BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pelaksanakan pembangunan
industri tidak terlepas
dari beberapa faktor penunjang
di antaranya faktor
modal, faktor sumber
daya alam, dan
faktor tenaga kerja. Faktor-faktor tersebut merupakan
sesuatu hal yang berperan penting dan
tidak dapat dipisahkan,
khususnya faktor tenaga
kerja yang mempunyai
peranan penting dalam membantu meningkatkan prospek perusahaan
menjadi lebih baik lagi terutama dalam hal
proses produksi perusahaan.
Tanpa adanya pekerja
tidak akan mungkin perusahaan
itu bisa jalan,
dan berpartisipasi dalam
pembangunan (Zainal Asikin., dkk, 1993: 95). Salah satu dari berbagai
istilah mengenai tenaga kerja adalah pekerja.
Istilah-istilah yang
sering kita jumpai
tersebut sebenarnya mempunyai
pengertian dan/ atau makna yang sama.
Menurut Pasal
1 angka 2
Undang- undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan
pengertian, bahwa tenaga
kerja adalah “Setiap
orang yang mampu
melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/
atau jasa baik untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.” Menurut Payaman
Simanjuntak, tenaga kerja mencakup penduduk yang sudah dan
sedang bekerja, sedang
mencari pekerjaan dan
yang melakukan kegiatan
lain seperti bersekolah dan
mengurus rumah tangga (Sedjun H. Manulang, 1995: 3).
Sedangkan di dalam penjelasan
Pasal 1 angka 3 Undang- undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan memberikan pengertian, bahwa
pekerja/ buruh adalah “Setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain.” Dari
definisi tentang pekerja/
buruh tersebut jelas
bahwa tenaga kerja
yang sudah bekerja dapat disebut
pekerja/ buruh.
Tuntutan
ekonomi yang mendesak,
dan berkurangnya peluang
serta penghasilan di bidang pertanian
yang tidak memberikan
suatu hasil yang
tepat dan rutin,
dan dengan adanya
kesempatan untuk bekerja
di bidang industri
telah memberikan daya
tarik yang kuat
bagi tenaga kerja
wanita. Pekerja/ buruh
wanita yang bekerja pada saat ini bukan lagi merupakan suatu hal yang
tabu. Banyak alasan yang mendasari hal
tersebut, salah satunya harus bekerja untuk membantu ekonomi keluarga yang seringkali hanya mengandalkan
mereka untuk menyambung hidupnya.
Wanita sering dinilai
kurang pantas duduk
di puncak karier
dengan tampil sebagai
seorang pemimpin, seharusnya tidak ada
lagi yang patut
diherankan dan kebanyakan justru bawahannya pekerja laki-
laki.
Masalah kesetaraan
kesempatan dan perlakuan
di dalam pekerjaan
dan jabatan, di dalam
Undang- undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (2) menyatakan “Tiaptiap
warga Negara berhak
atas pekerjaan dan
perlindungan yang layak
bagi kemanusiaan.” Bunyi pasal
diatas, menerangkan bahwa
seluruh warga negara
diberikan kesempatan untuk
ikut serta dalam
pembangunan tanpa diskriminasi
baik laki- laki maupun
wanita dan berhak mendapatkan pekerjaan
dan mendapatkan perlindungan.
Di dalam Undang- undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga telah mengatur
mengenai larangan adanya
diskriminasi di dalam
memperoleh pekerjaan dan jabatan, walaupun di dalam ketentuan
tersebut tidak diberikan penjabaran lebih lanjut
mengenai batasan-batasan terhadap
diskriminasi. Pengertian diskriminasi secara luas tidak hanya mencangkup pada jenis kelamin akan tetapi juga pada SARA
(suku, agama dan ras) bahkan juga pada
perbedaan pandangan politik.
Banyak kondisi
pekerja/ buruh wanita
yang bekerja di
sektor formal tidak selalu
lebih baik dari pekerja/ buruh
wanita yang berkecimpung di sektor
informal.
Kenyataannya buruh
yang bekerja di
sektor formal (industri)
meskipun sejumlah Hak-
hak perempuan telah dilindungi melalui
Undang- undang Nomor
13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, sebagian
besar perusahaan hampir
tidak memperhatikan masalah- masalah yang
spesifik yang dialami pekerja/
buruh wanita formal yaitu
mengenai hak- hak
khusus sebagaimana disebutkan
dalam Undangundang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Seperti yang
dikemukakan oleh Veronica A. Kumurur
dalam jurnal Pembangunan Dan Kemiskinan
Perempuan Di Kota (2009: Vol. 9, No.1: 73-86) menyatakan bahwa,
berbagai alasan perusahaan melakukan diskriminasi
pekerjaan terhadap perempuan,
yaitu: pertama, prasangka pekerjaan
tertentu hanya bisa
dilakukan laki- laki,
atau perempuan hanya cocok melakukan kerja
tertentu, kedua, peraturan
tentang hak- hak
pekerja perempuan, sehingga merekrut pekerja perempuan
dianggap "merugikan"
perusahaan. Hak- hak pekerja
wanita tersebut meliputi hak-
hak reproduksi seperti, masalah
cuti haid, cuti melahirkan, tunjangan
untuk kehamilan, kesempatan
menyusui dan fasilitas
tempat penitipan anak,
pada prakteknya seringkali
perusahaan tidak memberikan
hak- hak tersebut
karena dianggap menganggu
produktivitas kerja dan
pemegang hak hanya pasrah
tanpa bisa berbuat apapun.
Pemerintah telah
mengupayakan seoptimal mungkin
perlindungan terhadap pekerja/ buruh wanita khususnya yang bekerja
pada waktu malam hari, namun dalam praktek di
lapangan, seringkali pengusaha
dengan segala cara
berusaha melanggar segala ketentuan perundang- undangan. Kewajiban- kewajiban bagi pengusaha yang mempekerjakan pekerja/
buruh wanita pada
waktu malam hari
antara lain wajib menyediakan fasilitas
antar jemput, menyediakan
makanan dan minuman
yang bergizi bagi
karyawannya, menyediakan fasilitas
kamar mandi/ WC
yang terpisah antara
karyawan laki- laki
dan perempuan, dan
lain-lain. Semua kewajiban
itu dianggap pengusaha hanya
merupakan penghambat untuk mendapatkan
keuntungan yang optimal.
Kecenderungan pengusaha untuk
berlaku seperti itu
juga didukung oleh kondisi pekerja yang cenderung tidak berani
menuntut apa yang menjadi haknya dengan
alasan takut dipecat.
Pekerja/ buruh
wanita yang bekerja
pada waktu malam
hari merupakan kelompok
yang rentan terhadap
tindak kejahatan untuk
itu sangat memerlukan perlindungan,
dalam hal ini
salah satunya terkait
mengenai penyediaan fasilitas transportasi
antar jemput yang
wajib disediakan oleh
perusahaan, dimana pekerja/ buruh wanita yang akan berangkat maupun pulang
kerja harus dijaga keselamatan dan keamanannya khususnya
mengenai aspek kesusilaan.
Menurut Endang Widuri dalam Jurnal Studi
Gender dan Anak
(2008: Vol. 3),
perubahan dan kontinuitas
dalam pembangunan yang
berdampak terhadap keberadaan
perempuan sudah sewajarnya mendapat perhatian dan perbaikan dalam upaya pemenuhan akan keadilan terhadap kaum perempuan sebagai sesama anggota
masyarakat.
Oleh karena itu perlindungan
terhadap hak- hak
pekerja wanita yang bekerja pada
malam hari dari
kemungkinan-kemungkinan terkena adanya
resiko atas pekerjaan yang dilakukannya, penting adanya. Untuk itu juga diharapkan pemerintah memberikan
perlindungan berupa payung
hukum yang jelas
dan adil serta
bersikap proaktif dalam
menegakkan peraturan perundang-undangan di
bidang ketenagakerjaan.
Skripsi Hukum:Upaya perlindungan terhadap pekerja wanita yang bekerja pada waktu malam hari di PT. Koesuma Nanda Putra Klaten
Download lengkap Versi PDF >>>>>>>KLIK DISINI
Bab I
|
Download
| |
Bab II
|
Download
| |
Bab III - V
|
Download
| |
Daftar Pustaka
|
Download
| |
Lampiran
|
Download
|