BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kejahatan merupakan
masalah sosial yang
tidak hanya dihadapi oleh masyarakat di Indonesia tetapi juga merupakan masalah yang dihadapi oleh seluruh masyarakat
di dunia. Itulah
sebabnya dalam kehidupan
sehari-hari kita akan selalu mendengar bagaimana fenomena kejahatan ini
terjadi, dengan berbagai modus operandi
yang semakin canggih
serta intensitasnya yang semakin meningkat. Dampak
dari perkembangan kejahatan,
akan berimplikasi langsung pada makin
beratnya tugas aparat
penegak hukum dalam mengungkapkan
suatu kejahatan karena akal
para penjahat yang semakin
modern (maju), para penjahat telah
mengunakan metode operasi yang
dirancang dengan baik
untuk melindungi kegiatan kejahataan
mereka serta menyamarkan identitas
mereka dari deteksi oleh
penegak hukum.
Sehingga dalam
pelaksanaan tugas aparat
penegak hukum dituntut untuk mengembangkan teknik
pengungkapan tindak pidana
untuk mendapatkan atau
menguatkan informasi tentang
terjadinya tindak pidana
melalui pengetahuan agar diperoleh
pembuktian yang logis
berdasarkan penemuan fakta
yang ada
sehingga dapat membentuk
kontruksi yang logis (Andi Hamzah, 1985 : 34).
Proses menentukan benar atau
salahnya seseorang atas suatu dakwaan terhadap
tindak pidana yang
dilakukan harus melalui
proses pembuktian.
Hukum acara
pidana merupakan bagian
dari ilmu hukum
yang bertujuan untuk memperoleh
kebenaran yang bersifat
materiil yang diperoleh
melalui alat bukti yang telah disebutkan secara limitatif menurut ketentuan
Pasal KUHAP. Menurut Pasal 183 KUHAP untuk
dapat menjatuhkan pidana kepada seorang Terdakwa harus memenuhi
batas minimum pembuktian yaitu, sekurang-kurangnya dua
alat bukti disertai
dengan keyakinan hakim
bahwa Terdakwa telah terbukti melakukan suatu tindak pidana yang
didakwakan.
Sesuai
ketentuan dalam Pasal 1 Undang-undang
No. 48 Tahun
2 Tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan :
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara
yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan berdasarkan
Pancasila demi terselenggaranya negara
hukum Republik Indonesia. Peraturan yang mengatur
tentang penegakan hukum
dan perlindungan hukum
terhadap keluhuran harkat martabat manusia di dalam proses pidana pada
hakekatnya telah diletakkan dalam
Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
dan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981
Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Tujuan dari
hukum acara pidana
adalah untuk mencari
dan mendapatkan atau setidaknya mendekati kebenaran materiil adalah
kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara
pidana dengan menerapkan ketentuan hukum
acara pidana secara
jujur dan tepat
dengan tujuan untuk mencari
siapakah pelaku yang
dapat didakwakan atas
suatu pelanggaran hukum dan
selanjutnya meminta pemeriksaan Putusan dari pengadilan guna menemukan apakah
terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang
didakwa tersebut dapat dipersalahkan. Sedangkan fungsi dari hukum
acara pidana yang
dikemukakan oleh Van
Bemmelen terdapat tiga hal,
yakni: mencari dan menemukan kebenaran, pemberian Putusan oleh hakim dan
pelaksanaan Putusan (Andi Hamzah, 2002:8-9).
Saat ini peredaran gelap dan
penyalahgunaan Narkotika dengan sasaran potensial generasi
muda sudah menjangkau
berbagai penjuru daerah
dan penyalahgunanya merata di
seluruh strata sosial
masyarakat. Pada dasarnya Narkotika sangat diperlukan
dan mempunyai manfaat
di bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, akan tetapi
penggunaan Narkotika menjadi berbahaya jika
terjadi penyalahgunaan. Oleh
karena itu untuk
menjamin ketersediaan Narkotika
guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan di satu sisi, dan di sisi lain
untuk mencegah peredaran gelap Narkotika yang selalu menjurus pada terjadinya
penyalahgunaan, maka diperlukan
pengaturan di bidang Narkotika. Peraturan perundang-undangan yang
mendukung upaya pemberantasan tindak
pidana Narkotika sangat
diperlukan, apalagi tindak pidana Narkotika merupakan salah
satu bentuk kejahatan
inkonvensional yang dilakukan secara sistematis, menggunakan modus
operandi yang tinggi dan teknologi canggih serta dilakukan secara terorganisir
(organizeci crime) dan sudah bersifat
transnasional (transnational
crime). Dengan diberlakukannya
undang-undang Nomor 35
tahun 2009 tentang Narkotika menggantikan undang-undang
Nomor 22 tahun
1997 dan undang-undang Nomor 9
tahun 1976 menandakan
keseriusan dari pemerintah
untuk menanggulangi bahaya penyalahgunaan Narkotika (Soedjono
Dirdjosisworo, 1984 : 19).
Bila dikaitkan dengan pengertian
Narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika, maka dapat dikatakan bahwa penyalahgunaan Narkotika
adalah penggunaan zat atau obat yang
berasal dari tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat
menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika secara melawan
hukum dan tanpa
hak. Penggunaan istilah “penyalahguna” digunakan untuk
membedakan dengan penanam,
produsen, penyalur, kurir dan pengedar Narkotika. Walaupun
penanam, produsen, penyalur, kurir dan pengedar Narkotika kadang juga
menggunakan Narkotika, namun dalam penulisan hukum
ini yang penulis
maksud dengan penyalahguna Narkotika adalah orang yang
menggunakan Narkotika bagi diri sendiri secara melawan hukum dan tanpa hak yang
sesuai dengan ketentuan pada Pasal 127 UndangUndang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika.
Sedangkan dalam pembahasan hasil
penelitian Putusan Pengadilan
Negeri Bogor Nomor 259/PID.SUS/2011/PN
BGR, adalah mengenai pemeriksaan Terdakwa tanpa hak dan
melawan hukum menjadi
Perantara dalam jual
beli Narkotika golongan I yaitu sesuai dengan ketentuan Pasal 114 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Dalam
praktek peredaran gelap dan
penyalahgunaan Narkotika tak jarang
dijumpai, penyidik sangat
sulit bahkan hampir
tidak mungkin mendapatkan saksi
karena kuatnya para pelaku tindak pidana dalam menjaga kerahasiaannya. Maka
salah satu cara
membongkar sindikat kejahatan tersebut kemudian
penyidik memerintahkan anggotanya
sebagai penyelidik ikut
bergabung dalam sindikat
kejahatan sebagai salah
seorang pelaku kejahatan atau
mengambil salah seorang
anggota sindikat untuk
dijadikan Saksi Mahkota atas tindak
pidana yang dilakukan
sindikat bersangkutan.
Namun dalam upaya untuk bekerja
sama dengan para pelaku kejahatan,aparat penegak hukum akan menghadapi suatu
keadaan yang dilematis karena para kaki
tangan pelaku kejahatan
ini akan memilih
untuk bekerja sama
dengan penegak hukum apabila mereka mendapatkan suatu imbalan yang
bermanfaat bagi mereka, baik dalam bentuk
kekebalan, hadiah, atau
pengurangan hukuman dari
kejahatan yang pernah
mereka lakukan, sehingga
kePutusan untuk menggunakan
Terdakwa sebagai kooperator harus
dipertimbangkan keuntungan
dan kerugiannya. Tujuannya yang
diharapkan oleh penegak hukum dalam kerja sama dengan pelaku
kejahatan ini, pada dasarnya untuk mempelajari
nama pelaku kejahatan,tanggal dan
urutan kejadian, struktur organisasi, dimana
lokasi yang akan digunakan dalam
pengumpukan alat bukti untuk menangkap
orang-orang lain atas kejahatan yang telah dilakukan (Soedjono Dirdjosisworo,
1983 : 38).
Kesepakatan kerjasama
dengan pelaku kejahatan
untuk membongkar suatu tindak
pidana dimana pelaku tersebut juga turut serta dalam kejahatan itu, dan
atas kesepakatan tersebut diberikan
imbalan keringanan hukuman dikenal dengan istilah Saksi Mahkota,
di Belanda dan
Jerman dinamakan kroongetuige dan
kronzeuge, di Italia
awalnya disebut pentito sekarang di sebut collaboratore dellagiustizia, di
negara–negara Great Britain
(Inggris, Wales, Skotlandia dan
Irlandia Utara) disebut
supergrass, sedangkan di Amerika Serikat
disebut sebagai cooperator
tetapi juga dikenal
istilah lain yaitu state witness untuk
saksi negara. Dalam praktik
peradilan pidana Indonesia konsep
Saksi Mahkota ini, kemudian
diterapkan pada penyertaan
dalam tindak pidana dengan tujuannya agar masing-masing Terdakwa dapat memberikan
kesaksian yang memberatkan satu
sama lain (Mien Rukmini 2003 :
45).
Contoh Skripsi hukum:Analisis yuridis penggunaan saksi mahkota oleh penuntut umum dalam pembuktian perkara narkotika untuk pemenuhan hak asasi bagi terdakwa
Downloads Versi PDF >>>>>>>Klik Disini
Bab I
|
Downloads
| |
Bab II
|
Downloads
| |
Bab III - V
|
Downloads
| |
Daftar Pustaka
|
Downloads
| |
Lampiran
|
Downloads
|
Artikel terkait skripsi diantaranya : Kumpulan Contoh skripsi, contoh artikel, contoh makalah,proposal penelitian, karya tulis, contohskripsi, c0ntoh proposal, judul seminar akuntansi, proposal tentang, beasiswa disertasi, laporan ta, tugas ta, tesis akuntansi keuangan, tesis kesehatan, proposal tesis akuntansi, contoh-contoh tesis, tesis gratis, tesis contoh, contoh bab 1 tugas akhir, kumpulan tugas akhir akuntansi, proposal pengajuan tugas akhir, contoh laporan tugas akhir akuntansi, judul tugas akhir jurusan akuntansi.