BAB I PENDAHULUAN I.
A. Latar Belakang Masalah Citra
ideal keluarga adalah sebuah kehidupan yang dipenuhi kehangatan, kasih
sayang, dan sikap
saling menghormati. Tetapi
kenyataan memperlihatkan bahwa berbagai
macam bentuk kekerasan serius terjadi dalam konteks keluarga.
Penganiayaan fisik, seksual, dan
emosional adalah hal yang sering terjadi (Krahe, 2005).
Hal ini diperkuat
oleh pernyataan Geless
(dalam Krahe, 2005)
bahwa orang-orang di masyarakat
lebih mungkin dibunuh, diserang secara fisik, dipukul, dihajar,
ditampar atau ditempeleng
oleh anggota keluarganya
sendiri, di rumah sendiri,
daripada oleh orang lain, di tempat lain. Demikian pula pernyataan sejalan dari
Krauss (dalam Krahe,
2005) bahwa fitur
khas dari tindakan
kekerasan domestik atau kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT) ini adalah bahwa tindakan tersebut
jarang merupakan kejadian
tunggal, tetapi cenderung
berlangsung berulang-ulang,
kadang-kadang terus menerus, dan dalam jangka waktu lama.
Poerwandari
(dalam Ihromi, Irianto,
Luhulima, 2000) menyatakan
bila anggapan umum
menyatakan tempat yang
berbahaya di luar
rumah, bagi perempuan faktanya tampak tidak demikian.
Perempuan justru lebih sering dilukai dan mengalami
kekerasan dalam lingkup
personal, baik dalam
kaitan perannya sebagai istri, anggota keluarga lain, pacar
atau teman intim. Meskipun demikian, kekerasan
jenis ini adalah juga kekerasan yang sulit untuk diungkap, antara lain karena: (1) cukup banyak pihak yang menganggap
bahwa hal tersebut lumrah saja Universitas
Sumatera Utara (bahkan
merupakan bagian dari
”pendidikan” yang dilakukan
suami pada istri), (2)
konflik dalam keluarga
sangat sering dilihat
sebagai masalah internal,
baik oleh orang
luar maupun oleh
orang di dalam
keluarga itu sendiri;
dan (3) baik pelaku
atau korban sangat sering menutupi kejadian dengan alasan yang berbeda.
Pelaku menganggap apa yang terjadi
adalah urusan keluarga dan hak pribadinya, sementara korban merasa sangat malu untuk
membuka ”aib” dan berusaha sekuat tenaga
untuk menutupi. Bahkan, membela orang yang telah melakukan kekerasan pada dirinya. Bila perkosaan oleh orang yang
dikenal atau dekat dengan korban lebih mungkin
untuk berulang, demikian
pula tindak kekerasan
fisik dan psikologis dalam hubungan intim.
Bahkan
menurut Sismanto (2007)
sadar ataupun tidak,
persoalan kekerasan suami pada
istri sudah menjadi kebiasaan kultural sebuah rumah tangga di Indonesia terutama pedalaman. Kesan dan
mitos bahwa istri adalah ”pelayan” seksual
suami dan rela menggadaikan kebebasan pada suami adalah kontrak sosial yang
tidak tertulis selama
ini. Fenomena itu
juga barangkali telah
menjadi bumbunya kehidupan rumah
tangga. Apalagi, ”politik” balas jasa istri pada suami adalah
kontrak struktural yang
harus dijalani. Kebebasan
istri untuk mencari nafkah bagi keluarga akan ditepis oleh peran
domestik istri (Sismanto, 2007).
Dalam kasus
istri korban kekerasan
domestik menurut Jacobson
& Gottman (1998), istri akan
dihadapkan pada sebuah masalah kekerasan domestik dimana ia berada dalam posisi yang dirugikan.
Untuk memecahkan masalah ini, ia dihadapkan pada
beberapa alternatif pemecahan,
salah satunya pergi Universitas
Sumatera Utara meninggalkan
suami dan perkawinan yang penuh kekerasan. Nyatanya,
tidaklah mudah bagi istri untuk
memutuskan meninggalkan suaminya.
Banyak faktor yang dikemukakan
oleh Jacobson & Gottman (1998) yang dapat menyebabkan
pengambilan keputusan untuk
meninggalkan perkawinan yang
penuh kekerasan ini
menjadi sangat sulit,
antara lain: istri
takut bila ia meninggalkan suami
maka kekerasan justru
akan bertambah parah,
istri masih bergantung secara ekonomi pada suaminya, istri
memiliki keterikatan emosional yang kuat
dengan suaminya, istri masih mencintai
suaminya dan berharap suatu saat kekerasan
akan berakhir serta
perkawinan yang penuh
cinta kasih akan terwujud.
Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Jacobson&Gottman, Bell dan Naugle (2005) menambahkan bahwa
komitmen terhadap rumah tangga juga termasuk
faktor yang paling
mempengaruhi istri untuk
tetap mempertahankan pasangannya.
Data yang didapat dari Komnas Perempuan (2005) menyimpulkan untuk tahun 2004, ada 178 kasus KDRT yang ditangani
oleh organisasi perempuan, 365 kasus yang
ditangani rumah sakit
dan 719 kasus
yang ditangani oleh
rumah pelayanan khusus
kepolisian. Jumlah keseluruhannya sebanyak
13.968, yang dulunya
berjumlah 7.787. Sepanjang
tahun 2006 angka
KDRT di Indonesia dipastikan
meningkat dibandingkan dengan
2005. Temuan ini
tentu saja cukup mengejutkan,
mengingat telah diratifikasikannya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
(PKDRT) (Sihite, 2007).
Menurut
Sihite (2007), kehadiran Undang-Undang
PKDRT tidak menjamin
dan serta merta
dimanfaatkan oleh mereka
korban kekerasan dalam Universitas
Sumatera Utara rumah
tangga. Nilai sosial
budaya yang menabukan
persoalan pribadi diangkat menjadi persoalan publik, merupakan
sekat-sekat penghalang bagi korban untuk membawa
kasusnya ke tingkat
peradilan. Anggapan bahwa
kasus kekerasan dalam
rumah tangga merupakan
persoalan hubungan antar
individu yang saling kenal dan sebagai masalah pribadi, ditambah
lagi oleh persoalan ketergantungan ekonomi, masa
depan, serta status
anak menambah panjang
argumentasi yang menguatkan korban tetap menutup rapat kasus
domestiknya. Berdasarkan beberapa faktor dan anggapan dalam
kasus kekerasan dalam rumah tangga yang
disebutkan di atas. Hal tersebut terlihat dalam pernyataan yang diungkapkan
oleh Mowi (59
tahun) salah satu
korban kekerasan dalam
rumah tangga dalam komunikasi
personal yang dilakukan dengan peneliti ”kalo
bisa jangan cerai la...kasian anak-anak. Nanti gimana kehidupan mereka.
Apalagi kalau
mereka entar udah
besar. Udah gitu
kan Nesya, Mowi
kira kalau udah
dibilangin baek-baek terus
diomongin bakalan nggak
kayak gini lagi. Mowi berharap dia bisa berubah, pengen
kali Mowi liat keluarga Mowi jadi bahagia.
Tapi sampe sekarang
ya..nggak bisa. Dia
aja nggak pedulian sama anak-anak”. (Komunikasi Personal, 31
Oktober 2007).
Sismanto
(2007) mengemukakan bahwa
bila korban kejahatan
kekerasan dalam rumah tangga
tidak melaporkan sebagai akibat ”kepasrahan” dirinya, maka korban akan mengalami post traumatic syndrome
stress(PTSS). Ada beberapa hal yang akan
menyebabkannya. Pertama, the
belief in personal
vulnerability, yaitu tidak percaya bahwa dirinya sudah menjadi
korban. Walaupun sebelumnya telah banyak terjadi
kejahatan semacam itu,
tidak pernah terpikir
bahwa kejadian tersebut akan menimpa dirinya. Hal ini
menyebabkan kecemasan yang mendalam.
Kedua, the world is meaningful, apapun yang terjadi
di dunia ini adalah sesuatu Universitas
Sumatera Utara yang teratur dan komprehensif. Maksudnya,
kalau kita berbuat baik dan hati-hati niscaya akan
terhindar dari penderitaan.
Tetapi ternyata apa
yang diperkirakan tersebut
tidak berjalan seperti
itu, walaupun dia
telah berbuat baik
dan hati-hati ternyata
dirinya menjadi korban.
Hal senada juga
dikatakan oleh Walker
dalam (Wrightsman dan
Fulero, 2005) bahwa
ciri perempuan korban
kekerasan adalah kehilangan
asumsi untuk bertahan
(invulnerability) dan aman.
Dimana sebelumnya, perempuan
tersebut memiliki keyakinan bahwa segala sesuatu akan berjalan dengan baik dan keyakinannya akan
kekerasan tersebut tidak akan terjadi pada
dirinya. Hal ini juga diungkapkan oleh
Mowi (59 tahun) dalam wawancara yang
peneliti lakukan: ”Mowi enggak mengalami
kekerasan kok. Mowi enggak pernah dipukuli..tapi, kalau marah-marah ya. Beda pendapat, dan suka
maksa pendapat, semua yang dibilanginnya harus
dituruti, enggak boleh
dibantah.....Waktu sebelum nikah dulu, Mowi
enggak nyangka bakalan
diginiin. Soalnya sifatnya
penyayang kali”. Beda sama
sekarang. (komunikasi personal, 31 Oktober 2007).
Berbagai bentuk
kekerasan domestik yang
dilakukan suami dapat memberikan
dampak pada fisik dan psikologis istri. Dampak bagi kesehatan fisik yang dikemukakan oleh Komnas perempuan (2002),
antara lain: luka-luka/cedera ringan maupun
berat, cacat tubuh
permanen, penyakit seksual,
gangguan siklus haid,
ganggua nafsu makan
atau bahkan meninggal
dunia. Sedangkan dampak psikologis
yang dikemukakan oleh
UNICEF (2000) antara
lain: depresi, menghindar
(withdrawal), harga diri yang
rendah, kecemasan yang
berat, ketakutan yang
berlebih, perasaan bersalah
dan malu, menyalahkan
diri sendiri, isolasi
sosial, penggunaan obat-obatan
terlarang, menghindar dari
kontak mata, penolakan terhadap pengobatan, merasa tidak
nyaman dekat dengan penolongnya Universitas
Sumatera Utara (caregiver),
dan bunuh diri.
Kemudian Matlin (1987)
menambahkan adanya perasaan yang tidak adekuat/tidak berdaya yang
juga termasuk di dalam dampak psikologis
yang dirasakan oleh istri.
Adanya perasaan yang tidak adekuat/tidak
berdaya itu akan menimbulkan kondisi learned helplessnessatau kondisi dimana
ketidakberdayaan tersebut akan dipelajari
yang menurut Abramson et. Al (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2003), adalah
perasaan kurang mampu
mengendalikan lingkungannya yang
akan membimbing seseorang pada
sikap menyerah atau putus asa dan mengarahkannya pada atribusi diri yang kuat bahwa dia
tidak memiliki kemampuan untuk keluar dari situasi tersebut.
Learned helplessnesssudah
dihubungkan dengan penganiayaan pasangan sejak
Walker (1979) pertama
kali mengemukakan konsep
Battered Women Syndrome
(BWS). Walker (dalam
Palker, Corell dan
Marcus, 2004) mengemukakan bahwa pola penganiayaan pasangan
yang berulang akan berperan penting untuk
membangun kepercayaan bagi
perempuan yang mengalami penganiayaan
dimana perempuan tersebut
tidak memiliki kesempatan
untuk mengubah situasi yang
terjadi.
Kemudian
Walker (dalam Krahe,
2005) menyebutkan bahwa
pola penganiayaan tersebut
terdiri dari tiga
fase. Dimana fase
pertama terjadi ketika pelaku kekerasan terlibat dalam insiden
penganiayaan ringan, seperti kemarahan, menyalahkan, dan
perselisihan. Namun, pasangan
mencoba mengaburkan situasinya
dengan menganggapnya sebagai
hal yang biasa
dalam bumbu pernikahan,
sehingga ketegangan demi
ketegangan berlalu begitu
saja. Fase Universitas Sumatera Utara selanjutnya terjadi
dimana ketegangan meningkat
menjadi penganiayaan atau disebut dengan
penyiksaan akut (acting-out
phase). Bentuknya bisa
bermacammacam, baik berupa
tamparan, tendangan, cekikan,
bantingan, dan seringkali bahkan penyerangan dengan
senjata tajam atau
api. Menurut Ciciek
(2005) kekerasan bisa berhenti
jika perempuan pergi dari rumah, mati, atau suami sadar akan kesalahannya. Kemudian fase ketiga yang
disebut honeymoon phase, dimana periode yang
lebih harmonis terjadi.
Pelaku penganiayaan itu
memperlihatkan kasih sayang
kepada pasangannya. Pola
ini dapat membantu
menjelaskan mengapa para
korban kekerasan tetap
bertahan dalam hubungan
yang disertai penganiayaan
dan atau tidak berusaha mencari
pertolongan. Fase penganiayaan akan
dilakukan secara berulang-ulang, tidak
terprediksi, dan tidak
terkontrol tersebut semakin
lama akan semakin
pendek waktu perputarannya
jika berada pada fase bulan madu.
Pengalaman terhadap fase penganiayaan tersebut
menurut Walker (dalam Krahe, 2005) dapat
mengurangi perasaan mampu mengontrol diri mereka sendiri pada korbannya. Dan hal ini menciptakan suatu
kerangka berpikir dimana korban merasa tidak
mampu mengakhiri atau
meninggalkan hubungan yang
disertai kekerasan. Kerangka berpikir ini dipengaruhi secara langsung dari atribusi yang mereka
lakukan sendiri pada
kehidupan mereka. Sehingga
makin terbentuk keadaan yang tidak terkontrol dan menjadi
depresi (Walker dalam Palker, Corell dan Marcus,
2004). Kemudian Walker
(dalam Seeley &
Plunket, 2002) menyimpulkan bahwa perempuan yang disiksa
(battered women)menjadi lumpuh secara psikologis,
submissive dan mengalami
learned helplessness. Hal lebih
Universitas Sumatera Utara lanjut ditambahkan
oleh Gondolf (dalam
Seeley & Plunket,
2002) yang mengatakan bahwa korban kekerasan biasanya
membutuhkan sumber pertolongan dan
dukungan sosial untuk dapat bebas dan meninggalkan penyiksanya (abuser), tetapi usaha pencarian pertolongan yang tidak
berhasil akan menyebabkan learned helplessnesspada
korban.
Selanjutnya
Walker (dalam Constanzo,
2006) juga berusaha
untuk mengidentifikasikan sejumlah
sifat yang ada
pada perempuan yang
mengalami penganiayaan. Sifat-sifat
itu antara lain
adalah: memiliki sikap
peran seks tradisional
(seperti kepercayaan bahwa
perempuan seharusnya bersikap
penurut terhadap suaminya),
citra diri yang
buruk dan kecenderungan
untuk merasa bertanggung jawab atas penganiayaan yang
menimpanya. Karena perempuan yang dianiaya cenderung
percaya bahwa ia
sendiri yang menyebabkan
terjadinya penganiayaan itu dari
orang lain. Akibatnya, dari waktu ke waktu, ia cenderung menjadi terasing secara sosial dan semakin
tergantung pada penyiksanya, menjadi semakin tidak
mampu melepaskan diri
dari hubungan tersebut
dan menjadi learned helplessness.
Download lengkap Versi PDF