BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Persaingan dunia usaha menjadi semakin ketat dalam era globalisasi dan pasar bebas sekarang ini. Perusahaan dituntut
untuk meningkatkan kinerja mereka secara efektif.
Mereka harus menyesuaikan
diri dengan tuntutan
pasar yang memerlukan respon cepat dan fleksigbel dalam
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Perusahaan harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan
produk dan jasa
yang terkait dengan
kompetensi utamanya sehingga akan
dihasilkan sejumlah produk
dan jasa yang
memiliki kualitas daya
saing di pasaran.
Akibat perusahaan terlalu fokus
pada upaya untuk menghasilkan sejumlah produk dan
jasa yang berkualitas,
seringkali pihak perusahaan
tidak terlalu mementingkan
mengenai bentuk rekruitmen
pekerjanya. Padahal, sistem rekruitmen
pekerja sangat berkaitan
dengan kelanjutan perlindungan
terhadap pekerja. Hal
ini dimaksudkan untuk
menjamin hak-hak dasar
pekerja dan menjamin
kesamaan, kesempatan serta
perlakuan tanpa diskriminasi
atas dasar apapun
untuk mewujudkan kesejahteraan
pekerja dan keluarganya
dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia
usaha.
Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan telah memberikan nuansa
baru dalam khasanah
hukum perburuhan atau ketenagakerjaan dan
dapat dikatakan sebagai
kompilasi dari ketentuan
hukum ketenagakerjaan Indonesia
(Lalu Husni, 2008
: 13). Undang-Undang Ketenagakerjaan inilah
yang kemudian mengakomodir
segala sesuatu hal
yang terkait dengan masalah
ketenagakerjaan.
Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan mengenal
adanya bentuk perjanjian
penyerahan pelaksanaan pekerjaan
pada perusahaan lain.
Kegiatan ini sering
disebut dengan outsourcing.
Berdasarkan ketentuan Pasal
64 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan menyatakan
bahwa suatu perusahaan
dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lain melalui
pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis.
Pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja
yang dibuat secara tertulis itulah
suatu perusahaan dapat
„membagi tugas‟ kepada perusahaan
lain, sehingga perusahaan
pengguna outsourcing merasa mendapatkan keuntungan dari „kerjasama‟ tersebut,
karena perusahaan tidak
perlu memikirkan ataupun mengurus
pekerjaan-pekerjaan
penunjang sehingga bisa
fokus dalam bisnis operasional perusahaan (Fajar Noverdi, 2012 diakses pada Hari Rabu, 20 Februari 2013 jam
9.39 WIB http//fajarnoverdi.blogspot.com//2012/03/definisioutsourcing.html). Strategi
inilah yang memungkinkan
perusahaan untuk mencapai efisiensi karena sumber daya
perusahaan lebih banyak diarahkan pada pekerjaan-pekerjaan
yang merupakan bisnis inti perusahaan.
Kebijakan untuk menggunakan tenaga
kerja outsourcing semakin bertambah
saat terjadinya krisis
ekonomi global yang
melanda dunia termasuk Indonesia.
Banyak perusahaan yang
mengalami penurunan tingkat
penjualan, sedangkan di
lain pihak biaya
yang harus dikeluarkan
oleh perusahaan untuk memberikan upah
kepada pekerja semakin
mahal. Pada akhirnya
perusahaan memilih untuk
mulai melakukan outsourcing
terhadap fungsi-fungsi perusahaan hampir di semua bagian, namun yang tidak
berhubungan langsung dengan bisnis inti
(Lalu Husni, 2008: 176-177).
Sistem outsourcing
menjadi pilihan perusahaan
karena adanya
motivasimotivasi yang melatarbelakangi. Ozgur
Dogerliouglu dalam tulisannya menyatakan
bahwa sistem outsourcing
dapat meningkatkan suatu
kemampuan bisnis .
While outsourcing
supports an organization
for gaining competitive advantage
it influences organization‟s capabilities
such as technology improvement,
adaptation to new
technology, better management processes,
increasing innovation as
well as business
capabilities.
Flexibility is one of the
business capabilities which can be improved by using
outsourcing.(Sementara
outsourcing mendukung organisasi
untuk memperoleh keunggulan
kompetitif yang mempengaruhi
kemampuan organisasi seperti
peningkatannteknologi,
adaptasi terhadap teknologi baru,
proses management yang
lebih baik, meningkatkan
inovasi serta kemampuan bisnis. Fleksibilitas adalah
salah satu dari kemampuan bisnis yang dapat
ditingkatkan dengan menggunakan
outsourcing). (Ozgur Dogerliouglu, 2012:23) Namun tak
selamanya, outsourcing berjalan
lancar, karena outsourcing
juga memiliki berbagai
resiko. Tibor Kremic
dalam tulisannya menyebutkan adanya
risiko potensial dari
dijalankannya sistem outsourcing (Tibor Kremic,2006 : 470) The outsourcing
literature referenced in
the table warns
of the following potential
risks: unrealized savings
with a potential
for increased costs,
employee moral problems,
over dependence on a supplier,
lost corporate knowledge
and future opportunities, and dissatisfied customers.
It is also
noted that outsourcing
may fail because of
inadequate requirements
definition, a poor
contract, lack of guidance
in planning or
managing an outsourcing
initiative, or because of poor supplier relations.
Sektor perbankan adalah usaha
berisiko tinggi yang mengharuskan sektor ini untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko. Sektor ini juga sangat diatur
(higly regulated), dan
sampai batas tertentu
terus merespon perubahan regulasi sektor keuangan di tingkat
global. Akibatnya setiap peraturan ketenagakerjaan yang
terkait dengan sektor
ini juga perlu
responsif untuk menyesuaikan dengan perubahan situasi.
Menanggapi meningkatnya
praktik outsourcing pekerja
di sektor perbankan
yang diatur oleh
Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Bank
Indonesia baru-baru ini
mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor
13/25/PBI/2011 dan Surat
Edaran Bank Indonesia
Nomor 14/20/ DPNP/2012
tentang Prinsip Kehati-hatian
bagi Bank Umum
yang Melakukan Penyerahan
Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan
kepada Pihak Lain.
Peraturan ini
memberikan peraturan yang
lebih jelas mengenai
jenis pekerjaan dalam
sektor perbankan yang
boleh di outsource.
PBI dan SEBI
ini juga membedakan kegiatan dalam sektor perbankan
menjadi empat kategori: (i.) pekerjaan pokok kegiatan usaha, (ii.)
pekerjaan penunjang kegiatan usaha, (iii.)
pekerjaan pokok kegiatan pendukung usaha, dan (iv.)
pekerjaan penunjang kegiatan pendukung usaha.
Kategori ini
lebih rinci dibandingkan
aturan dalam Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang
membagi jenis pekerjaan
menjadi kegiatan pokok
dan kegiatan jasa
penunjang (Rani Herawati dan kawan kawan, 2011: 3-4) Keberadaan
perusahaan penyedia jasa
pekerja atau yang
selanjutnya disebut dengan PPJP juga telah dipertegas dalam Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(selanjutnya disingkat Permenakertrans) Nomor 19 Tahun 2012 tentang
Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain. PPJP menurut Permenakertrans
ini selain harus memiliki badan hukum yang
memungkinkan untuk merekrut
dan menyalurkan tenaga
kerja kepada pihak
lain, juga mensyaratkan
agar perusahaan yang
memborongkan pekerjaan tersebut
harus melaporkan jenis
pekerjaan yang akan
dioutsource ke Dinas Ketenagakerjaan setempat. Jadi,
pelaksanaan pemborongan pekerjaan harus dilakukan
secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan.
Skripsi Hukum:Implementasi outsourcing di PT. Bank Tabungan Negara (persero) tbk cabang Surakarta berdasarkan peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi nomor 19 tahun 2012 tentang syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan
Download lengkap Versi PDF >>>>>>>KLIK DISINI
Bab I
|
Download
| |
Bab II
|
Download
| |
Bab III - V
|
Download
| |
Daftar Pustaka
|
Download
| |
Lampiran
|
Download
|