BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia
disebabkan kemajuannya yang ada di negara-negara
Islam yang mayoritas penduduknya beragama Islam, perbankan syariah mendapat respon yang baik dalam masyarakat.
Beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas telah diterapkan, di antaranya adalah
Baitul Tamwil-Salman di Bandung dan di Jakarta
juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti .
Pada tahun 1990 para ulama, cendikiawan muslim
dan praktisi perbankan menyn suatu
program untuk mendirikan Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah (BPR Syariah). Pada akhirnya didirikanlah Bank
yang pertama kali menggunakan prinsip syariah
dalam bentuk BPR yakni BPR Dana Mardhatillah, BPR Berkah Amal Sejahtera dan BPR Amanah Rabaniah . ketiga BPR tersebut mendapat izin Menteri
Keuangan pada tanggal 8 Oktober 1990
namun mulai beroprasi pada tahun 1991. Setahun kemudian tepatnya pada tanggal 2 Mei 1992 Bank Muamalat
Indonesia (BMI) yang merupakan bank umum
mulai beroprasi.
Keunggulan perbankan syariah telah terbukti,
kemampuannya bertahan dalam krisis global
pada tahun 2008-2009 menunjukan bahwa sistem perbankan syariah memang layak dan pantas dijadikan alternatif sebagai
bank yang membantu perekonomian bangsa.
Muhammad Syafi’i Antonio. 2009. Bank Syariah:
dari Teori ke Praktik, cetakan keempat belas.
Jakarta: Tzkia Cendekia. Halaman
25 Cik Basir. 2009. Penyelesaian Sengketa
Perbankan Syariah: di Pengadilan Agama & Mahkamah Syariah. Jakarta: Prenada Media group. Halaman
32 Loc.
Cit.,Muhammad Syafi’i Antonio Terbukti
penyaluran pembiayaan oleh perbankan syariah secara konsisten terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan
sebesar 33,3% pada Februari 2008 menjadi 47,3% pada Februari 2009. Sementara itu, nilai
pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan
syariah mencapai Rp.40,2 triliun .
Sistem syariah masih tergolong baru di
Indonesia dan pengaturannya tidak terlalu sempurna. Namun itu tidak menjadi alasan
ketidaksempurnaan suatu undang-undang yang
dikarenakan objek pengaturannya masih baru atau lama, karena yang menjadi pokok utamanya adalah kepastian hukum. Sebagai
lembaga yang menjalankan sistem syariah,
bank dalam setiap operasionalnya, apapun yang muncul dalam setiap permasalahnnya harus diselesaikan secara
syariah. Diresmikan pada tanggal 23 Oktober 1993 Badan Arbitrase Syariah Muamalah
Indonesia atau disingkat BAMUI, siap untuk menangani semua permasalahan yang berhubungan
dengan syariah. Kemudian pada tahun 2002
dalam rakernas MUI, BAMUI berganti nama menjadi BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) yang dituangkan
dalam SK MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal
24 Desember 2003 sebagai lembaga arbiter yang menangani penyelesaian perselisihan sengketa di bidang ekonomi
syariah .
Faktanya Lembaga Arbitrase yang dibentuk tidak
dapat mengakomodir semua permasalahan
yang ada, oleh karena itu dibutuhkan sebuah Lembaga Peradilan yang mampu menutupi kelemahan lembaga sebelumnya
dan memberikan alternatif dalam penyelesaian
sengketa syariah khsnya dalam pebankan syariah. Maka kepastian akan undang-undang yang sebagai landasan hukumnya
harus diterbitkan.
Perbankan
Syariah: Lebih tahan krisis global.
www.bi.go.id/...
Perbankan_Syariah_Lebih_Tahan_Krisis_Global.pdf”.
Diakses pada tanggal 15 Mei 2011.
Suhartono. “Paradigman Penyelesaian Sengketa
Perbankan Syariah di Indonesia”, dalam majalah Mimbar Hukum:Journal of Islamic Law No. 6,
Desember 2008. Halaman 104. Pada
tahun 2006 diterbitkanlah sebuah Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama yang memberikan
ligitimasi kepada Pengadilan Agama untuk menangani sengketa syariah.
Terbitnya Undang-Uundang No. 21
Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah juga semakin memperjelas wewenang Peradilan Agama
dalam fungsinya dan memberikan secara khs
terhadap penyelesaian sengketa atas permasalahan yang berhubungan dengan syariah. Didalam undang-undang ini juga
memberikan penjelasan mengenai penyelesaian
sengketa yang tidak hanya dapat diselesaikan melalui peradilan saja namun dapat melalui non peradilan, musyawarah,
Mediasi Perbankan, Lembaga Arbitrase atau Lembaga Arbitrase lainnya. Semua tergantung
pada akad atau perjanjian yang telah disepakati
antara pihak bank dan nasabah.
Berdasarkan pemaparan diatas maka skripsi ini
berjudul PENYELESAIAN SENGKETA DALAM
PERBANKAN SYARIAH MENURUT UU. NO.21 TAHUN 2008, untuk melihat lebih jauh bagaimana
penyelesaian sengketa yang berhubungan dengan
perbankan syariah diselesaikan melalui lembaga peradilan maupun non lembaga peradilan.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengaturan penyelesaian sengketa perbankan syariah? 2.
Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa perbankan syariah? 3.
Bagaimana kedudukan arbitrase
syariah sebagai lembaga penyelesaian sengketa perbankan syariah?
C. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui
bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa
yang ada dalam perbankan syariah. Secara umum akan diteliti bagaimana langkah-langkah yang akan ditempuh oleh pihak
kreditur yaitu Bank dalam penyelesaian sengketa
terhadap debitur. Dengan mengetahui prosedur penyelesaian sengketa yang ada, maka akan memberikan gambaran yang jelas bahwa
perbankan syariah juga memiliki suatu
lembaga tersendiri yang diberi legitimasi oleh pemerintah dalam melakukan
proses peradilan secara independen.
b. Tujuan Khs Secara khs penelitian ini mengangkat bagaimana
lembaga-lembaga yang diberikan oleh
undang-undaang untuk menyelesaikan sengketa di Perbankan Syariah, dan juga bagaimana penyelesaian sengketa yang ada
dapat diselesaikan secara non litigasi.
D. Manfaat Penelitian
1.
Memberikan pengetahuan yang besar bagi penulis sendiri bagaimana penyelesaian sengketa di perbankan syariah.
2. Memberikan kontribusi terhadap masyarakat
untuk dapat mengetahui bagaimana langkah-langkah
yang harus diambil ketika menghadapi sengketa di perbankan syariah.
3. Memberikan masukan terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan khs nya dalam perbankan dan
juga memberikan pemahaman pada pihak terkait seperti; praktisi hukum, praktisi perbankan, dan juga
mahasiswa diharapkan memberikan manfaat
yang cukup luas.
E. Keaslian Penulisan
Penulisan karya ilmiah ini diperoleh
berdasarkan dari berbagai literaturebaik dari media cetak maupun dari media elektronik,
ditambah dengan pemikiran dari penulis sendiri
sehingga keaslian penulisan karya ilmiah ini dapat dipertanggung jawabkan.
Datadata yang penulis dapatkan juga berasal dari pendapat-pendapat para ahli
sehingga isi dari karya ilmiah ini juga
dapat dipertanggung jawabkan secara teoritis.
F. Tinjauan Kepustakaan 1. Perbankan Syariah Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang
menyangkut tentang bank: mencakup kelembagaan,
kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah atau
hukum islam. Pada saat ini perkembangan bank
syariah di Indonesia cukup pesat, apalagi peran bank-bank cukup signifikan.
Pada awalnya penerapan system perbankan
syariah dimaksudkan untuk menciptakan suatu
kondisi bagi umat muslim agar melaksanakan semua aspek kehidupannya, termasuk aspek ekonomi dengan berlandaskan
pada Al Qur’an dan As-Sunnah. Diluar perkiraan
sistem ini mengalami perkembangan dan menjadi objek kajian dan penelitian oleh kalangan barat. Terhitung sampai saat
ini, banyak bank-bank yang awalnya berkembang
dalam sistem konvensional, ternyata tertarik untuk menggunakan sistem syariah. Bank Sumut Syariah, Bank Mandiri
Syariah, Bank BNI Syariah, Bank Bukopin Syariah,
Bank BRI Syariah, semuanya telah menerapkan sistem syariah. Sistem syariah ini juga telah mampu berinteraksi dengan
sistem perekonomian dunia dan kenyataan yang ada sekarang, sistem perbankan syariah
tidak hanya dimiliki dan diklaim sebagai milik negara-negara Islam namun milik
masyarakat dunia.
a. Kegiatan Usaha Bank Umum
Syariah Kegiatan usaha bank umum syariah meliputi :
1.
Menghimpun dana dalam bentuk simpanan berupa giro, tabungan, atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan akad wadi’ah atau akad lain yang
tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
2.
Menghimpun dana dalam bentuk investasi berupa deposito, tabungan, atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah;
3. Menyalurkan pembiayaan bagi hasil berdasarkan
akad mudharabah, akad musyarakah, atau
akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
4.
Menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad murabahah, akad salam, akad istishna’,
atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad qardh
atau akad lain yang tidak bertentangan
dengan prinsip syariah;
5. Menyalurkan pembiayaan penyewaan barang
bergerak atau tidak bergerak kepada
nasabah berdasarkan akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah;
6.
Melakukan pengambil alihan utang berdasarkan akad hawalah atau akad lain
yang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah; Pasal 19 Ayat 1 dan 20 Ayat 1
Undang-Undang No. 21 Tahun tentang Perbankan Syariah
7. Melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah;
8.
Membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak
ketiga yang diterbitkan atas dasar
transaksi nyata berdasarkan prinsip syariah, antara lain, seperti akad ijarah, musyarakah,
mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;
9.
Membeli surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh
pemerintah dan/atau bank indonesia;
10. Menerima pembayaran dari tagihan atas
surat berharga dan melakukan perhitungan
dengan pihak ketiga atau antar pihak ketiga berdasarkan prinsip syariah;
11. Melakukan penitipan untuk kepentingan
pihak lain berdasarkan suatu akad yang berdasarkan
prinsip syariah;
12. Menyediakan tempat
untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan prinsip syariah;
13. Memindahkan uang, baik untuk kepentingan
sendiri maupun untuk kepentingan nasabah
berdasarkan prinsip syariah;
14.
Melakukan fungsi sebagai wali amanat berdasarkan akad wakalah;
15. Memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan prinsip syariah;
16. Dan melakukan kegiatan lain yang lazim
dilakukan di bidang perbankan dan di bidang
sosial sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
17. Melakukan kegiatan valuta asing
berdasarkan Prinsip Syariah;
18.
Melakukan kegiatan penyertaan modal pada Bank Umum Syariah atau lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah;
19.
Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan Pembiayaan berdasarkan prinsip
Syariah, dengan syarat harus menarik kembali
penyertaannya;
20. Bertindak sebagai
pendiri dan pengurus dana pensiun berdasarkan Prinsip Syariah;
21. Melakukan kegiatan dalam pasar modal
sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal;
22.
Menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan Prinsip Syariah dengan menggunakan sarana elektronik;
23. Menerbitkan, menawarkan, dan
memperdagangkan surat berharga jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui
pasar uang;
24. Menerbitkan, menawarkan,
dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui
pasar modal; dan
25. Menyediakan produk
atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum Syariah lainnya yang berdasarkan Prinsip Syariah.
2. Kedudukan Perbankan Syariah a. Sebelum berlakunya Undang-undang No. 21
Tahun 2008 Eksistensi Bank Islam secara hukum positif
dimungkinkan pertama kali melalui Pasal
6 huruf m UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
. Pasal 6 huruf m beserta penjelasannya
tidak mempergunakan sama sekaliistilah Bank Islam atau Bank Syariah, namun hanya menyebutkan “menyediakan
pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang
diterapkan Peraturan Pemerintah”. Dalam Undang-Undang
No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, keberadaan perbankan syariah dipahami sebagai bank bagi hasil serta
perbankan syariah harus tunduk kepada peraturan bank umum, yaitu bank konvensional.
Pasal 13 huruf c Undang-undang No. 7 Tahun
1992 Tentang Perbankan juga menyatakan
salah satu usaha bank perkreditan rakyat menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai
dengan ketentuan yang diterapkan dalam peraturan
pemerintah. Pada tanggal 30 Oktober 1992 pemerintah mengeluarkan PP No.
72 Tahun 1992 Tentang Bank
Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Pasal 6 PP No. 72 Tahun 1992 tersebut menyatakan: 1. Bank
umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak
diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang
tidak berdasarkan prinsip bagi hasil 2. Bank umum atau bank perkreditan rakyat yang
kegiatan usahanya tidak berdasarkan
prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
Adrian Sutedi. 2009. Perbankan Syariah:
Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia. Halaman 25. Dalam
menjalankan perannya, bank syariah berlandaskan UU No. 7 Tahun 1992 dan PP No. 72 Tahun 1992 yang dijabarkan dalam
Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No.
25/4/BPPP tanggal 29 Februari
1993, yang menetapkan beberapa hal, yaitu: 1.
Bahwa bank berdasarkan bagi hasil adalah bank umum dan bank perkreditan 2.
Prinsip bagi hasil yang dimaksud adalah prinsip bagi hasil yang
berdasarkan syariah 3. Bank
berdasarkan prinsip bagi hasil, wajib memiliki dewan pengawas syariah 4. Bank
umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil tidak
diperkenankan melakukan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil. Sebaliknya,
bank umum atau bank perkreditan rakyat
yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan kepada prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan berdasarkan
prinsip bagi hasil.
Pada tahun 1998, dibuatlah
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan yang mana didalam UndangUndang tesebut mengakui keberadaan bank yang
beroprasi berdasarkan prinsip syariah dalam
system prebankan nasional. Dalam Pasal 1 ayat (3) dan (4) UU No. 10 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa: Bank umum adalah bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional dan/atau
berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bank perkreditan
rakyat adalah bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Pemberlakuan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
yang diikuti dengan dikeluarkannya
sejumlah ketentuan pelaksanaan dalam bentuk SK direksi BI dan peraturan BI telah memberikan landasan hukum
yang lebih kuat dan kesempatan yang luas
bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia.
b. Pasca Berlakunya Undang-Undang
No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
Agar tercapainya tujuan pembangunan nasional
dan dapat berperan aktif dalam persaingan
global yang sehat, diperlukan partisipasi dan kontribusi semua elemen masyarakat. Namun masyarakat saja dianggap
kurang cukup karena setiap peran aktif itu tidak dapat didukung dengan namanya suatu
legitimasi yang jelas.
Pengembangan sistem perbankan syariah tidak akan dapat maju berkembang
dengan pesat tanpa adanya aturan yang
jelas. Peng-khsan aturan perbankan syariah sangat dibutuhkan karena demi memperjelas bagaimana
bank syariah tersebut beroprasi.
Lahrinya Undang-undang No. 21
Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah seakan memberi angin segar terhadap pengembang
perbankan yang merapkan sistem syariah.
Pengakuan pemerintah terhadap bank-bank
syariah akan dapat mempermudah pertumbuhan
bank-bank syariah. Pasca terbitnya Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah memberikan dampak
yang sangat positif seperti pelayanan yang
baik dalam menghimpun dana masyarkat, kemampuan bank-bank syariah dalam menjangkau nasabahnya dan juga tingkat
kepercayaan masyrakat yang cukup tinggi untuk
menyimpan dana ke Bank Syariah maupun ke BPR syariah.
Didalam undang-undang tersebut juga
menjelaskan bagaimana snan dewan komisaris
dan direksinya dan juga kalah tidak penting, dalam perbankan syariah mengenal juga dewan pengawas syariah. Dalam
Undang-Undang ini juga memberikan kesempatan
kepada bank syariah untuk mempergunakan tenaga kerja asing yang tujuannya untuk membantu jalannya pengembangan
bank itu sendiri.
3. Perbedaan Bank Syariah dengan
Bank Konvensional Perbedaan pokok antara
bank konvensional dengan bank syariah terletak pada landasan falsafah yang dianutnya. Bank syariah
tidak melaksanakan sistem bunga dalam seluruh
aktivitasnya sedangkan bank konvensional kebalikannya. Hal inilah yang menjadi perbedaan sangat mendalam terhadap
produk-produk yang dikembangkan oleh bank syariah, dimana untuk menghindari sistem bunga.
Riba secara sederhana berarti sistem bunga
berbunga atau compound interestyang dalam
semua prosesnya bisa mengakibatkan membengkaknya kewajiban salah satu pihak seperti efek bola salju . Membengkaknya kewajiban nasabah kepada bank
akan berdampak buruk kepada bank itu
sendiri, dan inilah yang akan mengakibatkan terjadinya kredit macet. Sistem bagi hasil yang
diterapkan dalam perbankan syariah, dana yang dikelola dalam bentuk jual beli dan kemitraan.
Tabel 1. Perbedaan antara sistem
bagi hasil dengan sistem bunga No Bagi
hasil Bunga 1 Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung 2
Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan
jumlah keuntungan yang diperoleh Besarnya persentase berdasarkan besarnya jumlah uang (modal) yang dipinjamkan Totok Budisantro dan Sigit Triandru.2006.
Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Halaman 156. 3
Jumlah pembagian laba meningkat sesuai
peingkatan jumlah pendapatan Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi 4 Bagi
hasil bergantung pada keuntungan proyek
yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming” 5 Tidak
ada yang meragukan keabasahan bagi hasil
Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama, termasuk Islam Bank syariah diwajibkan menjadi pengelola
zakat yaitu dalam arti wajib membayar zakat,
menghimpun dan mengadministrasikan dan mendistribusikannya . Hal ini merupakan fungsi dan peran yang melekat pada
bank syariah untuk memobilisasi danadana sosial, zakat, infak dan sedekah.
Didalam bentuk perjanjian, Bank Syariah juga
berbeda dengan bentuk Bank Konvensional
secara umumnnya. Akad atau perjanjian dalam Bank Syariah memiliki aspek yang lebih bertanggung jawab dikarenakan
konsekuensinya duniawi dan ukhrawi.
Hal ini disebabkan dilakukan
berdasarkan hukum islam. Proses apa pun yang dihasilkan oleh perbankan syariah tidak akan terlepasdari
proses transaksi yang dalam istilah muamalahnya
disebut dengan ‘aqd. Ada beberapa asas ‘aqdyang harus dilindungi dan dijamin dalam Undang-Undang Perbankan Syariah,
yaitu: a. Asas Ridha’iyyah(rela sama
rela) Yang dimaksud asas ridha’iyyahialah bahwa
transaksi ekonomi Islam dalam bentuk apa
pun yang dilakukan perbankan dengan pihak lain terutama nasabah harus
didasarkan atas prinsip rela sama rela
yang hakiki. Asas ini didasarkan pada sejumlah ayat Al-Qur’an dan Al-Hadist, terutama surah an-Nisa: 29.
Atas dasar asas ‘an-taradhin, maka semua Ibid,
halaman 156 bentuk transaksi yang mengandung unsur
paksaan harus ditolak dan dinyatakan batal demi hukum. Itulah sebabnya Islam mengharamkan
bentuk transaksi ekonomi apa pun yang
mengandung unsur kebathilan.
b. Asas manfaat Maksudnya adalah bahwa akad yang dilakukan
oleh bank dengan nasabah berkenaan dengan
hal-hal (objek) yang bermanfaat bagi kedua belah pihak. Itulah sebabnya Islam mengharamkan akad berkenaan dengan hal-hal
yang bersifat mudharat/mafsadat.
c. Asas keadilan Dimana
para pihak yang bertransaksi harus berlaku dan diperlakukan adil dalam konteks pengertian yang luas dan konkret. Hal
ini didasarkan pada sejumlah ayat AlQuran yang menjunjung tinggi keadilan dan
anti-kezaliman, termasuk pengertian kezaliman
dalam bentuk riba seperti yang tersurat dalam QS. 57 (al-Hadid) ayat 25.
d. Asas saling menguntungkan Setiap
akad yang dilakukan oleh para pihak harus bersifat keuntungan memberi keuntungan bagi mereka. Itulah sebabnya Islam
pun mengharamkan transaksi yang mengandung
unsur gharar(penipuan), karena hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak yang lain.
Selain asas-asas tersebut, ada beberapa hal
lain yang juga harus diperhatikan dalam suatu
akad, yaitu: a. Akad yang dilakukan para pihak bersifat
mengikat b. Para pihak yang melakukan akad harus memiliki
itikad baik. Asas ini sangat penting
diperhatikan dan akan turut menentukan kelangsungan dari pelaksanaan akad itu sendiri c.
Memperhatikan ketentuan-ketentuan atau tradisi ekonomi yang berlaku
dalam masyarakat ekonomi selama tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip perekonomian
yang telah diatur oleh islam, dan tidak berlawanan dengan asasasas
al-uqud(konsep hukum perikatan islam).
d. Pada dasarnya, para pihak memiliki kebebasan
untuk menetapkan syarat-syarat yang
ditetapkan dalam akad yang mereka lakukan, sepanjang tidak menyalahi ketentuan yang berlaku umum dan semangat moral
perekonomian dalam islam.
Didalam struktur organisasi suatu bank syariah
diharuskan adanya Dewan Pengawas Syariah
(DPS). DPS bertugas untuk mengawasi segala aktivitas bank agar selalu sesuai dengan koridor prinsip syariah. DPS ini
dibawahi oleh Dewan Syariah Nasional (DSN).
DSN didirikan SK MUI No. Kep.
754/II/1999, dengan 4 (empat) tugas pokok, yaitu: a.
Menumbuh kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian b.
Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan c.
Mengeluarkan fatwa atau produk keuangan syariah d.
Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi penelitian Penelitian yang dipergunakan dalam
menyelesaikan skripsi ini bersifat deskriptif analisis yang mengacu kepada penelitianhukum
yuridis normatif yaitu menguji, mengkaji
ketentuan-ketentuan penerapan peraturan yang mengatur tentang penyelesaian sengketa perbankan Syariah. C. F. G Sunaryati
Hartono dalam bukunya Penelitian Hukum
Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20mengatakan bahwa kegunaan metode penelitian hukum normatif adalah untuk
mengetahui atau mengenal apakah dan bagaimanakah
hukum positifnya mengenai suatu masalah yang tertentu. Dia juga mengatakan bahwa penelitian hukum normatif
juga dapat menjelaskan atau menerangkan kepada
orang lain apakah dan bagaimanakah hukumnya mengenai peristiwa atau masalah yang tertentu
.
2. Sumber Data Sumber
data diperoleh melalui data sekunder yaitu: a. Bahan hukum Primer Diperoleh melalui Undang-Undang No. 21 Tahun
2008 Tentang Perbankan Syariah.
b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder berupa karya-karya
ilmiah, berita-berita serta tulisan dan buku
yang ada hubungannya dengan permasalahan yang diajukan.
c. Bahan hukum tertier Bahan hukum tertier berupa bahan-bahan yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti Kamus Hukumdan Kamus Bahasa Indonesiadan lain
sebagainya.
3. Metode Pengumpulan Data Dalam
penulisan skripsi ini metode pengumpulan data dengan studi dokumen dengan penulran pustaka (Library Research) yaitu
mengumpulkan data dari informasi dengan bantuan
buku, karya ilmiah dan juga perundang-undangan yang berkaitan dengan materi penelitian.
C. F. G. Sunaryati Hartono. 1994. Penelitian
Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20.
Penerbit Alumni: Bandung. Halaman
140. 4. Analisis Data Dalam
penulisan ini, analisis data yang digunakan adalah dengan cara kualitatif, yang hanya mendiskriptifkan pembahasan masalah
dengan kalimat tanpa menggunakan angka-angka.
H. Sistematika Penulisan Penulisan ini dibuat dalam bentuk skripsi yang
terdiri dari lima bab, yaitu: 1. Bab I diawali dengan latar belakang
penelitian, yang berisi alasan-alasan penulis mengambil judul sebagaimana tercantum diatas.
Uraian-uraian dalam bab ini ditujukan
sebagai penjelasan awal mengenai terminologi-terminologi yang digunakan untuk mengemukakan permasalahan
dalam mengidentifikasi masalah sebagai
proses signifikasi pembahasan. Disamping itu untuk mempertegas pembahasan dicantumkan pula maksud dan tujuan
serta kegunaan penelitian.
2. Bab II menjelaskan penyelesaian sengketa
perbankan syariah yang ada di Indonesia.
Dalam bab ini akan membahas
secara normatif bagaimana landasan hukum penyelesaian sengketa Perbankan Syariah di
Indonesia.
3. Bab III berisi mekanisme penyelesaian
sengketa Perbankan Syariah di Indonesia.
Ada beberapa cara yang dapat
diambil oleh para pihak yang bersengketa yaitu dari Lembaga Peradilan ataupun Non Lembaga
Peradilan. 4. Bab
IV berisi peran Arbitrase Syariah (BASYARNAS) dalam menyelesaikan sengketa Perbankan Syariah. Hal-hal yang
diuraikan dalam Bab ini mengenai apakah eksistensi
Arbitrase Syariah masih diperlukan atau tidak setelah adanya Pengadilan Agama.
5. Bab
V merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan yang dikemukakan berdasarkan permasalahan yang telah dibahas
dan dianalisis, dalam bab ini juga dikemukakan
berbagai saran dari penulis yang dihasilkan penelitian yang dilakukan oleh penulis.
Download lengkap Versi Word