BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi
selalu mendapatkan perhatian serius dibandingkan dengan
tindak pidana lain
di berbagai belahan
dunia. Korupsi adalah kejahatan nasional
yang dalam perkembangannya menjadi
kejahatan transnasional yang tidak
hanya bersifat kejahatan biasa (ordinary crime) tetapi berkarakter kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sehingga
perlu extra pula dalam penanganannya.
Setiap negara
wajib bekerja sama
mencegah, menanggulangi, menuntut,
dan menghukum koruptor,
termasuk mengembalikan aset
kejahatan. Kerja sama internasional
perihal penuntutan dan penghukuman koruptor harus memerhatikan prinsip mendapat perlindungan atau pembelaan
diri sebagai haknya selaku nilainilai dalam sistem peradilan pidana yang
berlaku universal.
Fenomena ini
dapat dimaklumi mengingat
dampak negatif yang ditimbulkan dapat
menyentuh berbagai bidang
kehidupan yaitu dapat membahayakan stabilitas keamanan masyarakat,
pembangunan sosial ekonomi dan juga politik serta dapat merusak
nilai nilai demokrasi dan
moralitas karena lambat laun
perbuatan ini seakan
menjadi sebuah budaya.
Korupsi merupakan ancaman
terhadap cita- cita
menuju masyarakat adil
dan makmur. Menyadari kompleksnya
permasalahan korupsi di
tengah-tengah krisis multimedimensial serta
ancaman nyata yang
ditimbulkan dari kejahatan
ini. Maka tindak
pidana korupsi harus
dihadapi secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan
langkahlangkah yang tegas
dan jelas dengan
melibatkan seluruh potensi
yang ada di dalam
masyarakat khsnya pemerintah dan aparat penegak hukum.
Meningkatnya Tindak
Pidana Korupsi yang
tidak terkendali akan membawa bencana,
tidak hanya bagi
perekonomian nasional melainkan juga
bagi kehidupan berbangsa
dan bernegara. Hasil
survei Transparansi Internasional
Indonesia (TII) menunjukan
bahwa Indonesia merupakan negara paling korup nomor 6 (enam) dari 133 negara.
Di kawasan Asia, Bangladesh dan
Myanmar lebih korup
dibandingkan Indonesia. Nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK),
ternyata Indonesia lebih rendah dari
pada negara Papua
Nugini, Vietnam, Philipina,
Malaysia dan Singapura.
Sedangkan pada
tingkat dunia, negara-negara
yang ber-IPK lebih
buruk dari Indonesia
merupakan negara yang
sedang mengalami konflik
(Evi Hartanti, 2005:2).
Korupsi di Indonesia terus
menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun.
Baik dari
jumlah kasus yang
terjadi maupun jumlah
kerugian keuangan negara.
Kualitas tindak
pidana korupsi yang
dilakukan juga semakin
sistematis dengan lingkup
yang memasuki seluruh
aspek kehidupan masyarakat.
Kondisi tersebut menjadi salah
satu faktor utama
penghambat keberhasilan untuk
mewujudkan masyarakat Indonesia
yang adil dan
makmur sebagaimana diamanatkan
oleh Undang-Undang dalam
memberantas korupsi. Korupsi
juga semakin memperburuk citra pemerintah di mata
masyarakat yang tercermin dalam bentuk ketidakpercayaan
dan ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum, bila tidak ada perbaikan
yang berarti, maka
kondisi tersebut sangat
membahayakan kelangsungan hidup
bangsa.
Kasus korupsi yang banyak di Indonesia
merupakan pekerjaan rumah yang sangat
sulit diselesaikan oleh pemerintah, karena hal ini sangat berkaitan dengan penyelenggara negara baik
di tingkat pusat
maupun daerah (provinsi, dan kabupaten/kota). Masyarakat
sebagian masih melihat
kasus korupsi yang terjadi melalui
media elektronik maka
yang terlihat adalah
kasus korupsi yang merugikaan negara
bermilyar-milyar rupiah, sehingga
kerugian negara yang timbul sangat
mencolok karena hal
tersebut maka kasus
korupsi yang terjadi dengan
secepatnya harus
diselesaikan. Korupsi merupakan
gejala masyarakat yang
dapat dijumpai dimana-mana.
Sejarah membuktikan bahwa
hampir tiap negara
dihadapkan pada masalah
korupsi. Tidak berlebihan
jika pengertian korupsi
selalu berkembang dan
berubah sesuai dengan
perubahan zaman, yang berkonsekuensi pada bagaimana cara
penanggulangan dan perkembangannya.
Pada masa sekarang ini, dimana
negara Indonesia sedang membangun baik pembangunan fisik
maupun non fisik
untuk mewujudkan tujuan
negara sebagaimana tercantum
dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keintahan yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk
mewujudkan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut menjaga ketertiban
dunia berdasarkan perdamaian
abadi dan keadilan
sos Salah satu hambatan
dan mewujudkan tujuan negara
tersebut adalah tindak pidana korupsi, yang dapat menyebabkan rusaknya sendi-sendi
struktur pemerintahan dan menjadi hambatan
paling utama bagi pembangunan. Berbagai usaha telah dilakukan untuk memberantas
korupsi namun belum
memberikan hasil yang
memuaskan. Agar tujuan negara
tersebut dapat tercapai
dengan baik, maka
diperlukan peraturan perUndang-Undangan yang mengatur tentang
tindak pidana korupsi di Indonesia.
Upaya pemberantasan korupsi telah
direalisasikan dalam kerangka yuridis dengan keluarnya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang
menggantikan Undang-Undang No. 3
Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Alasan pergantian UndangUndang
Korupsi dari Undang-Undang No. 3
Tahun 1971 menjadi UndangUndang No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dilihat dalam diktum Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 sebagai berikut: Bahwa
Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sudah
tidak sesuai lagi
dengan perkembangan kebutuhan
dalam masyarakat, karena
itu perlu diganti
dengan UndangUndang
Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang baru
sehingga diharapkan lebih efektif
dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.
Undang-undang No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga
telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia
No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Diberlakukannya Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dimaksudkan untuk
menanggulangi dan memberantas korupsi.
Politik kriminal merupakan strategi penanggulangan korupsi yang melekat pada Undang-Undang tersebut. Mengapa
dimensi politik kriminal tidak
berfungsi, hal ini terkait dengan sistem penegakkan hukum di negara Indonesia
yang tidak egaliter.
Sistem penegakkan hukum
yang berlaku dapat
menempatkan koruptor tingkat
tinggi diatas hukum.
Sistem penegakkan hukum
yang tidak kondusif
bagi iklim demokrasi
ini diperparah dengan adanya
lembaga pengampunan bagi konglomerat korup hanya
dengan pertimbangan selera,
bukan dengan pertimbangan
hukum (Evie Hartati, 2005:4).
Korupsi merusak perkembangan
ekonomi suatu bangsa. Jika suatu proyek ekonomi
dijalankan sarat dengan unsur-unsur korupsi (penyuapan untuk kelulusan proyek,
nepotisme dalam penunjukan
pelaksana proyek, penggelapan
dalam pelaksanaannya dan lain-lain
bentuk korupsi dalam proyek),
maka pertumbuhan ekonomi yang
diharapkan dari proyek tersebut tidak akan tercapai. Korupsi juga mengakibatkan
berkurangnya investasi dari
modal dalam negeri
maupun luar negeri,
karena para investor akan berfikir dua kali ganda untuk membayar biaya yang
lebih tinggi dari
semestinya dalam berinvestasi (seperti untuk
penyuapan pejabat agar
dapat izin, biaya
keamanan kepada pihak
keamaanan agar investasinya aman dan lain-lain biaya yang
tidak perlu).
'mso-� B e u � � dengan mengajukan alat bukti tersebut,
diharapkan dapat meyakinkan majelis hakim
bahwa terdakwa DWI ARYASTUTI tidak melakukan tindak
pidana sesuai dengan
dakwaan Penuntut Umum
yang didakwakan kepada
terdakwa. Pada pemeriksaan ini,
terdakwa DWI ARYASTUTI telah
mengajukan beberapa alat bukti keterangan saksi yang
meringankan dan alat
bukti surat yang
sah sesuai dengan KUHAP,
yang kemudian pada
akhirnya Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Bekasi
menjatuhkan Putusan dengan
Nomor: 211/Pid.B/2011/PN.Bks, yang
menyatakan bahwa terdakwa
DWI ARYASTUTI tersebut
telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah
melaku -sama melakuan DWI
ARYASTUTI telah menggunakan hak-haknya
sebagai seorang terdakwa yang dalam hal ini terdakwa telah
mengajukan beberapa alat bukti yang juga
telah sah sesuai dengan Pasal 183 KUHAP yang dapat meyakinkan
Majelis Hakim bahwa
Terdakwa tidak bersalah,
namun dalam hal
ini Majelis hakim
Pengadilan Negeri Bekasi
tetap berkeyakinan bahwa terdakwa
dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana penipuan. Skripsi Hukum:Kajian Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi Penjualan Mobil Dinas Oleh Sekretaris Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (Bppt) Kota Semarang
Download lengkap Versi PDF >>>>>>>KLIK DISINI
Bab I
|
Download
| |
Bab II
|
Download
| |
Bab III - V
|
Download
| |
Daftar Pustaka
|
Download
| |
Lampiran
|
Download
|