BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kelangsungan
dan keberhasilan pembangunan
nasional sangat tergantung
pada berbagai macam
faktor. Di bidang
hukum misalnya faktor yang
sangat dominan bagi
keberhasilan pembangunan hukum
di Indonesia adalah adanya kepastian hukum yang mampu
mengayomi masyarakat.
Dalam suatu
pembangunan itu terdapat
unsur pembaharuan dan
juga terdapat unsur
yang bersifat negatif.
Hal ini disebabkan
karena masyarakat Indonesia
adalah masyarakat yang
heterogen sehingga terdapat pula bermacam-macam
kepentingan dan seringkalikepentingan
yang satu dengan yang lain
bertentangan. Dengan adanya masalah
tersebut, maka tindak kejahatan
di Indonesia semakin
meningkat baik itu
yang dilakukan secara individu ataupun kelompok. Kejahatan yang dilakukan semakin berkembang seiring dengan perkembangan jaman.
Pembangunan Nasional
bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat
Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan
tertib berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar
1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesiayang adil,
makmur, dan sejahtera tersebut, perlu secara
terus menerus ditingkatkan
usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khsnya.
Bangsa Indonesia
yang sedang giat
dalam melaksanakan reformasi pembangunan
sangat membutuhkan suatu
kondisi yang dapat
mendukung terciptanya tujuan
pembangunan nasional yaitu
masyarakat yang adil
dan makmur berdasarkan Pancasila.
Salah satu kondisi tersebut adalah penegakan supremasi
hukum yang merupakan
syarat mutlak bagi
kelangsungan dan berhasilnya pelaksanaan pembangunan nasional
sesuai dengan jiwa reformasi.
Untuk mewujudkan
hal tersebut perlu
ditingkatkan usaha-usaha untuk memelihara
ketertiban, keamanan, kedamaian
dan kepastian hukum
yang mampu mengayomi masyarakat
Indonesia.
Bangsa Indonesia
telah ikut aktif
dalam upaya masyarakat internasional
untuk pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana
korupsi dengan telah
menandatangani United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti
Korupsi, 2003) Korupsi merupakan
salah satu masalah
terbesar yang dihadapi
oleh Indonesia dewasa ini. Setiap
penguasa baru pada awalnya selalu menjanjikan akan
melakukan tindakan hukum
yang tegas terhadap
para koruptor.
Termasuk dalam
hal ini adalah
penguasa baru Indoensia.
Umumnya janji tersebut
tidak pernah dilaksanakan
dan dipenuhi secara
sungguh-sungguh.
Namun janji-janji
serupa yang dibuat
oleh penguasa, tetap
disambut dengan satu
harapan bahwa janji disebut
dapat dilaksanakan secara
serius. Meski upaya pemberantasan korupsi semakin meningkat
dalam tahun-tahun terakhir, harus diakui
belum terlihat tanda-tanda
yang menyakinkan bahwa
masalah korupsi dapat segera
diatasi. Indonesia masih tetap termasuk dalam peringkat lima Negara tertinggi tingkat korupsinya di
seluruh dunia.
Usaha pemberantasan korupsi jelas
tidak mudah. Kesulitan itu terlihat semakin rumit,
karena korupsi kelihatan
benar-benar telah menjadi
budaya pada berbagai
level masyarakat. Meski
demikian, berbagai upaya
tetap dilakukan,sehingga secara
bertahap korupsi setidak-tidaknya bisa dikurangi, jika tidak dilenyapkan sama sekali.
Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat ketentuan
pembuktian yang menyimpang dari ketentuan pembuktian
perkara pidana biasa.
Ketentuan-ketentuan tersebut adalah : 1.
Untuk kepentingan penyidikan,
tersangka wajib memberi
keterangan tentang seluruh
harta bendanya dan
harta benda isteri
atau suami, anak, dan
harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga
mempunyai hubungan dengan
tindak pidana korupsi
yang dilakukan tersangka (Pasal
28 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999Jo Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001).
2. Untuk
kepentingan penyidikan, penuntutan,
atau pemeriksaan di
sidang pengadilan, penyidik,
penuntut umum, atau
hakim berwenang meminta keterangan
kepada bank tentang
keadaan keuangan tersangka
atau terdakwa. Permintaan
keterangan kepada bank sebagaimana dimaksudkan dalam
ayat (1) diajukan
kepada Gubernur BankIndonesia
sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Gubernur Bank Indonesia berkewajiban untuk memenuhi permintaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dalam waktu selambat-lambatnya 3
(tiga) hari kerja,
terhitung sejak dokumen
permintaan diterima secara lengkap (Pasal 29 ayat (1) jo.
ayat (2)dan
(3) Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 Jo
UndangUndang No. 20 Tahun 2001).
3. Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat
meminta kepada bank untuk memblokir
rekening simpanan milik tersangka atau terdakwayang diduga hasil
korupsi. Dalam hal
hasil pemeriksaan terhadap
tersangka atau terdakwa
tidak diperoleh bukti
yang cukup, atas
permintaan penyidik, penuntut
umum, atau hakim,
bank pada hari
itu juga mencabut pemblokiran
(Pasal 29 ayat
(4) jo. ayat
(5) Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999Jo Undang-Undang No.
20 Tahun 2001).
4. Penyidik
berhak membuka, memeriksa
dan menyita surat
dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya
yang dicurigai mempunyai hubungan dengan
perkara tindak pidana
korupsi yang sedang
diperiksa (Pasal 30
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999Jo Undang-Undang No.
20 Tahun 2001).
5. Setiap
orang wajib memberi
keterangan sebagai saksi
atau ahli, kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung,
isteri atau suami, anakdan cucu dari terdakwa.
Orang yang dibebaskan
sebagai saksi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1),
dapat diperiksa sebagai
saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui secara tegas oleh
terdakwa (Pasal 35 ayat (1) jo. ayat
(2) Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 Jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001).
6. Kewajiban
memberi kesaksian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal
35 berlaku juga
terhadap mereka yang
menurut pekerjaan, harkat
dan martabat atau jabatannya
diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama
yang menurut keyakinannya
harus menyimpan rahasia
(Pasal 36 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999Jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001).
7. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan
bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi (Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001).
8. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia
tidak melakukan tindak pidana korupsi,
maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan
baginya (Pasal 36
ayat (2) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001).
Skripsi Hukum:Kebijakan penanggulangan tindak pidana korupsi oleh komisi pemberantasan korupsi
Download lengkap Versi PDF >>>>>>>KLIK DISINI
Bab I
|
Download
| |
Bab II
|
Download
| |
Bab III - V
|
Download
| |
Daftar Pustaka
|
Download
| |
Lampiran
|
Download
|