BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam
dekade terakhir ini, penyalahgunaan narkoba di Indonesia telah menjadi ancaman nasional yang perlu
diperhatikan secara seksama dan multidimensional,
baik ditinjau dari segi mikro (keluarga) maupun makro (ketahanan nasional). Hal ini semakin
mengkhawatirkan dengan dampak buruk ekonomi
dan sosial yang besar. Permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia menunjukkan adanya
kecenderungan yang terus meningkat,
peningkatan yang terjadi tidak saja dari jumlah pelaku tetapi juga dari jumlah narkoba yang disita serta jenis narkoba
(Mabes Polri, dalam Badan Narkotika
Nasional, 2009).
Hasil temuan Badan Narkotika Nasional (BNN)
sampai pada tahun 2008, tercatat
sebanyak 175.535 orang jumlah
tersangka pengguna narkoba di Indonesia,
dengan persentase kenaikan jumlah tersangka rata-rata 52,8% tiap tahunnya (Dit IV/Narkoba, 2009). Kepala
Direktorat IV Narkoba, Badan Reserse Kriminal
Polri Brigadir Jenderal (Pol) Indradi Thanos mengatakan, sejak 2005 Indonesia menjadi pasar sabu tiga besar dunia,
selain China dan Amerika Serikat.
Perubahan dari negara transit menjadi negara
tujuan berlangsung dalam dua tahun (Ariesta,
2010).
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1982) narkoba adalah akronim dari Narkotika dan Obat
Berbahaya. Narkoba mempunyai banyak macam,
bentuk, warna dan pengaruh terhadap tubuh. Akan tetapi dari sekian banyak macam, bentuk dan lain-lain tersebut
narkoba mempunyai banyak persamaan.
Salah satunya adalah sifat ketergantungan terhadap obat tersebut. Sifat ketergantungan tersebut dapat menimbulkan
berbagai macam dampak yang merugikan
akibat dari adanya pengaruh zat-zat yang terkandung didalam zat narkotik tersebut (Adisti, 2007).
Darmono (2009) menyatakan penggunaan narkoba
sangat membahayakan karena dapat
mempengaruhi pikiran yang menyebabkan korban tidak sadar apa yang sedang dilakukannya. Karena efeknya yang
menyebabkan adiksi maka obat tersebut
harus dikonsumsi terus-menerus oleh penderita kecanduan, semakin lama semakin meningkat dosisnya. Apabila hal
tersebut tidak segera ditangani akan menyebabkan
overdosis yang berakhir dengan kematian si penderita.
Sasangka (2003) menyatakan penggunaan narkoba
menimbulkan efek ketergantungan baik
ketergantungan fisik maupun psikologis. Ketergantungan fisik terlihat pada saat penghentian
penggunaan narkoba. Penghentian penggunaan narkoba ini akan menimbulkan gejala-gejala
abstinensi (suatu rangkaian gejala yang
hebat karena pemakaian obat dihentikan).
Misalnya pada obat-obatan turunan morfin
akan mengakibatkan ketakutan, berkeringat, mata berair, gangguan lambung dan usus, sakit perut dan
lambung, tidak bisa tidur dan sebagainya.
Gejala-gejala abstinensi tersebut hanya dapat diatasi jika menggunakan narkoba yang sejenis. Keadaan
tersebut bisa menimbulkan kematian. Rasa
khawatir yang mendalam akan timbulnya gejala-gejala abstinensi mendorong seseorang menggunakan narkoba lagi.
Hal ini dirasakan oleh salah seorang
pecandu narkoba P (27 tahun) yang diwawancarai oleh peneliti: “...Gimana ya
mbak...kalo pagi itu kira-kira jam 2 ato jam 3 mau minta badan ini. Kadang gak ngerti mata ini langsung
terbuka sendiri, langsung kepikiran
obat, obat aja di otak ini. Karena kalo gak ada bisa sakaw, kalo dah sakaw menderita kalilah rasanya mbak badan
ini keringatan terus padahal tidur di
bawah kipas, gemetaran, bolak-balik ke kamar mandi karena mules
perut, gak tenanglah pokoknya,
tulang-tulang ini kayak digigit-gigit
rasanya. Kalo dah malam kayak gitu mau cari obat kemana? Makanyalah mbak ini aku beli sekarang buat
persediaan aja nanti malam...” (Komunikasi Personal, 5 Oktober 2010) Ketergantungan
psikologis terjadi ketika pengguna narkoba ingin menghindari persoalan hidup yang dihadapi dan
melepaskan diri dari suatu keadaan atau
kesulitan hidup. Kesulitan hidup tersebut dapat berupa tekanan ekonomi, konflik dalam keluarga, masalah
pekerjaan, atau masalah-masalah lain yang
dapat menimbulkan stres. Keadaan tersebut terus-menerus terjadi atau berulang kembali. Akibatnya pengguna narkoba
tergantung dengan narkoba yang dikonsumsinya.
Penggunaan yang semula dalam waktu-waktu tertentu, akhirnya menjadi kebiasaan yang tidak bisa dilepaskan
(Sasangka, 2003).
Sasangka (2003) menyatakan penggunaan narkoba
juga berpengaruh terhadap masayarakat
luas, antara lain: meningkatnya kriminalitas atau gangguan kamtibmas, menyebabkan timbulnya kekerasan
baik terhadap perorangan maupun perkelompok,
timbulnya usaha-usaha yang bersifat ilegal dalam masyarakat, banyaknya kecelakaan lalu lintas, menyebarkan
penyakit tertentu lewat jarum suntik
yang dipakai oleh pecandu (HIV/AIDS, Hepatitis B , Hepatitis C, dll).
Melihat begitu besarnya efek dari penggunaan
narkoba bagi individu itu sendiri maupun
bagi masyarakat luas, pemerintah dalam
Undang-Undang Narkotika pasal 45
mewajibkan pecandu untuk menjalani pengobatan dan perawatan melalui fasilitas
rehabilitasiilitasi. Rehabilitasiilitasi dilakukan dengan maksud untuk memulihkan dan mengembangkan
kemampuan fisik, mental dan sosial
penderita yang bersangkutan (Supramono, 2004).
Salah satu cara untuk memulihkan pecandu
narkoba adalah dengan terapi, namun
terapi terhadap kasus penyalahgunaan narkoba sering kali tidak membawa hasil. Kadang-kadang justru pasien yang diterapi kembali ke panti rehabilitasiilitasi dalam keadaan lebih parah.
Seseorang yang sudah dinyatakan pulih
seringkali kambuh karena terpengaruh dari lingkungan (Sasangka, 2003).
Seperti hasil kutipan wawancara dengan salah
seorang mantan pecandu narkoba, yaitu H
(38 tahun): “...Kalau berhenti tidak menggunakan setiap orang sebenarnya bisa
tetapi mempertahanakan agar tetap bersih
itu yang paling sulit. Banyak yang sudah
keluar dari rehabilitasi kembali pake
lagi karena mereka sugesti, ketemu dengan teman-temannya sesama pemakai, dan
kegiatan yang kurang. Kalau memang mau
benar-benar bersih harus ada banyak kegiatan biar sibuk dan jauhi lingkungan pemakai...” (Komunikasi personal, 12 September 2010) Thombs
(dalam W.Amita, 2001) menyatakan bahwa seorang pecandu narkoba tidak mampu melewati stres dan tekanan
atas simptom disfungsi otak seperti
penurunan daya ingat, penurunan daya konsentrasi serta sugesti (physical craving) yang dialaminya. Sebagian dari mereka
juga sering merasa kesulitan memaksimalkan
perawatan yang mereka jalani dan merasa tidak yakin bahwa mereka dapat pulih dan terlepas dari
ketergantungan narkoba yang ia alami.
Seperti hasil kutipan wawancara dengan salah
seorang mantan pecandu narkoba, yaitu N
(20 tahun): “...Selama ini rasa percaya diri saya selalu kurang, takut bertemu
dengan orang, selalu merasa curiga
kepada setiap orang yang belum saya kenal, padahal saya hampir 3 tahun tidak menggunakan
obat-obatan lagi. Namun di masa antara 2
tahun pertama tersebut memang ada lebih kurang 3 kali saya kembali
terpleset menggunakan obat-obatan tersebut karena saya bergaul kembali dengan teman-teman saya yang
menggunakan...” (dalam Willy, 2005).
Kunci keberhasilan untuk lepas dari kecanduan
narkoba terletak dalam diri pecandu itu
sendiri. Willy (2005) menyatakan niat merupakan modal yang sangat luar biasa. Niat tersebut harus dijalankan bagaimanapun risikonya. Kesulitan untuk berhenti merupakan problema yang
terberat bagi seorang pecandu, apalagi yang
ketergantungannya parah, karena mereka mempunyai sugesti yang sangat kuat untuk selalu menggunakan. Untuk itu
sebelum benar-benar lebih parah akibatnya,
sangat baik jika ada niat berhenti total.
Seperti pengakuan Ari Lasso di suatu media
massa, seorang penyanyi yang juga adalah
mantan pecandu narkoba: “...Hingga saya sampai pada satu titik balik. Saya
menyadari bahwa semua yang saya dapat ini tidak akan ada artinya bila diri kita
sendiri hilang. Kita tidak tahu siapakah diri kita yang sesungguhnya, apakah
ini yang kita citacitakan, apakah ini yang kita cari sesungguhnya dalam hidup
kita. Dulu saya enggak sembuh-sembuh karena belum punya niat yang kuat...”
(Erviani, 2007).
Proses
pemulihan pecandu narkoba bukanlah suatu proses yang singkat dan dapat
dilakukan dengan mudah. Sebelum benar-benar dikatakan lepas dari narkoba maka
dalam perjalanannya ada saat-saatnya pecandu relapse. Relapse adalah kembali pada perilaku sebelumnya, dalam
hal ini menggunakan narkoba.
Relapse sangat tinggi kemungkinannya terjadi
pada minggu atau bulan pertama berhenti
dari penggunaan narkoba (Sarafino, 2006).
Beberapa hal yang dapat menyebabkan seorang
pecandu relapse adalah tekanan
psikologis, masalah keluarga, sakit yang dihubungkan dengan masalah medis, hubungan sosial (seperti bertemu dengan
teman lama yang merupakan pengguna),
atau lingkungan (seperti melintasi jalan
tempat biasanya menggunakan
narkoba), berhadapan dengan objek, atau bahkan mencium bau yang behubungan dengan obat-obatan dapat
mempengaruhi seseorang relapse, persentasi
kemungkinan pecandu narkoba relapse adalah antara 40% sampai 60% (National Institute on Drug Abuse, 2009).
Hasil penelitian dari Curry & McBride,
1994; Ossip-Klein, 1986 (dalam Sarafino,
2006) menyatakan perkiraan relapse terjadi bervariasi mulai dari 50% sampai 80
%, tergantung banyak faktor meliputi metode yang digunakan untuk berhenti, seberapa parah tingkat
penggunaannya, dan lingkungannya.
Selain hal-hal di atas Witkiewitz &
Marlatt (dalam Sarafino, 2006) menyatakan beberapa hal yang menyebabkan pecandu
relapse adalah self-efficacy rendah, reinforcement kenikmatan, craving yang
tinggi (sugesti yang sangat kuat untuk
selalu menggunakan), motivasi yang rendah, hubungan interpersonal yang tidak baik, emosi negatif dan koping yang
buruk (Sarafino, 2006).
Russel et al., 2001 (dalam Sarafino, 2006)
perbedaan dari pengguna yang dapat
berhenti dan tidak dapat berhenti adalah mereka yang berhasil berhenti memiliki self-esteem yang lebih tinggi,
memiliki pengalaman intoksikasi yang lebih
sedikit, dan memiliki jaringan sosial yang sedikit dengan para pengguna.
Menurut World Health Organization (WHO) (dalam
Konsensus, 2002), seseorang dikatakan
pulih dari ketergantungan narkoba apabila sudah bebas atau bersih dari narkoba selama minimal 2 (dua)
tahun. Tidak semua pecandu narkoba berhasil
pulih dan mendapat gelar menjadi mantan pecandu narkoba.
Seperti hasil kutipan wawancara dengan salah
seorang mantan pecandu narkoba, yaitu E
(38 tahun): “...Sedikit yang berhasil bebas dari narkoba dan tetap bertahan,
kami saja dari sepuluh orang yang
direhabilitasi kemaren cuma dua orang
yang berhasil, yang lainnya balik lagi
kayak dulu, bahkan ada yang tambah parah.
Bersih dari obat setelah direhabilitasi gak otomatis membuat kita bersih selamanyaa trus lepas dari narkoba
begitu saja. Justru masa-masa mempertahankan
untuk tetap bersih dari obat di tengah-tengah lingkungan yang bebas, gak kayak di rehab dulu ini, yang
paling sulit. Adakalanya memang jatuh
balik lagi make tapi pecandu harus tetap punya satu harapan bahwa dia bisa lepas dari narkoba, kalo gak
bisa tambah parah. Karena waktu kita
bolak-balik pngen berhenti tapi bolak-balik juga gak berhasil bisa buat kita stres sendiri dan malas untuk
berusaha lagi. Kalo udah gitu, ya
udahlah mau kekmana lagi balik lagi make merupakan kemungkinan yang udah gak terelakkan. Abang aja udah
berapa kali relaps, tapi terus coba lagi
sampe akhirnya sekarang bisa gak pake lagi...” ( Komunikasi Personal, 6 September 2010).
Pengguna narkoba harus berjuang keras untuk
bisa tetap bertahan tidak menggunakan
narkoba di tengah-tengah banyaknya godaan yang memicu mereka relapse.
Kemampuan seseorang untuk tetap berdiri teguh di tengah-tengah banyaknya kesulitan yang dihadapinya ini
disebut dengan resiliensi. Menurut Reivich dan Shatte (2002) resiliensi terdiri
dari tujuh faktor yakni, regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati,
causal analysis, efikasi diri,
dan reaching out.
Reivich & Shatte (2002) menyatakan
regulasi emosi adalah kemampuan untuk
tetap tenang di bawah kondisi yang menekan. Regulasi emosi erat kaitannya dengan pengendalian impuls. Pengendalian
impuls adalah kemampuan individu untuk
mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Individu yang memiliki
kemampuan pengendalian impuls yang rendah,
cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Pengendalian
impuls berhubungan dengan empati, orang
dengan pengendalian impuls rendah akan sulit untuk berempati dengan orang lain. Empati merupakan kemampuan
individu untuk membaca tanda-tanda kondisi
emosional dan psikologis orang lain.
Faktor-faktor resiliensi lainnya adalah
optimise. Optimisme yang dimiliki oleh
seorang individu menandakan bahwa individu tersebut percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi
kemalangan yang mungkin terjadi di masa
depan. Hal ini juga merefleksikan
Self-Efficacy yang dimiliki oleh seseorang,
yaitu kepercayaan individu bahwa ia mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dan mengendalikan
hidupnya. Individu yang resilien juga memiliki
fleksibilitas kognitif. Mereka mampu mengidentifikasikan semua penyebab yang menyebabkan kemalangan yang
menimpa mereka, tanpa terjebak pada
salah satu gaya berpikir
explanatory. Gaya berpikir
mempengaruhi bagaimana pencapaian
individu untuk meningkatkan aspek-aspek yang positif dalam kehidupannya. Kemampuan individu meraih
aspek positif dari kehidupan setelah
kemalangan yang menimpa disebut dengan reaching out.
Faktor-faktor resiliensi ini sebenarnya
dimiliki oleh setiap orang namun yang
membedakan antara satu orang dengan yang lainnya adalah bagaimana orang tersebut mempergunakan dan memaksimalkan
faktor-faktor dalam dirinya sehingga
menjadi sebuah kemampuan yang menonjol (Reivich & Shatte, 2002).
Berdasarkan penelitian Reivich dan Shatte
selama lima belas tahun di universitas
Pennsylvania, faktor-faktor resiliensi dapat membantu pemulihan seseorang dari adiksi. Dengan adanya
faktor-faktor resiliensi dalam diri seorang pecandu narkoba, maka hal ini akan membantu
mereka untuk bertahan menghadapi
kesulitan-kesulitan yang dialami, masa-masa krisis, dan mengatasi hal-hal yang dapat memicu stres pada saat
dalam proses pemulihan. Selain itu juga
memberikan kemampuan untuk bangkit lebih
baik melebihi keadaan sebelumnya
(Reivich dan Shatte, 2002).
Selain itu, faktor-faktor resiliensi ini juga
memberikan kemampuan pada pecandu
narkoba dalam membuat keputusan secara cepat dan tabah dalam keadaan yang kacau atau masalah-masalah
kehidupan yang dialaminya. Faktorfaktro resiliensi ini memampukan mereka untuk mengatasinya dengan damai, humor, dan optimis (Reivich & Shatte,
2002).
Dengan masalah-masalah yang dihadapi pecandu
narkoba, banyak yang relapse tetapi
dengan kegigihan dan rasa optimis dalam dirinya ada juga yang bangkit dari masalah dan keluar dari belenggu
narkoba. Tidak hanya keluar dari belenggu
narkoba tetapi juga menjadi orang yang berguna bagi masyarakat bahkan menjadi motivator dan inspirator bagi
teman-temannya yang mengalami hal sama
dengan dia sebelumnya. Hal ini seperti yang dialami oleh A (41 tahun), salah seorang mantan pecandu narkoba yang
telah menikmati kehidupannya tanpa narkoba.
Ia sekarang bekerja di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam pengurangan dampak buruk bahaya
narkoba dan pencegahan HIV Aids. Berikut
adalah kutipan hasil wawancara dengan A: “...teman-teman yang lain banyak yang
bilang, untuk apa berhenti toh nanti gak
ada kerjaan, mana ada lagi orang yang percaya sama pecandu.
Kalo didengerin ya emang gak bakalan bisa
lepas, abang sih mikirnya kalo gini
terus mau jadi apa. Makanya abang tetap punya harapanlah untuk hidup lebih baik lagi, setidaknya gak jadi
budak obat lagi..” (Komunikasi Personal, 5 Oktober 2010) Untuk melihat
faktor-faktor resiliensi dalam diri mantan pecandu narkoba maka peneliti memilih mantan pecandu narkoba
dewasa awal yang berusia antara 25-50
tahun. Peneliti membuat batasan usia ini karena pada usia ini merupakan usia produktif dari seorang individu untuk
bekerja, bebas dari tanggungan orang tua,
bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri (Papalia, Wendkos, Duskin, 2007).
etnose= � s e �O H�� k melalui proses sosialisasi dan internalisasi yang diajarkan kepada anggota suatu kelompok sosial bersama dengan nilai-nilai kebudayaannya.
Kebudayaan dan kehidupan masyarakatTionghoa
dipengaruhi oleh sistem kepercayaan yang
berasal dari ajaran Budhisme, Taoisme dan Konfusinisme.
Ajaran yang paling berpengaruh dalam kehidupan
dan kebudayaan etnis Tionghoa adalah
ajaran Konfusius. Konfusius mengajarkan suatu tradisi yang baik, dimana orang-orang yang mengikuti ajaran ini akan
hidup lebih baik. Orang ”liar” akan beradab
bila mengikuti tradisi ini. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Konfusius mengarah pada pemupukan etnosentrisme, dimana
orang-orang Tionghoa akan memandang
dirinya lebih superior dan orang di luar kelompoknya inferior dan memiliki peradaban rendah yang akan menjadi
beradab bila menganut ajarannya.
Ajaran
Konfusius menitikberatkan pada etika dan moralitas dalam keluarga yang diharapkan mentradisi secara turun-temurun.
Keluarga merupakan tempat anak bersosialisasi
pertama kali. Di dalam keluarga anak akan menerima nilai-nilai yang diajarkan orang tuanya. Terlebih lagi
ajaran tersebut menyangkut kedudukan setiap
anggota keluarga, sehingga memungkinkan sosial kontrol yang kuat dalam menginternalisasi nilai budaya pada anak. Oleh
karena itu ajaran Konfusius tentang
nilai-nilai kekeluargaan dapat tertanam kuat dimanapun ia berada.
Kuatnya nilai-nilai kekeluargaan ini dapat
membentuk ingroup feelingyang kuat, yang
menyebabkan etnis Tionghoatertutup dari pengaruh outgroupapalagi menerima anggota outgroupmelalui perkawinan
campur (dalam Hariyono, 1993), seperti
yang dikemukakan oleh Lin, wanita etnis Tionghoa dari kota Medan yang pernah berpacaran dengan pria yang berbeda
etnis dengannya: “....putuslah. Nggak
mungkinlah dikasih. Mama papa mana mungkin ngasih. Abangku pun kemaren pas tahu, ngamuklah,
Ma, mana di kasih, awas kalo ku lihat ko
jalan sama dia ya, makanya backstreetlah dulu.
Sekarang sama yang chinese baru beranilah.
Pernah juga kubawa ke rumah. Orang Cina
memang kek gitu, Ma. Kalo apa sama yang nggak chinese mana boleh, kalo kawin harus sama yang
chinese juga. Kalo nggak, kalo berani ya
kawin lari. Dari pada dibilang nggak berbakti kan, durhaka, ya udah putuslah...” Pendapat Lin di atas tidak jauh berbeda dengan
pendapat kebanyakan orang Tionghoa
tentang perkawinan campur. Biasanya mereka bersikap negatif terhadap perkawinan campur dan cenderung
melakukan perkawinan dengan orang yang
berasal dari etnis Tionghoa juga. Namun, berdasarkan fakta di lapangan (di kota Medan) ternyata ada beberapaorang etnis
Tionghoa yang melakukan perkawinan dengan orang yang berasal dari
etnis lain. Bagaimana mungkin hal ini terjadi
pada etnis Tionghoa yang dikatakan memiliki etnosentrisme yang kental? Menurut Hogg (2003), tidak mungkin seorang
individu atau suatu kelompok individu
hidup dan berkembang dalam suatu isolasi. Setiap individu atau kelompok mau tidak mau harus melakukan
kontak dengan individu atau kelompok
lain. Tidak dapat dihindari, pasti ada momentketika seseorang harus keluar dari kelompoknya untuk berinteraksi
dengan pihak lain, sekalipun kelompok
tersebut adalah kelompok yang eksklusif seperti halnya komunitas etnis Tionghoa.
Menurut Gerungan (1993), lambat laun seseorang
akan keluar dari kelompok keluarga atau
lingkungan tempat tinggalnya untuk belajar atau bekerja di suatu tempat. Di tempat yang baru ini,
individu akan menemukan kelompok baru
baik dengan latar belakang budaya yang sama ataupun tidak. Kelompok baru ini akan menjadi membership-groupyang baru.
Dalam kondisi ini, individu tidak mungkin
menghindari kontak dan interaksi dengan anggota yang lain. Dapat dipastikan dari interaksi ini individu akan
memperoleh pengalaman baru yang akan
mempengaruhi pola pikirnya. Menurut Matsumoto dan Juang (2004), dari interaksi ini ada kemungkinan akan munculrasa
saling tertarik, jatuh cinta, bahkan
perkawinan campur.
Menurut Baron dan Byrne (2000), persamaan
memang penting dalam memilih pasangan
hidup, namun ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, mudah menemukan pasangan yang sama dengan diri
kita, namun secara praktik tidak mungkin
menemukan orang yang benar-benar sama dengan kita. Dengan kata
lain, selalu ada masalah perbedaan. Oleh karena itu, pasangan harus belajar menerima dan menyesuaikan diri dengan
perbedaan yang ada diantara mereka.
Kedua, banyaknya faktor yang mempengaruhi
pemilihan pasangan selain karena persamaan.
Menjadi hal umum bahwa sebuah hubungan dapat dimulai, walaupun ada perbedaan, namun karena ada faktor seperti
daya tarik fisik, ketertarikan seksual,
kekayaan dan lain-lain. Seperti pengakuan Ace, pria etnis Tionghoa yang berusia 52 tahun juga melakukan perkawinan
campur dengan wanita beretnik Jawa
setelah sebelumnya bercerai dengan istrinya yang beretnik Tionghoa.
Berikut penuturan Ace mengenai alasannya
melakukan perkawinan campur: “...Sekarang
ace sama orang Jawa. Ace punya istri sekarang nggak macem-macem kayak dulu. Ini perempuan Jawa
lebih penurut, nggak banyak tingkah.
Jauh kalo sama yang pertama dulu. Suka ribut, suka ngatur-ngatur. Nggak pulang
tanyanyamacam-macam. Bikin pusing. Jadi istri
kok ngatur-ngatur. Apa kata orang kalo bini yang ngatur-ngatur suami. Ribut terus, cere. Anak-anak ikutdia,
saya sendiri, cari lagi, dapat ini,
perempuan orang Jawa punya. Saya lihat ini perempuan, orang Jawa, punya pribadi halus, nggak galak-galak loh.
Mau nurut lah. Beda sama yang dulu.
Payahlah kalo udah cerita dulu....” Menurut
Skinner, G. W. (dalamSarwono, 2003), hasil penelitian yang dilakukannya menunjukkan bahwa kebanyakan pria
Tionghoa yang melakukan perkawinan
campur dengan wanita pribumi memiliki tujuan untuk meneruskan dan mempertahankan keturunan.
Muncul pertanyaan bagaimana caranya dua
individu yang berasal dari latar belakang
budaya yang berbeda, menjalani rumah tangganya? Kadang-kadang, walaupun perbedaan antara pasangan terlihat
jelas, masing-masing pihak percaya bahwa
pasangannya akan berubah seiring dengan interaksi yang terjadi selama perkawinan.
Dalam interaksi akan terjadi proses saling mempengaruhi antara pihak-pihak yang berinteraksi (Baron, 1991).
Hogg (2003) juga mengatakan bahwa ketika
seseorang memasuki suatu kelompok (dalam
hal ini yang dimaksud ádalah pria Tionghoa yang melakukan perkawinan campur), tidak mungkin baginya
untuk menghindari kontak dengan anggota
kelompok tersebut (keluarga pasangan). Sebab perkawinan bukanlah semata-mata penyatuan antara dua individu,
melainkan dua keluarga. Kontak dengan
keluarga pasangan kemudian akan
mempengaruhi pemikiran dan perilakunya.
Proses kontak dan interaksi inilah yang disebut sebagai akulturasi.
Yang menjadi permasalahan sekarang ádalah
sejauh mana akulturasi tersebut akan
mempengaruhinya serta perubahan seperti apa yang akan terjadi.
Menurut Warnaen (dalam Sarwono, 2003), kontak
juga berpengaruh, baik terhadap dimensi
stereotip maupun terhadap persepsi kesamaan. Semakin banyak terjadi kontak (dengan keluarga pasangan), isi
stereotip semakin jelas dan beragam,
tapi preferensi etnis tidak selalu menjadi semakin positif, bahkan bisa menjadi semakin negatif dan mungkin tidak
berubah dengan adanya kontak yang lebih
beragam. Keduanya (pasangan yang melakukan kawin campur) mungkin akan melihat satu sama lain sangat berbeda,
melebihi perbedaan sebenarnya.
Seperti yang dikemukakan oleh Yen berikut ini:
“Dulu ai ku (adik perempuan ibu) pernah,
pernah kawin campur. Sekarang udah nggak
sama lagi, udah cere sama suaminya, cere karna nggak cocok kan, beda gitu. Dulu pun sebelum nikah, ai
udah dilarang juga sama keluarga nggak
boleh kawin sama dia, akonglah itu sampe marah besar sama ai, cuma karna udah cinta katanya kawin
juga. Pas cere itulah dibilang lagi lah
sama ai, sama kami juga, jangan sampe ada lagi yang kawin sama orang Batak......” Menurut
Hogg (2003) selain menjadi pengalaman berharga dan mengkibatkan perubahan yang bermanfaat,
akulturasi ini juga dapat menimbulkan ancaman
bahkan kebencian yang mengarah kepada konflik atau disebut dengan istilah stress acculturation. Stress
akulturasi ini merupakan suatu respon yang dialami individu selama proses akulturasi
berlangsung. Untuk mengatasi hal ini individu
perlu melakukan adaptasi secara psikologis dan sosiokultural. Berry (2006) juga menambahkan bahwa pada dasarnya
dalam proses akulturasi ini ada empat
strategi yang dapat dipilih oleh pihak yang berakulturasi. Pertama, asimilási yaitu kondisi dimana individu atau kelompok
individu tidak mempertahankan identitas
budayanya tetapi mengambil budaya lain. Kedua, integrasi yaitu kondisi dimana individu atau kelompok individu
mempertahankan budayanya dan pada saat
yang sama tetap menjalin hubungan dengan budaya lain Ketiga, separatis yaitu kondisi yang terjadi ketika individu
mempertahankan budayanya dan menolak
budaya lain. Keempat, marginalisasi yang terjadi ketika hanya sedikit kemungkinan untuk mempertahankan budaya
sendiri dan gagal menjalin hubungan
dengan budaya lain. Strategi mana yang dipilih akan menentukan seberapa besar perubahan yang terjadi
individu. Hasil akhir dari adaptasi ini akan mempengaruhi aspek-aspek yang ada dalam diri
individu termasuk etnosentrisme yang dimilikinya.
Dalam penelitian ini, individu yang dimaksud adalah dimaksud adalah pria etnis Tionghoa yang melakukan
perkawinan campur. Sebab, etnis Tionghoa
menganut paham patrilineal, dimana prialah yang berperan sebagai pemimpin dalam rumah tangga serta mengatur dan
menentukan jalannya rumah tangga. Apa
yang menjadi latar belakang partisipan melakukan perkawinan campur,
bagaimana dia menilai dan beradaptasi dengan budaya pasangannya yang berbeda, serta bagaimana dinamika
etnosentrisme yang terjadi sebagai dampak dari proses akulturasi yang terjadi selama
menjalani perkawinan campur membuat peneliti
tertarik untuk menelitinya.
I. B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan beberapa literatur diperoleh
informasi bahwa salah satu etnis di
Indonesia yang memiliki etnosentrisme tinggi adalah etnis Tionghoa, khsnya etnis Tionghooa yang berada dikota
Medan. Jika seseorang memiliki etnosentrisme
yang tinggi, maka kecil kemungkinan baginya untuk menerima kebudayaan lain sebagai sesuatu yang benar
apalagi sampai melakukan perkawinan
campur. Akan tetapi bedasarkan fakta di lapangan (kota Medan) ternyata ada beberapa orang Tionghoa yang
melakukan perkawinan campur.
Bertitik tolak dari fenomena ini, peneliti
tertarik untuk meneliti lebih lanjut
dengan menggunakan partisipanpria etnis Tionghoa Medan yang melakukan perkawinan campur. Dengan demikan,
perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah: 1. Alasan apa yang melatarbelakangi partisipan
melakukan perkawinan campur. Apakah
dengan melakukan perkawinan campur berarti partisipan tidak memiliki etnosentrisme? 2.
Bagaimana dinamika etnosentrisme yang terjadi dalam diri partisipan yang
melakukan perkawinan campur jika
dikaitkan dengan proses akulturasi yang
terjadi selama perkawinan campur.
I. C.
TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini
bertujuan untuk menggambarkan pengalaman pria etnis Tionghoa yang menjalani perkawinancampur, apa
alasannya melakukan perkawinan campur
serta bagaimana dinamika etnosetrisme dalam dirinya selama berlangsungnya proses akulturasi sebagai
dampak dari kontak dengan keluarga pasangan
yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda dengannya.
I. D. MANFAAT PENELITIAN I. D. 1. Manfaat Teoritis 1.
Menjadi masukan dan sumber informasi bagi ilmu Psikologi, khsnya di bidang sosial, mengenai dinamika etnosentrisme
yang terjadi pada pria etnis Tionghoa
yang melakukan perkawinan campur, konflik-konflik yang muncul selama proses terjadinya proses
akulturasi dalam perkawinan tersebut.
2.
Menjadi masukan bagi para peneliti lain yang tertarik untuk meneliti
lebih jauh mengenai perkawinan campur,
etnosentrisme, akulturasi.
I. D. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
penjelasan tentang bagaimana individu
yang berasal dari dua latar belakang budaya yang berbeda (pria etnis Tionghoa dan pasangannya) menegosiasikan
identitas kultural mereka dalam sebuah
ruang sosial (rumah tangga) yang memungkinkan mereka untuk selalu berinteraksi dan saling mempengaruhi.
I. E.
SISTEMATIKA PENULISAN Penelitian ini disn berdasarkan suatu
sistematika penulisan yang teratur sehingga
lebih mudah untuk dipahami. Pada Bab I akan dikemukakan mengenai pendahuluan yang berisi latar belakang
permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
Pada Bab II akan di utarakan mengenai landasan
teori yang terdiri dari teori-teori yang
menjelaskan dan mendukung data penelitian. Diantaranya adalah teori mengenai etnosentrisme, etnis Tionghoa ,
perkawinan campur, dan akulturasi budaya.
Bab III membahas mengenai metode penelitian
kualitatif yang digunakan, termasuk di
dalamnya metode pengambilan data, partisipan penelitian, alat bantu yang digunakan, prosedur penelitiandan metode
analisis data.
Bab IV membahas analisis data darihasil
observasi dan wawancara yang dilakukan.
Bab V berisi kesimpulan, diskusi dan saran. Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan daripenelitian,
diskusi mengenai hasil penelitian,
saran-saran yang berkaitan dengan penelitian.
Download lengkap Versi PDF