwa tindak
pidana tersebut diselesaikan melalui hukum disiplin.
Tindak pidana
militer adalah tindak
pidana yang dilakukan
oleh subjek hukumnya yaitu militer. Tindak pidana semacam
ini disebut tindak pidana militer murni (zuiver
militaire delict). Tindak pidana
militer murni adalah
suatu tindak pidana yang hanya dilakukan oleh seorang militer, karena
sifatnya khusus untuk militer. Tindak
pidana yang dilakukan oleh anggota TNI murni militer didasarkan kepada
peraturan terkait dengan
militer. Anggota TNI
yang melakukan tindak pidana
murni militer sebagaimana
disebutkan dalam hukum
pidana militer termasuk kejahatan yakni: kejahatan terhadap
keamanan negara, kejahatan dalam pelaksanaan
kewajiban perang, kejahatan
menarik diri dari
kesatuan dalam pelaksanaan kewajiban dinas (desersi),
kejahatan-kejahatan pengabdian, kejahatan pencurian,
penipuan, dan penadahan,
kejahatan merusak, membinasakan
atau menghilangkan barang-barang
keperluan angkatan perang.
Salah satu
jenis tindak pidana
yang menjadi fokus
pembahasan dalam penelitian
ini adalah tindak
pidana desersi yang
diatur dalam Pasal
87 KUHPM. Tindak pidana
desersi ini merupakan
contoh tindak pidana
murni dilakukan oleh militer.
Desersi adalah tidak beradanya seorang militer tanpa izin atasannya
langsung, pada suatu
tempat dan waktu
yang sudah ditentukan oleh dinas,
dengan lari dari kesatuan dan meninggalkan dinas kemiliteran, atau keluar dengan dengan cara pergi, melarikan diri tanpa
ijin.
Perbuatan tersebut adalah suatu
perbuatan yang tidak boleh terjadi dalam kehidupan
militer. Istilah desersi
terdapat dalam KUHPM
pada Bab III
tentang ”Kejahatan-Kejahatan Yang
Merupakan Suatu Cara
Bagi Seorang Militer Menarik
Diri dari Pelaksanaan
Kewajiban-Kewajiban Dinas”. Tindak
pidana desersi merupakan suatu
tindak pidana yang secara khusus dilakukan oleh seorang militer karena
bersifat melawan hukum dan bertentangan dengan undang-undang khususnya hukum pidana militer. Ciri utama
tindak pidana desersi
ditunjukkan dengan perbuatan ketidakhadiran tanpa
izin seorang militer
pada suatu tempat
yang ditentukan baginya, dimana
ia seharusnya berada
untuk melaksanakan kewajiban
dinas.
Diluar organisasi
militer, perbuatan ketidakhadiran ini
tidak ditentukan sebagai suatu kejahatan, tetapi dalam
kehidupan militer ditentukan sebagai kejahatan
dan kepada pelakunya apat
dijatuhi pidana penjara bahkan sampai
pemidanaan yang paling
berat yakni penjatuhan
pidana pemecatan dari
dinas militer. Pemberian sanksi
tersebut, sesuai dengan
hakikat dan akibat
dari tindak pidana
desersi, dimana kesatuan
yang bersangkutan tidak
dapat mendayagunakan tenaga
dan pikiran personel tersebut
untuk melaksanakan tugas pokok.
Pelaksanaan persidangan tindak
pidana desersi sering menemui hambatan dikarenakan
pelakunya tidak kembali
atau tidak berhasil
ditangkap sehingga Terdakwa
tidak bisa dihadirkan
di persidangan. Akibatnya
terjadi tunggakan penyelesaian
perkara, dan bagi
kesatuan dapat berpengaruh
terhadap pembinaan satuan dan pencapaian tugas pokok satuan. Seperti yang
terjadi pada kasus
ini bahwa Lettu
Harriko Fesfusi dinyatakan bersalah oleh majelis hakim
Pengadilan Militer II-09 Bandung dalam putusannya
dengan nomor putusan 148-K/PM.II-09/AU/VII/2012
setelah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah
karena melakukan tindak
pidana desersi dalam masa damai serta melakukan beberapa kesalahan sebagai seorang
anggota militer berdasar
keterangan para saksi
dibawah sumpah dan
alat bukti yang terangkum dalam
beberapa fakta hukum
yang diperoleh majelis
didalam persidangan. Maka,
atas kesulitan kesulitan
dalam praktek untuk
menghadirkan para pelaku
tindak pidana desersi
ke muka sidang,
telah disadari oleh
pembuat Undang-undang di
negara kita, karenanya
pembuat Undang-undang telah merumuskan secara
limitatif dalam sebuah
pasal untuk menyidangkan
perkara desersi secara in
absensia. Ketentuan ini dalam
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997,
dirumuskan dalam beberapa pasal, yakni:
a. Pasal 124 ayat (4)
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997. vgKetentuan tersebut menegaskan bahwa: “Dalam hal berkas perkara desersi yang Tersangkanya tidak diketemukan, berita
acara pemeriksaan Tersangka
tidak merupakan persyaratan lengkapnya suatu berkas perkara” Substansi
dari rumusan pasal 124 ayat (4) tersebut: 1)
Bahwa pemeriksaan Tersangka bukan merupakan syarat formal.
2) Pemberkasan
perkara desersi yang
dilaporkan oleh Satuan
kepada Penyidik dapat dilakukan meskipun Tersangka tidak ada.
Dengan demikian
dari substansi tersebut,
dapat disimpulkan bahwa penyidikan terhadap
tindak pidana desersi
ini dilakukan tanpa
hadirnya Tersangka,
karenanya dinamakan penyidikan
perkara desersi in
absensia.
Kemudian maka dari itu, terhadap
berkas hasil penyidikan ini akan disidangkan secara in absensia.
b. Pasal 141 ayat (10)
Undang-undang No. 31 tahun 1997.
Ketentuan tersebut menegaskan
bahwa: “Dalam perkara desersi
yang Terdakwanya tidak
diketemukan pemeriksaan dilaksanakan tanpa hadirnya
Terdakwa” Apabila kita mencermati rumusan pasal tersebut, dapat dipahami bahwa rumusannya bersifat imperatif, artinya
perintah yang tidak bisa dimaknai lain agar
pengadilan menyidangkan perkara
desersi secara in
absensia. Dari rumusan
pasal 141 tersebut
ada dua hal
pokok yang substansial
yakni Terdakwanya tidak
diketemukan, dan persidangan
dilaksanakan secara in absensia.
Skripsi Hukum:Tinjauan pertimbangan hukum hakim pengadilan militer II-09 Bandung melakukan pemeriksaan secara inabsensia terhadap terdakwa dan legalitas putusan yang dijatuhkan dalam perkara desersi dalam masa damai
Download lengkap Versi PDF >>>>>>>KLIK DISINI
Bab I
|
Download
| |
Bab II
|
Download
| |
Bab III - V
|
Download
| |
Daftar Pustaka
|
Download
| |
Lampiran
|
Download
|