BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Gadis kecil
berusia sembilan tahun, Idah, mengalami peristiwa yang mengenaskan. Idah disekap di dalam WC oleh
orang tua angkatnya di Desa Kawat,
Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Saat itu, Idah yang ditinggal sendirian karena orang
tuanya ke luar kota ditemukan warga dalam
keadaan disekap dan tidak diberi makan. Untuk bertahan hidup, Idah meminum air di dalam WC. Kondisi Idah sangat memprihatinkan.
Tubuhnya kurus kerempeng, kurang gizi, serta
cedera parah. Hidung dan kaki kirinya patah (”Kekerasan”, 14 Agustus 2007).
Hampir serupa dengan Idah, Anggi Febriani,
bocah empat tahun ini nyaris cacat
akibat luka yang terdapat di sekujur tubuhnya. Anggi disiksa oleh ibu kandungnya sendiri, Sumarni. Dampaknya, Anggi
menderita luka dari ujung rambut hingga
ujung kaki. Di kepalanya terdapat luka bekas pukulan kayu.
Bahkan, sang ibu tega mencopot paksa gigi
Anggi dengan tang. Di bagian lehernya
terdapat bekas luka jerat dan tangannya gosong dibakar lilin (Tom, 2005).
Sekelumit peristiwa di atas merupakan sedikit
bagian dari rentetan besar kasus
kekerasan pada anak yang terjadi saat ini. Kekerasan pada anak atau child maltreatment atau lebih dikenal dengan child
abuse merupakan tindakan yang disengaja
dan membahayakan anak baik dilakukan oleh orang tua atau orang lain Universitas Sumatera Utara (Papalia, 2004).
Hetherington dan Parke (1999) menyatakan bahwa lebih dari 1000 anak-anak di USA meninggal per tahun, 65%
meninggal karena mendapat kekerasan
fisik, dan 35% lainnya karena diabaikan. Ini relevan dengan penelitian UNICEF (2001), bahwa 23% anak-anak di Asia
Pasifik mengatakan “orang tua saya
selalu memukul saya ketika berbuat kesalahan” dan 29% melaporkan kekerasan fisik yang dilakukan keluarganya.
Anak mengalami verbal abuse, kelaparan,
dipukul, dibakar, terluka, diikat, diasingkan,
tidak mandi, dan meletakkan kotorannya sendiri, ataupun penganiayaan seksual, dan bukan tidak sedikit
yang dibunuh (Hetherington & Parke,
1999). Fenomena seperti ini dialami oleh salah seorang korban child abuse, Hafiz Aprilaga, balita laki-laki berumur 3,8
tahun yang harus meregang nyawa di tangan
ayah tirinya. Kisahnya dikutip dalam artikel (“Penganiayaan”, 3 Januari 2008). Saat itu, Ibu kandung Hafiz, Tutuk
Rahayu yang bercerai dari Bambang Siswanto,
ayah kandung Hafiz, menikah dengan Ilham Ahmad Fitri. Di tangan ayah barunya, anak semata wayang itu sering
diperlakukan dengan keras hingga meninggal.
Ilham ingin Hafiz tumbuh kuat. Caranya dengan melatih joging mulai dari 5 menit, 30 menit, hingga 50 menit. Saat
membangkang, lecutan sabuk menjadi
ganjaran. Merasa didikannya membuahkan hasil, porsi latihan ditambah.
Shit up menjadi menu baru. Ketika Hafiz
menolak, pukulan pun mendarat di pipi kiri
bocah mungil ini. Ditambah dengan tujuh kali sentilan di telinga kiri, llham merasa belum cukup. Lelaki ini memukul dengan
tangan kosong di bagian perut tiga kali.
Kemudian pipi kiri Hafiz dipukul satu kali. Bahkan Hafiz juga pernah dipukul pada bagian rahang kanan. Kondisi
kesehatan balita ini memburuk sejak Universitas
Sumatera Utara Jumat (28/12/2007) malam. Perut Hafiz kembung dan berkali-kali
muntah.
Akhirnya Senin (31/12/2007), Hafiz
menghembuskan napas terakhirnya.
Sepanjang tahun 2008, Yayasan Pusaka Indonesia
mencatat bahwa terdapat 239 kasus
kekerasan terhadap anak yang terjadi di Negara Pancasila ini.
Ironisnya, data dari Yayasan Pusaka Indonesia
juga menyebutkan Kota Medan menempati
urutan pertama dari banyaknya kasus kekerasan terhadap anak. Dari total 239 kasus kekerasan, 110 kasus di
antaranya terjadi di Medan. Pematang Siantar
menempati urutan kedua dengan 26 kasus (”Anak”, 26 Desember 2008).
Angka tersebut tidak dapat digolongkan rendah.
Jumlah kasus kekerasan terhadap anak
terus mengalami peningkatan. Hal ini
sejalan dengan pernyataan dari Direktur
Eksekutif Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) bahwa kasus kekerasan anak di Sumatera Utara cenderung
meningkat dari tahun ke tahun (”Kenaikan”,
26 Mei 2008). Jumlah ini diyakini lebih banyak lagi seperti fenomena gunung es (the tip of ice berg)
mengingat banyak kasus yang tidak dilaporkan
maupun sengaja dirahasiakan karena dianggap aib, baik oleh korban, keluarga, maupun masyarakat sekitarnya.
Keluarga sebagai unit terkecil dalam
masyarakat memiliki tanggung jawab pertama
untuk menjaga pertumbuhan dan perkembangan anak. Seorang anak akan mencapai pertumbuhan dan perkembangan optimal
jika kebutuhan dasarnya terpenuhi,
misalnya kebutuhan fisik (sandang, pangan, papan) dan kebutuhan psiko logis berupa dukungan, perhatian, dan
kasih sayang. Sebaliknya keluarga justru
menjadi sumber ancaman dan ketidaktentraman anak, karena perlakuan salah yang sering diterima anak dari keluarga,
khususnya orang tua. Hal ini Universitas
Sumatera Utara relevan dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh Putra
(dalam Ervika, 2005) melalui
penelitiannya ”A Focused on Child Abuse in Six Selected Provinces in Indonesia”, menemukan bahwa hasil-hasil
perlakuan salah (maltreated) terhadap anak
yang terjadi dalam ranah publik dan domestik ternyata sebagian besar dilakukan oleh orang tua mereka. Adapun yang
dimaksud dengan perlakuan salah dalam
hal ini adalah segala jenis bentuk perlakuan terhadap anak yang mengancam kesejahteraan anak untuk tumbuh dan
berkembang secara optimal baik fisik,
sosial, psikologis, mental, dan spiritual (Irwanto dalam Ervika, 2005).
Child abuse memiliki dampak fisik, kognitif,
emosional, dan sosial pada anak
(Papalia, 2004). Dubowitz (dalam Papalia, 2004) menyatakan bahwa neglected children tidak tumbuh dengan baik dan sering memiliki
masalah kesehatan. Dalam Hetherington
dan Parke (1999), Cichetti dan Toth mengemukakan
bahwa jika anak korban kekerasan tidak meninggal, mereka akan menderita disfungsi otak, kerusakan
neuromotor, kerusakan fisik, terhambat terhadap
pertumbuhan, dan retardasi mental.
Abuse dapat menurunkan perkembangan intelektual dan menyebabkan
masalah psikososial. Pada anak yang telah
bersekolah, tidak hanya menunjukkan masalah dalam hubungan antara teman sebaya, guru, dan pengasuh, namun juga
masalah akademik dan self esteem rendah, menunjukkan masalah perilaku, dan
menjadi depresi serta menyendiri.
Selain itu, anak tak jarang mengalami tekanan
psikologis seperti takut, stres, bahkan
trauma yang akan dibawa hingga individu menjadi dewasa. Seperti dikatakan oleh subjek Ima (bukan nama
sebenarnya) mengenai peristiwa kekerasan
yang ia alami berikut ini: Universitas Sumatera Utara “....kena gebuk tiap hari.
Kena repet, gak ada kebebasan kayak anak
lain..dilibas kakiku dengan batang kayu kalo membangkang dia..pokoknya aturannya dari A
sampe Z harus diturutin...gak nyaman lah
di rumah. Kalo liat mamak rasanya takut,
gak bebas...Aku sering takut, gak percaya diri, sampe ngaji pun aku gak bisa-bisa,
padahal tiap hari dijambak. Dulu di
sekolah pun aku gak PD, takut salah...” (Ima, komunikasi interpersonal, 6
Februari 2009) Dutton (dalam Rosenbaum & Leisring, 2003) menemukan bahwa mengalami physical abuse dan neglected dari
orang tua selama masa kanak-kanak memprediksikan
simptom-simptom trauma kronis pada pelaku saat dewasa.
Anak-anak dapat menderita Post Traumatic
Stress Disorder karena seringkali menyaksikan
kekerasan dalam rumah tangga ataupun mengalami penyiksaan fisik (Silva dkk, dalam Davidson, 2004).
Kehidupan masa kecil anak sangat berpengaruh
terhadap sikap mental dan moral anak
ketika dewasa nanti. Stucke (2008) menunjukkan bahwa pengalaman traumatis selama masa anak-anak dapat
mempengaruhi individu sewaktu dewasa seperti
kecanduan obat-obatan dan masalah dalam membina hubungan, sakit jantung hingga sakit jiwa (mental illness),
dan meninggal lebih awal.
Lebih parahnya, Heyman dan Slep (2002) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa kekerasan
menjadi seperti lingkaran atau disebut cycle of violence. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan wanita dan pria yang mengalami abuse atau menyaksikan abuse yang dilakukan
orang tua mereka semasa kecil akan
beresiko melakukan abuse saat dewasa terhadap anak ataupun pasangan mereka. Tambahan lagi, walaupun tidak menjadi
korban abuse, Rosenbaum dan Universitas
Sumatera Utara O’Leary (dalam Rosenbaum
& Leisring, 2003) menyatakan bahwa adanya kekerasan antar orangtua meskipun tidak
melihatnya langsung, dapat menimbulkan
sekumpulan masalah emosional dan perilaku pada anak dan meningkatkan resiko melakukan (memukul),
khususnya laki-laki, dalam hubungan
intim mereka saat dewasa. Individu yang
pernah mengalami child abuse cenderung
berkembang dengan berbagai masalah serius, kerugian yang tinggi bagi diri mereka sendiri dan
masyarakat, dan melakukan kekerasan pada anak-anaknya sendiri di masa dewasa (Papalia,
2004). Namun, Egeland & Sroufe (dalam
Papalia, 2004) menyatakan bahwa banyak anak-anak korban maltreatment dapat menunjukkan kegembiraan yang luar biasa,
khususnya jika mereka mampu membentuk
attachment pada seseorang yang dapat mendukungnya. Korban child abuse yang menjadi nonabusing parents biasanya
memiliki seseorang yang dapat membantunya,
menjalani terapi, dan memiliki hubungan pernikahan atau hubungan percintaan yang baik.
Pengalaman traumatis seperti child abuse dapat
menjadikan individu mengalami suatu
situasi yang tidak menyenangkan dalam hubungan dengan orang tuanya. Pervin, Cervone, dan John (2005)
menyatakan bahwa pengalaman individu di
awal kehidupan berdampak pada perkembangan kepribadian individu di masa yang akan datang. Menurut Bowlby
(dalam Pervin, dkk, 2005), perkembangan
seorang bayi berangkat melalui rangkaian fase dalam perkembangan
attachment terhadap pengasuh
utama (umumnya ibu) dan penggunaan
attachment sebagai suatu “secure base”
terhadap penyatuan dan pemisahan.
Menurut Ainsworth (dalam Pervin, dkk, 2005) hubungan attachment Universitas
Sumatera Utara berkembang melalui pengalaman anak dengan pengasuh ditahun-tahun awal kehidupannya. Intinya adalah kepekaan ibu
dalam memberikan respon atas sinyal yang
diberikan anak, sesegera mungkin atau menunda, respon yang diberikan tepat atau tidak. Attachment adalah suatu
hubungan emosional atau hubungan yang
bersifat afektif antara satu individu dengan individu lainnya yang mempunyai arti khusus (Mc Cartney dan Dearing,
2002). Hubungan yang dibina akan
bertahan cukup lama dan memberikan rasa aman walaupun figur attachment tidak
tampak dalam pandangan anak. Sebagian besar anak telah membentuk attachment dengan pengasuh utama (primary care
giver) pada usia sekitar delapan bulan
dengan proporsi 50% pada ibu, 33% pada ayah, dan sisanya pada orang lain (Sutcliffe, 2002). Attachment bukanlah ikatan
yang terjadi secara alamiah. Ada serangkaian
proses yang harus dilalui untuk membentuk attachment tersebut.
Berdasarkan kualitas hubungan anak dengan
pengasuh, maka anak akan mengembangkan
konstruksi mental atau internal working model mengenai diri dan orang lain yang akan menjadi mekanisme
penilaian terhadap penerimaan lingkungan
(Bowlby, dalam Shaver & Mikulincer, 2004). Anak yang merasa yakin terhadap penerimaan lingkungan akan
mengembangkan attachment yang aman
dengan figur lekatnya (secure attachment) dan mengembangkan rasa percaya tidak saja pada ibu, namun juga pada
lingkungan. Hal ini akan membawa pengaruh
positif dalam proses perkembangannya. Beberapa penelitian membuktikan bahwa anak yang memiliki secure
attachment akan menunjukkan kompetensi
sosial yang baik pada masa kanak-kanak (Both dkk dalam LaFraniere, 2000) serta lebih populer di kalangan teman
sebayanya di prasekolah (La Franiere Universitas
Sumatera Utara & Sroufe dalam LaFraniere, 2000). Anak-anak ini juga lebih
mampu membina hubungan persahabatan yang
intens, interaksi yang harmonis, lebih responsif dan tidak mendominasi (Parke dan Waters dalam
LaFreniere, 2000). Sementara itu Grosman
dan Grosman (dalam Sutcliffe, 2002) menemukan bahwa anak dengan kualitas secure attachment lebih mampu
menangani tugas yang sulit dan tidak cepat
berputus asa. Sebaliknya, pengasuh yang tidak menyenangkan akan membuat anak tidak percaya dan mengembangkan
attachment yang tidak aman (insecure
attachment).
Attachment yang tidak aman dapat membuat anak
mengalami berbagai permasalahan yang
disebut dengan gangguan kelekatan (attachment disorder).
Attachment disorder terjadi karena anak gagal
membentuk attachment yang aman dengan
figur lekatnya. Hal ini akan membuat anak mengalami masalah dalam hubungan sosial. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa anak yang mengalami gangguan
kelekatan memiliki orang tua yang juga mengalami masalah yang sama dimasa kecilnya (Sroufe dalam Cicchetty &
Linch, 1995) . Hal ini menjadi sebuah lingkaran
yang tidak akan terputus bila tidak dilakukan perubahan.
Tidak hanya mempengaruhi hubungan antara orang
tua-anak, namun kerangka attachment
dapat memahami romantic relationship pada individu di masa dewasa. Perbedaan individu dalam hubungan
emosional pada masa kecil berhubungan
dengan perbedaan individu dalam caranya membangun hubungan emosional di masa yang akan datang (Pervin,
Cervone,& John, 2005). Penelitian mengenai
hubungan keluarga dalam beberapa generasi juga mencatat adanya hubungan antara kualitas attachment
di masa kanak-kanak dan romantic Universitas Sumatera Utara relationship di
masa dewasa (intimate adult relationship) (Cohn, Silver, Cowan, Cowan, & Pearson, dalam DeGenova, 2008).
Pada masa dewasa, menjalin hubungan cinta
(romantic relationship) dengan pasangan
merupakan hal yang penting. Pada akhirnya hubungan tersebut berlanjut pada tahap yang lebih serius seperti
perkawinan. Cara individu menjalani
hubungan romantisnya sangat berkaitan dengan pengalaman masa kecilnya dengan orang tuanya. Hazan dan Shaver
(dalam Pervin, dkk, 2005) mengatakan
bahwa hubungan cinta orang dewasa sangat dipengaruhi oleh interaksi individu dengan orang tuanya pada
masa kecilnya. Bowlby mengatakan bahwa
hubungan emosional seorang individu dengan orang tua pada masa kecilnya mempengaruhi kapasitas ikatan
emosional individu tersebut dengan orang
lain dalam kehidupan selanjutnya. Ikatan emosional ini disebut juga dengan attachment.
Penelitian mengenai teori attachment Bowlby
dalam konteks hubungan romantis masa
dewasa pertama kali dilakukan oleh Hazan dan Shaver pada tahun 1987. Mereka mengatakan bahwa hubungan
romantis merupakan proses attachment. Ia
juga mengatakan bahwa setiap individu dapat diklasifikasikan ke dalam 3 pola attachment, yaitu secure, anxious-ambivalent, dan avoidant.
Kemudian George, Kaplan, dan Main (dalam
Shaver & Mikulincer, 2004) menemukan
adanya perbedaan karakteristik pada individu yang tergolong pada pola attachment avoidant dalam hal perasaan
tertekan individu dalam menjalani hubungan
romantis. Perbedaan hasil penelitian ini mendorong penelitianpenelitian
selanjutnya untuk menggali lebih dalam akan pola-pola attachment Universitas
Sumatera Utara individu dewasa. Bartholomew dan Horowitz adalah peneliti yang
dapat menjelaskan perbedaan tersebut dan
memberikan gambaran lebih mendalam akan attachment
(dalam Shaver & Mikulincer, 2004).
Bartholomew dan Horowitz menunjukkan bahwa
terbentuknya pola-po la attachment
dewasa dilandasi oleh dua dimensi yaitu model of self dan model of others. Model of self dan model of others
dapat bersifat positif atau negatif, dan dua dimensi ini bersifat orthogonal (tidak
berhubungan). Dua dimensi ini yang melandasi
munculnya klasifikasi empat pola attachment pada individu yaitu secure, avoidant-dismissing, avoidant-fearful,
dan preoccupied.
Download lengkap Versi PDF
