BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Akuisisi
agaknya menjadi trend dalam suatu grup usaha konglomerat yang ingin
memperluas jaringan usahanya.
Terutama bagi kelompok
usaha yang ingin
berkembang cepat dalam
waktu yang relatif
singkat. Dalam sistem perekonomian nasional di Indonesia,
pelaksanaan akuisisi bukanlah sesuatu hal yang
baru. Selain untuk
meningkatkan kerjasama antara
2 (dua) perusahaan, akuisisi
juga dilakukan guna
mencapai sasaran financial
tertentu. Dalam terminologis
bisnis, akuisisi diartikan
sebagai bentuk “pengambilalihan kepemilikan
atau pengendalian atas
saham atau aset
suatu perusahaan oleh perusahaan
lain, dan dalam peristiwa ini baik
perusahaan pengambilalih atau yang diambil
alih tetap eksis
sebagai badan hukum
yang terpisah” (Abdul Moin, 2003: 8).
Kegiatan merger
dan akuisisi di
Indonesia telah berlangsung
pada tahun 1990.
Kegiatan ini dilakukan
oleh perusahaan dengan
harapan agar dapat memperkuat
struktur modal dan memperoleh keringanan pajak. Perkembangan merger
dan akuisisi tersebut
terus berlangsung sampai
sekarang. Pada saat kondisi
krisis, banyak perusahaan melakukan merger dan akuisisi dikarenakan mengalami kesulitan dalam pendanaan.
Dalam kegiatan
merger dan akuisisi
ada dua hal yang patut dipertimbangkan
yaitu nilai yang dihasilkan dari kegiatan akuisisi dan siapakah pihak-pihak
yang paling diuntungkan
dari kegiatan tersebut.
Dengan adanya akuisisi diharapkan akan menghasilkan sinergi
sehingga nilai perusahaan akan meningkat
(Sutrisno Sumarsih, 2004: 190). Pelaksanaan Merger, Konsolidasi, dan
Akuisisi merupakan suatu
upaya perusahaan dalam
menyiasati kondisi ekonomi
melalui bentuk penggabungan diri menjadi
satu dengan perusahaan yang
telah ada atau meleburkan diri
dengan perusahaan lain
atau bahkan membentuk perusahaan baru dengan maksud
menghasilkan suatu sinergi baru yang
dapat meningkatkan kinerja perusahaaan. Akhir–akhir
ini, kegiatan akuisisi
terlihat semakin meningkat,
baik akuisisi yang
dilakukan oleh perusahaan
nasional maupun akuisisi
yang dilakukan oleh
perusahaan asing. Di
sektor perbankan, upaya
merger, konsolidasi dan akusisi
pun suatu hal yang sering dilakukan (Jamal Wiwoho, 2011:
159). Akuisisi adalah Penggabungan dua
perusahaan yang mana perusahaan akuisitor
membeli sebagian besar
saham perusahaan yang diakuisisi, sehingga
pengendalian manajemen perusahaan
yang diakuisisi berpindah kepada perusahaan akuisitor,
sementara kedua perusahaan masingmasing
tetap beroperasi sebagai
suatu badan hukum
yang berdiri sendiri.
Banyak alasan
pelaku usaha melakukan
hal tersebut, diantaranya
untuk menciptakan bank yang lebih
baik dengan merevitalisasi secara sadar sehingga terbentuk
sinergi yang kuat
dan akhirnya memberikan
dampak pada sistem perbankan
yang sehat. Namun
demikian, tidak dapat
dipungkiri pula bahwa dalam
pelaksanaan Merger,
Konsolidasi, dan Akuisisi
bank-bank dengan jumlah asset yang besar selalu menyimpan
masalah yang pelik.
Kondisi ini bisa kita dijumpai
pada rencana akuisisi PT Bank Danamon Tbk oleh Development Bank
of Singapore (DBS)
Group Holding. Bank Danamon adalah
bank terbesar keenam
di Indonesia dengan
total aset per Desember 2011 mencapai Rp127 triliun dan laba
bersih sebesar Rp3,34 triliun.
Bank Danamon
merupakan bank swasta
yang dimiliki Temasek,
lembaga investasi Pemerintah Singapura (Sovereign Wealth Fund) yang
ditangani divisi keuangannya, yaitu Fullerton Financial
Holdings Pte. Ltd
melalui anak perusahaan
mereka, Asia Financial
Indonesia Ltd dengan
jumlah saham sebesar 67,42%. Porsi
saham inilah yang
akan dibeli oleh
DBS Group, kelompok usaha yang bergerak di bidang
keuangan dan perbankan, yang juga seperti halnya
Temasek berada di
bawah kendali Pemerintah
Singapura (http://www.bisnis.com/articles/akuisisi-bank-danamon-apa-manfaatnyadiakses
tanggal 31 agustus 2012 pukul 19.00 WIB
).
Rencana akuisisi
Bank Danamon melibatkan
nilai yang cukup
besar, yaitu Rp.45,2
triliun. Jumlah itu
merupakan harga yang
dikeluarkan oleh Development Bank
of Singapore (DBS) untuk membeli
67,42% kepemilikan saham Bank Danamon oleh Fullerton.
Development Bank of Singapore (DBS) adalah sebuah
bank yang sebagian
besar sahamnya dimiliki
Pemerintah Singapura melalui lembaga
investasi mereka, Temasek. Jadi
pada hakikatnya transaksi yang
dilakukan itu adalah
jual beli saham
di antara dua
institusi bersaudara (sister
companies) dari Temasek itu sendiri.
Rencana akuisisi ini terjadi
pada tanggal 30 Maret 2012, yang mana pada
saat itu Bank
Danamon meminta penghentian
perdagangan (suspensi) sahamnya
ke Bursa Efek
Indonesia (BEI) hingga
2 April 2012
untuk mengantisipasi spekulasi di
pasar modal. Kemudian Pada 2 April 2012,
DBS mengumumkan akuisisi
Bank Danamon ke
publik tanpa terlebih
dahulu dinformasikan kepada
regulator yaitu Bapepam –
LK dan Bank
Indonesia (Restrukturisasi Danamon-DBS, Hal 3).
Transaksi antara DBS dan
Fullerton bernilai Rp 45,2 triliun atau $ 6,2 miliar Singapura atau setara dengan senilai
US$ 7,2 miliar. Nilai ini didasarkan pada
harga kesepakatan Rp 7.000 per saham Danamon yang dimiliki Fullerton melalui Asia Financial Indonesia. Total nilai
transaksi akan dibayarkan dalam bentuk
439 juta saham baru DBS dengan harga penerbitan saham sebesar S$ 14,07
per saham baru
DBS. Selain itu, Fitch
Ratings menempatkan Bank Danamon
dalam rating watch positive (RWP) paska
pengumuman rencana akuisisi
DBS Group atas
Danamon
(http://keuangan.kontan.co.id /xml/kronologi-akuisisi-bank-danamon-oleh
-dbs diakses tanggal 31
Agustus pukul 20.00 WIB).
Baik PT Bank
Danamon Indonesia Tbk
(BDMN) maupun DBS Indonesia
tidak mencantumkan rencana akuisisi
saham Bank Danamon
oleh DBS Group Holdings dalam
laporan Rencana Bisnis Bank (RBB) 2012 kepada Bank
Indonesia (BI). Sehingga sampai saat
ini Bank Indonesia belum bisa memberikan persetujuan
atas permohonan akuisisi
Bank Danamon.
Menanggapi rencana
akuisisi Bank Danamon
tersebut, Bank Indonesia menerbitkan aturan mengenai kepemilikan saham
Bank Umum yang tercantum dalam Peraturan
Bank Indonesia (PBI)
Nomor 14/8/PBI/2012 tentang Kepemilikan
Saham Bank Umum
yang mulai berlaku
tanggal 13 Juli
2012 (http://keuangan.kontan.co.id/xml/kronologi-akuisisi-bank-danamon-oleh-dbs
diakses tanggal 31 Agustus pukul 20.00 WIB).
Dalam
Peraturan Bank Indonesia
Nomor 14/8/PBI/2012 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum, investor yang
merupakan entitas perbankan masih
diperbolehkan memiliki saham di atas 40%. Namun, kepemilikan saham tersebut harus dilakukan bertahap, yakni investor harus memiliki saham dulu sesuai batas
kepemilikan yakni maksimal
40%. Pasca itu,
investor dapat meningkatkan
saham Bank sesuai
dengan batas kepemilikan
yang telah disetujui
Bank Indonesia, apabila bank
yang dimiliki memperoleh
penilaian tingkat kesehatan
dan penilaian good corporate
governance satu atau
dua selama 3 periode
berturut-turut dalam 5 tahun. Selain itu, ada sejumlah syarat lain
yang dikenakan kepada
investor yang ingin
mengakuisisi saham di
atas 40%, yakni harus memiliki
tingkat kesehatan satu atau dua atau peringkat yang setara bagi bank yang berkedudukan di luar
negeriSkripsi Hukum:Kebijakan peraturan Bank Indonesia nomor 148PBI2012 tentang kepemilikan saham bank umum dalam penanganan akuisisi Bank Danamon
Download lengkap Versi PDF >>>>>>>KLIK DISINI
Bab I
|
Download
| |
Bab II
|
Download
| |
Bab III - V
|
Download
| |
Daftar Pustaka
|
Download
| |
Lampiran
|
Download
|