Skripsi Hukum:Penerapan Prinsip Jurisdictional Immunities Of The State Terhadap Imunitas Negara Dalam Rangka Pelaksanaan Jus Cogens (Studi Kasus Jurisdictional Immunities Of The State Jerman Melawan Italia Disertai Intervensi


    BAB I PENDAHULUAN
 A. Latar Belakang Masalah Awal  kelahiran  hukum  internasional  merumuskan  negara  sebagai  satusatunya entitas subjek hukum internasional (Jawahir Thontowi, 2006: 104). Titik  awal  pengakuan  negara  sebagai  subjek  hukum  internasional  tersebut  ditandai  dengan penandatanganan  Perjanjian Damai Westphalia pada tahun  1648, sebuah  perjanjian  yang  bertujuan  untuk  menandakan  berakhirnya  perang  yang  telah  berlangsung  selama  30  tahun  di wilayah  Eropa  (Mathew  Horsman,  Andrew  Marshall, 1995: 5). Perjanjian Damai Westphalia 1648 mengatur hak negara atas  kemerdekaan  yang  kemudiaan  mengidentifikasi  eksklusifitas  negara  sebagai  subjek  hukum internasional. Berdasarkan classical  westphalian  theory, hanyalah  negara  yang  dilekati  dengan  kedaulatan  sehingga  hanya  negaralah  yang  berhak  untuk berdaulat (Micheal J. Kelly, 2005: 4).

Berdasarkan hukum internasional modern, dasar pemikiran bahwa negara  sebagai subjek  hukum  internasional  yang  utama  berasal  dari  kenyataan  bahwa  negara  secara  nyata  muncul  sebagai  subjek  yang  paling  lengkap,  memiliki  kewenangan  yang  bersifat  stabil  atas  sebuah  wilayah  beserta  masyarakat  yang  berada  di  dalamnya  (Guido  Acquaviva,  2005:  2).  Sebagai  ubjek  hukum  internasional  yang  utama,  negara  dalam  konteks  hukum  internasional  juga  memiliki kewenangan terbesar dengan kecakapan yang melekat padanya (Sefriani,  2011:  103). Kapasitas  utama  hukum  internasional yang  dimiliki  negara  untuk  mewujudkan  kepribadian  hukum  internasionalnya  (international  legal  personality)  antara  lain:  kemampuan  untuk  menuntut  hak-haknya  di  depan  pengadilan internasional (dan nasional), sebagai subjek dari beberapa atau semua  kewajiban  yang diberikan hukum internasional, kemampuan membuat perjanjian  internasional yang sah dan mengikat dalam hukum internasional, serta menikmati  imunitas dari yurisdiksi pengadilan negara lain (Martin Dixon, 2000: 105).      Bentuk  kewenangan  negara  dirumuskan  Konvensi  Montevideo  tentang  Hak  dan  Tanggung  Jawab  Negara  Tahun  1933  (Konvensi  Montevideo  1933).
Pasal  9  Konvensi  Montevideo  1933  merumuskan  bahwa  negara  memiliki  kemampuan  untuk  melaksanakan  yurisdiksi.  Kemampuan  untuk  melaksanakan  yurisdiksi merupakan prinsip yang mengacu pada aspek tertentu atas kompetensi  hukum  umum  dari  suatu  negara  yang  sering  disebut  sebagai  kedaulatan.
Yurisdiksi  merupakan  sebuah  aspek  kedaulatan  dan  mengacu  pada  kompetensi  administratf,  legislatif,  dan  yudikatif  (Ian  Brownlie,  2003:  297).  Kemampuan  negara  untuk  melaksanakan  fungsi  administratif,  legislatif,  dan  yudikatif  mencerminkan  kekuasaan  negara  untuk  menjalankan  fungsinya  secara  efektif  di  seluruh  wilayahnya.  Hakim  John  Marshall  dalam  sengketa  The  Schooner  Exchange  v  McFaddon di  Mahkamah  Agung  Amerika  Serikat  pada  tahun  1812  menggambarkan  yurisdiksi sebagai suatu kewenangan negara melalui pernyataan  bahwa  yurisdiksi  wilayah  yang  bersifat  penuh  dan  absolut  merupakan  sifat  dari  kedaulatan,  serta  tidak  memiliki  kemampuan  untuk  melaksanakan  ekstraterritorial (Tim Hiller, 1998: 287-288).
Kedaulatan  merupakan  kemerdekaan  dan  kemampuan  memaksa  setiap  negara, baik negara besar ataupun kecil, kuat ataupun lemah, berkembang ataupun  maju yang dimilikinya dalam hubungan internasional. Ketika suatu negara diakui  oleh  negara  lain  terkait  personalitasnya  sebagai  subjek  hukum  maka  negara  tersebut  memiliki  kemerdekaan  berpolitik  atau  kebebasan  penuh  dari  kekuasaan  kolonial dan secara fakta hukum (ipso iure) merupakan entitas berdaulat sehingga  negara  berdaulat  tersebut memiliki suprema  potestas (kekuatan  tertinggi)  di  wilayahnya (Ernest  K.  Bankas,  2005:  46).  Kedaulatan  pada  masa  kini  diakui  bukan  sebagai  manifestasi  abstrak  eksistensi  dan  kekuatan  dari  suatu  negara  melainkan  sebagai  perwujudan  nyata  eksistensi  dan  kekuatan  dari  suatu  negara  dalam  konteks  kewenangan  tertentu,  misalnya  kedaulatan  dalam  konteks  peradilan. Malcolm Shaw  menegaskan bahwa  negara  yang  berdaulat tidak dapat  dijadikan  subjek  dalam  peradilan  di  negara  tertentu.  Prinsip  kesetaraan  yang  diakui oleh masyarakat internasional secara praktik dan filosofis melarang adanya  pengadilan  dari  suatu  negara  (municipal  courts)  untuk  memanifestasikan     kewenangannya  di  negara  lain  yang  berdaulat  tanpa adanya  persetujuan  dari  negara  asing  yang  berdaulat  tersebut  (Malcolm  N.  Shaw,  2008:  698).  Prinsip  tersebut  telah  menjadi  suatu  kebiasaan  internasional  sebagai  salah  satu  sumber  hukum  internasional  yang  melandasi  adanya sovereign  immunity  atau state  immunity (imunitas negara).
Prinsip imunitas negara menjadi dasar pembelaan negara asing dari adanya  gugatan  yang  menghendaki  negara  asing  sebagai pihak  tergugat  dalam  suatu  proses  peradilan  di  suatu  negara  (Utama  Yudhistira,  2011:  2).  Berdasarkan  observasi  pada  prinsip  imunitas  negara,  Ernest  K  Bankas  menyimpulkan  bahwa  tujuan  negara  tidak  melaksanakan  yurisdiksinya  pada  negara  lain  merupakan  wujud penghormatan imunitas negara lain berdasarkan prinsip kesetaraan (Ernest  K Bankas, 2005: 46). Pengakuan prinsip imunitas negara sebagai dasar pembelaan  negara asing tersebut merupakan mutual conduct diantara negara dengan harapan  adanya  tindakan  timbal  balik  negara  lain  di  dalam  menjalankan  hubungan  internasional  diantara  mereka.  Praktik  yang  selama  ini  terjadi  menunjukkan  bahwa pengadilan negara menolak untuk mengakui adanya tindakan negara asing  yang bertentangan dengan hukum  internasional untuk berada dalam kewenangan  pengadilan  negara  tersebut.  Praktik  penolakan  negara  untuk  melaksanakan  kewenangan  pengadilan  atas  tindakan  negara  lain  ditunjukkan  dalam  putusan  Pengadilan  Mesir  atas Bassionni  Amrane  v.  John  case 1934, Mahkamah  Agung  Belanda  atas United  States  of  America  v.  Eemshaven  Port Authority  case 2001,  dan putusan Italian Court of Cassation atas FILT-CGIL Trento v. United State of  America  case tahun  1999  (Judgement  Germany  v.  Italy,  2012:  31).  Penolakan  pengadilan  suatu  negara,  mencerminkan comity berdasarkan  alasan  untuk  lebih  mengutamakan  pendekatan  diplomatik  yang  tepat  guna  menyelesaikan  sengketa  yang muncul diantara mereka (Ian Brownlie, 2003: 319).
Comity dalam konteks ini merupakan suatu tindakan yang  dilakukan atas  dasar  kehormatan  dan  sebagai  bentuk  penghargaan  (Sumaryo  Suryokusumo,  2013:  202). Penerimaan comity dalam  praktik  hubungan  internasional  untuk  menghormati  imunitas  negara  lain  menjadi  urgensi  baru  hukum  internasional  ketika terdapat praktik negara yang bertentangan dengan comity tersebut. Prinsip     imunitas negara yang tidak memperbolehkan pelaksanaan  yurisdiksi negara pada  negara lain melalui penyelenggaraan pengadilan nasional pada suatu negara untuk  mengadili negara lain  tidak berlaku dalam gugatan Luigi Ferrini, seorang warga  negara dan mantan pasukan bersenjata Italia korban Perang Dunia II atas tindakan  Jerman melakukan deportasi ke wilayah Jerman dan mempekerjakan Luigi Ferrini  secara  paksa  di  sebuah  perusahaan  mesiu  milik  Jerman  hingga  Perang  Dunia  II  berakhir. Klaim melawan Jerman untuk dimintakan kompensasi oleh Luigi Ferrini  diajukan  pada Pengadilan  Arezzo  (Tribunale  di  Arezzo)  di  Italia.  Pengadilan  Arezzo  memutuskan  bahwa  klaim  Luigi  Ferrini  tidak  dapat  diterima  karena  Jerman, sebagai negara berdaulat, dilindungi oleh prinsip jurisdictional immunity.
Pengajuan  klaim  atas  substansi  yang  sama  juga  diajukan  Luigi  Ferrini  ke  Pengadilan Banding Florence (Corte di Apello di Firenze) di Italia, keputusan atas  alasan  serupa  juga  dijatuhkan  atas  klaim  tersebut.  Upaya  Luigi  Ferrini  membuahkan hasil yang berbeda ketika pada tanggal 11 Maret 2004, Pengadilan  Kasasi Italia (Corte di Cassazione) menyatakan bahwa pengadilan Italia memiliki  yurisdiksi  atas  klaim  kompensasi  terhadap  Jerman  yang  diajukan  oleh  Luigi  Ferrini  dengan  dasar  alasan  bahwa  imunitas  tidak  diberlakukan  pada  keadaan  suatu  tindakan  yang  merupakan  kejahatan  internasional.  Berdasarkan  putusan  tersebut,  klaim  diajukan  kembali  ke Pengadilan  Arezzo pada  tanggal  12  April  2007. Meskipun  klaim  tersebut  diterima  namun  klaim kompensasi tersebut telah  daluwarsa sehingga Luigi Ferrini mengambil langkah untuk mengajukan klaim ke  Pengadilan  Banding  Florence  di  Italia,  pengadilan  diadakan  pada  tanggal  17  Februari  2011 dengan putusan  bahwa Jerman  diharuskan  membayar kompensasi  kepada  Luigi  Ferrini  beserta  biaya  yang  dikeluarkan  pada  seluruh  proses  pengadilan  yang  telah  dijalani  Luigi  Ferrini.

Skripsi Hukum:Penerapan Prinsip Jurisdictional Immunities Of The State Terhadap Imunitas Negara Dalam Rangka Pelaksanaan Jus Cogens (Studi Kasus Jurisdictional Immunities Of The State Jerman Melawan Italia Disertai Intervensi
Download lengkap Versi PDF >>>>>>>KLIK DISINI

Bab I
Download 
 Bab II
 Download 
 Bab III - V
 Download 
Daftar Pustaka
 Download 
Lampiran
Download