BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan
suatu hal yang penting bagi kelangsungan hidup
manusia. Dimana salah
satu tujuan perkawinan
dilakukan adalah untuk
memperpanjang garis keturunan
keluarga. Menurut Undang
-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang
Perkawinan dalam Pasal
1 mendefinisikan bahwa:
Perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria
dan seorang wanita
sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Dalam Islam perkawinan diwajibkan
agar semua kebutuhan
biologis dapat tersalurkan
dan dapat dilakukan
secara halal dan
bertujuan untuk menghindari
diri dari perbuatan zina. Perkawinan adalah tuntutan
kodrat hidup yang tujuannya antara lain
adalah untuk memperoleh
keturunan, guna melangsungkan kehidupan
sejenis (Ahmad Azhar
Basyir, 2007: 12).
Telah dijelaskan secara
tegas dalam Undang
– Undang Nomor
1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan terdapat pada
Pasal 2 : 1. Perkawinan adalah
sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan dalam
Islam juga bertujuan
untuk memelihara pandangan
mata dan menjaga
kehormatan diri sebagaimana
dinyatakan dalam hadits: "Dari
Abdullah Bin Mas‟ud ia
berkata, telah berkata
kepada kami Rasulullah SAW
: Hai sekalian
pemuda, barang siapa
diantara kamu yang
telah sanggup kawin maka
hendaklah ia kawin, maka sesungguhnya kawin itu menghalangi
pandangan (terhadap yang
dilarang oleh Agama)
dan memelihara faraj.
Dan barang siapa
yang tidak sanggup
hendaklah ia berpuasa,
karena puasa itu
adalah perisai baginya”
(H.R. Buhkari dan Muslim)
Seperti halnya tertulis dalam Firman Allah Q.S An-Nuur ayat 32 yang artinya: “Dan
kawinkanlah orang-orang yang
sedirian diantara kamu,
dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari
hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan.
Jika mereka miskin
Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya.
Dan Allah Maha
luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” Dalam Kompilasi Hukum Islam
memang telah dijelaskan bahwa seseorang
yang akan melakukan perkawinan memiliki tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.
Relationship confidence,
defined as the
belief that one‟s relationship
will be successful
into the future,
which encompasses perceived
couple-level efficacy to
successfully manage conflicts and an expectancy for a future as a
happy couple, has shown
strong associations with
relationship adjustment. (Kaplan
and Madux, 2002: 789) Artinya : Kepercayaan
hubungan, yang didefinisikan
sebagai keyakinan bahwa hubungan seseorang akan sukses
ke masa depan, yang meliputi dirasakan kemanjuran beberapa
tingkat untuk berhasil
mengelola konflik dan harapan
untuk masa depan
bersama pasangan bahagia,
menunjukkan hubungan yang kuat
dengan penyesuaian hubungan.
Tetapi adakalanya
dimana terjadi perselisihan
antara suami dan istri
yang dapat menyebabkan keretakan dalam rumah tangga. Perceraian adalah
pilihan paling menyakitkan
bagi para pasangan
suami istri.
Namun demikian,
perceraian bisa jadi
pilihan terbaik yang
bisa membukakan jalan
bagi kehidupan baru
yang membahagiakan.
Perceraian adalah
perhentian hubungan perkawinan
karena kehendak pihak-pihak
atau salah satu
pihak yang terkait
dalam hubungan perkawinan
tersebut (Zuhdi Muhdlor,
1994 : 55).
Perceraian mengakibatkan status
seorang laki-laki bagi
suami, maupun status seorang
perempuan sebagai istri
akan berakhir. Namun
perceraian tidaklah menghentikan
status mereka masing-masing
sebagai ayah dan ibu
terhadap anak-anaknya. Karena
sebenarnya yang menjadi
korban dalam sebuah
perceraian adalah anak
dari hasil perkawinan
tersebut.
Dimana anak
yang merasakan dampak
yang signifikan akibat
dari putusnya perkawinan dari
ayah maupun ibunya. Konflik perebutan anak yang dilakukan oleh kedua orang tuanya tidak
justru melindungi hak-hak dan
kepentingan anak, namun justru merusak
kepentingan, hak-hak dan perkembangan hidup anak, terlebih jika sampai
anak di culik atau dibawa paksa dengan
kekerasan (Azwir Butun, 1992: 134).
Beban berat
sesungguhnya akan terjadi
pada pasangan terutama anak
pasca perceraian, padahal
secara umum anak
memiliki hak yang sama
seperti pada saat, ketika orang tua belum bercerai antara lain : 1. Kasih sayang; 2. Anak
harus tetap mendapatkan
kasih sayang dan
anak berhak menentukan dengan siapa dia akan tinggal; 3. Pendidikan; 4. Perhatian kesehatan; 5. Tempat tinggal yang layak; “There is
now strong consensus
in the research
literature that children
whose parents have
divorced are at
increased risk of
displaying a variety
of problem behaviors
compared to children
living in continuously
intact families.” Artinya : Saat ini sudah ada konsensus yang kuat dalam literatur penelitian
bahwa anak-anak yang
orang tuanya telah
bercerai berada pada
peningkatan risiko menampilkan
berbagai masalah perilaku dibandingkan dengan anak yang hidup dalam keluarga terus utuh. (Nilgün
Öngider, 2013: 140) Anak-anak yang ditinggalkan
orang tua yang
bercerai juga merasakan dampak negatif. Mereka mempunyai
pandangan yang negatif terhadap pernikahan,
mereka akan merasa
takut mencari pasangan hidupnya,
takut menikah sebab
merasa dibayang -bayangi kekhawatiran jika perceraian itu juga terjadi pada dirinya
( Putri Rosalia, 2013: 16) Tetapi pada
prakteknya terkadang semua
itu tidak berjalan sebagaimana mestinya seperti yang disebutkan
dalam Undang – Undang.
Seperti contohnya banyak pasangan
suami istri yang ketika mengajukan perkara perceraian
di Pengadilan Agama
mereka hanya mementingkan kepentingan
pribadinya masing-masing. Mereka
tidak memikirkan tentang hal
yang terjadi setelah perceraian seperti halnya mengenai
hak asuh anak, harta bersama, dan
lain – lain. Masalah itu baru muncul
ketika perceraian sudah terjadi dan hal
ini justru lebih menyusahkan posisi dari anak
tersebut. Padahal di
dalam Pasal 41
Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan menyatakan bahwa demi kelangsungan hidup
si anak, maka
tugas dan tanggungjawab
orang tua tidak
terputus karena adanya
perceraian. Selain itu Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 menjelaskan bahwa dalam hal terjadinya perceraian maka pemeliharaan anak
yang belum mumayyiz
atau belum berumur
12 (dua belas)
tahun adalah hak ibunya,
sedangkan yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak
untuk memilih diantara
ayah atau ibunya,
dan untuk biaya pemeliharaan
ditanggung oleh ayahnya.
Contoh Skripsi hukum:Penyelesaian Sengketa Hak Asuh Anak Akibat Perceraian
Downloads Versi PDF >>>>>>>Klik Disini
Bab I
|
Downloads
| |
Bab II
|
Downloads
| |
Bab III - V
|
Downloads
| |
Daftar Pustaka
|
Downloads
| |
Lampiran
|
Downloads
|
Artikel terkait skripsi diantaranya : Kumpulan Contoh skripsi, contoh artikel, contoh makalah,proposal penelitian, karya tulis, contohskripsi, c0ntoh proposal, judul seminar akuntansi, proposal tentang, beasiswa disertasi, laporan ta, tugas ta, tesis akuntansi keuangan, tesis kesehatan, proposal tesis akuntansi, contoh-contoh tesis, tesis gratis, tesis contoh, contoh bab 1 tugas akhir, kumpulan tugas akhir akuntansi, proposal pengajuan tugas akhir, contoh laporan tugas akhir akuntansi, judul tugas akhir jurusan akuntansi.