Skripsi Psikologi:DINAMIKA TRUST TERHADAP PASANGAN PADA PEREMPUAN YANG TELAH MELAKUKAN ABORSI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah  Dampak pergaulan bebas di kalangan remaja berpacaran mengantarkan  pada kegiatan menyimpang seperti seks bebas sehingga mengakibatkan  menularnya penyakit kelamin dan kehamilan diluar nikah yang pada akhirnya  membawa pada tindakan aborsi. Berdasarkan survei BKKBN tahun 2008, sekitar  63% remaja di Indonesia pernah berhubungan seks dan sebanyak 21% diantaranya  yaitu sekitar 2.000.000 jiwa pernah melakukan aborsi setiap tahunnya di  Indonesia.
Aborsi adalah Menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran  dikenal dengan istilah “abortus” yang berarti  pengeluaran hasil konsepsi  (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan.
Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan  untuk bertumbuh (Wikipedia, 2009). Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh  Dadang Hawari dalam bukunya, ‘ABORSI – Dimensi Psikoreligi’ (2006), bahwa  aborsi merupakan pengguguran kandungan atau terminasi (penghentian)  kehamilan yang disengaja (abortus provocatus), yaitu, kahamilan yang  diprovokasi dengan berbagai macam cara sehingga terjadi keguguran.

Aborsi adalah suatu keputusan yang biasanya melibatkan hubungan kedua  belah pihak antara pasangan tersebut, jika suatu kehamilan yang tidak diinginkan  Universitas Sumatera Utara tersebut sudah diputuskan, maka aborsi akan menjadi bagian dari masa lalu  mereka yang memiliki dampak yang potensial terhadap kehidupan mereka saat ini  dan di masa mendatang (Coleman, dkk ,2007).
Terdapat beberapa alasan individu mengambil keputusan untuk melakukan  aborsi yaitu ingin terus melanjutkan sekolah atau kuliah, takut pada kemarahan  orang tua, menjaga nama baik keluarga, malu pada lingkungan sosial bila  ketahuan hamil sebelum menikah dan kehamilan yang terjadi akibat perkosaan  (“Pacaran”, 2006). Adapun penyebab lainnya karena mereka mengalami  kehamilan tetapi tidak menghendaki kehamilannya, dengan berbagai alasan  seperti faktor usia atau pasangan yang tidak mau bertanggung jawab (Hidayati,  2001). Hal ini sesuai dengan yang ungkapan Mika (23 tahun) dalam komunikasi  personal:  “Kami kandua-duanya masih sekolah, mel. Truskau tau lah siapa orang  tuanya.. Mana mungkin kami pertahanin anak tu. Malu keluarga ntik. Kalo  gak mikir keluarga udah beranak aku sekarang..” (S1.W1.b: 186-192.h:5-6).
Aborsi dapat membawa dampak negatif yang cukup signifikan baik secara  fisik dan psikologis. Terdapat dua macam resiko kesehatan wanita yang  melakukan aborsi yaitu resiko kesehatan dan keselamatan secara fisik yaitu  sebagaimana yang diungkapkan oleh Clowes (1994) dan didukung oleh pendapat  Edmundson (2009) yang meyatakan bahwa aborsi memiliki dampak yang  potensial yaitu memiliki resiko yang tinggi terhadap kesehatan maupun  keselamatan seorang wanita. Ada beberapa resiko yang akan dihadapi oleh  seorang wanita, antara lain kematian mendadak karena pendarahan yang hebat,  Universitas Sumatera Utara kematian karena pembiusan yang gagal, infeksi serius disekitar kandungan, rahim  yang sobek (uterine peoration), kerusakan leher rahim (cervical lacerations) yang  akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya, kanker payudara, kanker indung  telur, kanker leher rahim (cervical cancer), kanker hati, kelainan  placenta,  kemandulan, infeksi panggul, infeksi rongga dan infeksi pada lapisan rahim  (endometris).
Selain dampak fisik, wanita yang melakukan aborsi juga akan mengalami  resiko berupa gejala psikologis yang dikenal sebagai “Post-Abotion Syndrome”  (PAS) yang dikarakteristikkan dengan perasaan bersalah yang mendalam dan  dalam jangka waktu yang lama, depresi, dan mengakibatkan ketidakberfungsian  secara sosial dan seksual (Coleman, Rue & Spenser, 2007). Hal senada juga  diungkapkan oleh Edmundson, 2009, bahwa secara psikologis aborsi memberikan  dampak hilangnya harga diri, perasaan berdosa, lemahnya ikatan pasangan kedua  belah pihak yang menyebabkan kegagalan setelah menikah, serta penghinaan dari  masyarakat.
Hal ini dapat terlihat dari pendapat beberapa orang yang sempat  diwawancarai tentang masalah aborsi, ”Menurut aku sih apapun alasannya aborsi itu ya tetap salah lah! Berani  berbuat, harus berani tanggung jawab. Jangan jadi pengecut lah!” (Eka, 20  tahun. Wawancara personal, 13 Desember 2009).
”Aborsi itu merusak tatanan kehidupan masyarakat. Perbuatan jahiliah!”  (Rezha, 26 tahun. Wawancara personal, 13 Desember 2009).
”Aborsi itu tindakan pembunuhan dan gak beradap! Perbuatan yang  dimurkai agama apapun” (Gina, 22 tahun. Wawancara personal, 13  Desember 2009).
Universitas Sumatera Utara Speckhard dan Rue (1992, dalam Major, Appelbaun, Beckman, Datton,  Russo & West  2008), serta Burke (2002) mengatakan bahwa PAS dapat  dikarakteristikkan sebagai bentuk khusus dari Posttraumatic stress disorder (PTSD) yang dapat dibandingkan dengan beberapa simptom, termasuk simptom  trauma, seperti flashback dan denial, depresi, perasaan bersalah, marah, malu,  sedih berkepanjangan dan penyalahgunaan obat-obatan. Hal ini juga didukung  oleh penelitian yang dilakukan Speckhard (1987), yang menunjukkan bahwa  adanya efek setelah aborsi terhadap perilaku seseorang, yaitu reaksi berupa  perasaan bersalah; perasaan duka cita, penyesalan, merasa kehilangan yang  mendalam, perasaan marah misalnya mengamuk, melakukan kekerasan terhadap  orang-orang yang terlibat dalam kejadian aborsi tersebut, perasaan fear  dan  anxiety; takut terhadap kemarahan Tuhan, takut tidak dapat menghasilkan  keturunan lagi, distrustterhadap orang lain dan pasangannya, dan sebagainya.
Hal lain yang juga berdampak negatif dari segi psikologis adalah  konsekuensi atau dampak secara psikososial seseorang yang telah melakukan  aborsi. Adapun masalah psikososial yang cukup berdampak buruk yaitu masalah  interpersonal setelah aborsi tersebut, misalnya permasalahan dalam hubungannya  dengan diri sendiri, lingkungan sosialnya, misalnya pertemanan, dengan keluarga,  dan dalam hubungan percintaan pada perempuan pelaku aborsi.
Dalam hubungan pertemanan, biasanya seorang perempuan yang telah  melakukan aborsi akan sering merasa iri melihat teman-temannya yang masih bisa  tertawa tanpa beban, merasa masalah yang dimiliki oleh teman-temannya tidak  Universitas Sumatera Utara sebesar masalah yang ia tanggung, merasa minder untuk berkumpul dengan  teman-temannya karena merasa dirinya berbeda dengan teman-temannya, dan  membuat dia terus menerus menyalahkan diri sendiri dan menarik diri dari  hubungan pertemanan. Hal ini terlihat dari pengakuan Mika (23 tahun) dan Rin  (22 tahun) dalam wawancara mendalam: ” Kalo liat kawan-kawan kita yang perempuan, aku iri kali. Sesak kali hati  aku kalo liat kawan-kawan aku masih bisa ketawa-ketawa gak ada beban.
Kadang kalo ada kawan yang curhat ma aku, aku ngerasa masalah dia tu  gak ada apa-apanya dibandingkan aku. Kadang aku ngerasa minder gitu  kalo lagi ngumpul-ngumpul. Aku ngerasa beda aja ma anak-anak  seumuran aku yang seharusnya mikirin sekolah, gebetan-gebetan, bukan  mikirin dosa karna udah bunuh anak sendiri”. (S1.W2.b: 301-314.h:17)  ”kek ada bertanya-tanya gitu, apa orang tu masih virgin ato nggak. Kalo  udah liat cewek-cewek seumuran kita ato anak SMP lah, ada terpikir aku  gitu lah. Kek mana lah, aku dah ilang perawan dari SMP. Sedih aku kalo  ingat-ingat itu Mel.. Seharusnya aku gak kek gini mel... seharusnya aku  kayak anak-anak yang laen”. (S1.W1.b: 317-326.h:17)  ” Sering kali Rin bertanya-tanya sendiri, mereka masih virgin nggak ya?  Mereka sama nggak ya kayak aku? Mereka punya masalah yang kayak aku  hadapin sekarang nggakya?”. (S2.W2.b: 308-313.h: 76-77)  Dalam hubungannya dengan keluarga, sebelum kakak dan keluarga yang  lain mengetahui tentang masalah aborsinya, Mika (22 tahun) merasa cemas karena  takut masalahnya tersebut diketahui, melakukan physical withdrawal, emosi yang  tidak stabil karena berusaha menutupi rasa takut dan perasaan bersalah tersebut.
Tetapi setelah sang kakak mengetahui permasalahan aborsi tersebut, Mika merasa  lebih lega daripada sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara ”...emang dari awal kan keluarga aku udah tau kalo aku udah pernah  gituan dengan Aldi, tapi abis aborsi tu aku sumpah ketakutan jangan lah  orang ni tau aku gugurin anak. Jarang kali aku di rumah, mel. Pokoknya  sebisa mungkin aku gak ketemu ma kakak en cecek aku. Kadang aku gak  tau kenapa aku seringkali berantam ma kakak aku. Ditanya dikit masalah  Aldi aku icah (emosi)” (wawancara personal, 10 Desember 2009).
”kek misalnya kalo ditanya, ’kau tadi kemana ma Aldi?’, aku langsung  emosi jawabnya. Kan  kalo kita nutupin  sesuatu, biasanya gitu  mel”  (wawancara personal, 10 Desember 2009).
”pas abes kakak aku tau, dia yang bilang ma keluarga. Aku benci kali lah  ma anak tu! Dia kalo lagi marah ma aku, macam bukan kakak aku lagi.
Semua aib aku dikasih tau ma keluarga. Tapi abis itu aku lumayan lega  lah. Walaupun aku dicacimaki, diceramahin panjang lebar, yang penting  abes tu agak plong karna gak ada yang perlu aku tutupin lagi” (wawancara  personal, 10 Desember 2009).
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Rue (dalam Burke, 2004) bahwa  ketika seorang anak yang merahasiakan tentang aborsinya dengan orang tua  mereka, hal itu akan menciptakan jarak antara dirinya dengan orang tua dan  keluarganya. Hal itu juga didukung dengan pernyataan Deveber (2002) bahwa  perasaan malu dan takut merupakan motivator utama untuk terciptanya rahasia  antara anak kepada orang tua. Hal ini termasuk takut untuk membuat orang tua  kecewa. Rue (dalam Deveber, 2002) kembali menambahkan bahwa ketika seorang  remaja memilih untuk aborsi tanpa konsultasi dengan orang tua atau keluarga,  dampak pada konteks keluarga tidak akan dapat terelakkan. Bagaimanapun ia  akan menyimpan rahasianya yang memalukan itu dan secara emosional menekan  kemampuannya untuk menyelesaikan masalah dan akan menyebabkan ia akan  menciptakan kebohongan lainnya karena ia berusaha untuk tetap menjaga aibnya  tersebut.
Universitas Sumatera Utara Tetapi selain rasa lega karena permasalahannya telah diketahui oleh  keluarga, hal itu akan menimbulkan masalah lain yaitu perasaan rendah diri.
Akibatnya Mika cenderung menghindari interaksi dalam keluarganya.
”...emang udah lega sih, tapi kan mel, aku ada ngerasa orang tu pasti bakal  ngeliat aku beda, kek ngeremehin aku. Aku kek takut buat kesalahan gitu.
Rasanya kalo aku buat salah keknya dibilang gini, ’alah, gak heran lah si  Mika tu kan emang tukang cari masalah. Tukang buat dosa. Dasar anak  nggak tau diri’. Makanya aku males kalo ada ngumpul-ngumpul keluarga”  (wawancara personal, 12 Desember 2009).
Selain reaksi yang mempengaruhi hubungan dengan teman dan keluarga,  penelitian juga mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang diasosiasikan dengan  reaksi psikologis yang lebih negatif yang terjadi pada perempuan setelah aborsi.
Salah satu hal yang termasuk di dalamnya yaitu menggugurkan kehamilan yang  sebenarnya diinginkan dan kurangnya  sosial support  termasuk kurangnya  dukungan dari pasangan (Adler et al., 1992; Major & Cozzrelli, 1992; Major et  al., 2000 dalam Major dkk, 2008).
Hal tersebut sesuai juga dialami oleh Rin (22 tahun), yang mengatakan  bahwa:  “Rin sebenarnya siap walaupun fifty-fifty, Mel. Tapi dari awal dia udah  langsung bilang bahwa dia nggak siap. Rin kecewa sebenarnya sama dia,  Mel. Dia emang bilang kalo emang Rin mau mempertahankan, dia siap  tanggung jawab. Tapi kalimat awalnya dia udah langsung bilang kalo dia  itu nggaksiap..”. (S2.W2.b:115-125.h: 70-71)  “..kalo emang lah dia peduli amaaku, nggak akan mungkin dia tinggalin aku disaat aku butuh kali dia. Siapa yang mau peduli lagi ma aku? Orang  tua aku dua-duanya  udah  meninggal, mel… Kakak aku udah  ada  kehidupan sendiri, nggak mungkin aku ngerepotin dia lagi. Stres kali aku,  Universitas Sumatera Utara mpekaku dah coba bunuh diri berkali-kali. Di rumah kau udah dua kali, di  rumah aku sendiri udah nggak terhitung lagi. Buntu pikiran aku mel..”.
(S1.W1.b:85-96.h:3)  ”pas dia ngilang, aku kek mau gila gitu mel. Depresi berat. Berat badan  aku turun mpek berkilo-kilo, aku gak bisa tidor, gak bisa belajar, nangis  tiap malam, gak bisa ngapa-ngapain lah mel. Waktu tu aku bolak balik  mau bunuh diri, aku ngerasa mana ada yang mau ma aku lagi, benci kali  aku ma laki-laki” (S1.W3.b: 43-51.h:22).
”...aku kek hampir gila kek gitu ada lah mpek hampir setaon juga.
Pokoknya aku gak pernah ngerasa senang lah mel” (S1.W3.b:54-57.h:22).
Reaksi lebih negatif terjadi pada Mika yang merasa kurang adanya social support adalah keinginan bunuh diri dan hal itu terjadi dalam waktu yang relatif  sering, depresi, benci dengan laki-laki dan menganggap dirinya tidak berharga.
Kurang tersedianya social support tersebut dikarenakan kedua orang tuanya telah  meninggal, kakaknya yang sudah menikah sehingga ia tidak mau mengganggu  kehidupan kakaknya tersebut dan pasangan yang tiba-tiba meninggalkannya.
Selain berdampak buruk terhadap hubungan dengan keluarga dan temantemannya, aborsi juga berdampak buruk terhadap hubungan dengan pasangan.
Menurut David H. Sherman, et al (1985), hampir setengah perempuan yang  melakukan aborsi mengaku bahwa keputusan mereka untuk aborsi adalah  pengubah hubungan mereka dengan pasangan secara signifikan dan mengakhiri  suatu hubungan pasangan, walaupun pasangan tersebut sudah menjalani hubungan  yang stabil (Barnett, et al, 1992).
Hal ini juga dialami oleh Mika (23 tahun) dalam komunikasi personal  Universitas Sumatera Utara yang dilakukan oleh peneliti:  “…aku putos ma Aldi kan abes aku aborsi tu. Cobak lah ko piker, mel,  aku ma anak tu udah sembilan taon pacaran, tapi pas stelah aku aborsi  baru kami sering berantam trus baru-baru ni dia tinggalin aku. Emang pertama cukop baek dia mel.. Tapi tiba-tiba ditinggalinnya aku, nggak ada  kabar. Yang nggak gila ajaaku mel..” (S1.W1.b: 59-67.h:2).
Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Barnett, dkk (1992) yang  menyatakan bahwa wanita yang memiliki hubungan yang cenderung stabil,  setelah melakukan aborsi dilaporkan berpisah. Dari 80% kelompok pasangan yang  berpisah, kebanyakan wanita yang berinisiatif untuk melakukan perpisahan  dengan pasangannya. Hubungan setelah aborsi dilaporkan menjadi lebih buruk,  dengan lebih banyak konflik dan kurangnya saling trust satudengan lainnya.
Hal ini sesuai dengan wawancara personal peneliti dengan Mika (23  tahun) yang menyatakan bahwa:  “abes aborsi tu emang aku terus yang minta putus, walaupun ntik balek lagi kami. Tapi kek mana ya kubilang, hubungan kami tu kek udah hambar  gitu mel, karnaaku ngerasadia gak mau peduli aku lagi, dia udah nggak  sayang aku lagi. Dulu aku bisa lah percaya penuh ma dia kalo dia bisa  jagain aku, ni aku dibuatnya berdosa terus, jauh terus dari Allah. Gara-gara  anak tu juga aku nggak percaya Panji (pacar Mika saat ini) betol-betol  sayang ma aku. Mana ada yang mau ma perempuan nggak virgin lagi mel?  Alah, sama aja semua cowok! Mulut dengan perbuatannya nggaksinkron!  Cuma mau enaknya aja,  abes tu  kita dicampakin.” (S1.W1.b: 243-260.h:7).

Seseorang yang kehilangan kemampuan trust sering kali karena adanya  suatu keadaan traumatis (Herman, 1991). Aborsi merupakan sebuah pengalaman  yang traumatis dan meninggalkan efek yang signifikan secara fisik dan psikologis  Universitas Sumatera Utara pada perempuan yang melakukannya (Edmundson, 2009). Menurut penelitian  Anne Speckhard (1992), sekitar 50 % perempuan pasca aborsi kehilangan trust terhadap orang lain, dan 58% kehilangan kepercayaan terhadap laki-laki. Aborsi  dikatakan sebagai pengalaman yang traumatis dikarenakan bahwa itu melibatkan  kejadian kematian seseorang, yang secara spesifik, merupakan pembunuhan  seseorang yang belum dilahirkan secara disengaja dan menyaksikan kematian  yang yang kejam, sama halnya dengan melanggar tanggung jawab dan insting  orang tua, merusak hubungan ibu dan anak yang belum dilahirkan dan rasa sedih  yang sangat mendalam (Coleman dkk, 2005; MacNair, 2005; Speckhard & Rue,  1992 dalam Major dkk, 2008).

Download lengkap Versi PDF