Skripsi Psikologi:COPING STRESS CALON ANGGOTA LEGISLATIF TIDAK TERPILIH PADA PEMILU LEGISLATIF


BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 tentang  Penyelenggara Pemilihan Umum menyatakan bahwa pemilihan umum (pemilu) secara langsung oleh  rakyat merupakan sarana perwujudan  kedaulatan rakyat  guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila  dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (KPU, ).
 Pemilu secara langsung ini memberikan kesempatan bagi masyarakat Indonesia  untuk memilih secara langsung pilihannya baik dalam pemilu presiden, kepala  daerah, maupun anggota legislatif.
 Babak  baru pemilu langsung di Indonesia dimulai pada pemilu legislatif  . Jika di pemilu sebelumnya rakyat hanya bisa memilih partai politik, di  pemilu kali ini rakyat bisa langsung memilih anggota legislatif yang akan duduk  di Dewan Perwakilan Rakyat (Zheng, ). Pemilu  diikuti sebanyak 44  partai yang terdiri dari partai nasional dan partai lokal. Dengan sistem pemilu  langsung dan jumlah partai yang besar maka pemilu legislatif memberikan  peluang yang besar pula bagi rakyat Indonesia untuk berkompetisi menaikkan diri  menjadi anggota legislatif baik melalui partai (untuk DPR, DPRD tingkat I, &  DPRD tingkat II) maupun independen (untuk DPD).
 Berdasarkan data yang didapat dari media center KPU (Komisi Pemilihan  Umum), pada pemilu legislatif  terdapat 44.598 caleg dari 44 partai yang  memperebutkan puluhan ribu kursi anggota dewan (tidak termasuk DPD/Dewan  Perwakilan Daerah), dengan total jumlah kursi anggota dewan yang tersedia  hanya sekitar 854 untuk seluruh Indonesia (Media Center KPU, ).

 Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan bahwa calon anggota legislatif  (caleg) yang terpilih adalah caleg yang mendapatkan suara terbanyak, sehingga  nomor urut caleg menjadi tidak terlalu berpengaruh. Hal ini berarti bahwa caleg  dengan nomor urut bawah akan tetap terpilih jika caleg dapat meraih suara lebih  banyak daripada caleg yang memiliki urutan teratas tapi memperoleh suara lebih  sedikit. Sistem suara terbanyak ini menuntut caleg secara individual untuk lebih  banyak proaktif berkampanye daripada mengandalkan kampanye partai (Surya,  ).
 Ketetapan MK tersebut membuat banyak caleg berlomba-lomba  mempublikasikan dirinya agar kelak banyak yang memilihnya saat pemungutan  suara. Hal ini tentunya membutuhkan dana yang sangat besar. Caleg yang berasal  dari status ekonomi menengah ke bawah akan mengupayakan dana dari manapun  agar wajahnya dapat dikenali oleh orang banyak. Mereka melakukan berbagai  macam cara diantaranya menjual mobil, rumah, dan menggadaikan barang-barang  berharga seperti tanah, sepeda motor, dan perhiasan (Sunardi dalam Sumut Pos,  ).
 Sunardi (dalam Sumut Pos, ) menyatakan nilai transaksi yang  diperoleh pegadaian  meningkat 41 % atau Rp. 7,5 miliar selama masa pesta  demokrasi dibanding periode 2008 dan tidak menutup kemungkinan faktor  kenaikan tersebut diakibatkan suasana kampanye menjelang pemilu yang ditandai  dengan adanya beberapa caleg yang mendatangi pegadaian untuk menggadaikan  benda berharga. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan pimpinan pegadaian cabang  Medan berikut: “Rata-rata barang berharga yang digadaikan adalah emas. Beberapa kali  para nasabah dan pegawai di sini melihat ada caleg yang datang dan  menggadaikan emasnya. Mungkin mereka kenal para caleg tersebut dari  poster para caleg yang banyak terpampang di jalan.”  (Sunardi dalam Sumut Pos, ) Pegadaian  tidak hanya ramai sebelum pemilu legislatif terjadi, pasca  pemilu pun banyak caleg yang mendatangi pegadaian untuk menggadaikan barang  berharga mereka. Begitu juga dengan showroom, yang sebelumnya didatangi para  caleg dengan tujuan membeli mobil untuk mendukung kegiatan kampanyenya,  usai pemilu legislatif banyak caleg yang mengembalikan mobilnya ke showroom.
 Hal ini dapat dilihat dari pernyataan salah seorang pengusaha showroom mobil di  jalan Karya Jasa berikut : “Kemarin ada caleg dari Siantar yang hendak menjual mobil Avanza tahun  2006 dengan harga murah, tapi saya menolaknya karena saat itu saya lagi  tidak memiliki uang .”  (Idris dalam Sumut Pos, ) Pemilu legislatif  menjadi sebuah ajang kompetisi bagi para caleg  dalam memperebutkan kursi dewan, dan layaknya dalam suatu kompetisi, ada  yang menang dan ada yang kalah. Kekalahan dalam pemilu legislatif dapat  memberikan kontribusi bagi para caleg untuk mengalami stres. Stres merupakan  sebuah gejala yang timbul akibat adanya kesenjangan antara realita dan idealita,  antara keinginan dan kenyataan, antara tantangan dan kemampuan, antara peluang  dan potensi (Lazarus dalam Musbikin, 2005). Kegagalan dalam pemilu legislatif  dapat dikatakan sebagai peristiwa yang penuh dengan stres (stresful), jika  peristiwa tersebut dipersepsikan oleh individu sebagai suatu peristiwa yang dapat  menimbulkan stres (Lazarus dalam Taylor, Peplau, & Sears, ).
 Menurut Taylor, dkk (), ada beberapa tipe dari suatu peristiwa yang  dapat dinilai sebagai suatu peristiwa yang dapat menimbulkan stres diantaranya  adalah peristiwa yang tidak menyenangkan, tidak dapat dikontrol ataupun  diprediksi, peristiwa yang ambigu, dan kejadian yang tidak dapat diselesaikan  masalahnya. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan peristiwa yang dapat  menimbulkan stres bagi para caleg adalah peristiwa yang menimbulkan perasaan  negatif atau peristiwa yang tidak menyenangkan dan peristiwa yang tidak dapat  diprediksi atau dikontrol.
 Beberapa data yang didapat dari wawancara awal dan harian Sumut Pos  (), menunjukkan ada beberapa caleg yang tidak menyangka dengan suara  yang diperolehnya dalam pemilu legislatif . Hal ini dapat dilihat dari  komentar seorang caleg gagal yang berasal dari Tebing Tinggi : ”Secara keseluruhan saya hanya mendapatkan 100-an suara. Sementara di  TPS daerah rumah saya, saya hanya mendapatkan 17 suara. Ini kan berarti  hanya 17 orang tetangga saya yang percaya dengan saya. Yang saya tidak  dapat percaya lagi, para preman yang banyak dapat suara. Sementara saya  yang kerjanya memang mengabdi untuk masyarakat hanya mendapatkan  17 suara di sini.” (Sani, komunikasi personal, 9 Mei ) Hal serupa juga terjadi pada Toni (bukan nama sebenarnya), ia mengaku  tak habis pikir dengan hasil perhitungan suara. Prediksi raihan suara di daerah  pemilihannya melenceng dari apa yang diperkirakan sebelumnya. Toni mengaku  sudah menghabiskan dana lebih dari seratus juta rupiah untuk mengupayakan  duduk di kursi dewan. Kini ia lebih banyak uring-uringan dan berteriak menyalahi  masyarakat yang dia anggap telah membodohi dia (dalam Sumut Pos, ). Dari  kedua pernyataan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kegagalan meraih suara  dalam pemilu legislatif  merupakan peristiwa yang dapat menimbulkan  perasaan negatif karena kegagalan atau kekalahan tersebut merupakan peristiwa  yang tidak dapat diprediksi ataupun dikontrol.
 Dana dan tenaga yang dikerahkan untuk kampanye juga berpengaruh  dalam tingkat stres bagi para caleg. Semakin banyak dana dan tenaga yang  dikeluarkan caleg maka secara umum semakin tinggi tingkat stres jika tidak  terpilih. Sebaliknya, semakin sedikit dana dan pikiran yang dicurahkan seorang  caleg untuk merebut kursi dewan, tingkat stresnya cenderung rendah (Riyanto,  dalam Surya, ).
 Pernyataan di atas sesuai dengan apa yang terjadi pada Zul (bukan nama  sebenarnya). Selepas perhitungan suara Zul terlihat lebih banyak bolak-balik  keluar masuk rumah, yang diikuti dengan bahasa tubuh memegang kepala dan  berkacak pinggang, serta lebih sering terlihat di warung tuak. Zul mengaku telah  menghabiskan dana lebih dari delapan ratus juta rupiah, namun hanya  memperoleh 5 suara. Zul menganggap warga telah menipu dan memanfaatkan dia  tapi tidak memilih dia dalam pemilu (dalam Sumut Pos, ).
 Warjio (dalam Sumut Pos, ) menyatakan bahwa banyak caleg yang  terlanjur mimpi indah menjadi seorang anggota legislatif. Mimpi-mimpi tersebut  telah membuai mereka sehingga hal ini yang mungkin menjadi salah satu  dorongan bagi caleg untuk berani mengeluarkan sejumlah dana yang besar agar  mimpinya terwujud. Namun mimpi tidak selamanya dapat terwujud sesuai dengan  keinginan. Keinginan-keinginan yang tidak dapat diwujudkan akan menimbulkan  perasaan negatif yang nantinya berpotensi menimbulkan stres pada diri individu.
 Hal ini diperkuat dengan pendapat Lahey (2007) yang menyatakan bahwa ketika  individu tidak mampu untuk mencapai motifnya, maka individu tersebut akan  menjadi frustrasi, dimana frustrasi merupakan salah satu faktor yang membuat  individu menjadi stres. Berikut dapat dilihat komentar Warjio mengenai caleg  gagal (dalam Sumut Pos, ) di bawah ini : “Disini terlihat banyak caleg asal comot. Padahal secara mental para caleg  belum siap. Wajar saja kita lihat banyak caleg yang berjatuhan. Mulai  bunuh diri, stres berat, stroke, dan gegabahnya caleg menarik kembali  bantuan materinya dari masyarakat.” Selanjutnya Warjio (dalam Sumut Pos, ) menambahkan bahwa  mimpi-mimpi tersebut juga membuat para caleg menganggap diri mereka sudah  siap, padahal tidak secara ekonomi, mental, psikologi, dan politik. Ketidaksiapan  para caleg tersebut dapat dilihat dari komentar ketua seleksi Komisi Pemilihan  Umum (KPU) di Tebing Tinggi yang juga merupakan seorang caleg gagal  berikut:  “Sewaktu masa kampanye, lurah daerah sini mengundang semua caleg  dapil (daerah pemilihan, peneliti) sini untuk menyampaikan visi dan  misinya. Tapi yang ada malah membuat saya miris. Semua caleg tolaktolakan untuk menyampaikan visi dan misinya. Pada  nggak  berani.
 Gimana nanti mau menyampaikan aspirasi rakyat kalau dia jadi anggota  dewan, ya kan?” (Sani, komunikasi personal, 9 Mei ) Calon anggota legislatif tidak hanya harus cerdas menerima kemenangan  dalam pemilihan legislatif, tetapi yang terpenting lagi adalah bagaimana caleg  juga harus memiliki kecerdasan untuk mau menerima kekalahan dalam pemilu  legislatif. Kecerdasan menerima kekalahan ini sangat perlu dimiliki oleh setiap  caleg, sebab yang selama ini timbul adalah ketika petarung kalah dalam  pertarungan politik, yang bersangkutan tak mau mengakui kemenangan lawan,  namun justru sebaliknya, berbalik mengugat kemenangan lawannya (Peribadi,  ). Dapat dilihat dari pernyataan salah seorang caleg gagal di bawah ini : “Preman-preman itu menang karena mereka main duit. Sampai-sampai  masyarakat pada bingung mereka harus milih yang mana, karena banyak  yang ngasih mereka duit. Bisa saya pastikan, sebagian besar caleg yang  naik itu semuanya pake duit.” (Sani, komunikasi personal, 9 Mei ) Setelah individu mengalami kejadian yang membuat stres, individu  biasanya berusaha untuk mengatasinya (Sears, ). Menurut Lazarus (dalam  Sears,  ), cara untuk mengatasi kondisi  stres  adalah dengan melakukan  coping.  Selanjutnya, Lazarus (dalam Sears, ) mengatakan bahwa coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai,  mentoleransi, mengurangi, atau minimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang  penuh tekanan. Dalam penelitian ini, coping stres mengacu pada suatu upaya yang  dilakukan individu untuk mengurangi mentoleransi, atau mengatasi stres yang  ditimbulkan oleh sumber stres yang dianggap membebani individu.
 Menurut Aspinwall (dalam Taylor, dkk., ) coping terhadap kejadian  yang menekan adalah proses yang dinamis. Proses coping tersebut dimulai dengan  penilaian terhadap situasi yang harus individu atasi. Penilaian ini penting bagi  usaha untuk mengelola situasi yang menekan. Menilai kejadian sebagai tantangan  dapat menghasilkan upaya coping yang penuh percaya diri dan emosi positif,  sedangkan menganggap kejadian stressor sebagai ancaman dapat menurunkan  kepercayaan diri dan menimbulkan emosi negatif (Skinner, dalam Taylor, dkk.,  ). Kedua penilaian ini disebut sebagai penilaian primer (primary appraisal).
 Selanjutnya langkah penilaian yang kedua adalah penilaian sekunder  (secondary  appraisal). Pada tahap ini, individu  mengevaluasi potensi atau  kemampuannya dan menentukan seberapa efektif potensi atau kemampuan yang  dapat digunakan untuk menghadapi suatu kejadian (Lazarus, dalam Santrock,  2003). Penilaian sekunder ini merupakan suatu proses yang terlibat dalam  memilih strategi coping yang digunakan untuk merespon situasi stres (Lazarus,  dalam Baron & Graziano, 1991).
 Ada dua strategi coping yang digunakan untuk merespon situasi stres yaitu  usaha pemecahan masalah (problem focused coping) dan pengaturan emosi  (emotion focused coping) (Lazarus dalam Taylor, dkk., ). Stanton (dalam  Taylor, dkk., ) menyatakan bahwa problem focused coping adalah usaha  untuk melakukan sesuatu yang konstruktif guna mengubah situasi stress. Salah  satu strategi coping yang dilakukan oleh salah seorang caleg gagal dapat dilihat  dari pernyataan di bawah ini:  “Tujuan saya menjadi anggota dewan adalah untuk mengabdi pada  masyarakat, jadi walaupun sekarang saya tidak terpilih menjadi anggota  dewan, saya akan tetap mengabdi pada masyarakat dengan cara yang lain  seperti yang sudah saya lakukan selama ini sebagai seorang ustadz.”  (Sani, Komunikasi Personal, 9 Mei ) Selanjutnya emotion focused coping  adalah suatu usaha untuk menata  reaksi emosi terhadap kejadian stressor (Stanton, dalam Taylor, dkk., ).
 Coping  yang berpusat pada emosi merupakan cara yang cukup baik, dimana  individu mencoba merasakan perasaan-perasaan yang positif, menyenangkan, dan  dengan berpikir optimis atas peristiwa-peristiwa yang buruk (Chang dalam Baron  & Byrne, 2005). Hal ini dapat dilihat dari pernyataan salah satu caleg yang gagal  dalam pemilu legislatif  di bawah ini : “Yah, saya pikir ini semua ada hikmahnya. Teman-teman saya juga pada  menghibur saya, mereka bilang untung saya nggak jadi naik, kalau nggak  saya mungkin ikut-ikutan jadi anggota dewan yang tidak baik. Karena kan  kita lihat di Tebing Tinggi ini, caleg yang naik rata-rata preman-preman  gitu. Saya pikir pun, jadi anggota dewan malah nambah kerjaan saya.” (Sani, Komunikasi Personal, 9 Mei ) Lebih lanjut Lazarus (dalam Taylor, dkk., ) menyatakan bahwa usaha  coping  umumnya dianggap lebih sukses jika bisa mereduksi kegelisahan  psikologis dan indikatornya, seperti detak jantung, denyut nadi, atau gejala  lainnya. Kriteria kedua dari coping yang sukses adalah seberapa cepat orang dapat  kembali ke aktifitas normalnya. Banyak kejadian yang menekan bisa mengganggu  aktifitas normal sehari-hari, mengganggu pekerjaan, dan mengganggu waktu  senggang.
 Hal ini dapat dilihat dalam harian surat kabar Sumut Pos (17 April )  yang memberitakan mengenai Yadi (salah satu anggota dewan di Medan) yang  pasca pelaksanaan pemilu legislatif  enggan masuk kantor selama beberapa  minggu karena tidak percaya dengan hasil suara yang diperolehnya, sehingga  beberapa minggu waktu kerjanya dihabiskan untuk memeriksa suaranya di KPU.
 Hal serupa diperoleh dari hasil wawancara peneliti dengan salah seorang  caleg gagal bernama Sani (bukan nama sebenarnya) mengenai Wawan (bukan  nama sebenarnya), yang juga salah satu caleg gagal yang dikenal sebagai tokoh  masyarakat dan pemuka agama di daerahnya. Karena suara yang diperoleh tidak  dapat mengantarkannya menuju kursi dewan, membuat ia memutuskan untuk  tidak lagi  terlibat aktif dalam mengisi pengajian di daerahnya. Hal ini  menimbulkan kekecewaan pada salah satu teman Wawan yang juga merupakan  caleg gagal :  “Terus terang saya kecewa dengan sikap Wawan. Wawan tidak lagi mau  mengisi pengajian karena ia kecewa dengan masyarakat yang tidak mau  memilih ia. Padahal ini kan sudah ketentuan Allah. Seharusnya ia bisa  mengambil hikmah dari semua ini.” Apabila coping  bisa mengembalikan ke situasi semula, maka dapat  dikatakan coping itu sukses. Terakhir, dan yang paling umum, coping dinilai  berdasarkan efektifitasnya dalam mengurangi tekanan psikologis, seperti  kecemasan dan depresi (Lazarus dalam Taylor, dkk., ).
 Efektifitas dari proses coping dipengaruhi oleh beberapa sumber daya. Hal  ini diperkuat oleh pendapat Taylor () yang menyatakan bahwa coping melibatkan dua sumber daya coping, yaitu sumber daya internal dan sumber daya  eksternal.  Sumber daya internal adalah gaya coping  dan atribut personal.
 Sedangkan sumber daya eksternal meliputi uang, waktu, dukungan sosial, dan  kejadian lain yang mungkin terjadi pada saat yang sama. Semua faktor ini saling  berinteraksi dalam mempengaruhi proses coping.
 Dalam hal mengurangi tekanan psikologis, kenyamanan secara fisik dan  psikologis yang diberikan oleh orang lain (Baron & Byrne, 2005) adalah hal yang  bermanfaat tatkala individu mengalami stres, dan sesuatu yang sangat efektif  terlepas dari strategi mana yang digunakan untuk mengatasi stres (Frazier dalam  Baron & Byrne, 2005). Hal ini adalah karena berhubungan dengan orang lain  merupakan sumber dari rasa nyaman ketika individu merasa tertekan.
 Kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh orang lain disebut  dengan dukungan sosial. Kebutuhan untuk mendapatkan dukungan sosial agar  mengurangi rasa tertekan tersebut dapat dilihat dari pernyataan salah satu caleg  berikut ini : “Sudahlah saya sedih karena pemilu kemaren, anak dan cucu saya pulang  pula ke Aceh dan Jakarta. Semakin sedih lah saya.” (Sani, Komunikasi Personal, 9 Mei ) Menurut Setiawan (), anggota keluarga memiliki peran dengan  menghibur dan menasihati caleg yang gagal terpilih pada pemilu 9 April ,  sehingga dapat mencegah kemungkinan depresi berat bagi caleg yang  bersangkutan. Selanjutnya ia menyatakan bahwa tidak perlu dikhawatirkan caleg  yang gagal terpilih akan menderita depresi, karena masih ada keluarga dan  kelompok masyarakat terdekat yang mampu membantu mencegah timbulnya  depresi. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan istri dari seorang caleg yang gagal  dalam pemilu legislatif  : “Munafik lah kalau saya bilang saya nggak kecewa. Tapi saya tidak mau  menunjukkan kekecewaan saya yang terlalu berlebihan, karena kalau  kayak gitu nanti suami saya malah semakin down dan stres.” (Komunikasi Personal, 9 Mei ) Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial baik  dari keluarga maupun teman sejawat dapat membantu caleg yang mengalami stres  untuk melewati masa stresnya bahkan dapat mengatasi stres tersebut. Hal inilah  yang membuat individu yang mengalami peristiwa yang dipersepsikan negatif  atau stres harus melakukan coping agar dapat menjalani aktifitas harian seperti  biasanya.


Download lengkap Versi PDF