Skripsi Psikologi:DINAMIKA HARGA DIRI PADA PEMAKAI BODY PIERCING


BAB I  PENDAHULUAN  I.
A. Latar Belakang  Tubuh adalah bagian yang melekat pada individu sebagai titik pusat  diri. Sebagai media yang tepat untukdipromosikan dan divisualkan, tubuh  merupakan proyek besar yang dapat terus dibongkar, ditata ulang,  dieksplorasi, didandani atau disakiti, semata untuk menciptakan gaya  tertentu. Media-media yang digunakan untuk memamerkan tubuh ini sangat  beragam, salah satunya dengan melubangi area khusus pada bagian fisik  tertentu yang diistilahkan dengan body piercing. Sebagai tanda bagi manusia  menghiasi tubuh dan penampilannya (Muliani dan Sasmito, 2003).
 Kemunculan awal body piercingdiperkirakan sudah ada pada zaman  prasejarah, dimana pada zaman itu tindik merupakan suatu tanda jabatan  dan kecantikan. Bukti prasejarah ini berlanjut dengan adanya penemuan  arkeologi di daerah gletser Itali yang menjumpai tubuh mumi “Otzy The Ice  Men” dengan menggunakan tindik di telinga berdiameter 7-11 milimeter.
 Kemudian pada 5000 tahun yang lampau, Pharaohatau raja oleh bangsa  Mesir juga melakukan piercingdi daerah pusar (Washington Post,  November 2006).

 Sejarah telah mencatat bahwa bangsa Mesir melakukan tindakan  penindikan pada tubuh, kegiatan seni piercingini juga diikuti oleh bangsa  9  Yunani dan Romawi dimana abad ke 14 tentara Romawi menindik bagian  puting mereka, sebagai simbol dari kejantanan (youngswomenhealth,  Januari 2006). Penemuan-penemuan ini menggambarkan bahwa  body  piercingtelah dipraktekkan pada kumpulan masyarakat leluhur dengan  beragam kebudayaan di dunia.
 Beberapa suku primitif seperti Aztec dan Maya, juga menindik lidah  mereka secara permanen sebagai bagian dari blood ritual. Suku Indian  menindik kait besi di bagian dadasebagai ritual yang dinamakan okipa,  yang diperuntukkan bagi tentara atau panglima perang. Kemudian salah satu  suku di India setiap bulan Februari melakukan ritual kavandi yaitu menusuki  tubuh mereka dengan jarum sepanjang satu meter sebagai tanda  penghormatan kepada dewa, sedangkan perilaku menindik hidung bagi  masyarakat mulai populer di sekitar abad ke 16. (Mulden, 1997).
  Penelitian yang dilakukan oleh Elnekave (2006) tentang hubungan  suku bangsa dan pemakaian body piercing, menunjukkan bahwa satu suku  di Afrika sejak zaman dahulu telah melakukan kegiatan tindik tubuh untuk  menarik perhatian dari lawan jenisnya. Selain itu piercingjuga berfungsi  sebagai tanda dari status sosial seseorang. Hal ini tidak hanya djumpai pada  suku-suku yang terdapat di Afrika, tetapisuku di daerah di Asia juga tidak  asing dengan bentuk modifikasi tubuh ini. Secara umum, penggunaan body  piercing  digunakan sebagai tanda kecantikan, kemakmuran, status,  keberanian, penentraman jiwa, dan perjuangan hidup.
 10  Di Indonesia, pada awalnya body piercingdikenal di kepulauan  Mentawai, daerah Papua, dan Dayak (Suara Karya, Juli 2006). Suku Dayak  di Kalimantan mengenal tradisi penandaan tubuh melalui tindik di daun  telinga sejak abad ke-17. Tidak sembarangan orang bisa menindik diri  karena hanya pemimpin suku atau panglima perang yang mengenakan tindik  di kuping. Sedangkan perempuan-perempuan suku Dayak sengaja  memperbesar lubang tindik di lubang telinga mereka hingga terjuntai agar  dibilang cantik. Di daerah Irian Jaya, memakai body piercingadalah tanda  pertempuran melawan hewan buruan, dan juga sebagai tanda pemilik tempat  tertentu (Elnekave, 2006). Pria padasuku Dani di Papua memasang hiasan  tanduk hewan di hidung sebagai lambang keperkasaan. Model primitif inilah  yang akhirnya banyak ditiru komunitas piercing di dunia.
 Kata piercingberkenaan dengan tindik yang dilakukan pada bagian  tubuh tertentu. Hewitt dan Armstrong (1999) mendefinisikan body piercing  sebagai penciptaan suatu lubang yang dapat  dilewati ornamen atau  perhiasan yang akan dikenakan. Sedangkan menurut Suyasa dan Djoenaina  (2005), body piercing adalah kegiatan melubangi bagian-bagian tubuh dan  pemakaian aksesoris pada bagian-bagian tersebut.
 Dalam melakukan piercing, telinga adalah bagian tubuh yang lazim  untuk ditindik. Walaupun kegiatan body piercing dengan melubangi telinga  sudah menjadi sangat popular semenjak lebih dari satu dekade yang silam,  tetapi pada masa sekarang banyak daribagian tubuh seperti lidah, bibir,  11  hidung, alis mata, pusat, bahkan bagiangenital dapat dijadikan sebagai  tempat tindik tubuh (Meltzer,  2005). Dapat disimpulkan bahwa body  piercingadalah bentuk dari seni modifikasi tubuh dengan cara menindik  bagian-bagian tubuh tertentu yang bertujuan untuk memakai perhiasan pada  lubang yang diciptakan.
 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Deschenes dkk (2006)  diketahui bahwa dalam 10 tahun terakhir banyak artikel yang dipublikasikan  mengenai peningkatan popularitas pemakaian body piercing  pada  masyarakat barat, khususnya diantara para remaja. Hasil penelitian tersebut  menemukan bahwa 27% dari anak SMU di Quebec mengenakan tindik  tubuh dengan alasan ekspresi diri sebagai individu yang unik dan spesial,  dan merupakan simbol dari estetika.
 Penelitian di atas sejalan dengan penelitian Armstrong (2005), yang  membuktikan maraknya body piercingdi Amerika dengan melihat studio  body artyang makin menjamur di beberapa tempat. Fenomena ini akhirnya  menyadarkan pemerintah beberapa negara bagian di Amerika untuk  membuat regulasi tentang kegiatan body piercing. Salah satu isi dari  regulasi tersebut calon body piercer yang akan di-piercingminimal berusia  18 tahun dan mendapat izin dari orang tua, dan juga tidak berada dalam  pengaruh alkohol dan obat-obatan.
 Selain remaja, ternyata banyak dari orang dewasa yang menindik  tubuh mereka. Hasil penelitian  Armstrong (2005) memperlihatkan  12  peningkatan pemakaian body piercingsejalan dengan pertambahan umur.
 Ferguson (1999) juga mengungkapkan hasil survei yang dilakukan Body Art  Magazine terhadap 134 responden yang telah memakai  piercing,  menyatakan 79% body piercerberumur 29 tahun dan 58% nya sudah  menikah dengan waktu yang lama.
 Armstrong (2005) menyatakan bahwa 33% dari individu dewasa  muda yang berusia antara 18-25 tahun di Amerika Serikat memakai body  piercing, dengan motif umum sebagai “uniqueness and be my self”. Seperti  yang dituturkan seorang ibu dari 4 anak, Jane Lansdowne (34) dalam  (Martell, 2007) tentang alasannya memakai beberapa tindik tubuh:  “This is how express myself. I’m not an artist. I don’t do paint or  anything like that. So I express my creativity with my body” Motif dari perilaku seseorang akan tergantung dari budaya dan  kepribadian seseorang serta situasi yang dihadapinya (Boosoon dkk dalam  Baron dan Byrne, 2004), dimana motif-motif pada diri individu akan terkait  dengan harga dirinya. Di Indonesia sendiri, gambaran mengenai body  piercingtergambar dalam salah satu artikel pada situs  indonesiansubculture.comsebagai berikut:  Para remaja Indonesia, khususnya remaja di kota Bandung,  mengenal tindik tubuh sekitar tahun 1970, dan kegiatan seni tubuh  ini mulai diminati oleh masyarakat luas pada era 90-an. Awalnya,  tindik dipakai oleh pemain band beraliran keras, tetapi pada tahun  2000-2004 body piercingmerupakan lifestyle.
 13  Prass dan Latief (2003) memaparkan ada berbagai alasan kaum  muda melakukan body piercing. Elda seorang remaja putri yang melakukan  tindik tubuh sejak lulus SMU, mengaku melakukan hal tersebut dengan  alasan mengikuti tren. Ketika Elda pertama kali melakukan piercing, belum  banyak anak muda yang melakukannya. Namun kini, telah banyak remaja  yang telah melakukannya.
 “Dulu saya merasa lebih gaya, karena belum banyak melakukannya.
 Tapi kini, biasa saja. Habis banyak anak muda berpiercingria.
 Jadinya tidak istimewa”         Seni piercingjuga sudah menjadi bagian gaya hidup kaum dewasa  muda di kota-kota besar di Indonesia. Bagi kaum dewasa muda zaman  sekarang, selain dianggap bisa  mendongkrak penampilan, tindik juga  menjadi sarana ekspresi diri. Sebuahsimbol kebebebasan dari segala  komunitas yang ada. Setidaknya, demikian pengakuan salah seorang  pemuda metropolitan yang memiliki lebih dari satu tindikan di tubuhnya  (komunikasi personal, 1 April 2007):  “Memang sihada yang ditindik buat gaya-gayaan, atau ditindik biar  dibilang funky tapi gueditindik karena begini gue..“.
 Dari pemaparan di atas tergambar bahwa kegiatan body piercing dikatakan sebagai suatu cara untuk mengekspresikan diri. Hal ini sesuai  dengan penelitian Armstrong dkk (2004), yang menyebutkan bahwa  kebanyakan piercing bertujuan untuk mengekspresikan diri dan identitas.
 Demikian juga dengan pengungkapkan alasan seorang pemakai piercing lainnya dalam (komunikasi personal, 16 April 2007) :  14  “Awalnya aku memakai piercingkarena ikut-ikutan tren, soalnya  band musik yang aku sukai...pakai piercing pada tubuhnya. Lamalama setelah aku pakai piercing ini...baru aku ngerasa piercing ku  ini bagian dari diriku sendiri. Temen-temen ku juga pada bilang  kalau aku tanpa piercingitu bukan aku,  gitu...selain aku pakai  piercingikut-ikutan tren, aku juga  mengekspresikan diri dengan  piercingdi kupingku ini... ”  Menyimak pernyataan-pernyataan para subjek di atas, terungkap  bahwa para pemakai  body piercing  melakukan modifikasi sebagai  manifestasi diri. Featherstone (1999) mendeskripsikan banyak dari  pemakaian piercingsebagai identitas diri yang terlihat. Menurut Sweetman  (1999) dan Soyland (1997) body piercingberhubungan dengan tanda sejarah  tubuh seseorang. Peningkatan tren body piercingyang menjadikan tubuh  sebagai proyek merupakan tanda daripeningkatan hubungan antara identitas  diri dengan tubuh (Giddens, 1991).
 Pandangan modern yang diungkapkan oleh Caroll (2002) terhadap  modifikasi tubuh, mengidentifikasikan hal tersebut sebagai penanda diri dan  untuk mengontrol serta menguasai tubuh. Pernyataan dari Synnott dan  Routledge (1993) menggangap tubuh sebagai jiwa, mesin dan merupakan  diri itu sendiri. Deaux (1993) juga menyatakan bahwa karakteristik tubuh  berpengaruh kepada harga diri seseorang, hal ini sejalan dengan pendapat  Goldenberg (Baron dan Byrne, 2004) tubuh dapat menjadi sumber harga  diri, dan saat individu diingatkan pada sifat tubuh yang dapat berubah, hal  ini akan meningkatkan perjuangan harga diri seseorang.
 15  Harga diri telah menjadi topik yang menghiasi ruang lingkup  psikologi sosial sejak disiplin ilmu ini berdiri hingga sekarang. William  James (1890) menyatakan harga diri sebagai evaluasi diri sendiri. Hal ini  juga sejalan dengan pernyataan Hogg (2002) yang mengartikan harga diri  sebagai perasaan tentang evaluasi terhadap diri individu tersebut. Weiten  dan Llyod (2006) mendefinisikan harga diri sebagai keseluruhan  pengukuran harga diri seseorang sebagai individu.
 Menurut Shavelson dkk (1976) harga diri merupakan sesuatu yang  dapat di evaluasi, dengan kata  lain individu tidak hanya dapat  mendeskripsikan dirinya tetapi juga membuat evaluasi diri pada berbagai  situasi, dan pada situasi khusus harga diri dapat terlihat sebagai sesuatu yang  stabi. Terdapat empat dimensi yang berbentuk struktur yang dapat  menggambarkan harga diri seseorang, Shavelson, Stanton dan Hubner  menjabarkan struktur multidimensi dari harga diri tersebut yaitu fisik,  akademik, emosi dan sosial (Chu, 2002).
s'>  <� n e �O H�� an style='mso-spacerun:yes'>  causal analysis,  efikasi diri, dan  reaching out.
 Reivich & Shatte (2002) menyatakan regulasi emosi adalah kemampuan  untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan. Regulasi emosi erat kaitannya  dengan pengendalian impuls. Pengendalian impuls adalah kemampuan individu  untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul  dari dalam diri. Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang  rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan  pikiran dan perilaku mereka. Pengendalian impuls berhubungan dengan empati,  orang dengan pengendalian impuls rendah akan sulit untuk berempati dengan  orang lain. Empati merupakan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda  kondisi emosional dan psikologis orang lain.
 Faktor-faktor resiliensi lainnya adalah optimise. Optimisme yang dimiliki  oleh seorang individu menandakan bahwa individu tersebut percaya bahwa  dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan yang mungkin terjadi  di masa depan. Hal ini juga merefleksikan  Self-Efficacy yang dimiliki oleh  seseorang, yaitu kepercayaan individu bahwa ia mampu menyelesaikan  permasalahan yang ada dan mengendalikan hidupnya. Individu yang resilien juga  memiliki fleksibilitas kognitif. Mereka mampu mengidentifikasikan semua  penyebab yang menyebabkan kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak   pada salah satu gaya berpikir  explanatory.  Gaya berpikir mempengaruhi  bagaimana pencapaian individu untuk meningkatkan aspek-aspek yang positif  dalam kehidupannya. Kemampuan individu meraih aspek positif dari kehidupan  setelah kemalangan yang menimpa disebut dengan reaching out.
 Faktor-faktor resiliensi ini sebenarnya dimiliki oleh setiap orang namun  yang membedakan antara satu orang dengan yang lainnya adalah bagaimana  orang tersebut mempergunakan dan memaksimalkan faktor-faktor dalam dirinya  sehingga menjadi sebuah kemampuan yang menonjol (Reivich & Shatte, 2002).
 Berdasarkan penelitian Reivich dan Shatte selama lima belas tahun di  universitas Pennsylvania, faktor-faktor resiliensi dapat membantu pemulihan  seseorang dari adiksi. Dengan adanya faktor-faktor resiliensi dalam diri seorang  pecandu narkoba, maka hal ini akan membantu mereka untuk bertahan  menghadapi kesulitan-kesulitan yang dialami, masa-masa krisis, dan mengatasi  hal-hal yang dapat memicu stres pada saat dalam proses pemulihan. Selain itu  juga memberikan kemampuan untuk  bangkit lebih baik melebihi keadaan  sebelumnya (Reivich dan Shatte, 2002).
 Selain itu, faktor-faktor resiliensi ini juga memberikan kemampuan pada  pecandu narkoba dalam membuat keputusan secara cepat dan tabah dalam  keadaan yang kacau atau masalah-masalah kehidupan yang dialaminya. Faktorfaktro resiliensi ini memampukan mereka  untuk mengatasinya dengan damai,  humor, dan optimis (Reivich & Shatte, 2002).
 Dengan masalah-masalah yang dihadapi pecandu narkoba, banyak yang  relapse tetapi dengan kegigihan dan rasa optimis dalam dirinya ada juga yang   bangkit dari masalah dan keluar dari belenggu narkoba. Tidak hanya keluar dari  belenggu narkoba tetapi juga menjadi orang yang berguna bagi masyarakat  bahkan menjadi motivator dan inspirator bagi teman-temannya yang mengalami  hal sama dengan dia sebelumnya. Hal ini seperti yang dialami oleh A (41 tahun),  salah seorang mantan pecandu narkoba yang telah menikmati kehidupannya tanpa  narkoba. Ia sekarang bekerja di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang  bergerak dalam pengurangan dampak buruk bahaya narkoba dan pencegahan HIV  Aids. Berikut adalah kutipan hasil wawancara dengan A: “...teman-teman yang lain banyak yang bilang, untuk apa berhenti toh  nanti gak ada kerjaan, mana ada lagi orang yang percaya sama pecandu.
 Kalo didengerin ya emang gak bakalan bisa lepas, abang sih mikirnya kalo  gini terus mau jadi apa. Makanya abang tetap punya harapanlah untuk  hidup lebih baik lagi, setidaknya gak jadi budak obat lagi..” (Komunikasi Personal, 5 Oktober 2010) Untuk melihat faktor-faktor resiliensi dalam diri mantan pecandu narkoba  maka peneliti memilih mantan pecandu narkoba dewasa awal yang berusia antara  25-50 tahun. Peneliti membuat batasan usia ini karena pada usia ini merupakan  usia produktif dari seorang individu untuk bekerja, bebas dari tanggungan orang  tua, bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri (Papalia, Wendkos, Duskin,  2007).
etnose= � s e �O H�� k melalui proses sosialisasi dan  internalisasi yang diajarkan kepada  anggota suatu kelompok sosial bersama  dengan nilai-nilai kebudayaannya.
  Kebudayaan dan kehidupan masyarakatTionghoa dipengaruhi oleh sistem  kepercayaan yang berasal dari ajaran Budhisme, Taoisme dan Konfusinisme.
 Ajaran yang paling berpengaruh dalam kehidupan dan kebudayaan etnis Tionghoa  adalah ajaran Konfusius. Konfusius mengajarkan suatu tradisi yang baik, dimana  orang-orang yang mengikuti ajaran ini akan hidup lebih baik. Orang ”liar” akan  beradab bila mengikuti tradisi ini. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Konfusius  mengarah pada pemupukan etnosentrisme, dimana orang-orang Tionghoa akan  memandang dirinya lebih superior dan orang di luar kelompoknya inferior dan  memiliki peradaban rendah yang akan menjadi beradab bila menganut ajarannya.
    Ajaran Konfusius menitikberatkan pada etika dan moralitas dalam keluarga yang  diharapkan mentradisi secara turun-temurun. Keluarga merupakan tempat anak  bersosialisasi pertama kali. Di dalam keluarga anak akan menerima nilai-nilai  yang diajarkan orang tuanya. Terlebih lagi ajaran tersebut menyangkut kedudukan  setiap anggota keluarga, sehingga memungkinkan sosial kontrol yang kuat dalam  menginternalisasi nilai budaya pada anak. Oleh karena itu ajaran Konfusius  tentang nilai-nilai kekeluargaan dapat tertanam kuat dimanapun ia berada.
 Kuatnya nilai-nilai kekeluargaan ini dapat membentuk ingroup feelingyang kuat,  yang menyebabkan etnis Tionghoatertutup dari pengaruh  outgroupapalagi  menerima anggota outgroupmelalui perkawinan campur (dalam Hariyono, 1993),  seperti yang dikemukakan oleh Lin, wanita etnis Tionghoa dari kota Medan yang  pernah berpacaran dengan pria yang berbeda etnis dengannya:  “....putuslah. Nggak mungkinlah dikasih. Mama papa mana mungkin  ngasih. Abangku pun kemaren pas tahu, ngamuklah, Ma, mana di kasih,  awas kalo ku lihat ko jalan sama dia ya, makanya backstreetlah dulu.
 Sekarang sama yang chinese baru beranilah. Pernah juga kubawa ke  rumah. Orang Cina memang kek gitu, Ma. Kalo apa sama yang nggak  chinese mana boleh, kalo kawin harus sama yang chinese juga. Kalo  nggak, kalo berani ya kawin lari. Dari pada dibilang nggak berbakti kan,  durhaka, ya udah putuslah...”  Pendapat Lin di atas tidak jauh berbeda dengan pendapat kebanyakan  orang Tionghoa tentang perkawinan campur. Biasanya mereka bersikap negatif  terhadap perkawinan campur dan cenderung melakukan perkawinan dengan orang  yang berasal dari etnis Tionghoa juga. Namun, berdasarkan fakta di lapangan (di  kota Medan) ternyata ada beberapaorang etnis Tionghoa yang melakukan     perkawinan dengan orang yang berasal dari etnis lain. Bagaimana mungkin hal ini  terjadi pada etnis Tionghoa yang dikatakan memiliki etnosentrisme yang kental?  Menurut Hogg (2003), tidak mungkin seorang individu atau suatu  kelompok individu hidup dan berkembang dalam suatu isolasi. Setiap individu  atau kelompok mau tidak mau harus melakukan kontak dengan individu atau  kelompok lain. Tidak dapat dihindari, pasti ada momentketika seseorang harus  keluar dari kelompoknya untuk berinteraksi dengan pihak lain, sekalipun  kelompok tersebut adalah kelompok yang eksklusif seperti halnya komunitas etnis  Tionghoa.
 Menurut Gerungan (1993), lambat laun seseorang akan keluar dari  kelompok keluarga atau lingkungan tempat tinggalnya untuk belajar atau bekerja  di suatu tempat. Di tempat yang baru ini, individu akan menemukan kelompok  baru baik dengan latar belakang budaya yang sama ataupun tidak. Kelompok baru  ini akan menjadi membership-groupyang baru. Dalam kondisi ini, individu tidak  mungkin menghindari kontak dan interaksi dengan anggota yang lain. Dapat  dipastikan dari interaksi ini individu akan memperoleh pengalaman baru yang  akan mempengaruhi pola pikirnya. Menurut Matsumoto dan Juang (2004), dari  interaksi ini ada kemungkinan akan munculrasa saling tertarik, jatuh cinta,  bahkan perkawinan campur.
 Menurut Baron dan Byrne (2000), persamaan memang penting dalam  memilih pasangan hidup, namun ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama,  mudah menemukan pasangan yang sama dengan diri kita, namun secara praktik  tidak mungkin menemukan orang yang benar-benar sama dengan kita. Dengan     kata lain, selalu ada masalah perbedaan. Oleh karena itu, pasangan harus belajar  menerima dan menyesuaikan diri dengan perbedaan yang ada diantara mereka.
 Kedua, banyaknya faktor yang mempengaruhi pemilihan pasangan selain karena  persamaan. Menjadi hal umum bahwa sebuah hubungan dapat dimulai, walaupun  ada perbedaan, namun karena ada faktor seperti daya tarik fisik, ketertarikan  seksual, kekayaan dan lain-lain. Seperti pengakuan Ace, pria etnis Tionghoa yang  berusia 52 tahun juga melakukan perkawinan campur dengan wanita beretnik  Jawa setelah sebelumnya bercerai dengan istrinya yang beretnik Tionghoa.
 Berikut penuturan Ace mengenai alasannya melakukan perkawinan campur:  “...Sekarang ace sama orang Jawa. Ace punya istri sekarang nggak  macem-macem kayak dulu. Ini perempuan Jawa lebih penurut, nggak  banyak tingkah. Jauh kalo sama yang pertama dulu. Suka ribut, suka  ngatur-ngatur. Nggak pulang tanyanyamacam-macam. Bikin pusing. Jadi  istri kok ngatur-ngatur. Apa kata orang kalo bini yang ngatur-ngatur  suami. Ribut terus, cere. Anak-anak ikutdia, saya sendiri, cari lagi, dapat  ini, perempuan orang Jawa punya. Saya lihat ini perempuan, orang Jawa,  punya pribadi halus, nggak galak-galak loh. Mau nurut lah. Beda sama  yang dulu. Payahlah kalo udah cerita dulu....”  Menurut Skinner, G. W. (dalamSarwono, 2003), hasil penelitian yang  dilakukannya menunjukkan bahwa kebanyakan pria Tionghoa yang melakukan  perkawinan campur dengan wanita pribumi memiliki tujuan untuk meneruskan  dan mempertahankan keturunan.
 Muncul pertanyaan bagaimana caranya dua individu yang berasal dari latar  belakang budaya yang berbeda, menjalani rumah tangganya? Kadang-kadang,  walaupun perbedaan antara pasangan terlihat jelas, masing-masing pihak percaya  bahwa pasangannya akan berubah seiring dengan interaksi yang terjadi selama     perkawinan. Dalam interaksi akan terjadi proses saling mempengaruhi antara  pihak-pihak yang berinteraksi (Baron, 1991).
 Hogg (2003) juga mengatakan bahwa ketika seseorang memasuki suatu  kelompok (dalam hal ini yang dimaksud ádalah pria Tionghoa yang melakukan  perkawinan campur), tidak mungkin baginya untuk menghindari kontak dengan  anggota kelompok tersebut (keluarga pasangan). Sebab perkawinan bukanlah  semata-mata penyatuan antara dua individu, melainkan dua keluarga. Kontak  dengan keluarga pasangan kemudian  akan mempengaruhi pemikiran dan  perilakunya. Proses kontak dan interaksi inilah yang disebut sebagai akulturasi.
 Yang menjadi permasalahan sekarang ádalah sejauh mana akulturasi  tersebut akan mempengaruhinya serta perubahan seperti apa yang akan terjadi.
 Menurut Warnaen (dalam Sarwono, 2003), kontak juga berpengaruh, baik  terhadap dimensi stereotip maupun terhadap persepsi kesamaan. Semakin banyak  terjadi kontak (dengan keluarga pasangan), isi stereotip semakin jelas dan  beragam, tapi preferensi etnis tidak selalu menjadi semakin positif, bahkan bisa  menjadi semakin negatif dan mungkin tidak berubah dengan adanya kontak yang  lebih beragam. Keduanya (pasangan yang melakukan kawin campur) mungkin  akan melihat satu sama lain sangat berbeda, melebihi perbedaan sebenarnya.
 Seperti yang dikemukakan oleh Yen berikut ini:  “Dulu ai ku (adik perempuan ibu) pernah, pernah kawin campur. Sekarang  udah nggak sama lagi, udah cere sama suaminya, cere karna nggak cocok  kan, beda gitu. Dulu pun sebelum nikah, ai udah dilarang juga sama  keluarga nggak boleh kawin sama dia, akonglah itu sampe marah besar  sama ai, cuma karna udah cinta katanya kawin juga. Pas cere itulah  dibilang lagi lah sama ai, sama kami juga, jangan sampe ada lagi yang  kawin sama orang Batak......”     Menurut Hogg (2003) selain menjadi pengalaman berharga dan  mengkibatkan perubahan yang bermanfaat, akulturasi ini juga dapat menimbulkan  ancaman bahkan kebencian yang mengarah kepada konflik atau disebut dengan  istilah stress acculturation. Stress akulturasi ini merupakan suatu respon yang  dialami individu selama proses akulturasi berlangsung. Untuk mengatasi hal ini  individu perlu melakukan adaptasi secara psikologis dan sosiokultural. Berry  (2006) juga menambahkan bahwa pada dasarnya dalam proses akulturasi ini ada  empat strategi yang dapat dipilih oleh pihak yang berakulturasi. Pertama, asimilási  yaitu kondisi dimana individu atau kelompok individu tidak mempertahankan  identitas budayanya tetapi mengambil budaya lain. Kedua, integrasi yaitu kondisi  dimana individu atau kelompok individu mempertahankan budayanya dan pada  saat yang sama tetap menjalin hubungan dengan budaya lain Ketiga, separatis  yaitu kondisi yang terjadi ketika individu mempertahankan budayanya dan  menolak budaya lain. Keempat, marginalisasi yang terjadi ketika hanya sedikit  kemungkinan untuk mempertahankan budaya sendiri dan gagal menjalin  hubungan dengan budaya lain. Strategi mana yang dipilih akan menentukan  seberapa besar perubahan yang terjadi individu. Hasil akhir dari adaptasi ini akan  mempengaruhi aspek-aspek yang ada dalam diri individu termasuk etnosentrisme  yang dimilikinya. Dalam penelitian ini, individu yang dimaksud adalah dimaksud  adalah pria etnis Tionghoa yang melakukan perkawinan campur. Sebab, etnis  Tionghoa menganut paham patrilineal, dimana prialah yang berperan sebagai  pemimpin dalam rumah tangga serta mengatur dan menentukan jalannya rumah  tangga. Apa yang menjadi latar belakang partisipan melakukan perkawinan     campur, bagaimana dia menilai dan beradaptasi dengan budaya pasangannya yang  berbeda, serta bagaimana dinamika etnosentrisme yang terjadi sebagai dampak  dari proses akulturasi yang terjadi selama menjalani perkawinan campur membuat  peneliti tertarik untuk menelitinya.
 I. B. PERUMUSAN MASALAH  Berdasarkan beberapa literatur diperoleh informasi bahwa salah satu etnis  di Indonesia yang memiliki etnosentrisme tinggi adalah etnis Tionghoa,  khsnya etnis Tionghooa yang berada dikota Medan. Jika seseorang memiliki  etnosentrisme yang tinggi, maka kecil kemungkinan baginya untuk menerima  kebudayaan lain sebagai sesuatu yang benar apalagi sampai melakukan  perkawinan campur. Akan tetapi bedasarkan fakta di lapangan (kota Medan)  ternyata ada beberapa orang Tionghoa yang melakukan perkawinan campur.
  Bertitik tolak dari fenomena ini, peneliti tertarik untuk meneliti lebih  lanjut dengan menggunakan partisipanpria etnis Tionghoa Medan yang  melakukan perkawinan campur. Dengan demikan, perumusan masalah dalam  penelitian ini adalah:  1.  Alasan apa yang melatarbelakangi partisipan melakukan perkawinan  campur. Apakah dengan melakukan perkawinan campur berarti partisipan  tidak memiliki etnosentrisme?  2.  Bagaimana dinamika etnosentrisme yang terjadi dalam diri partisipan yang  melakukan perkawinan campur jika dikaitkan dengan proses akulturasi  yang terjadi selama perkawinan campur.
    I. C. TUJUAN PENELITIAN  Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan pengalaman pria etnis  Tionghoa yang menjalani perkawinancampur, apa alasannya melakukan  perkawinan campur serta bagaimana dinamika etnosetrisme dalam dirinya selama  berlangsungnya proses akulturasi sebagai dampak dari kontak dengan keluarga  pasangan yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda dengannya.
 I. D. MANFAAT PENELITIAN  I. D. 1. Manfaat Teoritis  1.  Menjadi masukan dan sumber informasi bagi ilmu Psikologi, khsnya di  bidang sosial, mengenai dinamika etnosentrisme yang terjadi pada pria  etnis Tionghoa yang melakukan perkawinan campur, konflik-konflik yang  muncul selama proses terjadinya proses akulturasi dalam perkawinan  tersebut.
 2.  Menjadi masukan bagi para peneliti lain yang tertarik untuk meneliti lebih  jauh mengenai perkawinan campur, etnosentrisme, akulturasi.
 I. D. 2. Manfaat Praktis   Penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan tentang bagaimana  individu yang berasal dari dua latar belakang budaya yang berbeda (pria etnis  Tionghoa dan pasangannya) menegosiasikan identitas kultural mereka dalam  sebuah ruang sosial (rumah tangga) yang memungkinkan mereka untuk selalu  berinteraksi dan saling mempengaruhi.
    I. E. SISTEMATIKA PENULISAN   Penelitian ini disn berdasarkan suatu sistematika penulisan yang teratur  sehingga lebih mudah untuk dipahami. Pada Bab I akan dikemukakan mengenai  pendahuluan yang berisi latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan  penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
 Pada Bab II akan di utarakan mengenai landasan teori yang terdiri dari  teori-teori yang menjelaskan dan mendukung data penelitian. Diantaranya adalah  teori mengenai etnosentrisme, etnis Tionghoa , perkawinan campur, dan akulturasi  budaya.
 Bab III membahas mengenai metode penelitian kualitatif yang digunakan,  termasuk di dalamnya metode pengambilan data, partisipan penelitian, alat bantu  yang digunakan, prosedur penelitiandan metode analisis data.
 Bab IV membahas analisis data darihasil observasi dan wawancara yang  dilakukan. Bab V berisi kesimpulan, diskusi dan saran. Dalam bab ini akan  dijelaskan mengenai kesimpulan daripenelitian, diskusi mengenai hasil  penelitian, saran-saran yang berkaitan dengan penelitian.
  


Download lengkap Versi PDF