BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Mencermati perkembangan
masyarakat hukum saat
ini, pada dasarnya
kehidupan manusia tidak
dapat dipisahkan dari
hukum.
Sepanjang sejarah peradaban
manusia, peran sentral hukum dalam upaya menciptakan
suasana yang memungkinkan
manusia merasa terlindungi, hidup
berdampingan secara damai,
dan menjaga eksistensinya di
dunia telah diakui. Hukum
merupakan salah satu
instrumen utama masyarakat untuk
melestarikan kebebasan maupun
ketertiban dan gangguan
yang arbitrer, baik
oleh perorangan, golongan
masyarakat atau pemerintah (Johnny Ibrahim, 2012:1-2).
Berbagai kasus
penipuan yang marak
terjadi di kalangan masyarakat, tindakan penipuan
merupakan suatu tindakan yang merugikan orang lain
yang termasuk ke
dalam tindakan yang
dapat dikenakan hukuman
pidana. Pada prinsipnya,
tindak pidana penipuan
merupakan suatu tindak
pidana atau kejahatan
yang bermuara kepada
kejahatan terhadap harta kekayaan
yang sifatnya untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Pada dasarnya
penipuan memiliki beberapa
bentuk, baik berupa perkataan
bohong atau berupa perbuatan yang
dengan maksud untuk mencari keuntungan
sendiri dari orang
lain. Biasanya seseorang
yang melakukan penipuan, adalah
menerangkan sesuatu yang seolah-olah betul atau
terjadi, tetapi sesungguhnya
perkataannya itu adalah
tidak sesuai dengan
kenyataannya, karena tujuannya
hanya untuk meyakinkan
orang yang menjadi sasaran agar
diikuti keinginannya, sedangkan menggunakan nama palsu supaya yang bersangkutan idak
diketahui identitasnya, begitu pula dengan
menggunakan kedudukan palsu
agar orang yakin akan
perkataannya (Ray Pratama Siadari, 2013).
1 Penipuan
merupakan kejahatan yang
sering dijumpai dalam masyarakat
dan telah menjadi musuh masyarakat (public enemy). Tindak pidana
ini merupakan kejahatan konvensional (blue collar
crime) yang melibatkan pelaku
dari kalangan masyarakat biasa. Berbeda dengan white collar
crime, ditujukan bagi aparat
dan petinggi negara yang
memiliki latar belakang pendidikan
tinggi dan merupakan orang-orang terpandang dalam
masyarakat, blue collar
crime dipakai untuk
menyebut semua skandal
kejahatan yang terjadi
di tingkat bawah
dengan kualitas dan kuantitas
kejahatan rendah.
Pemberantasan tindak
pidana penipuan yang
marak terjadi di lingkungan
masyarakat, pemerintah mengupayakan pengoptimalan dalam penegakan
hukum khususnya dalam tindak
pidana penipuan ini,
yang dalam hal
ini pemerintah telah
memberikan kebijakan dengan
membuat peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai tindak
pidana penipuan ini
dengan tujuan dapat
menekan maraknya tindak
pidana penipuan. Regulasi
mengenai tindak pidana
penipuan terkandung dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),
dalam hal ini
tindak pidana tersebut
diatur dalam bab
XXV yang diatur dalam
Pasal 378 sampai dengan Pasal 395 KUHP.
Konsep penegakan hukum dalam
persidangan yang pada khususnya untuk
membuktikan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa, pembuktian merupakan
masalah yang memegang
peranan dalam proses
pemeriksaan di sidang
pengadilan, karena melalui
pembuktianlah nasib terdakwa ditentukan. Apabila
hasil pembuktian dengan
alat-alat bukti yang ditentukan undangSebaliknya, kalau
kesalahan terdakwa dapat
dibuktikan dengan alat-alat bukti
yang disebut dalam
Pasal 184 KUHAP,
terdakwa dinyatakan dan kepadanya akan dijatuhi hukuman. Oleh
karena itu, hakim harus hati-hati,
cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan nilai bewijs kracht dari setiap alat bukti yang
disebut dalam Pasal 185 KUHAP.
Pembuktian merupakan
titik sentral pemeriksaan
pemeriksaan perkara dalam sidang
pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang
membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan
yang mengatur alat-alat bukti yang
dibenarkan undang-undang yang
boleh dipergunakan hakim dalam
membuktikan kesalahan yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak
boleh sesuka hati
dan semena-mena membuktikan
kesalahan terdakwa (M.Yahya
Harahap, 2010: 273).
Untuk menyatakan
salah atau tidaknya
seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim semata
atau hanya semata-mata didasarkan atas
keterbuktian menurut ketentuan dan cara
pembuktian dengan alat-alat
bukti yang ditentukan undang-undang. Seorang
terdakwa baru dapat
dinyatakan bersalah apabila
kesalahan yang didakwakan
kepadanya dapat dibuktikan dengan
cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang serta sekaligus
keterbuktian Harahap, 2010:
278-279).
Kasus tindak pidana yang menarik
bagi penulis ialah kasus tindak pidana
penipuan yang telah diperiksa dan
diadili oleh majelis
hakim Pengadilan Negeri
Bekasi yang pada
akhirnya dijatuhkan putusan dengan
nomor putusan: 211/Pid.B/2011/PN.Bks dengan
terdakwa DWI ARYASTUTI. Dalam
kasus ini, Terdakwa oleh Penuntut Umum diduga
telah melakukan tindak pidana yang kemudian didakwa dengan dakwaan
alternatif yaitu dakwaan
kesatu terdakwa didakwa
dengan Pasal 378 KUHP jo. Pasal
55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP,
dakwaan kedua terdakwa
didakwa dengan Pasal
372 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1)
KUHP.
Secara hukum,
meskipun seseorang sudah menyandang status sebagai
tersangka atau terdakwa,
bukan berarti orang
tersebut bisa diperlakukan sewenang-wenang. Sehingga
siapapun orang itu,
tetap ada hak-hak
yang harus dihormati. Berdasarkan asas
dalam hukum acara
pidana yaitu asas
praduga tidak bersalah
dan asas equiality before
the law yang dalam
hal ini setiap
orang wajib diperlakukan sama
dihadapan hukum, maka
dalam proses seluruh
rangkaian pemeriksaan untuk
membuktikan bersalah atau
tidaknya terdakwa, bermula
dari penyidikan sampai
dijatuhkannya putusan oleh
majelis hakim, sesuai
dengan hukum acara
pidana yang berlaku,
terdakwa diberikan hak-hak
yang wajib dihormati
dan tidak boleh dikesampingkan. Hak-hak tersangka atau terdakwa diatur dalam BAB VI Pasal 50
sampai dengan Pasal
68 Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Terdakwa dalam
proses pemeriksaan persidangan telah
menggunakan hak-haknya sebagai
seorang terdakwa sesuai dengan
hukum acara pidana
yang berlaku, khususnya
dalam proses pembuktian di dalam persidangan, terdakwa DWI
ARYASTUTI telah menggunakan
haknya sebagai terdakwa
dengan mengajukan saksi yang
meringankan guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya, kemudian terdakwa DWI ARYASTUTI
juga mengajukan beberapa alat
bukti surat dengan
maksud untuk memperkuat
fakta hukum bahwa terdakwa
DWI ARYASTUTI tidak
bersalah, serta dengan mengajukan alat bukti tersebut,
diharapkan dapat meyakinkan majelis hakim
bahwa terdakwa DWI ARYASTUTI tidak melakukan tindak
pidana sesuai dengan
dakwaan Penuntut Umum
yang didakwakan kepada
terdakwa. Pada pemeriksaan ini,
terdakwa DWI ARYASTUTI telah
mengajukan beberapa alat bukti keterangan saksi yang
meringankan dan alat
bukti surat yang
sah sesuai dengan KUHAP,
yang kemudian pada
akhirnya Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Bekasi
menjatuhkan Putusan dengan
Nomor: 211/Pid.B/2011/PN.Bks, yang
menyatakan bahwa terdakwa
DWI ARYASTUTI tersebut
telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah
melaku -sama melakuan DWI
ARYASTUTI telah menggunakan hak-haknya
sebagai seorang terdakwa yang dalam hal ini terdakwa telah
mengajukan beberapa alat bukti yang juga
telah sah sesuai dengan Pasal 183 KUHAP yang dapat meyakinkan
Majelis Hakim bahwa
Terdakwa tidak bersalah,
namun dalam hal
ini Majelis hakim
Pengadilan Negeri Bekasi
tetap berkeyakinan bahwa terdakwa
dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana penipuan. Skripsi Hukum:Tinjauan Yuridis Penggunaan Hak Pembelaan Oleh Terdakwa Berupa Keterangan Saksi Yang Meringankan Dan Bukti Surat Dalam Pemeriksaan Perkara Penipuan Di Pengadilan Negeri Bekasi
Download lengkap Versi PDF >>>>>>>KLIK DISINI
Bab I
|
Download
| |
Bab II
|
Download
| |
Bab III - V
|
Download
| |
Daftar Pustaka
|
Download
| |
Lampiran
|
Download
|