BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai
makhluk sosial di
dalam kehidupan bermasyarakat sangat memerlukan
adanya suatu interaksi
antara satu dengan
yang lain.
Interaksi-interaksi tersebut
diwujudkan dalam bentuk komunikasi, yang salah satu maksud
atau tujuannya adalah
agar dapat terpenuhinya
kebutuhan masing-masing individu/orang. Ketika komunikasi terjadi di
dalam kehidupan masyarakat maka akan timbul suatu dampak positif maupun
negatif. Dampak positif terjadinya komunikasi
adalah adanya persamaan
persepsi/pandangan sehingga
dapat mewujudkan keinginan
serta kebutuhan antar
individu tersebut. Dampak negatifnya
ialah ketika terjadi
perbedaan persepsi/pandangan,
maka yang muncul
adalah perbenturan persepsi.
Perbenturan persepsi ini akan
memicu terjadinya sengketa.
Ketika suatu
sengketa muncul, biasanya
tidak akan dibiarkan
tanpa adanya penyelesaian, karena apabila dibiarkan akan menimbulkan efek yang tidak
baik dalam kehidupan
bermasyarakat. Penyelesaian terhadap
sengketa tersebut menjadi hal penting untuk mencegah terjadinya hal-hal
yang buruk di dalam kehidupan bermasyarakat. Hal-hal
buruk yang dimaksud
bisa berupa ketidaknyamanan dalam
rnelakukan aktivitas maupun interaksi sosial, perselisihan antar
individu yang tidak
sedikit dapat memicu
konflik dalam lingkup yang
lebih luas di
dalam kehidupan masyarakat.
Sehingga penyelesaian terhadap sengketa sangatlah mutlak dilakukan.
Ada beberapa
cara penyelesaian sengketa yang
kita kenal. Hal
yang paling sederhana dari
penyelesaian sengketa adalah
negosiasi. Ketika melakukan negosiasi,
penyelesaiannya dilakukan dari
hati ke hati
tanpa campur tangan pihak lain diluar para pihak yang bersengketa.
Apabila cara itu tidak mampu
menyelesaikan sengketa, dapat
ditempuh cara lain
yang sesuai dengan keinginan
para pihak. Bila
diinginkan adanya campur
tangan pihak ketiga, ada suatu
bentuk yang disebut mediasi dan konsiliasi. Jika cara tersebut kurang
diminati juga atau
tidak juga mampu menyelesaikan sengketa,
dapat dilakukan upaya hukum.
Di dalam
hukum dikenal dua
sengketa yaitu sengketa
pidana dan sengketa perdata.
Sengketa pidana merupakan
suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan
antara individu dengan
masyarakat, khsnya mengenai
keamanan dan ketertiban. Sedangkan sengketa perdata adalah suatu permasalahan
yang menyangkut kepentingan antara individu dengan individu mengenai
kepentingan pribadi. Disini tidak akan dibicarakan tentang sengketa pidana, namun
tentang sengketa perdata.
Hukum perdata itu sendiri
mempunyai sistematika dan bidang-bidang tertentu.
Hukum perdata
menurut ilmu pengetahuan
dibagi dalam empat
bagian yaitu hukum perorangan/badan pribadi (personen recht),
hukum keluarga (familierecht), hukum
harta kekayaan (vermogenrecht)
dan hukum waris (erfrechf) (J. Satrio,
1992:3). Hukum perorangan
memuat peraturan hukum yang
mengatur tentang manusia
sebagai subyek hukum.
Hukum keluarga memuat peraturan
hukum yang mengatur
hubungan hukum yang
muncul karena hubungan keluarga. Hukum harta kekayaan memuat peraturan
hukum seseorang dalam lapangan
harta kekayaan. Hukum
waris memuat peraturan hukum yang
mengatur tentang benda
atau harta kekayaan
seseorang yang telah meninggal
dunia.
Apabila berbicara
mengenai warisan, muncul
suatu hal yang menarik yaitu adanya suatu hubungan antara
orang yang tetah meninggal dunia dengan harta
kekayaan yang ditinggalkannya. Seorang
manusia selaku anggota masyarakat, selama
masih hidup dan
mempunyai tempat dalam
masyarakat disertai dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban terhadap
orang lain sesama anggota
masyarakat maupun terhadap
barang/benda yang ada
dalam masyarakat itu. Berbagai
hubungan hukum antara
seorang manusia di
satu pihak dan dunia
sekitarnya di lain
pihak, sedemikian rupa
memunculkan pengaruh dari kedua
belah pihak berupa
kenikmatan atau beban
yang dirasakan masing-masing pihak.
Jika orang tersebut
meninggal dunia, akan timbul
pertanyaan, apa yang
terjadi dengan hubungan-hubungan hukum
tadi yang berhubungan
erat dengan orang
tersebut. Perhubungan-perhubungan
hukum tidak bisa
lenyap seketika. Karena
biasanya pihak yang
ditinggalkan oleh pihak yang lenyap itu, tidak hanya seorang manusia
atau sebuah barang saja. Pada asasnya
hanya hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan/harta benda
saja yang dapat
diwariskan. Ada beberapa pengecualian, misalnya hak seorang
bapak untuk menyangkal sahnya anaknya dan hak seorang anak untuk menuntut
supaya ia dinyatakan sebagai anak sah dari
bapak atau ibunya
(kedua hak itu
adalah dalam lapangan
hukum kekeluargaan), dinyatakan oleh
undang-undang diwarisi oleh
ahli warisnya (Effendi Perangin,
2003:3).
Kekayaan yang
dipunyai si pewaris
berupa dua hal
yaitu harta benda (materiil) dan harta cita (non
materiil). Harta benda (materiil) merupakan harta peninggalan yang
nyata ada, berupa
hak-hak kebendaan, tagihan-tagihan, piutang-piutang atau bahkan
utang-utang. Hak-hak kebendaan yang dimaksud salah satu contohnya adalah hak
milik atas tanah, sedang harta cita misalnya berupa jabatan atau hak cipta.
Manusia pada
zaman sekarang memiliki
kecenderungan sifat materialistis, sehingga
saling berebutan harta
sudah menjadi hal
yang tidak lazim lagi untuk kita
temukan. Dalam hal pewarisan, setiap orang yang merasa dekat dengan
si pewaris akan mengklaim mernpunyai
bagian dari harta warisan. Walaupun telah jelas siapa
saja orang-orang yang berhak mendapat bagian
waris, tetap saja akan diupayakan berbagai cara agar memperoleh harta warisan. Sifat
materialistis akan menutupi
mata hati seseorang,
maka. tak jarang bila
daya upaya yang
dilakukan itu tidak
mempedulikan lagi siapa teman, kawan, mh, atau keluarga
sekalipun.
Pewaris biasanya lebih banyak
meninggalkan harta warisan berupa harta benda (materiil). Harta materiil
tersebut bisa berupa tanah, rumah, perhiasan, mobil, dan lain-Iain. Dari sekian banyak harta materiil, tanah atau rumahlah yang pasti
dimiliki oleh pewaris.
Manusia pasti membeli
suatu barang yang pemenuhannya bersifat penting.
Tanah/rumah jauh lebih penting dan berharga, dibandingkan perhiasan atau mobil
maupun harta materiil lainnya. Tanah itu
sendiri
mempunyai tingkatan hak
yang menentukan batas
seseorang mengelolanya. Tingkatan hak tersebut yakni hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan,
hak pakai, hak
sewa, hak membuka
tanah, hak mernungut hasil hutan,
dan hak-hak lain
(R. Subekti dan
R. Tjitrosudibio. 2001:520).
Manusia tentu
akan memilih hak
yang terkuat dan
terpenuh yaitu tanah
hak milik.
Dari uraian tersebut, maka
penulis tertarik untuk mengadakan penelitian Jangan judul “PEYELESAIAAN
SENGKETA WARIS ATAS TANAH HAK MILIK
(STUDI KASUS No.205/Pdt.G/2011/PN.Ska DI
PENGADILAN NEGERI SURAKARTA)” B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian
pada latar belakang
masalah tersebut, maka perumusan masalah sebagai berikut ; 1.
Bagairnana prosedur penyelesaian sengketa waris atas tanah hak milik di Pengadilan
Negeri Surakarta dalam perkara No.205/Pdt.G/2011/PN.Ska? 2. Kendala apa yang ditemui dalam penyelesaian sengketa waris
atas tanah hak milik di
Pengadilan Negeri Surakarta
dalam perkara No.205/Pdt.G/2011/PN.Ska?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan tertentu yaitu tujuan
objektif dan tujuan subjektif.
yes'>�� / p � � span style='mso-spacerun:yes'> menyurut akibat
perubahan iklim, namun juga akibat
lokal dari pertambangan
dan penggundulan hutan.
Penebangan kayu tropis
dan ampasnya merupakan penyebab utama dari berkurangnya hutan di
negara itu. Penebangan hutan di
Indonesia telah memperkenalkan beberapa daerah yang paling terpencil, dan terlarang, di dunia pada pembangunan.
Setelah berhasil
menebangi banyak hutan
di daerah yang
tidak terlalu terpencil,
perusahaan-perusahaan kayu ini
lantas memperluas praktek
mereka ke pulau
Kalimantan dan Irian
Jaya, dimana beberapa tahun terakhir ini banyak petak-petak hutan
telah dihabisi dan perusahaan kayu harus
masuk semakin dalam ke daerah interior untuk mencari pohon yang
cocok. Sebagai contoh,
di pertengahan 1990an,
hanya sekitar 7 persen dari ijin penambangan
berada di Irian
Jaya, namun saat
ini lebih dari 20 persen ada di kawasan tersebut.
Illegal logging telah menimbulkan masalah multidimensi
yang berhubungan dengan
aspek ekonomi, sosial, budaya
dan lingkungan. Hal
tersebut merupakan konsekuensi
logis dari fungsi
hutanyang pada hakekatnya
adalah sebuah ekosistem
yang di dalamnya mengandung tiga fungsi dasar, yaitu
fungsi produksi (ekonomi), fungsi
lingkungan (ekologi) serta fungsi sosial (Iskandar, 2000: 165).
Skripsi Hukum:Penyelesaian Sengketa Waris Atas Tanah Hak Milik (Studi Kasus No.205Pdt.G2011Pn.Ska Di Pengadilan Negeri Surakarta)
Download lengkap Versi PDF >>>>>>>KLIK DISINI
Bab I
|
Download
| |
Bab II
|
Download
| |
Bab III - V
|
Download
| |
Daftar Pustaka
|
Download
| |
Lampiran
|
Download
|