Skripsi Hukum:Tinjauan pertimbangan hukum hakim pengadilan militer II-09 Bandung melakukan pemeriksaan secara inabsensia terhadap terdakwa dan legalitas putusan yang dijatuhkan dalam perkara desersi dalam masa damai


    BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah “Fiat  justitia  et  pereat  mundus”  ,  sebuah  adagium  yang  bermakna  meskipun  dunia  ini  runtuh  hukum  haruslah  ditegakkan,  negara  kita  tercinta  Indonesia diidealkan dan dicita-citakan sebagai negara hukum oleh  the  founding  fathers,  hukum  sebagai  urat  nadi  seluruh  aspek  kehidupan  berbangsa.  Hukum  mempunyai  posisi  yang  strategis  dan  dominan  dalam  kehidupan  masyarakat bernegara.  Pada intinya negara hukum adalah negara dimana tindakan pemerintah  maupun  rakyatnya  didasarkan  atas  hukum  guna  mencegah  terjadinya  tindakan  sewenang-wenang  dari  pemerintah  sebagai  penguasa  dan  tindakan  rakyat  yang  dilakukan menurut kehendak sendiri.    
    Dalam  suatu  negara  hukum,  pemerintah  harus  menjamin  adanya  penegakan hukum  guna  tercapainya  tujuan hukum  itu sendiri. Dalam penegakan  hukum  ada  tiga  unsur  yang  harus  selalu  mendapat  perhatian,  yaitu:  keadilan,  kemanfaatan  atau  hasil  guna  (doelmatigheid),  dan  kepastian  hukum  (Sudikno  Mertokusumo  dan  A.  Pitlo,  1993:  1).  Hukum  bertugas  menciptakan  kepastian  hukum dan kepastian hukum akan memungkinkan tercapainya tujuan hukum yang  lain  yaitu  ketertiban  masyarakat.  Penegakan  hukum  pada  satu  sisi  harus  ada  kepastian  hukum  yang  juga  diusahakan  harus  memberi  manfaat  dalam  masyarakat, selain tentu saja menciptakan keadilan.      Tentara  Nasional  Indonesia  yang  lebih  kita  kenal  sebagai  TNI  adalah  bagian dari bangsa Indonesia yang bertanggung jawab dalam menjaga pertahanan  keamanan  negara  Indonesia.  TNI  harus  mempunyai  sikap  dan  perilaku  disiplin  sebagaimana  yang tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26  tahun  1997  tentang  Hukum  Disiplin  Prajurit  Angkatan  Bersenjata  Republik  Indonesia yang berbunyi:          “Untuk  menegakkan  tata  kehidupan  Angkatan  Bersenjata  Republik   Indonesia, setiap prajurit dalam menunaikan tugas dan kewajibannya wajib bersikap     dan berperilaku disiplin”.            TNI dalam melaksanakan tanggung  jawabnya tersebut tentu saja  terdapat kemungkinan  penyimpangan  yang  dilakukan  oleh  anggota  TNI tersebut.  Bentuk  penyimpangan  itu  antara  lain  pelanggaran  Hak  Asasi  Manusia,  pelanggaran  hukum  disiplin  dan  tindak  pidana  militer.  Seringkali  anggota  TNI  melakukan  penyimpangan  dalam  bentuk  tindak  pidana  militer.  Setiap  tindak  pidana  yang  dilakukan  oleh  anggota  TNI  pada  umumnya  diselesaikan  di  Peradilan  Militer  kecuali  ditentukan  lain  oleh  perwira  penyerah  perkara  yang  berpendapat  bahwa  tindak pidana tersebut diselesaikan melalui hukum disiplin.
Tindak  pidana  militer  adalah  tindak  pidana  yang  dilakukan  oleh  subjek  hukumnya yaitu militer. Tindak pidana semacam ini disebut tindak pidana militer  murni  (zuiver  militaire  delict). Tindak  pidana  militer  murni  adalah  suatu  tindak  pidana yang hanya  dilakukan oleh seorang militer, karena sifatnya khusus untuk  militer. Tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI murni militer didasarkan  kepada  peraturan  terkait  dengan  militer.  Anggota  TNI  yang  melakukan  tindak  pidana  murni  militer  sebagaimana  disebutkan  dalam  hukum  pidana  militer  termasuk kejahatan yakni: kejahatan terhadap keamanan negara,  kejahatan dalam  pelaksanaan  kewajiban  perang,  kejahatan  menarik  diri  dari  kesatuan  dalam  pelaksanaan kewajiban dinas (desersi), kejahatan-kejahatan pengabdian, kejahatan  pencurian,  penipuan,  dan  penadahan,  kejahatan  merusak,  membinasakan  atau  menghilangkan barang-barang keperluan angkatan perang.
Salah  satu  jenis  tindak  pidana  yang  menjadi  fokus  pembahasan  dalam  penelitian  ini  adalah  tindak  pidana  desersi  yang  diatur  dalam  Pasal  87  KUHPM. Tindak  pidana  desersi  ini  merupakan  contoh  tindak  pidana  murni  dilakukan oleh militer. Desersi adalah tidak beradanya seorang militer tanpa izin  atasannya  langsung,  pada  suatu  tempat  dan  waktu  yang  sudah  ditentukan  oleh  dinas, dengan lari dari kesatuan dan meninggalkan dinas kemiliteran, atau keluar  dengan dengan cara pergi, melarikan diri tanpa ijin.
Perbuatan tersebut adalah suatu perbuatan yang tidak boleh terjadi dalam  kehidupan  militer.  Istilah  desersi  terdapat  dalam  KUHPM  pada  Bab  III  tentang  ”Kejahatan-Kejahatan  Yang  Merupakan  Suatu  Cara  Bagi  Seorang  Militer     Menarik  Diri  dari  Pelaksanaan  Kewajiban-Kewajiban  Dinas”.  Tindak  pidana  desersi merupakan suatu tindak pidana yang secara khusus dilakukan oleh seorang  militer karena  bersifat melawan hukum dan bertentangan dengan undang-undang  khususnya hukum pidana militer.        Ciri  utama  tindak  pidana  desersi  ditunjukkan  dengan  perbuatan ketidakhadiran  tanpa  izin  seorang  militer  pada  suatu  tempat  yang  ditentukan baginya,  dimana  ia  seharusnya  berada  untuk  melaksanakan  kewajiban  dinas.
Diluar  organisasi  militer,  perbuatan  ketidakhadiran  ini  tidak  ditentukan  sebagai suatu kejahatan, tetapi dalam kehidupan militer ditentukan sebagai kejahatan  dan  kepada pelakunya apat dijatuhi pidana  penjara bahkan sampai pemidanaan  yang  paling  berat  yakni  penjatuhan  pidana  pemecatan  dari  dinas  militer.  Pemberian  sanksi  tersebut,  sesuai  dengan  hakikat  dan  akibat  dari  tindak  pidana  desersi,  dimana  kesatuan  yang  bersangkutan  tidak  dapat  mendayagunakan  tenaga  dan  pikiran personel tersebut untuk melaksanakan tugas pokok.
Pelaksanaan persidangan tindak pidana desersi sering menemui  hambatan  dikarenakan  pelakunya  tidak  kembali  atau  tidak  berhasil  ditangkap  sehingga  Terdakwa  tidak  bisa  dihadirkan  di  persidangan.  Akibatnya  terjadi  tunggakan  penyelesaian  perkara,  dan  bagi  kesatuan  dapat  berpengaruh  terhadap  pembinaan  satuan dan pencapaian tugas pokok satuan.      Seperti  yang  terjadi  pada  kasus  ini  bahwa  Lettu  Harriko  Fesfusi  dinyatakan bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Militer II-09 Bandung dalam  putusannya dengan nomor putusan 148-K/PM.II-09/AU/VII/2012  setelah terbukti  secara  sah  dan  meyakinkan  bersalah  karena  melakukan  tindak  pidana  desersi  dalam masa damai serta  melakukan beberapa kesalahan sebagai seorang anggota  militer  berdasar  keterangan  para  saksi  dibawah  sumpah  dan  alat  bukti  yang  terangkum  dalam  beberapa  fakta  hukum  yang  diperoleh  majelis  didalam persidangan.              Maka,  atas  kesulitan  kesulitan  dalam  praktek  untuk  menghadirkan  para  pelaku  tindak  pidana  desersi  ke  muka  sidang,  telah  disadari  oleh  pembuat  Undang-undang  di  negara  kita,  karenanya  pembuat  Undang-undang  telah  merumuskan  secara  limitatif  dalam  sebuah  pasal  untuk  menyidangkan  perkara     desersi secara in absensia.  Ketentuan ini dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun  1997, dirumuskan dalam beberapa pasal, yakni:        a. Pasal 124 ayat (4) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997.      vgKetentuan tersebut menegaskan bahwa:  “Dalam hal berkas perkara  desersi yang Tersangkanya tidak diketemukan,  berita  acara  pemeriksaan  Tersangka  tidak  merupakan  persyaratan  lengkapnya suatu berkas perkara” Substansi dari rumusan pasal 124 ayat (4) tersebut: 1)  Bahwa pemeriksaan Tersangka bukan merupakan syarat formal.
2)  Pemberkasan  perkara  desersi  yang  dilaporkan  oleh  Satuan  kepada Penyidik dapat dilakukan meskipun Tersangka tidak ada.
Dengan  demikian  dari  substansi  tersebut,  dapat  disimpulkan  bahwa penyidikan  terhadap  tindak  pidana  desersi  ini  dilakukan  tanpa  hadirnya Tersangka,  karenanya  dinamakan  penyidikan  perkara  desersi  in  absensia.
Kemudian maka dari itu, terhadap berkas hasil penyidikan ini akan disidangkan  secara in absensia.
b. Pasal 141 ayat (10) Undang-undang No. 31 tahun 1997.
Ketentuan tersebut menegaskan bahwa: “Dalam  perkara  desersi  yang  Terdakwanya  tidak  diketemukan   pemeriksaan dilaksanakan tanpa hadirnya Terdakwa” Apabila kita mencermati rumusan pasal tersebut, dapat dipahami bahwa  rumusannya bersifat imperatif, artinya perintah  yang tidak bisa dimaknai lain  agar  pengadilan  menyidangkan  perkara  desersi  secara  in  absensia.  Dari  rumusan  pasal  141  tersebut  ada  dua  hal  pokok  yang  substansial  yakni  Terdakwanya  tidak  diketemukan,  dan  persidangan  dilaksanakan  secara  in absensia.


Skripsi Hukum:Tinjauan pertimbangan hukum hakim pengadilan militer II-09 Bandung melakukan pemeriksaan secara inabsensia terhadap terdakwa dan legalitas putusan yang dijatuhkan dalam perkara desersi dalam masa damai 
Download lengkap Versi PDF >>>>>>>KLIK DISINI

Bab I
Download 
 Bab II
 Download 
 Bab III - V
 Download 
Daftar Pustaka
 Download 
Lampiran
Download