BAB I PENDAHULUAN I.
A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan
yang dicirikan oleh adanya keragaman
budaya. Keragaman tersebut terlihat dari perbedaan keyakinan agama, bahasa dan etnis (suku bangsa). Keragaman
etnis memang indah dan menjadi kekayaan
bangsa yang sangat berharga, namun dibaliknya terkandung pula potensi konflik yang besar. Hal ini terjadi
karena masyarakat terbagi ke dalam kelompok-kelompok
berdasarkan identitas kultural mereka. Mereka melakukan identifikasi kultural (cultural dentification) yang akan memunculkan
identitas etnis. Menurut Roger dan
Steinfatt (dalam Turnomo, 2005)identitas etnis inilah yang akan menentukan individu-idividu yang
termasuk ke dalam ingroupdan outgroup.
Menurut Hariyono (1993), pada umumnya individu
memiliki solidaritas yang tinggi
terhadap ingroupnya, sebaliknya memiliki perasaan antagonisme dan antipati terhadap outgroup. Disadari atau
tidak setiap individu atau kelompok individu
sering menganggap kelompoknya sendiri (ingroup) sebagai yang terbaik dibandingkan kelompok lainnya (outgroup).
Menurut Sumner (dalam Lubis, 1999)adanya
perbedaan sikap terhadap ingroupdan
outgroupini disebabkan oleh sifat dasar dari individu sebagai makhluk individualistik yang cenderung
mengikuti naluri biologis untuk mementingkan
diri sendiri serta menganggap kelompoknya sebagai pusat segalanya dan superior dibandingkan kelompok
lain. Individu akan menilai budaya lain
berdasarkan standar budayanya, khsnya dalam hal bahasa, perilaku, adat istiadat (customs), dan agama.
Kecenderungan ini oleh Sumner disebut
sebagai etnosentrisme.
Zastrow (dalam Lubis, 1999) menambahkan bahwa
setiap kelompok etnis memiliki
keterikatan etnis yang tinggi melalui etnosentrisme, yaitu suatu kecenderungan untuk memandang norma-norma dan
nilai dalam kelompok budayanya sebagai
suatu yang mutlak dan digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertindak terhadap semua
kebudayaan yang lain. Etnosentrisme ini akan
membimbing para anggotanya untuk memandang kebudayaan mereka sebagai yang terbaik dan lebih unggul
dibandingkan kebudayaan lainnya. Selain itu,
etnosentrisme juga menyebabkan munculnya prasangka bahwa kelompok lain adalah orang barbar, kafir dan tidak mempunyai
peradaban.
Hogg (2003) menambahkan bahwa di dalam
etnosentrisme terdapat unsur stereotip.
Stereotip inilah yang membuat individu atau kelompok individu melakukan generalisasi (biasanya
bersifatnegatif) pada kelompok lain dengan mengabaikan perbedaan individual.
Menurut Sutrisna (2005), di Indonesia, etnis
yang dianggap memiliki etnosentrisme
yang cukup kental adalah etnis Tionghoa. Dimanapun mereka berada, mereka cenderung menunjukkan
etnosentrisme. Menurut Siswono Judo Hdo
(dalam Tarmizi, 1997) etnosentrisme inilah yang menyebabkan sulitnya terjadi proses pembauran etnis Tionghoa. Etnosentrisme
ini dapat dilihat dari beberapa hal
berikut: 1. Masih banyak etnis Tionghoa yang tinggal
secara eksklusif di wilayah tertentu.
2.
Cenderung memprioritaskan etnis Tionghoadalam merekrut tenaga kerja 3.
Membeda-bedakan etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi dalam masalah bisnis.
4.
Tidak menunjukkan solidaritas dan kebersamaan sosial dengan penduduk pribumi dalam bertetangga 5.
Sebagian dari etnis Tionghoa belum bersedia mengembangkan rasa identitas nasional secara utuh 6.
Masih ada yang menggunakan bahasa Tionghoa dalam percakapan seharihari
dan masih memegang adat istiadat serta tradisi nenek moyang, tidak berusaha untuk menguasai bahasa Indonesia
dengan benar.
7.
Masih ada di antara mereka yangmerasa lebih unggul dibandingkan dengan kelompok etnis yang lain dalam
masyarakat” Mallory (dalam Lubis, 1999)
menambahkan bahwa etnis Tionghoa juga cenderung
hidup dalam komunitas yang segregatif (menyendiri dan terpisah) dalam area pemukiman sendiri. Menurut Pelly
(dalam Lubis 1999), dari hasil beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pemukiman eksklusif kelompok etnis ini berfungsi sebagai kepompong yang dimanfaatkan
sebagai benteng etnis. Adanya benteng
etnis akan memperkuat kecenderungan untuk memisahkan diri dari kelompok lain sehingga sulit terjadi
komunikasi dan interaksi sosial dengan kelompok
lain.
Fakta lain yang menunjukkan keeksklusivan ini
dapat dilihat pada beberapa iklan lowongan
pekerjaan yang ada di beberapa media massa. Beberapa perusahaan mengajukan syarat mampu berbahasa
Hokkien dalam iklannya. Secara tidak
langsung syarat ini akan mengeleminir para pencari kerja yang tidak mampu berbahasa Hokkien atau dengan kata lainpara
pencari kerja yang bukan beretnis Tionghoa
(Harian Analisa, Kamis, 14 Juni 2007). Sutrisna (2005) menatakan bahwa kondisi ini disebabkan adanya sistem
bisnis etnis Tionghoa yang melibatkan
ikatan personal yang berbasis kultural kekeluargaandaripada ikatan formal legal. Etnis Tionghoa terikat
olehjalinan kekeluargaan yang dinamakan bamboo-network.
Jaringan bisnis ini semakin kuat karena
melibatkan sistem kekerabatan melalui
transfer kecakapan dan rahasia dagang yang dimonopoli secara turun temurun. Hal ini juga didukung
oleh pernyataan salah seorang partisipan
dalam penelitian ini.
“Itu karna udah sifatnya kek gitu. Orang Cina
ini kan biasanya kalo ada bisnis dia
maunya sama yang Cina juga. Kek ibaratnyalah, kek pamanku, punya bengkel dia nanti kan, mau dia nanti
yang neruskannya itu anakanaknya juga, kalo nggak ada nanti dipanggilnya
anak-anak saudaranya.” Selain itu, fakta
lapangan menunjukkan bahwa pada beberapa perusahaan milik etnis Tionghoa terdapat sistem penggajian
yang berbeda pada karyawan yang bukan
berasal dari etnis Tionghoa. Adi (bukan nama sebenarnya), salah seorang karyawan di perusahaan swastamengaku
digaji lebih rendah dari pada rekannya
yang beretnis Tionghoa walaupun memiliki jabatan yang sama.
“....ya bos kami kan orang Cina, nanti gajinya
beda itu antara yang Cina sama yang
nggak. Padahal jabatan awak sama sama dia. Kalo lembur pun sama-sama lembur juganya. Dulu pas awak nggak
tahu ya nggak masalah.
Rupanya nggak sengaja, dianya jugayang bocorkan.
Gondok juga. Baru tahulah
awak kalo di kantor itu dibeda-bedakan juga. Padahal kerjanya sama ajanya....” Eksklusivitas etnis Tionghoa ini menimbulkan
pandangan negatif di kalangan masyarakat
lainnya. Coppel (dalam Wibowo, 2000) mengidentifikasi beberapa karakter mengenai etnis Tionghoa yang
berkembang dalam masyarakat pribumi: 1.
Etnis Tionghoa dianggap sebagai sebuah bangsa (ras) yang terpisah, yaitu
bangsa Cina 2.
Posisi etnis Tionghoa yang diuntungkan dalam struktur sosial (pada masa pemerintaan Belanda) dianggap sebagai faktor
yang membuat mereka menjadi kuat dalam
bidang perekonomian menjadi sumber ketidaksenangan
masyarakat 3. Struktur sosial diskriminatif selama
penjajahan Belanda melahirkan persepsi bahwa
etnis Tionghoa memiliki sikap arogan, memandang rendah masyarakat Indonesia asli, cenderung eksklusif
dan mempertahankan nilainilai budayanya dimanapun mereka berada 4.
Etnis Tionghoa dilihat sebagai kelompok yang hanya mementingkan kepentingannya sendiri, khsnya kepentingan
ekonomi Taher (dalam Turnomo, 2005)
menambahkan bahwa munculnya masalah yang
berkaitan dengan etnis Tionghoa juga disebabkan oleh faktor kultural.
Kebudayaan Cina merupakan kebudayaan tertua di
dunia. Salah satu kebanggaan bagi orang
Tionghoa adalah kemampuan mereka berkembang di suatu tempat, menyebar dan memberi pengaruh kebudayaannya di
wilayah tersebut. Akibatnya, orang
Tionghoa cenderung chauvinistik, sering memandang rendah kebudayaan lain.
Namun, berdasarkan beberapa penelitian dan
literatur diperoleh informasi bahwa
tidak semua etnis Tionghoa memiliki etnosentrisme yang kental. Menurut Setiono (2007), masyarakat Tionghoa yang ada
di Sumatera Utara, Jambi, Riau, Bangka-Belitung,
dan Kalimantan Barat, memiliki karakteristik berbeda dibandingkan etnis Tionghoa di daerah lainnya.
Walaupun dilahirkan di Indonesia,
masyarakat Tionghoa di daerah-daerah ini masih kental memelihara budaya Tionghoa dan setiap hari menggunakan
bahasa Tionghoa atau dialek asal kampungnya.
Pernyataan Setiono ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh M.
Rajab Lubis (1995) pada etnis Tionghoadi kota
Medan. Dari penelitian yang dilakukannya
diperoleh hasil bahwa etnis Tionghoa di kota Medan memiliki motivasi yang rendah dalam hal berafiliasi
terhadap etnis setempat. Mereka juga lebih
sering berkomunikasi menggunakan bahasa Tionghoa baik di rumah maupun di tempat-tempat umum.
Penelitian yang dilakukan oleh Suwardi Lubis
(1999) juga mendukung hal ini. Dari
penelitiannya terhadap beberapa etnis di kota Medan (termasuk etnis Tionghoa) diperoleh hasil bahwa komunikasi
intraetnis lebih efektif dari pada antar
etnis. Didirikannya sekolah pembauran di kota Medan oleh Dr. Sofyan Tan juga di
latarbelakangi oleh eksklusivisme etnis Tionghoa di kota ini. Berikut pendapat Dr. Sofyan Tan tentang etnis Tionghoa
di Medan: “Masyarakat pribumi Indonesia
dan warga keturunan Cina tak pernah merasa
nyaman satu sama lain. Kecurigaan antar kelompok sangat dalam; Alasan ketegangan ini sangat kompleks.
Seperti halnya kebanyakan Cina
perantauan di Asia Tenggara, komunitas ini bekerja keras, berhasil, dan mendominasi bisnis di
negara tersebut. Banyak yang merasa
lebih tinggi dibandingkan dengan tetangganya, dan menolak untuk berasimilasi "ke bawah."
Kendali etnik Cina terhadap ekonomi telah
memicu kecemburuan dan kebencian dari pribumi Indonesia.
Kenyataan lain yang tak membantu, kebanyakan
suku Cina cenderung terpadu erat,
walaupun keturunan dari kebanyakan warga Indonesia keturunan Cina ini datang beberapagenerasi
yang lampau. Bertahan dengan bahasa dan
adatnya, komunitas ini memberikan kesan sombong dan tertutup. Misalnya, perusahaanswasta Cina
sangat jarang sekali mempekerjakan buruh
pribumi.” Selain hal di atas, ada
beberapa pendapat dari etnis Tionghoa sendiri (etnis Tionghoa di luar kota Medan) mengenai etnis
Tionghoa Medan yang diperoleh dari milis
Tionghoa (tionghoa-net@yahoogroups.com). Pendapat tersebut antara lain: “ Suka tidak suka, benar atau tidak, fakta yg
tdk bisa disangkal adalah bahwa
stereotip Tionghoa negatif turut disumbangkan oleh Tionghoa Medan secara signifikan. Diantara
kalangan orang Tionghoa pun stereotip
ini telah terbentuk. Sebutan "Cimed" atau "Cina Medan" adalah sebuah konotasi negatif yg sudah
"terkenal" sampai di Papua. Ini karena apa? Banyak yg bilang karena perilaku
orang2 Tionghoa asal Medan yg cenderung
menghalalkan segala cara dlm berbisnis, termasuk bisnis judi gelap yg kebanyakan dilakukan oleh
Tionghoa2 asal Medan.
Pergaulan Tionghoa Medan dgn pribumi yg sering
dipersepsi tdk harmonis karena Tionghoa
Medan yg cenderung memandang rendah pribumi, sikap yg dibawa2 terus sampai ke daerah2 rantaunya,
terutama di Jakarta dan kota2 besar
lainnya memperkuat prasangka negatif terhadap Tionghoa secara keseluruhan. Suka tidak suka, benar
atau tidak, di kalangan Tionghoa sendiri
banyak yg tdk sukadgn sikap2 yg dipertontonkan oleh Tionghoa2 asal Medan.” (Sumber: Daniel H.T., 2007) “….gue pernah tinggal di medan 5 thn, emang
orang chinese medan beda ama chinese
jawa /sunda. chinese medan nggak mau bergaul---> kalaupun ada jaraaaaaang banget. Dan kalau ngomong
pasti pakai bahasa mereka, walaupun ada
teman2 lain yg non chinese disekitarnya. contohnya wkt gue kursus inggris di ppia, yg sama2 chinese
ngomong mandarin (bukannya ngomong
inggris di tempat kursus :hehe :P), gue yang ada di situ benar2 risih. Kenapa begitu? [dunno] nggak tau juga,
mungkin karena chinese medan rata2 memang kaya/sangat berada, jadi
nggak mau mingle ama.
Tapi kalau chinese jawa/sunda pasti pada
pinter ngomong jawa/sunda.” (Sumber:
”Holy uncle ”, 2007) “ Mungkin sejak
kecil, saya mendapat image atau gambaran yang kurang positive tentang saudara2 kita warga keturunan
tionghoa ini (tionghoa medan). Baik
mungkin itu dari keluarga, lingkungan sekitar dan temen sepermainan. Kesannya mereka sombong dan tidak
suka bergaul dengan anak2 lainnya. Image
ini terus terbawa sampai saya berkelana ke Medan untuk melanjutkan es-em-a. Saat saya di Medan,
jarang sekali ketemu saudara2 keturunan
tionghoa ini yang bisa berbahasa Indonesia atau melayu dengan lancar. Kadang saya merasa tidak
nyaman saat mendengar mereka berbicara
dalam bahasa tionghoa atau apa pun ditempat2 umum.
They speak loudly. Mungkin ini kesalahan saya
juga, itu kan hak meraka.
Even sampai sekarang, saya ada teman tionghoa
yang satu lab yang berasal dari Medan,
dia tidak lancarberbicara Indonesia. Dan akhirnya saya malah menggunakan inggris tiap kali
berkomunikasi dengan dia.
Satu lagi yang unik mengenai kebiasaan
orang-orang tionghoa di Medan, kalo kita
melihat rumah dengan banyak jeruji besi mulai dari pintu sampai jendela, bisa dipastikan bahwa itu adalah
rumah orang tionghoa. Maaf, sekali,,rumahnya
seperti penjara, semuanya dijeruji besi. Sekali lagi saya mohon maaf kalo ada pembaca Koki yang
merupakan keturunan tionghoa dari Medan.
Ini hanya pengalaman pribadi saya, dan mudah2an thing’s changed now.
Mengenai attitude saudara2 keturunan tionghoa
dari Medan, belakangan saya tau dari
sesama teman tionghoa sewaktu saya kuliah di Bandung.
Entah karena alasan apa, temen2 tionghoa Medan
kurang bisa diterima oleh temen2
tionghoa yang dari Jawa. Mungkin salah satunya karena temen2 tionghoa Jawa tidak bisa berbicara
dalam bahasa mandarin, atau kanton apa
pun itu.
Di sini saya mempunyai teman dekat yang juga
keturunan tionghoa.
Lucunya dari temen saya ini, orang tuanya
bilang ke dia kalo dia diijinkan nikah
dengan wanita mana saja, baik keturunan atau pribumi asal tidak dengan keturunan tionghoa dari Medan…
hehehehe.. Keadaannya berbalik hampir
180 derajat dari semua image tentang orang tionghoa yang saya temui di Medan.
Di pulau Jawa, khsnya di Bandung, temen2
keturunan tionghoa sangat terbuka dalam
bergaul, dan walau pun mereka sadar kadang didiskriminasi, tapi tetep saja merekaberusaha
bergaul dan bersosialisasi dengan temen2
dari daerah lain. Dan yang membuat saya terkagumkagum, mereka bisa berbahasa
daerahnya dengan lancar. Yang dari jawa barat
bisa ngomong sunda, yang darijawa lain bisa ngomong jawa medok.” (Sumber: Abang Bob-Inggris ,2007) “Keturunan Cina yang besar di Jawa pada zaman
Soeharto udah gak bisa ngomong Chinese
lagi. Dulu waktu saya kuliah di Michigan saya punya banyak teman CIMED (Cina Medan). Tapi susah
kalau kumpul kumpul sama mereka, nggak
ngerti mereka itu ngomong apa, soalnya mereka ngomong hokkien, lalu kalau kumpul-kumpul sama
teman-teman yang dari Singkawang,
Pontianak juga susah, mereka pada omong Tio Chiu (kalo nggak salah). Saya merasa asing di lingkungan
mereka.” (Sumber: Harry Lukman , 2007,
pria keturunan Tionghoa yang besar di Jawa
dan saat ini tinggal di Washington DC, dalam Harian Kompas, Cyber Media Community).
Gambaran di atas jelas menunjukkan adanya
etnosentrisme pada etnis Tionghoa (khsnya
di kota Medan). Etnosentrisme ini tentu saja tidak muncul dengan sendirinya. Sebagai suatu bentuk sikap,
etnosentrisme pada diri individu dipengaruhi
oleh pengalaman pribadi, kebudayaan, orang yangdianggap penting, media massa, dan lain-lain (Azwar, 1995).
Menurut Hariyono (1993), baik secara sadar
maupun tidak sadar, etnosentrisme terbentuk melalui proses sosialisasi dan internalisasi yang diajarkan kepada anggota suatu kelompok sosial bersama dengan nilai-nilai kebudayaannya.
Kebudayaan dan kehidupan masyarakatTionghoa
dipengaruhi oleh sistem kepercayaan yang
berasal dari ajaran Budhisme, Taoisme dan Konfusinisme.
Ajaran yang paling berpengaruh dalam kehidupan
dan kebudayaan etnis Tionghoa adalah
ajaran Konfusius. Konfusius mengajarkan suatu tradisi yang baik, dimana orang-orang yang mengikuti ajaran ini akan
hidup lebih baik. Orang ”liar” akan beradab
bila mengikuti tradisi ini. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Konfusius mengarah pada pemupukan etnosentrisme, dimana
orang-orang Tionghoa akan memandang
dirinya lebih superior dan orang di luar kelompoknya inferior dan memiliki peradaban rendah yang akan menjadi
beradab bila menganut ajarannya.
Ajaran
Konfusius menitikberatkan pada etika dan moralitas dalam keluarga yang diharapkan mentradisi secara turun-temurun.
Keluarga merupakan tempat anak bersosialisasi
pertama kali. Di dalam keluarga anak akan menerima nilai-nilai yang diajarkan orang tuanya. Terlebih lagi
ajaran tersebut menyangkut kedudukan setiap
anggota keluarga, sehingga memungkinkan sosial kontrol yang kuat dalam menginternalisasi nilai budaya pada anak. Oleh
karena itu ajaran Konfusius tentang
nilai-nilai kekeluargaan dapat tertanam kuat dimanapun ia berada.
Kuatnya nilai-nilai kekeluargaan ini dapat
membentuk ingroup feelingyang kuat, yang
menyebabkan etnis Tionghoatertutup dari pengaruh outgroupapalagi menerima anggota outgroupmelalui perkawinan
campur (dalam Hariyono, 1993), seperti
yang dikemukakan oleh Lin, wanita etnis Tionghoa dari kota Medan yang pernah berpacaran dengan pria yang berbeda
etnis dengannya: “....putuslah. Nggak
mungkinlah dikasih. Mama papa mana mungkin ngasih. Abangku pun kemaren pas tahu, ngamuklah,
Ma, mana di kasih, awas kalo ku lihat ko
jalan sama dia ya, makanya backstreetlah dulu.
Sekarang sama yang chinese baru beranilah.
Pernah juga kubawa ke rumah. Orang Cina
memang kek gitu, Ma. Kalo apa sama yang nggak chinese mana boleh, kalo kawin harus sama yang
chinese juga. Kalo nggak, kalo berani ya
kawin lari. Dari pada dibilang nggak berbakti kan, durhaka, ya udah putuslah...” Pendapat Lin di atas tidak jauh berbeda dengan
pendapat kebanyakan orang Tionghoa
tentang perkawinan campur. Biasanya mereka bersikap negatif terhadap perkawinan campur dan cenderung
melakukan perkawinan dengan orang yang
berasal dari etnis Tionghoa juga. Namun, berdasarkan fakta di lapangan (di kota Medan) ternyata ada beberapaorang etnis
Tionghoa yang melakukan perkawinan dengan orang yang berasal dari
etnis lain. Bagaimana mungkin hal ini terjadi
pada etnis Tionghoa yang dikatakan memiliki etnosentrisme yang kental? Menurut Hogg (2003), tidak mungkin seorang
individu atau suatu kelompok individu
hidup dan berkembang dalam suatu isolasi. Setiap individu atau kelompok mau tidak mau harus melakukan
kontak dengan individu atau kelompok
lain. Tidak dapat dihindari, pasti ada momentketika seseorang harus keluar dari kelompoknya untuk berinteraksi
dengan pihak lain, sekalipun kelompok
tersebut adalah kelompok yang eksklusif seperti halnya komunitas etnis Tionghoa.
Menurut Gerungan (1993), lambat laun seseorang
akan keluar dari kelompok keluarga atau
lingkungan tempat tinggalnya untuk belajar atau bekerja di suatu tempat. Di tempat yang baru ini,
individu akan menemukan kelompok baru
baik dengan latar belakang budaya yang sama ataupun tidak. Kelompok baru ini akan menjadi membership-groupyang baru.
Dalam kondisi ini, individu tidak mungkin
menghindari kontak dan interaksi dengan anggota yang lain. Dapat dipastikan dari interaksi ini individu akan
memperoleh pengalaman baru yang akan
mempengaruhi pola pikirnya. Menurut Matsumoto dan Juang (2004), dari interaksi ini ada kemungkinan akan munculrasa
saling tertarik, jatuh cinta, bahkan
perkawinan campur.
Menurut Baron dan Byrne (2000), persamaan
memang penting dalam memilih pasangan
hidup, namun ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, mudah menemukan pasangan yang sama dengan diri
kita, namun secara praktik tidak mungkin
menemukan orang yang benar-benar sama dengan kita. Dengan kata
lain, selalu ada masalah perbedaan. Oleh karena itu, pasangan harus belajar menerima dan menyesuaikan diri dengan
perbedaan yang ada diantara mereka.
Kedua, banyaknya faktor yang mempengaruhi
pemilihan pasangan selain karena persamaan.
Menjadi hal umum bahwa sebuah hubungan dapat dimulai, walaupun ada perbedaan, namun karena ada faktor seperti
daya tarik fisik, ketertarikan seksual,
kekayaan dan lain-lain. Seperti pengakuan Ace, pria etnis Tionghoa yang berusia 52 tahun juga melakukan perkawinan
campur dengan wanita beretnik Jawa
setelah sebelumnya bercerai dengan istrinya yang beretnik Tionghoa.
Berikut penuturan Ace mengenai alasannya
melakukan perkawinan campur: “...Sekarang
ace sama orang Jawa. Ace punya istri sekarang nggak macem-macem kayak dulu. Ini perempuan Jawa
lebih penurut, nggak banyak tingkah.
Jauh kalo sama yang pertama dulu. Suka ribut, suka ngatur-ngatur. Nggak pulang
tanyanyamacam-macam. Bikin pusing. Jadi istri
kok ngatur-ngatur. Apa kata orang kalo bini yang ngatur-ngatur suami. Ribut terus, cere. Anak-anak ikutdia,
saya sendiri, cari lagi, dapat ini,
perempuan orang Jawa punya. Saya lihat ini perempuan, orang Jawa, punya pribadi halus, nggak galak-galak loh.
Mau nurut lah. Beda sama yang dulu.
Payahlah kalo udah cerita dulu....” Menurut
Skinner, G. W. (dalamSarwono, 2003), hasil penelitian yang dilakukannya menunjukkan bahwa kebanyakan pria
Tionghoa yang melakukan perkawinan
campur dengan wanita pribumi memiliki tujuan untuk meneruskan dan mempertahankan keturunan.
Muncul pertanyaan bagaimana caranya dua
individu yang berasal dari latar belakang
budaya yang berbeda, menjalani rumah tangganya? Kadang-kadang, walaupun perbedaan antara pasangan terlihat
jelas, masing-masing pihak percaya bahwa
pasangannya akan berubah seiring dengan interaksi yang terjadi selama perkawinan.
Dalam interaksi akan terjadi proses saling mempengaruhi antara pihak-pihak yang berinteraksi (Baron, 1991).
Hogg (2003) juga mengatakan bahwa ketika
seseorang memasuki suatu kelompok (dalam
hal ini yang dimaksud ádalah pria Tionghoa yang melakukan perkawinan campur), tidak mungkin baginya
untuk menghindari kontak dengan anggota
kelompok tersebut (keluarga pasangan). Sebab perkawinan bukanlah semata-mata penyatuan antara dua individu,
melainkan dua keluarga. Kontak dengan
keluarga pasangan kemudian akan
mempengaruhi pemikiran dan perilakunya.
Proses kontak dan interaksi inilah yang disebut sebagai akulturasi.
Yang menjadi permasalahan sekarang ádalah
sejauh mana akulturasi tersebut akan
mempengaruhinya serta perubahan seperti apa yang akan terjadi.
Menurut Warnaen (dalam Sarwono, 2003), kontak
juga berpengaruh, baik terhadap dimensi
stereotip maupun terhadap persepsi kesamaan. Semakin banyak terjadi kontak (dengan keluarga pasangan), isi
stereotip semakin jelas dan beragam,
tapi preferensi etnis tidak selalu menjadi semakin positif, bahkan bisa menjadi semakin negatif dan mungkin tidak
berubah dengan adanya kontak yang lebih
beragam. Keduanya (pasangan yang melakukan kawin campur) mungkin akan melihat satu sama lain sangat berbeda,
melebihi perbedaan sebenarnya.
Seperti yang dikemukakan oleh Yen berikut ini:
“Dulu ai ku (adik perempuan ibu) pernah,
pernah kawin campur. Sekarang udah nggak
sama lagi, udah cere sama suaminya, cere karna nggak cocok kan, beda gitu. Dulu pun sebelum nikah, ai
udah dilarang juga sama keluarga nggak
boleh kawin sama dia, akonglah itu sampe marah besar sama ai, cuma karna udah cinta katanya kawin
juga. Pas cere itulah dibilang lagi lah
sama ai, sama kami juga, jangan sampe ada lagi yang kawin sama orang Batak......” Menurut
Hogg (2003) selain menjadi pengalaman berharga dan mengkibatkan perubahan yang bermanfaat,
akulturasi ini juga dapat menimbulkan ancaman
bahkan kebencian yang mengarah kepada konflik atau disebut dengan istilah stress acculturation. Stress
akulturasi ini merupakan suatu respon yang dialami individu selama proses akulturasi
berlangsung. Untuk mengatasi hal ini individu
perlu melakukan adaptasi secara psikologis dan sosiokultural. Berry (2006) juga menambahkan bahwa pada dasarnya
dalam proses akulturasi ini ada empat
strategi yang dapat dipilih oleh pihak yang berakulturasi. Pertama, asimilási yaitu kondisi dimana individu atau kelompok
individu tidak mempertahankan identitas
budayanya tetapi mengambil budaya lain. Kedua, integrasi yaitu kondisi dimana individu atau kelompok individu
mempertahankan budayanya dan pada saat
yang sama tetap menjalin hubungan dengan budaya lain Ketiga, separatis yaitu kondisi yang terjadi ketika individu
mempertahankan budayanya dan menolak
budaya lain. Keempat, marginalisasi yang terjadi ketika hanya sedikit kemungkinan untuk mempertahankan budaya
sendiri dan gagal menjalin hubungan
dengan budaya lain. Strategi mana yang dipilih akan menentukan seberapa besar perubahan yang terjadi
individu. Hasil akhir dari adaptasi ini akan mempengaruhi aspek-aspek yang ada dalam diri
individu termasuk etnosentrisme yang dimilikinya.
Dalam penelitian ini, individu yang dimaksud adalah dimaksud adalah pria etnis Tionghoa yang melakukan
perkawinan campur. Sebab, etnis Tionghoa
menganut paham patrilineal, dimana prialah yang berperan sebagai pemimpin dalam rumah tangga serta mengatur dan
menentukan jalannya rumah tangga. Apa
yang menjadi latar belakang partisipan melakukan perkawinan campur,
bagaimana dia menilai dan beradaptasi dengan budaya pasangannya yang berbeda, serta bagaimana dinamika
etnosentrisme yang terjadi sebagai dampak dari proses akulturasi yang terjadi selama
menjalani perkawinan campur membuat peneliti
tertarik untuk menelitinya.
I. B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan beberapa literatur diperoleh
informasi bahwa salah satu etnis di
Indonesia yang memiliki etnosentrisme tinggi adalah etnis Tionghoa, khsnya etnis Tionghooa yang berada dikota
Medan. Jika seseorang memiliki etnosentrisme
yang tinggi, maka kecil kemungkinan baginya untuk menerima kebudayaan lain sebagai sesuatu yang benar
apalagi sampai melakukan perkawinan
campur. Akan tetapi bedasarkan fakta di lapangan (kota Medan) ternyata ada beberapa orang Tionghoa yang
melakukan perkawinan campur.
Bertitik tolak dari fenomena ini, peneliti
tertarik untuk meneliti lebih lanjut
dengan menggunakan partisipanpria etnis Tionghoa Medan yang melakukan perkawinan campur. Dengan demikan,
perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah: 1. Alasan apa yang melatarbelakangi partisipan
melakukan perkawinan campur. Apakah
dengan melakukan perkawinan campur berarti partisipan tidak memiliki etnosentrisme? 2.
Bagaimana dinamika etnosentrisme yang terjadi dalam diri partisipan yang
melakukan perkawinan campur jika
dikaitkan dengan proses akulturasi yang
terjadi selama perkawinan campur.
I. C.
TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini
bertujuan untuk menggambarkan pengalaman pria etnis Tionghoa yang menjalani perkawinancampur, apa
alasannya melakukan perkawinan campur
serta bagaimana dinamika etnosetrisme dalam dirinya selama berlangsungnya proses akulturasi sebagai
dampak dari kontak dengan keluarga pasangan
yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda dengannya.
I. D. MANFAAT PENELITIAN I. D. 1. Manfaat Teoritis 1.
Menjadi masukan dan sumber informasi bagi ilmu Psikologi, khsnya di bidang sosial, mengenai dinamika etnosentrisme
yang terjadi pada pria etnis Tionghoa
yang melakukan perkawinan campur, konflik-konflik yang muncul selama proses terjadinya proses
akulturasi dalam perkawinan tersebut.
2.
Menjadi masukan bagi para peneliti lain yang tertarik untuk meneliti
lebih jauh mengenai perkawinan campur,
etnosentrisme, akulturasi.
I. D. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
penjelasan tentang bagaimana individu
yang berasal dari dua latar belakang budaya yang berbeda (pria etnis Tionghoa dan pasangannya) menegosiasikan
identitas kultural mereka dalam sebuah
ruang sosial (rumah tangga) yang memungkinkan mereka untuk selalu berinteraksi dan saling mempengaruhi.
I. E.
SISTEMATIKA PENULISAN Penelitian ini disn berdasarkan suatu
sistematika penulisan yang teratur sehingga
lebih mudah untuk dipahami. Pada Bab I akan dikemukakan mengenai pendahuluan yang berisi latar belakang
permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
Pada Bab II akan di utarakan mengenai landasan
teori yang terdiri dari teori-teori yang
menjelaskan dan mendukung data penelitian. Diantaranya adalah teori mengenai etnosentrisme, etnis Tionghoa ,
perkawinan campur, dan akulturasi budaya.
Bab III membahas mengenai metode penelitian
kualitatif yang digunakan, termasuk di
dalamnya metode pengambilan data, partisipan penelitian, alat bantu yang digunakan, prosedur penelitiandan metode
analisis data.
Bab IV membahas analisis data darihasil
observasi dan wawancara yang dilakukan.
Bab V berisi kesimpulan, diskusi dan saran. Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan daripenelitian,
diskusi mengenai hasil penelitian,
saran-saran yang berkaitan dengan penelitian.
Download lengkap Versi PDF