SKRIPSI HUKUM: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SISTEM PENGEMBALIAN UANG KEMBALIAN PELANGGAN PADA INDUSTRI RETAIL DEPARTEMEN STORE BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN


BAB I  
PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang  
Semakin kecilnya nilai nominal mata uang rupiah, hal itu berdampak pada  semakin sedikitnya jumlah uang koin yang beredar di masyarakat. Memang di sini  tidak sedang membahas masalah keekonomian uang pecahan koin, namun lebih  menyoroti cadangan uang koin yang dimiliki pedagang.

Hubungannya trend saat ini, mayoritas pedagang, mulai skala kecil  (minimarket) hingga hipermarket, sedang mengalami gejala kesulitan mempunyai  stok uang koin dengan berbagai pecahan, yang identik dengan uang logam. Tidak  pasti hal itu benar atau tidak terkait dengan semakin tidak berartinya nominal  uang koin, hal itu berdampak semakin malasnya para pedagang kecil hingga kelas  retail untuk menyediakan stok uang yang biasanya digunakan untuk uang  kembalian.
 Di sinilah letak permasalahannya. Pada kenyataannya banyak konsumen  mengalami kejadian kurang menyenangkan terkait dengan uang koin jika  berurusan dengan transaksi di minimarket. Hal itu terjadi pada konsumen harus  membeli sesuatu, dan ternyata uang kembaliannya oleh penjual bukannya  diberikan dalam uang koin. Melainkan diganti seenaknya sendiri dengan permen.
Tidak hanya identik uang koin seratus rupiah yang kemungkinan diganti  dengan permen, kelipatannya hingga lima ratus pun pernah diganti dengan permen   http://nariswari.wordpress.com/2007/08/27/fenomena-uang-kembalian-digantikanpermen-pembodohan-konsumen/diakses tanggal 31 Mei 2011   sejumlah lima bungkus. Memang penjual ketika akan menyodorkan sisa uang  kembalian juga sambil bilang bahwa uangnya diganti dengan permen. Namun  yang jadi masalah adalah penjual seolahtidak memberikan kesempatan kepada  pembeli untuk menolak opsi satu-satunya yang ditawarkan penjual. Karena hal itu  meski dalam jumlah nominal terbilang sangat kecil, tetapi berdampak psikologis  cukup besar bagi ketidaknyamanan dalam konsumen. Karena, berdasarkan  pengalaman para konsumen yang tepatnya masyarakat yang berbelanja di  minimarket daerah Indonesia, jika menolak dan tetap menginginkan uang  kembalian dalam bentuk koin silver bergambar burung kakaktua, pasti si pihak  minimarket akan menjawab tidak punya stok.
 Sehingga mau tidak mau, ikhlas tidak ikhlas konsumen wajib menerima  uang kembalian berupa permen. Hasilnya, tawaran uang kembalian diganti dengan  permen seperti sebuah tawaran paksaan yang mana konsumen tak mempunyai  pilihan selain berkompromi dan menerima permen dengan lapang dada, meski  sebenarnya tidak sedang membutuhkan permen untuk menyegarkan mulut. Tidak  jarang konsumen sering mengeluh dengan keadaan itu. Bukan mengeluh tentang  uang kembalian yang tidak seberapa besarnya jika konsumen menolak hal itu,  melainkan lebih pada mental pihak minimarket yang kurang mampu menangkap  beban psikologis konsumennya. Harus diakuiterkadang hal ini karena kesalahan  konmsumen sendiri yang tak berani protes kadang konsumen menghindari untuk  meributkan sesuatu yang kecil, namun tidak semestinya juga pihak minimarket  mengabaikan hak konsumen yang ingin agar uang kembalian berbentuk uang   http://terselubung.cz.cc/2009/11/permen-tidak-boleh-menjadi-alat.html, diakses tanggal  31 Mei 2011   tunai (koin), bukan permen. Keadaan itu jugapernah di alami beberapa konsumen  ketika membeli barang dari salah satu minimarket ternama, di mana saat di kasir,  ternyata uang kembalian konsumen ada tambahan permen. Bukan bonus,  melainkan gantinya uang seratus yang kelihatannya di kasir persediaannya sudah  habis.
Dengan adanya hal ini depkominfo (Departemen Komunikasi dan  Informatika) menerangkan bahwa 80% konsumen sering menyiasatinya kondisi  itu dengan membawa beberapa uang koin agar tak mengalami kejadian serupa.
Dan menurut mereka juga bisa untuk jaga-jaga jika sewaktu-waktu bertemu  dengan pengemis dan pengamen tanpa diduga. Dengan alasan karena konsumen  yakin tidak akan ada pengemis maupun pengamen yang mau diberi permen oleh  masyarakat, karena yang mereka butuhkan adalah uang, meskipun cuma senilai  seratus rupiah. Hal itu pasti lebih baikdaripada harus menerima pemberian  permen dari orang lain. Dan tidak jarang konsumen yang mengeluh kembalian  uang koin yang diganti permen itu sangat meresahkan karena mereka menganggap  permen tidak ada gunanya.
 Di luar itu, kebiasaan pedagang yang memberi uang kembalian dengan  diganti permen merupakan preseden buruk bagi terwujudnya perilaku dalam  kehidupan bermasyarakat. Mental pedagang seperti itu setidaknyaperlu dikritisi  dan pemerintah berwenang wajib membina dengan memberikan pendidikan  berupa sosialisasi secukupnya untuk menyadarkan dan membuka wawasannya.
Karena jelas-jelas perbuatan kurang patut diikuti itu merugikan konsumen, dan   http://upsportveneto.org/lighting/500-retailers-bi-miscommunication-pelaksanaanpengembalian-transaksi-dengan-uang-pecahan-kecil.html diakses tanggal 31 Mei 2011   dalam skala besar jika dibiarkan akan menjadi sebuah budaya kurang konstruktif  dalam lingkungan masyarakat.
Karena jika mengacu pada keadaan negara ini, bagaimana bisa maju  sistem perekonomian Indonesia jika sebagian besar pedagang, mulai retail tingkat  kecil hingga retail yang menjadi tulang punggung mengabaikan hal-hal kecil  yang dapat merusak mental bangsa dengan contoh ketika memberi uang  kembalian konsumen tiba-tiba langsung diberi permen tanpa pernah lebih dulu  diberi opsi lain. Harusnya uang kembalian tak diganti permen begitu saja. Sudah  semestinya perbuatan itu diperbaiki supaya tak menjadi masalah dikemudian hari,  dengan menjadi budaya masyarakat akibat akumulatif kebiasaan buruk.
Dalam memutuskan tempat belanja yang akan di kunjungi konsumen  mempertimbangkan keuntungan dan kerugiannya, ada beberapa konsumen yang  menganggap uang koin tidak begitu berguna, tetapi banyak konsumen yang ingin  mendapatkan uang koin mungkin dengan belanja di minimarket yang nantinya dia  akan mendapatkan uang koin sebagai kembalian. Tapi justru oleh pihak  perusahaaan kembalian koin tersebut diganti dengan permen. Mungkin ada  konsumen yang justru senang menerima permen sebagai gantinya uang koin,  dengan alasan jika mendapatkan permen tidak perlu susah-susah membelikan  anaknya permen dengan jumlah banyak, dan di sisi lain akan banyak konsumen  yang kecewa dan merasa kurang puas dengan kembalian koin yang diganti  permen dan berfikir kebijakan perusahaan ini akan mengurangi minat konsumen  berbelanja di minimarket tersebut.
  http://ekohastuti-ayomenulis.blogspot.com/2010/11/perlunya-perlindungan-hukumbagi.pengembalian uang koin html, diakses tanggal 31 Mei 2011   Salah satu yang menjadi pertimbangan konsumen dalam memilih barang  yang akan dikonsumsi atau tempat belanja yang akan dikunjungi adalah kualitas  pelayanan atau kualitas dari layanan yang disediakan oleh minimarket itu sendiri  apakah sesuai dengan keinginan konsumen, karena banyak hal yang menyebabkan  konsumen merasa kurang puas atas pelayanan dari pihak perusahaan. Konsumen  yang puas dan loyal terhadap sebuah perusahaan cenderung kembali mengunjungi  minimarket tersebut. Hal ini disebabkan faktor kepercayaan telah terbentuk.
Konsumen yakin bahwa perusahaan tidak akan bersikap oportunistik dan  memanfaatkan mereka untuk kepentingan sesaat. Bentuk tanggung jawab dan  respons positif terhadap pentingnya perlindungan konsumen. Ini mengingat  banyak keluhan atau pengaduan konsumen terkait pengembalian sisa uang belanja  transaksi dalam bentuk permen atau barang lain atau sumbangan yang tercantum  dalam struk belanja.
Depkominfo (Departemen Komunikasi dan Informatika) juga  menjelasklan bahwa Gubernur Bank Indonesia yang baru terpilih, Darmin  Nasution, mengatakan keengganan masyarakat untuk menggunakan kembali uang  logam disebabkan tidak ada media atautempat untuk menyalurkan uang logam  itu. Karena itu, BI, Kementerian Perdagangan, dan para pengusaha retail yang  tergabung dalam Aprindo bekerja sama untuk menyosialisasikan gerakan peduli  koin nasional.
Kerjasama itu ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman di  antara ketiganya dalam penyediaan dan penukaran koin di gerai retail. Ribuan  gerai retail modern, seperti Alfamart, Indomaret, Hero, Carrefouur, Irian,   Carrefour, Ramayana, Hypermart, siap menerima penukaran uang logam. Retail  modern ini juga berjanji mengembalikan sisa transaksi dengan uang tunai, bukan  permen atau bentuk lainnya.
 Jumlah uang logam yang beredar di masyarakat senilai Rp 3,2 triliun per  30 Juni 2010 atau sebanyak 15,5 miliar keping dengan jumlah terbanyak pecahan  Rp 100, yaitu 6,7 miliar keping. Pada 2010, BI berencana mencetak 1,6 miliar  keping uang logam.
 Memuat Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan  Konsumen selanjutnya disebut dengan (UUPK) telah memberikan kekuatan  hukum bahwa konsumen mempunyai kedudukan yang sama dengan pelaku usaha,  karena sebelum ditetapkannya undang-undang ini kedudukan konsumen lebih  lemah dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha. Dalam Pasal 4 UUPK  menyebutkan pada huruf a bahwa konsumen mempunyai hak atas kenyamanan,  keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan /atau jasa. Artinya  bahwa setiap konsumen itu punya hak-hak yangsepatutnya ia dapatkan dari suatu  barang/jasa yang dikonsumsinya. Salah satu hak yang diutamakan dalam  konsumen adalah hak untuk memilih barang serta mendapatkan barang-barang  tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan,  bahwa hak untuk itu adalah hak pokok dari konsumen, dan hal yang demikian  diatur dalam Bab III Hak dan Kewajiban Konsumen Pasal 4 huruf b. Sedangkan  dalam Pasal 4 huruf c ditegaskan bahwa konsumen punya hak atas informasi  barang yang benar dan jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan atas barang   www.googlesearch/kembalian diganti permen.comdiakses tanggal 31 Mei 2011   Sudikro Mertokma, Penemuan Hukum terhadap uang kembalian konsumen, Cetakan  Pertema, (Yogyakarta : Liberty, 1996), hal 88.
 dan/atau jasa yang dibelinya. Ketentuan ini dilanjutkan dengan ketentuan Pasal 7  huruf a bahwa pelaku usaha berkewajibanuntuk beritikad baik dalam melakukan  kegiatan usahanya, kemudian dilanjutkan dengan huruf b, bahwa kewajiban dari  pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai  kondisi dan jaminan barang dan/atau jasaserta memberi penjelasan penggunaan,  perbaikan, dan pemeliharaan. Jadi antara kepentingan konsumen berhadapan  dengan kewajiban dari pelaku usaha.
Dalam hal ini Penulis merasa tertarik untuk mengetahui lebih jauh  mengenai sistem pengembalian uang kembalian pelanggan dalam praktek industri  retail departemen store. Untuk itu penulis akan mengadakan penelitian akan hal  tersebut dan menuliskan hasilnya dalam bentuk karya ilmiah dengan  judulTinjauan Yuridis Terhadap Sistem Pengembalian Uang Kembalian  Pelanggan Pada Industri Retail Departemen Store Berdasarkan UndangUndang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
B.  Perumusan Masalah  
Permasalahan adalah merupakan kenyataan yang dihadapi dan harus  diselesaikan oleh peneliti dalam penelitian. Dengan adanya perumusan masalah  maka akan dapat ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian sehingga  tidak mengarah pada hal-hal diluar permasalahan.
Adapun permasalahan yang diajukandalam penelitian ini adalah:  1.  Bagaimana pengaturan mata uang Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah  di wilayah Negara Republik Indonesia?   2.  Bagaimana sistem pengembalian uang kembalian pelanggan pada industri  retail departemen store ditinjaudari UU No. 8 tahun 1999 Tentang  Perlindungan Konsumen?  3.  Bagaimana  tindakan hukum yang dilakukan oleh konsumen dalam  pengembalian uang kembalian pada industri retail departemen store?  
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian  
1.  Tujuan Penelitian  Tujuan penelitian skripsi yang akan penulis lakukan adalah:  a.  Untuk mengetahui pengaturan mata uang rupiah sebagai alat pembayaran  yang sah di wilayah Republik Indonesia.
b.  Untuk mengetahui sistem pengembalian uang kembalian pelanggan pada  industri retail departemen store ditinjau dari UU No. 8 tahun 1999 Tentang  Perlindungan Konsumen.
c.  Untuk mengetahui tindakan hukum yang dilakukan oleh konsumen dalam  pengembalian uang kembalian pada industri retail departemen store.
2.  Manfaat Penelitian  Adapun manfaat penelitian skripsi yang akan penulis lakukan adalah:  a.  Sebagai bahan masukan teoritis  bagi penulis untuk menambah  pengetahuan dan pemahaman hukum perbankan pada sistem pengembalian  uang kembalian pelanggan.
b.  Untuk menerapkan pengetahuan penulissecara praktis agar masyarakat  mengetahui bagaimana sistem pengembalian uang kembalian pelanggan   pada industri retail departemen store ditinjau dari UU No. 8 tahun 1999  Tentang Perlindungan Konsumen.
D. Keaslian Penelitian  
Adapun judul tulisan ini adalah  Tinjauan Yuridis Terhadap Sistem  Pengembalian Uang Kembalian Pelanggan Pada Industri Retail Departemen Store  Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Judul  skripsi ini belum pernah ditulis dan diteliti dalam bentuk yang sama khsnya di  Industri Retail Departemen Store, sehingga tulisan ini asli, atau dengan kata lain  tidak ada judul yang sama dengan mahasiswa fakultas hukum . Dengan  demikian ini keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E.  Tinjauan Kepustakaan  
Dalam sejarah perkembangan pola pemenuhan kebutuhan manusia yang  saling interdependen, terdapat dua posisiyang saling berhadapan antara produsen  dan konsumen. Pihak pembuat atau penghasil suatu barang disebut dengan  produsen. Pihak yang membutuhkan sesuatu barang yang dihasilkan oleh  produsen disebut konsumen.
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia  dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,  maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan  . Konsumen dalam  pengertian tersebut merupakan konsumen akhir yang umumnya lemah dalam   Indonesia, Undang Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No.8 tahun 1999, LN  No.42 tahun 1999, ps.1 ayat 2.
 bidang ekonomi, pendidikan dan daya tawar. Karena itu sangat dibutuhkan  penyeimbangan daya tawar konsumen dan kepastian hukum untuk memberikan  perlindungan kepada konsumen antara lain dengan meningkatkan harkat dan  martabat konsumen dan menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang  bertanggung jawab.
Hukum konsumen belum dikenal sebagaimana kita mengenal cabang  hukum pidana, hukum perdata, hukum adaministrasi, hukum internasional, hukum  adat dan berbagai cabang hukum lainnya. Dalam hal ini juga belum ada  kesepakatan hukum konsumen terletak dalam cabang hukum yang mana. Hal ini  dikarenakan kajian masalah hukum konsumen tersebar dalam berbagai lingkungan  hukum antara lain perdata, pidana, administrasi, dan konvensi internasional.
 Rachbini, memberikan batasan hukum konsumen yaitu: Keseluruhan  kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan dan masalah antara  berbagai pihak berkaitan dengan dengan barang dan atau jasa konsumen satu sama  lain, di dalam pergaulan hidup.
 Sehubungan dengan itu maka perlindungan terhadap konsumen dipandang  secara materil maupun formil makin terasa sangat penting untuk dibahas. Upayaupaya yang dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan yang memadai  terhadap kepentingan konsumen merupakan hal yang urgen dan mendesak dan  segera harus dicari solusinya, terutama di Indonesia, mengingat sedemikian  kompleksnya permasalahan yang terjadi dimasyarakat. Kehadiran UUPK memang   Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999),  hal 73.
 Rachbini, Didik, J., Perlindungan Konsumen di dalam Sistem Ekonomi Modern, dalam  Zumrotin, Penyambung Lidah Konsumen, (Jakarta : Puspa Swara. 1996), hal 48.
 dirasa sangat tepat dalam kerangka penguatan kelembagaan hukum perlindungan  konsumen. Sebagaimana yang disampaikan oleh Didik. J. Rachbini dalam  Zumrotin yaitu dengan kepastian hukum yang jelas dan tegas dapat dipastikan  pihak pelaku usaha akan semakin berhati-hati dalam perkembangan uang,  sehingga secara langsung memberikan perlindungan preventif terhadap  konsumen.
Uang berkembang dan berevolusi mengikuti perkembangan sejarah. Dari  perkembangan sejarah, uang dapat dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu :  1.  Uang barang (commodity money) : alat tukar yang memiliki nilai komoditas  atau bisa diperjualbelikan apabila barang tersebut digunakan bukan sebagai  uang. Namun tidak semua barang bisa menjadi uang, diperlukan tiga kondisi  utama, agar suatu barang bisa dijadikan uang, antara lain:  a.  Kelangkaan (scarcity), yaitu persediaan barang itu harus terbatas.
b.  Daya tahan (durability), barang tersebut harus tahan lama.
c.  Nilai tinggi, maksudnya barang yang dijadikan uang harus bernilai tinggi,  sehingga tidak memerlukan jumlah yang banyak dalam melakukan  transaksi.
Dalam sejarah, pemakaian uang barang juga pernah disyaratkan barang  yang digunakan sebagai barang kebutuhan sehari-hari seperti garam. Namun  kemudian uang komoditas atau uang barang ini dianggap mempunyai banyak  kelemahan. Di antaranya, uang barang tidak memiliki pecahan, sulit untuk  disimpan dan sulit untuk diangkut. Kemudian pilihan terhadap barang yang   Djakaria, Ekonomi Uang dan Bank, Edisi Revisi, (Jakarta : Penerbit Bina Aksara,  2005), hal 20.
 bisa digunakan sebagai uang, jatuh padalogam-logam mulia, seperti emas dan  perak. Ada sejumlah alasan mengapa emas dan perak dipilih sebagai uang.
Kedua logam tersebut memiliki nilai tinggi, langka dan dapat diterima secara  umum sebagai alat tukar. Kelebihan lainnya, emas dan perak dapat dipecah  menjadi bagian-bagian yang kecil dengan tetap mempunyai nilai yang utuh.
Selain itu logam mulia ini juga tidak mudah st atau rusak  2. Uang tanda/kertas (token money), ketika uang logam masih digunakan sebagai  uang resmi dunia, ada beberapa pihak yang melihat peluang meraih  keuntungan dari kepemilikan mereka atasemas dan perak. Pihak-pihak ini  adalah bank, orang yang meminjamkan uang dan pandai emas (goldsmith)  atau toko-toko perhiasan. Mereka melihat bukti peminjaman, penyimpanan  atau penitipan emas dan perak di tempat mereka juga bisa diterima di pasar.
Kelebihan : biaya pembuatan rendah, pengirimannya mudah, penambahan dan  pengurangan lebih mudah dan cepat, serta dapat dipecah-pecahkan dalam  jumlah berapapun.
Kekurangan: ini tidak bisa dibawa dalam jumlah yang besar dan karena dibuat  dari kertas, sangat mudah rusak.
3.  Uang giral (deposit money), uang giral adalah uang yang dikeluarkan oleh  bank-bank komersial melalui pengeluaran cek dan alat pembayaran giro  lainnya. Uang giral ini merupakan simpanan nasabah di bank yang dapat  diambil setiap saat dan dapat dipindahkan kepada orang lain untuk melakukan  pembayaran. Artinya cek dan giro yang dikeluarkan oleh bank manapun bisa   digunakan sebagai alat pembayaran barang, jasa dan utang. Kelebihan uang  giral sebagai alat pembayar adalah:  a.  Kalau hilang dapat dilacak kembali sehingga tidak bisa diuangkan oleh  yang tidak berhak.
b.  Dapat dipindah tangankan dengan cepat dan ongkos yang rendah.
c.  Tidak diperlukan uang kembali sebab cekdapat ditulis sesuai dengan nilai  transaksi.
Kekurangan uang giral : Namun di balikkelebihan sistem ini, sesungguhnya  tersimpan bahaya besar. Kemudahan perbankan menciptakan uang giral  ditambah dengan instrumen bunga bank membuka peluang terjadinya uang  beredar yang lebih besar daripada transaksi riilnya. Inilah yang kemudian  menjadi pertumbuhan ekonomi yang semu (bubble economy).
 Berkaitan dengan strategi bisnis yang digunakan oleh pelaku usaha, pada  mulanya berkembang adagium caveat  emptor(waspadalah konsumen),  kemudian berkembang menjadi caveat  venditor(waspadalah pelaku usaha).
Ketika strategi bisnis berorientasi pada kemampuan menghasilkan produk  (production oriented), maka di sini konsumen harus waspada dalam  menkonsumsi barang dan jasa yang ditawarkan pelaku usaha. Pada masa ini  konsumen tidak memiliki banyak peluang untuk memilih barang atau jasa yang  akan dikonsumsinya sesuai dengan selera, daya beli dan kebutuhan.
Pelanggan/konsumen lebih banyak dalam posisi didikte oleh produsen. Pola  konsumsi masyarakat justru banyak ditentukan oleh pelaku usaha dan bukan oleh   Ibid  Badan Pembina Pasar Uang dan Modal. Kamus Khs Pasar uang dan Modal. (Jakarta:  PT. Kualamas, 1994), hal 58.
 konsumennya sendiri. Seiring  dengan  perkembangan IPTEK dan meningkatnya  tingkat pendidikan, meningkat pula daya kritis masyarakat. Dalam masa yang  demikian, pelaku usaha tidak mungkin lagi mempertahankan  strategi bisnisnya  yang lama, dengan resiko barang atau jasa yang ditawarkan tidak akan laku di  pasaran. Pelaku usaha kemudian mengubah strategi bisnisnya ke arah  pemenuhan kebutuhan, selera dan daya beli pasar (market oriented). Pada masa  ini pelaku usahalah yang harus waspada dalam memenuhi barang atau jasa untuk  konsumen. Dalam konteks ini pelaku usaha dituntut untuk menghasilkan barang-  barang yang kompetitif terutama dari segi mutu, jumlah dan keamanan.
 Pengertian bisnis retail meliputi saluran aktivitas yang melibatkan  penjualan barang dan jasa secara langsung kepada konsumen. Setiap organisasi  yang melakukan penjualan langsung kepada konsumen baik produsen, grosir atau  eceran berarti bertindak dalam proses usaha eceran. Pengelolaan bisnis eceran  tidak hanya sekedar membuka toko dan mempersiapkan barang-barang yang  lengkap, tetap lebih dari itu. Pengelolaan bisnis retail harus melihat dan mengikuti  perkembangan teknologi pemasaran agar dapat berhasil dan mempunyai  keunggulan kompetitif.
 Industri retail  meliputi semua kegiatan yang berhubungan secara langsung  dengan penjualan barang dan jasa kepada konsumen akhir untuk keperluan  pribadi. Secara definitif dapat dikatakan bahwa “pengecer atau toko pengecer  adalah sebuah lembaga yang melakukan kegiatan usaha menjual barang kepada   Johannes Gunawan, Menuju Sistem Moneter yang Adil, (Yogyakarta : Dana Bhakti  Prima Yasa, 1999), hal 44.
 Lucas, bush dan Gresham, Perkembangan Industri Retail di Indonesia, (Jakarta: PT.
Kualamas, 1994), hal 8.
 konsumen akhir untuk keperluan pribadi (non bisnis)”. Dari definisi tersebut,  dapat diketahui bahwa pengecer memberikan pelayanan sebagai titik penghubung  antara konsumen akhir dengan saluran distribusi. Jadi, fungsi retail   adalah  memberikan pelayanan kepada konsumen agar pembeliannya dilakukan dengan  cara yang semudah mungkin.
 Pengertian tentang industri retail  yang hampir sama juga dikemukakan oleh  Lucas, Bush dan Gresham sebagai “semuafungsi atau kegiatan yang melibatkan  penjualan (atau sewa) barang dan jasakepada pengguna akhir, yang termasuk  rumah tangga, perorangan dan lainnya yang membeli barang atau jasa untuk  konsumsi akhir.”  Retail adalah tahapan terakhir dalam suatu saluran distribusi, yang  membentuk bisnis dan orang-orang yang terlibat di dalam suatu pergerakan fisik  dan transfer kepemilikan barang dan jasa dari produsen ke konsumen.
 Masing-masing golongan meliputi beberapaindustri retail lagi sebagai  berikut :  a.  Industri retail dalam toko:  1)  Industri retail dengan servis penuh  Pada golongan ini, selain menjual barang, juga diperlukan kecakapan,  demonstrasi atau penerangan dari pejual kepada konsumennya.
2)  Industri retail supermarket   Ibid  Ibid  Gilbert, Perdagaangan Retail di Indonesia, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2003),  hal. 36   Ibid  Pada umumnya, barang yang diperdagangkan dalam supermarket berupa  makanan dan minuman. Tetapi sekarang banyak pengecer supermarket  yang menjual barang-barang lain seperti sabun mandi, sikat gigi, obat  pembasmi serangga, kertas tisu dan sebagainya. Supermarket menarik para  konsumennya pada basis harga yang murah. Daya tarik ini ditingkatkan  dengan banyaknya jumlah dan jenis barang yang memungkinkan one-stop  shoopinguntuk barang-barang keperluan rumah tangga. Display self  serviceadalah feature penting supermarket dimana konsumen dan  supermarket mendapatkan keuntungan. Keuntungan yang dirasakan oleh  konsumen melalui pilihan barang yang lebih cepat dan harga yang murah,  sedangkan bagi pihak supermarket melalui sedikitnya satuan tenaga penjual  dan biaya yang rendah.
3)  Industri retail  dengan potongan  b.  Industri retail tanpa toko:  1)  Penjualan melalui tenaga penjualan di luar toko.
2)  Penjualan melalui pos.
3)  Penjualan dengan mesin otomatis.
Beberapa pengertian tentang supermarket juga dikemukakan oleh beberapa  penulis, antara lain : Supermarket diklasifiksi sebagai toko-toko barang terbatas  yang memiliki seksi-seksi makanan yang terdepartementalisasikan, yaitu produkproduk dari s dan daging, produk hasil pertanian dan groceries, dan berbagai  produk non makanan.
 Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh  karenanya menjadi harapan bagi  semua bangsa di dunia untuk dapat  mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan  hubungan berbagai dimensi yang satu samalain mempunyai keterkaitan dan  saling ketergantungan antara konsumen, pengusaha dan pemerintah.
 Dalam perkembangannya, oleh organisasi-organisasi konsumen yang  tergabung dalam The International Organization of Consumers Union (IOCU),  empat hak dasar tersebut ditambah dengan : hak untuk mendapatkan pendidikan,  hak untuk mendapatkan ganti rugi,dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan  sehat. Di dalam Rancangan AkademikUndang-Undang Perlindungan Konsumen  yang disn Universitas Indonesia tahun 1992, hak dasar konsumen tersebut  dikembangkan dengan ditambah hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan  nilai tukar yang diberikan, dan  hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum.
 Pada prinsipnya ketentuan yang mengatur perlindungan hukum konsumen  dalam aspek hukum perdata, diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal  1365 KUHPerdata. Pasal 1320 KUHPerdatamengatur bahwa untuk sahnya  perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu :  1.  Kata sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya (toestemming van  dengenen die zich verbiden);  2.  Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om een  verbintenis aan te gaan);   Shidarta., Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : Grasindo, 2000), hal 57.
 Prasetyo HP, “Tanggung jawab Pelaku Usaha Menurut Undang-Undang No. 8/1999  tentang Perlindungan Konsumen”, Jurnal Hukum Bisnis, volume 8, 1999, hal 63.
 3.  Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp); dan  4.  Suatu sebab yang halal (een geloofde oorzaak).
Sedangkan Pasal 1365 KUHPerdata  mengatur syarat-syarat untuk  menuntut ganti kerugian akibat perbuatan melanggar hukum yang menyatakan  bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang  lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti  kerugian tersebut.
Dari sisi kepentingan perlindungan konsumen, terutama untuk syarat  ‘kesepakatan’ perlu mendapat perhatian, sebab banyak transaksi antara pelaku  usaha dengan konsumen yang cenderung tidak balance. Banyak konsumen  ketika melakukan transaksi berada pada posisi yang lemah. Suatu kesepakatan  menjadi tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan, paksaan, atau penipuan.
Selanjutnya untuk mengikatkan diri secara sah menurut hukum ia harus cakap  untuk berbuat menurut hukum, dan oleh karenanya maka ia bertanggung jawab  atas apa yang dilakukan.
 Akibatnya apabila syarat-syarat atau salah satu syarat  sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1320 KUHPerdata tersebut tidak  dipenuhi, maka berakibat batalnyaperikatan yang ada atau bahkan  mengakibatkan tuntutan penggantian kerugian bagi pihak yang tidak memenuhi  persyaratan tersebut.
Pada umumnya jual beli properti antara pelaku usaha (pengembang  perumahan) dengan konsumen, didasarkan pada perjanjian yang telah ditetapkan  secara sepihak oleh pelaku usaha (perjanjian baku/standar). Perjanjian tersebut   Ibid  mengandung ketentuan yang berlaku umum (massal) dan konsumen hanya  memiliki dua pilihan: menyetujui atau menolak. Kekhawatiran yang muncul  berkaitan dengan perjanjian baku dalam jual beli properti adalah karena  dicantumkannya klal eksonerasi  (exception clause). Klala eksonerasi  adalah klala yang mengandung kondisimembatasi atau bahkan menghapus  sama sekali tanggung jawab yang seharusnya dibebankan kepada pelaku usaha.
Di dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a UUPK diatur mengenai larangan pencantuman  klala baku pada setiap dokumen atau perjanjian apabila menyatakan  pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
Masalah   tanggung jawab hukum perdata  (civielrechtelijke  aanspraakelijkheid) dapat dilihat dari formulasi Pasal 1365 KUHPerdata yang  mengatur adanya pertanggungjawaban pribadi si pelaku atas perbuatan melawan  hukum yang dilakukannya (persoonlijke aansprakelijkheid). Di samping itu,  undang-undang mengenal pula pertanggungjawaban oleh bukan si pelaku  perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur di dalam Pasal 1367 KUHPerdata.
Pasal ini menegaskan bahwa setiap orang tidak saja bertanggung jawab atas  kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri , tetapi juga untuk kerugian  yang disebabkan oleh perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya,  disebabkan oleh barang-brang yang berada di bawah pengawasannya. Dari pasal  ini nampak adanya pertanggungjawaban seseorang dalam kualitas tertentu  (kwalitatieve aansprakelijkheid)  .
 Mariana Sutadi, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global,(Jakarta : Ghalia Indonesia,  1999), hal 113.
 Pada asasnya kewajiban untuk memberikan ganti rugi hanya timbul  bilamana ada unsur kesalahan pada si pelaku perbuatan melawan hukum dan perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Jadi harus ada unsur  kesalahan pada si pelaku dan perbuatan itu harus dapat dipertanggungjawabkan  kepadanya (schuld aansprakelijkheid). Dari segi hukum perdata, tanggung jawab  hukum tersebut dapat ditimbulkan karena wanprestasi, perbuatan melanggar  hukum (onrechtmatige daad), dan dapat juga karena kurang hati-hatinya  mengakibatkan cacat badan (het veroozaken van lichamelijke letsel).
 Di samping itu, di dalam UUPK jugatelah diatur mengenai tanggung  jawab pelaku usaha sebagaimana tercantum di dalam Pasal 19. Menurut pasal ini  pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,  pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau  jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Dengan demikian, secara normatif  telah ada ketentuan yang mengatur tanggung jawab pelaku usaha, sebagai upaya  melindungi pihak konsumen.
F.  Metode Penelitian  Dalam penulisan ilmiah terdapat beraneka ragam jenis penelitian. Dari  berbagai jenis penelitian, khsnya penelitian hukum yang paling popular  dikenal adalah :  1.  Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan dilakukan  dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau hanya menggunakan data  sekunder belaka.
 Ibid  2.  Penelitian hukum empiris yang dilakukan dengan cara terutama meneliti data  primer yang diperoleh di lapangan selain juga meneliti data sekunder dari  perpustakaan.
Pilihan metode suatu penelitian hukum tergantung pada tujuan penelitian  itu sendiri. Sesuai dengan tujuan skripsi ini, maka penelitian hukum yang  digunakan adalah penelitian hukum normatifatau disebut juga dengan studi  kepustakaan (library research).
Dalam melaksanakan penelitian ini, perlu ditegaskan alat pengumpul data  yang dipakai dalam penelitian. Dalam penelitian ini dipakai tiga alat pengumpul  data, yaitu :  1.  Bahan hukum primer yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik peraturan yang  dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia maupun yang diterbitkan  oleh negara lain dan badan-badan internasional seperti UU No. 8 Tahun 1999  Tentang Perlindungan Konsumen, dan UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3  Tahun 2004 jo. UU No. 6 Tahun 2009 Tentang Bank Indonesia.
2.  Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan  bahan hukum primer dan dapat membantumenganalisa dan memahami bahan  hukum primer seperti seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah,  koran-koran, karya tulis ilmiah dan beberapa sumber internet yang berkaitan  dengan persoalan diatas.
 3.  Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan  keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan  hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedia dan lain-lain.
G. Sistematika penulisan  Untuk memudahkan pemahaman terhadap materi dari skripsi ini dan agar  tidak terjadinya kesimpangsiuran dalam penulisan skripsi ini, maka penulis  membaginya dalam beberapa bab dan tiap bab dibagi lagi ke dalam beberapa subsub bab.
Adapun bab-bab yang dimaksud adalah sebagai berikut:  BAB I.  PENDAHULUAN, bab ini merupakan gambaran umum yang berisi  tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat  penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian,  dan sistematika penulisan.
BAB II. PENGATURAN MATA UANG RUPIAH SEBAGAI ALAT  PEMBAYARAN YANG SAH DI WILAYAH NEGARA REPUBLIK  INDONESIA. Bab ini berisikan tentang mata uang sebagai alat  pembayaran yang sah, pengaturan mata uang Republik Indonesia,  kejahatan mata uang dan penanggulangannya.
BAB III.  SISTEM  PENGEMBALIAN UANG KEMBALIAN PELANGGAN  PADA INDUSTRI RETAIL DEPARTEMEN STORE DITINJAU  DARI UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN  KONSUMEN, Bab ini berisikan tentang perkembangan industri retail  di Indonesia, hak, kewajiban dan tanggung jawab para pihak yang   terlibat dalam industri retail departemen store menurut UU No. 8  Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, sistem pengembalian  uang kembalian pelanggan di Indonesia, pelaksanaan sistem  pengembalian uang kembalian pelanggan menurut UU No. 8 Tahun  1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
BAB IV.  TINDAKAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH KONSUMEN  DALAM PENGEMBALIAN UANG KEMBALIAN PADA  INDUSTRI RETAIL DEPARTEMEN STORE. Bab ini berisi tentang  perlindungan hukum terhadap konsumen dalam pengembalian uang  kembalian pada industri retail departemen store, Pertanggungjawaban  pelaku usaha atas pengembalian uang kembalian pada industri retail  departemen store dan tindakan hukum yang dilakukan oleh konsumen  yang menderita kerugian dalam pengembalian uang kembalian pada  industri retail departemen store.
BAB V.  KESIMPULAN DAN SARAN. Bab ini adalah merupakan bab terakhir  dari penulisan skripsi ini, dimana dalam bab V ini berisikan  kesimpulan dan saran-saran dari penulis.
   
Download lengkap Versi Word