BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah Pembuktian merupakan
salah satu aspek yang memegang
peranan penting dalam
proses pemeriksaan pada
sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila
hasil pembuktian dengan alat bukti yang
ditentukan dalam undang-undang
tidak cukup membuktikan kesalahan
yang didakwakan kepada
terdakwa, terdakwa dibebaskan
dari hukuman. Sebaliknya, jika
kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alatalat bukti
yang disebutkan dalam
Pasal 184 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP),
terdakwa dinyatakan bersalah, dan dijatuhi hukuman kepadanya. Oleh karena itu, hakim harus
hati-hati, cermat, dan matang dalam menilai
dan memertimbangkan nilai
pembuktian. Meneliti sampai
dimana batas minimum kekuatan
pembuktian dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP (M. Yahya Harahap, 2005: 273).
Pasal 183 KUHAP menerangkanbahwa
pembuktian harus didasarkan pada undang-undang, yaitu
alat bukti yang
sah, disertai dengan
keyakinan hakim yang
diperoleh dari alat-alat
bukti tersebut. Selanjutnya dalam Pasal 184
ayat (1) KUHAP,
disebutkan mengenai jenis alat bukti
yang sah, yang terdiri
dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Dengan demikian, keterangan ahli
merupakan salah satualat bukti yang
sahdalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Pembuat undang-undang melihat
keterangan ahli sebagai
salah satu alat
bukti yang penting
artinya dalam pemeriksaan perkara
pidana. Menempatkan keterangan ahli sebagai alat bukti
yang sah, dapat
dicatat sebagai salah
satu kemajuan dalam pembaruan hukum.
Pembuat undang-undang agaknya
menyadari, sudah tidak
dapat dipungkiri lagi, pada saat perkembangan ilmu dan teknologi, keterangan ahli memegang
peranan dalam penyelesaian kasus pidana. Perkembangan ilmu dan teknologi
sedikit banyak membawa
pengaruh terhadap kualitas metode kejahatan, yang memaksa aparat penegak
hukum untuk mengimbanginya dengan
kualitas dan metode pembuktian
yang memerlukan pengetahuan dan keahlian(M.
Yahya Harahap, 2005: 295-296).
Keahlian khusus
yang dimiliki seorang ahli
dan tidak dikuasai atau kurangdikuasai
oleh penegak hukum dapat membantu membuat terang tindak pidana. KUHAPmengatur keahlian
khususyang dituangkan dalam bentuk
keterangan ahli
dapat disampaikan mulai
tahap penyidikan hingga persidangan.
Pada tahap pemeriksaan perkara
di pengadilan,keterangan ahli bahkan
memiliki kekuatan sebagai
salah satu alat bukti
yang dapat menjadi dasar
pertimbangan hakim dalam
memutus perkara.Keterangan seorang ahli ialah apa yang
seorang ahli nyatakan
di sidang pengadilan
(Pasal 186 KUHAP).
Keterangan yang diberikan oleh seorang ahli di sidang pengadilan sangat diperlukan oleh hakim untuk meyakinkan
dirinya. Maka dari itu, pada pemeriksaan dalam
sidang pengadilan bagi
hakim peranan keterangan
ahli sangat penting
dan wajib dilaksanakan
demi keadilan. Akan
tetapi hakim dengan demikian tidak wajib untuk menuruti pendapat dari ahli itu bilamana pendapat dari ahli bertentangan dengan
keyakinannya (Soeparmono,1989: 15).
Melihat pentingnya
penggunaan alat bukti
keterangan ahli tersebut,
dalam penyelesaian suatu
perkara yang memerlukan
keahlian khusus, jika
penegak hukum hanya mengandalkan
pengetahuan yuridis maka
dampak buruknya adalah sulit
untuk menemukan fakta-fakta hukum yang
membuat titik terang perkara.
Mengerucut pada konteks
penyelesaian perkara tentang
tindak pidana penyalahgunaan narkotika,
juga memerlukan alat
bukti dalam proses pembuktian. Hal demikian dikarenakan hakim
dalam menjatuhkan vonis atau putusan akan
selalu berpedoman kepada
hasil pembuktian. Pelaku kejahatan narkotika
saat ini tidak
lagi secara sembunyi-sembunyi dalam
menjalankan aksinya, tetapi sudah
berani terang-terangan dilakukan oleh para pemakai dan pengedar
dalam menjalankan operasi
barang terlarang tersebut.
Berdasarkan fakta yang
dapat disaksikan hampir
setiap hari, baik melalui
media cetak maupun
elektronika, ternyata narkotika
telah merebak kemana-mana
tanpa pandang bulu
terutama diantara genarasi
muda yang sangat
diharapkan menjadi penerus
bangsa dalam membangun negara di masa mendatang. Oleh karena itusebelum keadaan semakin parah,
dengan peredaran narkotika yang telah menyusup
hingga ke bidang pendidikan,
mulai dari kampus,
SMU, sampai kepada murid-murid
sekolah dasar, bahkan dikalangan artis, eksekutif, dan
pengusaha pun telah pula dijejali
para pengedar narkotika,
maka pemerintah bersama
segenap warga masyarakat
harus sungguh-sungguh berusaha
menanggulangi ancaman bahaya
narkotika (Moh. Taufik
Makaro, dkk, 2005: 1).
Melihat fakta empiris,
jumlah penyalahguna narkotika
di Indonesia dari
dari waktu ke
waktu terus mengalami peningkatan.
Berdasarkan data Badan Narkotika
Nasional (BNN) menyebutkan,
pada tahun 2008,
jumlah pengguna narkoba di
Indonesia mencapai 3,3 juta jiwa atau sekitar 1,99 persen dari
jumlah penduduk Indonesia
mengalami ketergantungan narkoba.
Dari jumlah tersebut,
1,3 juta diantaranya
berasal dari kalangan
pelajar dan mahasiswa.
Di sisi lain,
jumlah korban meninggal
dunia akibat penggunaan narkoba
selama kurun waktu
2006 sampai 2008
mencapai 15.000 jiwa.
Artinya, setidaknya
41 jiwa melayang perhari dengan
78 persen terjadi pada anak muda usia 19-21 tahun. Data terbaru BNN
menyebutkan, Indonesia telah menjadi
pasar utama dalam hal perdagangan narkoba dengan jumlah pengguna sebanyak
3,6 juta jiwa
(kontak.uns.ac.id/2013/pengguna-narkoba-bukanpelaku-kejahatan.html,
diakses pada 5 Desember 2013 pukul 19.40).
Penyelesaian perkara
penyalahgunaan narkotika akan
sulit dibuktikan dari sisi
pemakai maupun pengedarnya
jika penegak hukum
hanya mengandalkan pengetahuan
yuridis. Pengungkapan kadar
penyalahgunaan narkotika adalah
sisi pengetahuan di
bidang medis. Putusan
Nomor 24/Pid.Sus/2010/PN.Ska merupakan salah satu
putusan terhadap perkara penyalahgunaan narkotika, sebagaimana diatur
dalam Pasal 127 ayat (1 ) huruf a Undang-Undang
Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika.
Untuk menerapkan pasal
tersebut harus didasarkan
pada alat bukti,
dalam hal ini yang mengetahui
terdakwa memakai atau
tidak adalah seorang
ahli yang memiliki pengetahuan
mumpuni di bidang
medis. Maka dari
itu, hakim menghadirkanahli yang berprofesi sebagai
dokter untuk menjernihkan duduk perkara yang
timbul di persidangan. Agar pelaksanaan
penegakan hukum dapat berjalan dengan baik, dokter sebagai
ahli dibutuhkan berkaitan dengan fungsi
bantuan hukum, dimana
segala upaya bermuara
pada mencari kebenaran
sejauh yang dapat
dicapai manusia. Dalam hal
ini bantuan yang diberikan dokter
dalam bentuk keterangan
ahli sebagai alat
bukti yang sah (Rika Susanti,
2013: 101). Keterangan ahli
tersebut dipergunakan sebagai bahan
pembuktian, untuk menimbulkan
keyakinan hakim, mengenai
benar atau tidaknya adanya suatu
tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa, serta
jenis putusan apa
yang paling tepat
dijatuhkan kepada terdakwa.
Disinilah urgensi
ahli dalam pengungkapan
kasus narkotika yang
di luar jangkauan pengetahuan hukum.
Skripsi Hukum:Implikasi Yuridis Pemanfaatan Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti Yang Sah Sesuai Dengan Pasal 184 Ayat (1) Huruf B Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Sebagai Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara
Download lengkap Versi PDF >>>>>>>KLIK DISINI
Bab I
|
Download
| |
Bab II
|
Download
| |
Bab III - V
|
Download
| |
Daftar Pustaka
|
Download
| |
Lampiran
|
Download
|