BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Tindak pidana
korupsi di Indonesia
merupakan masalah yang
sangat serius, karena
tindak pidana korupsi
dapat membahayakan stabilitas
dan keamanan negara
dan masyarakatnya, membahayakan
pembangunan sosial dan
ekonomi masyarakat, politik,
bahkan dapat pula
merusak nilai-nilai demokrasi
serta moralitas bangsa
karena dapat berdampak
membudayanya tindak pidana
korupsi tersebut. (Ermansjah Djaja, 2008: 2) Tindak pidana
korupsi selalu mendapatkan
perhatian yang lebih dibandingkan
dengan tindak pidana lain di berbagai belahan dunia. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif
yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini.
Dampak yang ditimbulkan
dapat menyentuh berbagai
bidang kehidupan.
Korupsi merupakan
masalah serius, tindak
pidana ini dapat membahayakan stabilitas
dan keamanan masyarakat,
membahayakan pembangunan sosial
ekonomi dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi
dan moralitas karena
lambat laun perbuatan ini
seakan menjadi sebuah
budaya. Korupsi merupakan
ancaman terhadap cita-
cita menuju masyarakat adil dan makmur.
Pembicaraan tentang
korupsi seakan tidak
ada putus-putusnya.
Fenomena ini
memang sangat menarik
untuk dikaji, apalagi
dalam situasi seperti
sekarang ini, dimana
ada indikasi yang
mencerminkan ketidakpercayaan rakyat
terhadap pemerintah. Tuntutan
akan pemerintahan yang bersih semakin keras, menyl krisisi
ekonomi akhir-akhir ini. Hal ini sungguh masuk
akal, sebab kekacauan
ekonomi saat ini
merupakan ekses dari buruknya kinerja pemerintahan di
Indonesia dan praktik korupsi inilah yang
menjadi akar masalah.
Dalam penulisan hukum ini penulis
membungkus permasalahan tentang tindak
pidana korupsi di
Medan dengan terdakwa
drg. Armand P.
Daulay, 1 MKes (54) saat itu menjabat Direktur RSUP H
Adam Malik Medan, diadili di Pengadilan
Negeri (PN) Medan, tuduhan kasus korupsi
senilai Rp2,7 miliar lebih dana Program
Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Kesehatan (PKPS-BBM BIDKES) tahun
anggaran 2002.
Dana Program
PKPS-BBM Bidkes senilai
Rp2,8 milyar lebih
itu disalurkan melalui
RSUP H Adam
Malik Medan. Terdakwa
tersebut dipercayakan untuk
melaksanakan Program Pemerintah
Pusat untuk membantu Pelayan Kesehatan bagi Keluarga
Miskin (Gakin) yang bersumber dari dana
APBN.
Kemudian dr
Fauzi menyampaikan secara
lisan kepada terdakwa, Daniel, dan Yf bahwa setiap pasien gakin
yang dirawat di RSUP Adam Malik Medan
dikenakan jasa pelayanan
tambahan sebesar 30
persen.
Selanjutnya Daniel
mengajukan klaim biaya
rawat inap perawatan
Gakin kepada Fauzi
sebesar Rp4,1 miliar
lebih dengan alasan
untuk perawatan pasien.
.
Berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan RI
Nomor 1086/MENKES//SK/X/2001 Tentang
Pedoman Pelaksanaan Program PDPSEBK dan KS tanggal 17 Oktober 2001. Selain itu, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 777/MENKES/SK/2002 Tentang
Pedoman Pelaksanaan PKPS-BBM BIDKES
tanggal 25 Juni
2005 bahwa besarnya
perhitungan klaim dihitung
berdasarkan kebutuhan pelayanan
nyata (service cost) termasuk biaya
rujukan. Dalam penynan
PPE besarnya jasa
pelayanan sama dengan jasa pelayanan kelas III, namun oleh
Daniel mengajukan klaim kelas II,
padahal kenyataanya pasien
gakin tersebut dirawat
di kelas III.
Dengan demikian
jumlah klaim yang
diajukan Daniel atas
perawatan 2.338 pasien gakin tersebut keseluruhannya terdapat
kelebihan sebesar Rp2,7 miliar lebih.
Mencermati terhadap
tindak pidana yang
dibahas di atas,
Tindak Pidana Korupsi merupakan
suatu fenomena kejahatan yang menggerogoti dan menghambat
pelaksanaan pembangunan, sehingga
penanggulangan dan pemberantasannya harus
benar-benar diprioritaskan. Sumber
kejahatan korupsi banyak
dijumpai dalam masyarakat
modern dewasa ini,
sehingga korupsi justru berkembang dengan cepat baik kualitas
maupun kuantitasnya.
Sekalipun penanggulangan tindak
pidana korupsi diprioritaskan, namun diakui bahwa
tindak pidana korupsi
termasuk jenis perkara
yang sulit penaggulangan
maupun pemberantasannya. Perbuatan
korupsi dapat saja mempunyai dua
motif sekaligus, yakni
korupsi yang sepintas
lalu hanya mendapatkan
uang tetapi sesungguhnya
sudah dipersiapkan untuk kepentingan politik,
demikian pula korupsi
yang kelihatannya hanya merugikan
di bidang perekonomian tetapi dapat
juga misalnya dipergunakan untuk mempengaruhi
jalannya pemilihan umum
agar mengalami kegagalan melalui manipulasi suara (Bambang Purnomo,
1983 : 14).
Pemberantasan korupsi
merupakan salah satu
agenda penting dari pemerintah
Indonesia dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas
Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN). Bahkan
pemberantasan korupsi juga
merupakan agenda di
tingkat regional dan
internasional. Ini dibuktikan
dengan banyaknya lembaga-lembaga internasional
yang turut menegaskan
komitmennya untuk bersama-sama
memerangi korupsi. Salah satu
penghambat kesejahteraan negara berkembang pun disinyalir akibat dari praktik
korupsi yang eksesif,
baik yang melibatkan
aparat di sektor
publik, maupun yang
melibatkan masyarakat yang lebih luas.
Indikasi tetap maraknya
praktik korupsi di
Indonesia dapat terlihat
dari tidak kunjung membaiknya
angka persepsi korupsi.
Beberapa survei yang
dilakukan oleh lembaga
independen internasional lainnya
juga membuktikan fakta
yang sama, walaupun
dengan bahasa, instrumen
atau pendekatan yang
berbeda.
Hal ini
sangat memprihatinkan. Upaya
pemberantasan korupsi melibatkan semua pihak, semua sektor dan seluruh komponen
perumus kebijakan baik itu pemerintah dan
penyelenggara negara lainnya,
tidak terkecuali anggota masyarakat
secara umum. Hal
ini karena praktik
korupsi bukan merupakan monopoli
perilaku dari pegawai
atau pejabat pemerintah
saja, tetapi merupakan
justru perilaku kolektif
yang melibatkan hampir
semua unsur dalam masyarakat
(http://www.stialan.ac.id/artikel%20yogi.pdf, diakses pada tanggal 18 April 2013, Pukul 13.00 WIB).
Melalui hukum
acara pidana ini,
maka bagi setiap
individu yang melakukan
penyimpangan atau pelanggaran
hukum, khsnya hukum pidana, selanjutnya
dapat diproses dalam
suatu acara pemeriksaan
di pengadilan, karena menurut
hukum acara pidana untuk membuktikan bersalah tidaknya
seorang terdakwa haruslah
melalui pemeriksaan di
depan sidang pengadilan
(Darwan Prinst, 1998:
132). Dan untuk
membuktikan benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang
didakwakan diperlukan adanya suatu
pembuktian.
Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
memuat ketentuan pembuktian yang
menyimpang dari ketentuan pembuktian perkara pidana
biasa. Adanya pembuktian
khs yang berlainan
dengan perkara pidana
biasa berhunbungan sangat
sulitnya pembuktian perkara
korupsi, dimana pembuat delik
korupsi mempunyai kecakapan atau pengalaman dalam suatu
pekerjaan tertentu yang
memberikan kesempatan korupsi.
Menurut ketentuan tersebut
di atas dapat
disimpulkan bahwa hak-hak
seorang terdakwa berdasarkan
azas praduga tak
bersalah terasa agak
dikurangi.
Skripsi Hukum:Kajian konstruksi hukum penuntut umum dalam membuktikan bahwa putusan judex factie bukan merupakan putusan bebas murni sebagai justifikasi pengajuan kasasi dalam tindak pidana korupsi
Download lengkap Versi PDF >>>>>>>KLIK DISINI
Bab I
|
Download
| |
Bab II
|
Download
| |
Bab III - V
|
Download
| |
Daftar Pustaka
|
Download
| |
Lampiran
|
Download
|