Skripsi Psikologi:DINAMIKA PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA NARAPIDANA

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kejahatan merupakan perilaku anti sosial dan juga gejala sosial yang  bersifat universal. Pembunuhan, pencurian, penipuan, hingga kejahatan-kejahatan  lainnya telah dimulai dari dulu sampai sekarang. Dalam masyarakat praliterate (sebelum mengenal huruf), tindakan kejahatan diartikan sebagai semua perbuatanperbuatan yang melawan kekuasaan-kekuasan supernatural atau yang melanggar  kekuasaan Tuhan. Sedangkan menurut hukum, kejahatan atau kriminalitas adalah  bentuk tingkah laku yang dilarang oleh Undang-Undang dengan sanksi-sanksi  hukuman tertentu (Kartono, 2009). Terhadap kejahatan, masyarakat berkehendak  untuk memberantas dan mencegah, sedangkan terhadap pelaku kejahatan,  masyarakat menumpahkan kebencian, sumpah serapah, cacian, serta  mengasingkannya dari pergaulan (Atmasasmita, 1997).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia online, seseorang yang sedang  menjalani hukuman karena tindak pidana yang dilakukannya dinamakan terhukum  atau disebut narapidana. Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang  Hukum Acara Pidana, pengertian terpidana adalah seseorang yang dipidana  berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Sedangkan pengertian narapidana adalah terpidana yang hilang kemerdekaan di  lembaga permasyarakan.
Haney (2001), menyatakan bahwa ketika seseorang pertama sekali  menginjakkan kaki ke dalam tembok penjara, ia  dipaksa untuk mampu  menyesuaikan diri dengan rutinitas penjara yang kaku dan kasar, hilangnya  privasi, dan mengalami suatu kondisi kritis, tidak menyenangkan dan sulit. Dalam  “Social Readjustment Rating Scale” (SRRS) yang dikembangkan oleh Holmes  dan Rahe (1967), hukuman penjara menempati urutan keempat dalam skala urutan  pengalaman hidup yang menimbulkan stress (dalam Sarafino, 2006). Harsono  (1995), kembali mempertegas bahwa narapidana adalah manusia yang tengah  menjalani krisis, berada di persimpangan jalan, mengalami dissosiasi dengan  masyarakat dan tengah merencanakan kehidupan baru setelah keluar dari  Lembaga Permasyarakatan (seterusnya akan disebut LP).
Dampak psikologis  akibat dari pidana penjara jauh lebih berat  dibandingkan dengan pidana penjara itu sendiri, sehingga sebenarnya narapidana  tidak hanya dipidana secara fisik, tetapi juga secara psikologis (Harsono, 1995).
Bartollas (dalam Bartol, 1994), menyatakan bahwa secara umum dampak  kehidupan di penjara merusak kondisi psikologis seseorang.
Hal senada diungkapkan oleh Arson (nama samaran), salah seorang  narapidana yang menghuni Lapas Klas IIA Abepura, Jayapura, mengungkapkan: ”Kami selalu dipukul dan disiksa kalau keluar kamar trus disuruh masuk oleh  petugas tapi terlambat masuk. Tidak sampe satu jam kami diluar. Mungkin hanya  tiga menit saja kami terlambat. Biarpun begitu tetap dipukul.. kata –kata kotor  juga terus menerus dikeluarkan petugas lapas.. Ini akan bikin  mental kami  tambah rusak.. bisa-bisa napi dan tahanan lebih jahat lagi dari yang sebelumnya,” (Tabloidjubi.com. Edisi Minggu, 08 Mei 2011) Zamble (dalam Bartol, 1994), menjelaskan mengenai sikap menarik diri  dari kehidupan sosial yang dialami para tahanan di dalam penjara. Para tahanan  mempunyai kecenderungan menghabiskan waktu di dalam sel masing-masing  atau dengan beberapa teman dekat saja. Permasalahan-permasalahan tersebut  disebabkan oleh ketidakbebasan atas aturan-aturan di penjara. Sedangkan Kartono (2009), menyatakan bahwa kehidupan yang berjalan di dalam penjara memiliki  kebudayaan tersendiri. Di kalangan narapidana, terdapat norma-norma, hukumhukum, kontrol dan sanksi-sanksi sosial serta bahasa dengan logat dan kode  tersendiri. Selain itu, banyak terjadi konflik-konflik terbuka dan konflik-konflik  batiniah yang serius.
Penolakan juga datang dari pihak keluarga narapidana sendiri. Keluarga  yang ditandai dengan kurangnya saling ketergantungan emosional dan kesatuan  yang erat akan memandang kejahatan sebagai salah satu masalah yang  mendatangkan aib pada seseorang maupun keluarganya. Para keluarga mencoba  untuk menyembunyikan tingkah laku tercela dari anggota keluarganya agar dapat  menghindari “getah” pada seluruh anggota keluarga lainnya. Sedangkan keluarga  yang memiliki tingkat kesatuan yang tinggi dan kasih sayang yang kuat dalam  keluarga, aib lebih sering dilihat sebagai masalah keluarga daripada masalah  pribadi (Khairuddin, 1997).
Meskipun sudah 10 tahun mendekam di dalam Lembaga Permasyarakatan  Cipinang, Aznani (40), tetap dengan setia mengunjungi suaminya selama ini. Jarak yang  ditempuh dan biaya yang dikeluarkan tidaklah sedikit. Selain itu, pihak keluarga juga  tidak henti-hentinya berupaya untuk mendapatkan pengurangan maupun keringanan  hukuman terhadap suaminya.
“Sedih sekali rasanya, sejak putri saya berumur 3 tahun, hingga kini tak pernah  berkumpul sebagaimana keluarga lainnya. Walau saya sering menjenguknya  setiap pekan, tapi tak lengkap rasanya kalau dia tidak bisa berkumpul di rumah  bersama kami. Apalagi LP Cipinang cukup jauh dari tempat tinggal saya, jadi  lumayan banyak biaya yang harus dikeluarkan, Dulu kami punya empat unit  angkutan sebagai penopang hidup, awalnya suami saya juga bekerja sebagai agen  mobil. Setelah dia ditangkap saya kewalahan memenuhi kebutuhan hidup, jadi  beberapa mobil terpaksa kami jual. Sekarang hanya tinggal satu unit. Untunglah  beberapa famili di Aceh masih ada yang membantu biaya hidup kami sehari-hari” (Tabloid Kontras. Edisi Rabu, 29 September 2010) Ndoen (2009),  dalam  penelitiannya tentang pengungkapan diri pada  mantan narapidana menyatakan bahwa pada dasarnya, mantan narapidana yang  ingin berinteraksi kembali ke dalam masyarakat memiliki rasa rendah diri yang  besar dan cenderung tertutup. Secara garis besar hal ini disebabkan karenaadanya  penolakan dari masyarakat  dalam kehidupan yang normal. Menurut Harsono  (1995), rasa tidak aman yang dialami oleh bekas narapidana dalam kehidupan di  masyarakat bukan berasal dari petugas LP, tetapi dari masyarakat sekelilingnya  yang selalu menaruh curiga kepada mantan narapidana.
Harsono (1995), juga menyatakan bahwa sebelum kembali ke masyarakat,  mantan narapidana terlebih dahulu dididik, dibina, serta dikembangkan  kehidupannya agar menjadi orang yang aktif dan produktif serta kreatif sehingga  mantan narapidana dapat membuktikan diri, berinteraksi kembali dengan  masyarakat dan dapat memenuhi kebutuhan hidup nya sendiri maupun untuk  keluarganya dengan jalan tidak melanggar hukum lagi.
LP Kelas II A sebagai satu-satunya Lembaga Pemasyarakatan yang berada  di Kota Sibolga turut mengambil andil dalam proses memanusiakan kembali para  narapidana, agar nantinya dapat diterima kembali dalam masyarakat. Sistem yang  digunakan dalam LP saat ini adalah untuk membina dan memasyarakatkan warga  binaannya, serta menciptakan suasana LP seperti narapidana berada dalam  lingkungan sendiri (Harsono, 1995). Bila perilaku narapidana dapat ditangani  secara efektif, LP dapat berfungsi menjadi tempat kerja yang nyaman, lingkungan  yang aman dan bersih, serta dapat memberikan layanan terhadap komunitas  (Hutchinson, dkk, 2009).
Menurut penuturan Sukarja, SH., selaku Kepala Seksi Pembinaan dan  Pendidikan, terdapat enam  blok kurungan yang dihuni oleh para narapidana,  dimana Blok A, Blok B, Blok D dan Blok E dihuni oleh narapidana pria, Blok C  dihuni oleh narapidana wanita dan Blok F dihuni oleh narapidana anak. Pada  masing-masing blok terdapat jumlah kamar kurungan/sel yang berbeda pula.
Setiap kamar kurungan dilengkapi dengan kamar mandi sehingga mempermudah  narapidana mengakses air bersih meskipun berada dalam kamar kurungan. Selain  itu, setiap lantai kamar kurungan dibatasi dan dilapisi dengan papan agar para  narapidana dapat terhindar dari berbagai penyakit, seperti masuk angin dan  penyakit beri-beri yang muncul akibat bersentuhan langsung dengan lantai. Pada  setiap atap kamar, dilengkapi dengan jerjak atau plafon.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan informan dalam LP,  ditemukan bahwa mayoritas penghuni LP adalah pria dewasa dengan rentang usia  20-45 tahun. Berkaitan dengan daya tampung dan jumlah keseluruhan narapidana  di LP ini, terjadi over kapasitas narapidana. Adapun daya tampung LP berjumlah  332 narapidana sedangkan jumlah keseluruhan berjumlah 440 narapidana. Jadi,  terdapat over kapasitas sebanyak 108 narapidana. Selain itu, tidak ada perilaku  maupun pelayanan khusus yang ditujukan kepada narapidana tertentu.
Menyinggung standar hidup dalam LP, terdapat sarana dan prasarana yang  memadai, yaitu ruang kunjungan untuk para tamu yang datang membesuk, kantin  yang menyediakan keperluan narapidana, tersedianya air bersih, tempat ibadah  seperti Gereja dan Mesjid, dan pelayanan kesehatan seperti klinik. Di dalam LP  sendiri, dipenuhi dengan tanaman dan pepohonan rindang sebagai tempat untuk berteduh, bahkan di beberapa titik terdapat tempat duduk untuk para narapidana  dalam menghabiskan waktu sehari-hari.
Kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh LP sendiri mencakup kegiatan  olahraga dan keterampilan kerja. Kegiatan ini dilakukan pada waktu-waktu  tertentu dan ditujukan kepada semua narapidana. Menurut Sukarja, SH., tujuan  dari dilakukannya pembinaan ini yaitu memberikan kesempatan kepada  narapidana untuk bekerja dan mengembangkan diri, sehingga setelah keluar dari  LP, dapat hidup secara mandiri dan menjadi pribadi yang lebih baik. Hal ini  sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Harsono (1995). Untuk  menunjang kegiatan ini, terdapat aula yang digunakan untuk pelatihan  ketrampilan dan lapangan terbuka untuk kegiatan olahraga.
Menurut Haryadi (2010), beberapa permasalahan yang umumnya terdapat  di LP tidak lepas dari minimnya sarana dan prasarana, penganiayaan oleh oknum  petugas dan over kapasitas.  Hal ini menyebabkan  proses pendidikan dan  pembinaan tidak maksimal. Disamping itu, standar hidup disebagian Lembaga  Pemasyarakatan belum layak, seperti satu ruang tahanan yang harus dihuni oleh  sejumlah besar narapidana, minimnya air bersih, pelayanan kesehatan yang  terbatas dan sanitasi yang buruk.
Kondisi dan perubahan hidup yang dialami oleh para narapidana dapat  membawa mereka ke dalam suatu perasaan ketidaknyamanan fisik dan psikis.
Ketidaknyamanan secara fisik maupun psikis selama menjalani hukuman di  Lembaga Pemasyarakatan akan berdampak pada psychological well-being narapidana. Ryff & Singer (dalam Papalia, 2008), menjelaskan mengenai  kesehatan mental bahwa orang yang sehat secara mental bukan hanya berarti  ketiadaan sakit secara mental. Kesehatan mental yang positif mencakup  psychological well-being, yang bisa didapat dengan perasaan sehat dari diri  sendiri. Individu yang mencapai psychological well-being dapat meningkatkan  kebahagiaan, kesehatan mental yang positif, dan pertumbuhan diri.
Psychological well-being  dapat menjadikan gambaran mengenai level  tertinggi dari fungsi individu sebagai manusia dan apa yang diidam-idamkannya  sebagai makhluk yang memiliki tujuan dan akan berjuang untuk tujuan hidupnya  (Snyder and Lopez, 2002). Ryff dan Keyes (dalam Hoyer, Rybash, dan Roodin,  1995), menyatakan bahwa individu yang memiliki psychological well-being yang  positif adalah individu yang memiliki respons positif terhadap dimensi-dimensi  kesejahteraan psikologis yang berkesinambungan. Pada intinya, psychological  well-being merujuk pada perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari.

Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif (misalnya ketidakpuasan  hidup, kecemasan, dan sebagainya) sampai ke kondisi mental positif, misalnya  realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn, 1995).

Download lengkap Versi PDF