BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah Liberalisasi dan
globalisasi ekonomi sudah
melanda seluruh dunia, termasuk
di dalam bidang
investasi atau penanaman
modal. Dengan adanya liberalisasi dibidang penanaman modal, menarik
para pemodal asing atau investor asing
untuk menanamkan modalnya
ke suatu negara
yang dianggap sebagai negara yang paling menguntungkan. Dengan
adanya globalisasi ekonomi di dunia telah meniadakan
sekat-sekat batas hubungan
ekonomi internasional negara menjadi tanpa batas (borderless) (Rosyidah
Rakhmawati,1998:1).
Pada era globalisasi ini
investasi sangat dibutuhkan bagi tiap-tiap negara, khsnya bagi negara berkembang seperti
Indonesia. Dampak yang sangat terasa dengan terjadinya
globalisasi yakni arus
informasi yang begitu
cepat sampai di tangan masyarakat.
Sehingga berbagai pihak
khsnya kalangan pebisnis berlomba-lomba
memburu informasi, sebab
siapa yang mampu
menguasai informasi dengan cepat
maka dialah yang terdepan (Elyani, 2010 :318) Penanaman modal
adalah segala bentuk
kegiatan menanamkan modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun
oleh penanam modal asing yang melakukan usaha
di wilayah Negara
Republik Indonesia. Di
suatu negara penanam modal memliki tujuan untuk mengolah
potensi ekonomi menjadi suatu kekuatan
ekonomi yang nyata. Apabila modal dalam negeri dianggap tidak cukup, maka
suatu negara akan
berusaha menarik pemodal
asing untuk menanamkan modalnya
di negara tersebut.
Pembangunan ekonomi menjadi
salah satu jalan dalam
mensejahterakan masyarakat.
Dengan adanya
iklim investasi yang
baik, maka perekonomian
nasional dapat tumbuh
dan berkembang sehingga
mampu melanjutkan pembangunan
di bidang-bidang lainnya,
termasuk mengatasi permasalahan
bangsa yang sangat mendasar, yaitu kebodohan, kemiskinan, dan
pengangguran. Iklim investasi dapat terwujud
dengan baik apabila birokrasi mampu memberikan pelayanan investasi secara
professional, efektif, dan efisien dapat
terwujud jika sistem
hukum yang baik, terutama landasan hukum
yang mengatur dan dijalankan birokrasi (Taufiq Effendi, 2013:2).
Dalam penulisan ini penulis akan
secara bergantian menggunakan istilah investasi maupun
penanaman modal, karena
tidak terdapat perbedaan
prinsipil antara kedua istilah
tersebut. Penggunaan kedua istilah tersebut akan disesuaikan dengan konteks istilah apa yang dianggap
paling tepat oleh penulis.
Berdasarkan survey yang dilakukan
oleh World Bank bekerjasama dengan International Finance
Corporation mengenai tingkat
kemudahan berbisnis di dunia,
yang ditunjukkan dalam laporan tahunannya yang berjudul Doing Businnes 2013
Indonesia menempati peringkat
ke 116 dari
189 negara. Kemudian
dalam laporan tahunannya
yang berjudul Doing
Business 2014 Indonesia
mengalami penurunan menjadi
peringkat 120 dari 189 negara.
Tabel 1. Peringkat Ease of Doing
Business Tahun No. Negara
Peringkat No. Negara
Peringkat 1 Australia 11 11 Thailand
2
Brunei Darussalam 59 12
Amerika Serikat 3
Kanada 19 13
Cina 4
Indonesia 120 14
Hongkong 5
Jepang 27 15
Meksiko 6 Korea
Selatan 7 16
Papua New Guinea 7 Malaysia
6 17 Chili
34 8 Selandia Baru
3 18 Peru 9
Filipina 108 19
Russia 10
Singapura 2 20
Vietnam Sumber
data : World
Bank dan International
Finance Coorporation, Doing Business
Laporan
di atas menunjukkan
bahwa tingkat kemudahan
berbisnis di Indonesia masih berada di bawah negara lain yang
tergabung di dalam APEC (Asia-Pasific Economic Cooperation)
atau kerjasama ekonomi
Asia Pasifik (http://www.doingbusiness.org/reports).
Tabel 2. Masalah-masalah Utama
Dalam Melakukan Bisnis Di Indonesia Sumber
data : The
World Economic Forum,
The Global Competitiveness Report 2012- Data diatas
merupakan hasil survey
yang dilakukan oleh
The World Economic Forum
(WEF) tahun 2012-2013
yang hasilnya ditunjukkan
di dalam laporan tahunannya,
The Global Competitiveness Report.
Terdapat tiga faktor terpenting penghambat penanaman
modal di Indonesia,
yaitu birokrasi pemerintahan
yang tidak efisien, korupsi dan
infrastruktur yang tidak memadahi.
Menyadari
berbagai kendala tersebut, pemerintah kemudian menerbitkan Undang
Undang Penanaman Modal
(UUPM) yang baru
yaitu Undang-undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal menggantikan undang-undang yang lama yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA)
dan Undang-undang Nomor
6 Tahun 1968
tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri (PMDN).
Diundangkannya Undang-undang Nomor
25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal
merupakan perwujudan untuk
lebih mengakomodir berbagai
kepentingan baik kepentingan
dalam negeri maupun kepentingan
asing, khsnya yang
menyangkut kepastian dan
perlindungan hukum bagi para
penanam modal (investor), baik investor asing maupun investor dalam
negeri dengan tetap
memperhatikan kepentingan ekonomi
nasional (Sigit Irianto,2013:1).
Undang-undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman
modal mengatur mengenai Pelayanan
Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang bertujuan untuk membangun
penanaman modal, dengan
cara mempercepat, menyederhanakan pelayanan, dan meringankan atau menghilangkan
biaya pengurusan perizinan dan nonperizinan.
Tetapi sistem PTSP tidak dapat berjalan dengan optimal dan kurang dapat
bersaing dengan negara-negara
lain. Di Indonesia
investor membutuhkan waktu
hingga 45 hari
untuk mendapatkan perizinan
memulai usaha dari pemerintah.
Apabila penulis membandingkan dengan
negara-negara APEC (AsiaPasific Economic Cooperation) atau kerjasama ekonomi
Asia Pasifik, Indonesia masih tertinggal
jauh dalam hal efisiensi waktu untuk memulai usaha di Indonesia (http://www.weforum.org/issues/global-competitiveness).
Tabel 3. Waktu Yang Dibutuhkan Untuk Memulai Bisnis Di Suatu Negara No. Negara
Waktu No. Negara
Waktu 1 Australia 2
11 Thailand 2 Brunei Darussalam 101
12 Amerika Serikat 3 Kanada
5 13 Cina 4
Indonesia 45 14
Hongkong 5
Jepang 23 15
Meksiko 6 Korea
Selatan 7 16
Papua New Guinea 7 Malaysia
6 17 Chili
8
Selandia Baru 1 18
Peru 9
Filipina 35 19
Russia 10
Singapura 3 20
Vietnam Sumber
data : The
World Economic Forum,
The Global Competitiveness Report 2012- Data di
atas merupakan hasil
survey yang dilakukan
oleh The World
Economic Forum (WEF)
tahun 2012-2013 yang
hasilnya ditunjukkan di
dalam laporan tahunannya,
The Global Competitiveness Report (http://www.weforum.org/issues/global-competitiveness).
Tabel 4. Prosedur Yang Dibutuhkan Dan Biaya Yang Dibutuhkan Untuk Mendirikan Usaha di Negara APEC (Asia-Pasific
Economic Cooperation) No. Negara Prosedur
Biaya* No. Negara
Prosedur Biaya* 1 Australia
3 0,7 11
Thailand 4 6, 2
Brunei Darussalam 15 9, 12
Amerika Serikat 6 1, 3
Kanada 1 0,4
13 Cina 3 2, 4 Indonesia
10 20,5 14
Hongkong 3 0, 5
Jepang 8 7,5
15 Meksiko 6 19, 6 Korea Selatan 5 14, 16 Papua New
Guinea 6
13, 7 Malaysia 3
7,6 17 Chili
7 0, 8 Selandia Baru 1
0, 18 Peru 5 10, 9 Filipina
15 18,7 19
Russia 7 1, 10
Singapura 3 0,6
20 Vietnam 10 7,
* biaya dalam hitungan persen dari pendapatan perkapita suatu negara Sumber :
World Bank and International Finance Corporation Doing Business Berdasarkan
survey yang dilakukan
oleh World Bank
bekerjasama dengan International Finance Corporation diperoleh data bahwa untuk mendirikan usaha di
Indonesia membutuhkan 10
prosedur dan biaya
sebesar 20,5 persen
dari pendapatan perkapita.
Apabila penulis membandingkan
dengan negara-negara APEC
(Asia-Pasific Economic Cooperation)
atau kerjasama ekonomi
Asia Pasifik, Indonesia
masih tertinggal jauh
dalam hal jumlah
prosedur yang diperlukan
dan biaya yang
diperlukan oleh seorang
investor untuk melakukan perizinan
penanaman modal di
suatu negara (http://www.doingbusiness.org/reports).
Skripsi Hukum:Analisis Harmonisasi Pengaturan Wewenang Penanaman Modal Ditinjau Dari Prinsip Birokrasi Kewirausahaan
Download lengkap Versi PDF >>>>>>>KLIK DISINI
Bab I
|
Download
| |
Bab II
|
Download
| |
Bab III - V
|
Download
| |
Daftar Pustaka
|
Download
| |
Lampiran
|
Download
|