SKRIPSI HUKUM: EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN


BAB  I  
PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang 
Perkembangan perekonomian nasional telah menghasilkan persaingan di  dunia usaha yang semakin ketat di samping variasi produk barang dan/atau jasa  yang dapat dikonsumsi. Ketatnya persaingan ini memaksa pelaku usaha  menempuh berbagai macam cara. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan,  teknologi telekomunikasi, dan informatika juga turut mendukung perluasan ruang  gerak transaksi barang dan/atau jasa hingga melintasi batas-batas wilayah suatu  negara.

Keadaan ini di satu sisi sangat bermanfaat bagi kepentingan konsumen  karena kebutuhannya akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi  serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis kualitas barang  dan/atau jasa sesuai dengan kemampuannya. Di sisi lain, keadaan tersebut dapat  mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang.
Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis dari pelaku usaha melalui kiat iklan,  promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian-perjanjian standar yang  merugikan konsumen. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pendidikan konsumen  dan rendahnya kesadaran akan hak-hak dan kewajibannya. Kedudukan konsumen  pada umumnya masih lemah dalam bidang ekonomi, pendidikan dan daya tawar,  karena itu sangat dibutuhkan adanya peraturan perundang-undangan yang  melindungi hak-hak dan kepentingan konsumen yang terabaikan selama ini.
 Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya  kepastian hukum uuntuk memberikan perlindungan kepada konsumen.
 Kepastian  hukum itu meliputi segala upaya untuk memberdayakan konsumen memperoleh  atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta  mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku  pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut.
 Bagi konsumen, kepentingan non-komersial mereka yang harus  diperhatikan adalah akibat-akibat dari kegiatan usaha dan persaingan di kalangan  pelaku usaha terhadap jiwa, tubuh atau harta benda mereka. Dalam keadaan  bagaimanapun harus dijaga keseimbangan, keselarasan, dan keserasian di antara  keduanya.
Bagi kalangan pelaku  usaha, perlindungan itu adalah untuk kepentingan komersial mereka dalam  menjalankan kegiatan usaha, seperti bagaimana mendapatkan bahan baku, bahan  tambahan dan penolong, bagaimana memproduksinya, mengangkutnya dan  memasarkannya, termasuk di dalamnya bagaimana menghadapi persaingan usaha.
Haruslah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang usaha an  mekanisme pesaingan usaha itu.
 Aspek kepentingan sosial mempengaruhi terbentuknya Undang-Undang  Perlindungan Konsumen.  Banyaknya permasalahan yang harus dihadapi oleh  konsumen adalah pengusaha dan pemerintah sering mengabaikan hak-hak   Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
 Susanti Adi Nugroho, “Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara  Serta Kendala Implementasinya”(Kencana Prenada Media Group), Jakarta, 2008, hal. 4.
 Az. Nasution, “Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar”  (Diadit Media),  Yogyakarta, 2001, hal. 35.
 konsumen, baik dalam memberikan pelayanan pada masyarakat (public service) maupun dalam penjualan produk.
Masalah kualitas produk yang rendah, penggunaan zat tambahan pangan  yang dilarang atau tidak mangikuti dosis yang ditentukan, masalah pembelian  rumah, baik kualitasnya maupun perjanjian kredit yang diberlakukan, masalah  asuransi, perbankan, dan yang paling sering dikeluhkan konsumen adalah masalah  tarif, masalah pelayanan publik seperti pengurusan KTP, paspor, surat tanah atau  sertifikat atau pengurusan ijin bangunan yang tidak jelas mengenai penetapan tarif  yang sebenarnya oleh pemerintah.
 Hak-hak konsumen antara lain adalah:  1.  hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi  barang dan/atau jasa; 2.  hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkn barang dan/atau  jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang  dijanjikan; 3.  hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan  barang dan/atau jasa; 4.  hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang  digunakan;  5.  hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian  sengketa konsumen secara patut; 6.  hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; 7.  hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak  diskriminatif;  Susanti Adi Nugroho, Op.cit., hal.
 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
 8.  hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila  barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengn perjanjian atau tidak  sebagaimana mestinya; 9.  hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Beban konsumen bertambah berat di masa krisis ekonomi ini, dengan  harga-harga tinggi walaupun kualitasnya masih dipertanyakan, adanya penipuan  ukuran, berat, penggantian tanggal kadaluarsa, pemalsuan, serta beredarnya  produk-produk luar negeri ilegal di pasaran.
 Kepentingan konsumen dalam kaitan dengan penggunaan barang dan/atau  jasa adalah agar barang dan/atau jasa konsumen yang mereka peroleh bermanfaat  bagi kesehatan atau keselamatan tubuh, keamanan jiwa dan harta benda, diri,  keluarga dan/atau rumah tangganya. Jadi yang menonjol dalam perlindungan  kepentingan konsumen ini adalah perlindungan pada jiwa, kesehatan, harta  dan/atau kepentingan kekeluargaan konsumen.
 Bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu  meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemapuan dan kemandirian  konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku  usaha yang bertanggung jawab, di samping ketentuan hukum yang melindungi  kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai, Perlindungan hukum bagi konsumen sangat dibutuhkan dalam persaingan  dan banyaknya produk serta layanan yang menempatkan konsumen dalam posisi  tawar yang lemah.
  Susanti Adi Nugroho, Op.cit., hal. 6.
 Az. Nasution, Op.cit., hal. 34.
 Point d dan e konsiderans Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan  Konsumen .
sebagai sebuah negara  yang memiliki tujuan untuk menjaga dan memelihara tata tertib, maka penting   bagi negara mengatur mengenai perangkat peraturan perundang-undangan untuk  mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku  usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat.
Permasalahan yang dihadapi konsumen Indonesia, seperti juga yang  dialami konsumen di negara-negara berkembang lainnya, tidak hanya sekedar  bagaimana memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks dari itu yaitu menyangkut  pada kesadaran semua pihak, baik itu pengusaha, pemerintah maupun konsumen  sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen.
Pentingnya peran negara dalam memberikan perlindungan terhadap  konsumen, dilatarbelakangi oleh  adanya ketidakseimbangan kedudukan antara  pelaku usaha dengan konsumen. Secara ekonomis, pelaku usaha mempunyai  kedudukan lebih tinggi bila dibandingkan dengan konsumen.
 Karenanya upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan undangundang yang dapat melindungi kepentingan konsumen serta dapat diterapkan  secara efektif di masyarakat sangat dibutuhkan, di samping kemudahan dalam  proses penyelesaian perkara sengketa konsumen yang timbul karena kerugian  harta bendanya, kesehatan tubuh atau kehilangan jiwa,  dalam pemakaian,  penggunaan dan/atau pemanfaatan produk oleh konsumen.
 Oleh karena itu, pemerintah menerbitkan undang-undang yang menjamin  suatu penyelenggaraan perlindungan konsumen, yakni Undang-Undang Nomor 8  Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (yang selanjutnya disebut UUPK).
Undang-undang ini tidak hanya mengatur hak-hak yang dimiliki oleh konsumen,  tetapi juga hak-hak pelaku usaha sehingga masing-masing pihak terlindungi  secara hukum.
 Dedi Harianto, “ Perlindungan Hukum Bagi Konsumen terhadap Iklan yang Menyesatkan” Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hal. 14.
 Susanti Adi Nugroho, Op.cit., hal. 6.
 Ini dikarenakan hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk  mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru untuk mendorong iklim  berusaha yang sehat dan lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi  persaingan melalui pelayanan dan penyedian barang dan/atau jasa yang  berkualitas.
 Konflik terjadi ketika para pihak bersaing untuk dapat mencapai tujuannya  masing-masing, di mana para pihak dibatasi oleh aturan-aturan ataupun prosedurKeberpihakan kepada konsumen itu juga dimaksudkan untuk  meningkatkan sikap peduli yang tinggi terhadap konsumen.
Kepedulian terhadap konsumen didorong oleh seringnya dijumpai  pengaduan masyarakat melalui kolom surat pembaca mengenai berbagai macam  keluhan dari rasa ketidakpuasan terhadap produk tertentu sampai ke pelayanan  jasa tertentu yang tidak memadai atau mengecewakan. Rasa ketidakpuasan ini  dapat berkembang menjadi konflik yang dialami oleh konsumen. Konflik juga  dapat terjadi karena adanya peselisihan yang tidak dapat diselesaikan oleh para  pihak.
Perselisihan berawal dari salah pengertian antara manusia satu dan  manusia yang lainnya. Sudah merupakan sifat kodrati manusia apabila memiliki  pemikiran dan pandangan yang berbeda-beda satu sama lain. Segala hal yang  terjadi dalam kehidupan dan aktivitas yang dijalani manusia dapat menimbulkan  perselisihan dan berujung pada konflik. Selain itu, konflik dapat terjadi karena  adanya faktor-faktor eksternal berupa aturan-aturan yang berlaku bagi setiap  orang.
 Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen  bagian Umum.
 prosedur yang terkadang tidak sesuai dengan kemauan dan kehendak dari para  pihak.
 Adanya usaha untuk mencapai tujuan  masing-masing akan berdampak  pada persaingan tidak sehat yang dapat menimbulkan kerugian bagi salah satu  pihak yang kemudian dapat menimbulkan sengketa. Untuk dapat menghindarkan  diri dari kerugian tersebut, masing-masing pihak akan berupaya mencari cara yang  dapat dilakukan. Terdapat 2 (dua) cara, yakni dengan membawa sengketa tersebut  ke pengadilan atau berusaha untuk menyelesaikan sengketa tersebut di luar  pengadilan.
 Hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen tidak menutup  kemungkinan timbulnya perselisihan/sengketa konsumen. Selama ini sengketa  konsumen diselesaikan melalui gugatan di pengadilan, namun pada kenyataannya  yang tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga pengadilan pun tidak akomodatif  untuk menampung sengketa konsumen karena proses perkara yang terlalu lama  dan sangat birokratis. Berdasarkan Pasal 45 UUPK setiap konsumen yang  dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas  menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan  yang berada di lingkungan peradilan umum.
 Untuk itu UUPK membentuk suatu lembaga dalam hukum perlindungan  konsumen, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (yang selanjutnya  disebut BPSK) yang merupakan badan yang bertugas menangani dan  menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
  Jimmy Joses Sembiring, “Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan(Negosiasi,  Mediasi, Konsiliasi,& Arbitrase)” (Visimedia), Jakarta, 2011, hal. 4.
 Ibid. hal.5.
 Celina Tri Siwi Kristiyanti, “Hukum Perlindungan Konsumen” Sinar Grafika, Jakarta,  2009, hal. 126.
 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen .
BPSK dibentuk  untuk menyelesaikan kasus-kasus sengketa konsumen yang berskala kecil dan  bersifat sederhana, karena kebanyakan sengketa konsumen pada umumnya  mempunyai nilai nominal yang kecil, sehingga tidak praktis apabila gugatan untuk   meminta ganti rugi dilakukan melalui peradilan umum.
 Dan jika sengketa  tersebut harus diselesaikan di pengadilan, maka justru akan merugikan konsumen  karena biaya perkara yang harus ditanggung konsumen lebih besar daripada nilai  kerugiannya. Peradilan umum selain mahal juga membutuhkan waktu yang elatif  lama dan prosedurnya yang cukup rumit.
 Dan dilihat dari sanksi administrasi  berupa penetapan ganti kerugian paling banyak sebesar Rp. 200.000.000,-(dua  ratus juta rupiah) yang dapat dibebankan kepada pelaku usaha, tampak bahwa  sebenarnya BPSK dibentuk untuk menangani penyelesaian sengketa konsumen  dengan jumlah nilai yang kecil.
 1.  melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara  melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; Menurut Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI dengan Surat  Keputusan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tanggal 10 Desember 2001, pada Pasal  1 angka 8, yang dimaksud dengan sengketa konsumen adalah sengketa antara  pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan,  pencemaran dan/atau yang menderita kerugian akibat mengonsumsi barang  dan/atau memanfaatkan jasa.
Mengenai tugas dan wewenang BPSK diatur dalam Pasal 52 UUPK jo.
Pasal 3 Kepmenperindag RI Nomor 350/MPP/Kep/2001 Tentang Pelaksanaan  Tugas dan Wewenang BPSK yaitu:  2.  memberikan konsultasi perlindungan konsumen;  Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. cit., hal. 198.
 Ibid.,   Susanti Adi Nugroho, Op.cit., hal. 85.
 3.  melakukan pengawasan terhadap pencantuman klala baku;  4.  melapokan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan  dalam undang-undang ini; 5.  menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen  tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; 6.  melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; 7.  memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap  perlindungan konsumen; 8.  memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang  dianggap mengetahui pelanggarang terhadap undang-undang ini; 9.  meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi  ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huuf g dan huruf h, yang  tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK; 10. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain  guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; 11. memutuskan atau menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak  konsumen; 12. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran  terhadap perlindungan konsumen; 13. menjatuhkan sanksi administatif kepada pelaku usaha yang melanggar  ketentuan undang-undang ini.
 Wawancara pada tanggal 8 Agustus 2011 di Sekretariat BPSK Kota  pukul 11.00  WIB dengan Ibu Dana, menyatakan bahwa pelaku usaha berpendapat bahwasannya mengenai  pencantuman klala baku bertentangan dengan hukum privat, yaitu merupakan kesepakatan  antara 2 belah pihak yang memiliki kebebasan dalam melakukan perikatan.
 Berdasarkan tugas dan wewenang tersebut, maka dengan demikian  terdapat 2 fungsi strategis dari BPSK, yaitu:  1.  BPSK berfungsi sebagai instrumen hukum penyelesaian sengketa di luar  pengadilan (alternative dispute resolution), yaitu melalui konsiliasi, mediasi,  dan arbitrase.
2.  Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klala baku (one-sided  standard form contract) oleh pelaku usaha. Termasuk di sini klala baku  yang dikeluarkan PT. PLN (persero) di bidang kelistrikan, PT. Telkom  (persero) di bidang telekomunikasi, bank-bank milik pemerintah maupun  swasta, perusahaan leasing/pembiayaan, dan lain-lain.
Salah satu fungsi strategis ini adalah untuk menciptakan keseimbangan  kepentingan-kepentingan pelaku usaha dan konsumen. Jadi tidak hanya klala  baku yang dikeluarkan oleh pelaku usaha atau badan usaha perusahaanperusahaan swasta saja, tetapi juga pelaku usaha atau perusahaan-perusahaan  milik negara.
BPSK dapat menjadi bagian dari upaya pemerintah dalam rangka  menyejahterakan masyarakat dari segi perwujudan pemerataan keadilan, terutama  bagi konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha/produsen, karena  sengketa di antara konsumen dan pelaku usaha/produsen biasanya nominalnya  kecil sehingga tidak mungkin mengajukan sengketanya di pengadilan karena tidak  sebanding antara biaya perkara dengan besarnya kerugian yang akan dituntut.
 Susanti Adi Nugroho, Op.cit., hal. 83.
 Pembentukan BPSK didasarkan pada adanya kecenderungan masyarakat  yang segan untuk beracara di pengadilan karena posisi konsumen yang secara  sosial dan finansial tidak seimbang dengan pelaku usaha.
 BPSK adalah pengadilan khs konsumen yang sangat diharapkan dapat  menjawab tuntutan masyarakat agar proses berperkara berjalan cepat, sederhana  dan murah.
 Dengan dibentuknya lembaga BPSK, maka penyelesaian sengketa  konsumen dapat dilakukan secara cepat, mudah, dan murah. Cepat karena  penyelesaian sengketa melalui BPSK harus sudah diputus dalam tenggang waktu  21 hari kerja, dan tidak dimungkinkan banding yang dapat memperlama proses  penyelesaian perkara. Mudah karena prosedur administratif dan proses  pengambilan putusan yang sangat sederhana, dan dapat dilakukan sendiri oleh  para pihak tanpa diperlukan kuasa hukum. Murah karena biaya persidangan yang  dibebankan sangat ringan dan dapat terjangkau oleh konsumen. Jika putusan  BPSK dapat diterima oleh kedua belah pihak, maka putusan BPSK bersifat final  dan mengikat, sehingga tidak perlu diajukan ke pengadilan.
  Ibid,  hal. 74.
 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. cit., hal. 126.
 Susanti Adi Nugroho, Op.cit., hal. 75.
Dengan demikian, maka terciptanya penyelesaian sengketa konsumen  secara cepat, mudah dan murah menjadi tolok ukur tercapainya tujuan dari  dibentuknya BPSK.
Menurut Pasal 54 ayat (3) UUPK, putusan BPSK sebagai hasil dari  penyelesaian sengketa konsumen secara konsiliasi, mediasi atau arbitrase, bersifat  final dan mengikat. Pengertian final berarti bahwa penyelesaian sengketa telah  selesai dan berakhir. Sedangkan kata mengikat mengandung arti memaksa dan  sebagai sesuatu yang harus dijalankan oleh pihak yang diwajibkan untuk itu.
Sesuai dengan penjelasan Pasal 54 ayat (3) UUPK, yang dimaksud dengan  putusan majelis bersifat final adalah bahwa dalam BPSK tidak ada upaya banding  dan kasasi.
 Namun dalam Pasal 56 Ayat (2) UUPK disebutkan bahwa apabila  konsumen atau pelaku usaha menolak putusan BPSK, dapat mengajukan  keberatan ke pengadilan negeri paling lambat 14 hari kerja setelah menerima  pemberitahuan putusan tersebut. Yang mana dengan demikian akan  memperpanjang waktu penyelesaian sengketa konsumen sekaligus menambah  beban biaya perkara yang harus ditanggung oleh para pihak. Hal ini bertentangan  dengan pengertian putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat tersebut, sehingga dengan demikian ketentuan pasal-pasal tersebut saling kontradiktif dan  menjadi tidak efisien.
 Yang mana secara etimologi kata efektivitas dari kata “effective” yang  telah mengintervensi ke dalam bahasa Indonesia dan memiliki makna “berhasil”,  dalam bahasa Belanda “effectief” memiliki makna “berhasil guna”. Dan  efektivitas hukum secara tata bahasa dapat diartikan sebagai keberhasilgunaan  Dan dalam hal ini pelaku usaha yang memiliki posisi  tawar lebih tinggi tidak mengalami kesulitan mengenai pembiayaan karena  memang mempunyai kekuatan finansial, akan tetapi lain halnya dengan  konsumen. Dengan demikian, maka penyelesaian sengketa konsumen menjadi  tidak efektif karena harapan dari dibentuknya BPSK untuk dapat  mempersembahkan proses penyelesaian sengketa konsumen yang bersifat cepat,  mudah(sederhana) dan murah sulit untuk tercapai. Sehingga efektivitas dari  pelaksanaan putusan BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen menjadi  diragukan.
 Maslihati Nur Hidayati, “Analisis tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa Perlindungan  Konsumen: Studi tentang Efektifitas Badan Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen”,  Artikel Lex Jurnalica Vol.5 No.3, Agustus 2008, Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia,  Jakarta, hal 175.
 pelaksanaan hukum itu sendiri.
 B.  Rumusan Masalah Jadi indikator efektivitas pelaksanaan putusan  BPSK adalah dengan terwujudnya penyelesaian sengketa konsumen yang bersifat  cepat, mudah(sederhana) dan murah.
Hal ini merupakan hambatan dalam pelaksanaan putusan BPSK  dikarenakan kebingungan yang terjadi akibat tidak tegasnya pengaturan dalam  UUPK mengenai kedudukan putusan BPSK tersebut. Di samping adanya benturan  antarperaturan yang mengatur tentang penyelesaian sengketa konsumen melalui  BPSK. Ini berpengaruh terhadap efektifitas pelaksanaan putusan BPSK yang  mana hal inilah yang menjadi dasar bagi penulis, di samping beberapa hambatan  yang dialami BPSK seperti hambatan dalam pelaksanaan permohonan eksekusi  putusan BPSK, dan hambatan dari peran serta lembaga peradilan umum dalam  memeriksa upaya hukum keberatan.
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan badan yang bertugas  menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
Namun dalam praktik pelaksanaan putusannya, BPSK masih mengalami  hambatan-hambatan. Maka berdasarkan uraian di atas dan juga latar belakang  yang telah diuraikan sebelumnya, yang menjadi rumusan masalah yang akan  dibahas dan diteliti adalah: 1.  Bagaimanakah mekanisme pengambilan putusan sengketa konsumen oleh  BPSK?  Nurul Hakim, “Efektivitas Pelaksanaan Sistem Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian  Sengketa dalam Hubungannya dengan Lembaga Peradilan”, Januari 2008.
 2.  Bagaimanakah upaya hukum terhadap putusan BPSK? 3.  Hambatan-hambatan apakah yang dihadapi BPSK dalam menjaga  efektivitas pelaksanaan putusannya? 
C. Tujuan dan Manfaat 
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan ini adalah: 1.  Untuk mengetahui bagaimanakah mekanisme pengambilan putusan  sengketa konsumen oleh BPSK.
2.  Untuk mengetahui bagaimanakah upaya hukum terhadap putusan BPSK.
3.  Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi BPSK  dalam menjaga efektivitas pelaksanaan putusannya.
Adapun manfaat dari penulisan ini adalah: 1.  Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah memberikan pemahaman baru  bagi konsumen selaku pihak yang dirugikan, bahwa BPSK merupakan  salah satu lembaga yang dibentuk untuk upaya perlindungan konsumen.
Memberikan kajian akademis mengenai upaya hukum yang dapat  dilakukan terhadap putusan BPSK kepada para pihak yang berkiprah  dalam bidang perlindungan konsumen.
2.  Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini adalah diharapkan akan memberi  sumbangan pengetahuan dalam hukum konsumen, terutama mengenai   putusan BPSK dan dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dan landasan  bagi penelitian lanjutan.
D. Keaslian Penulisan 
Sebagai suatu karya tulis ilmiah yang dibuat sebagai pemenuhan syarat  untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum, maka seyogyanya skripsi ditulis  berdasarkan buah pikiran yng benar-benar asli tanpa melakukan tindakan peniruan  (plagiat) baik sebagian atau keseluruhan dari karya orang lain. Dengan demikian  penulis berdasarkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki dapat menjamin  keaslian skripsi ini sebagai karya tulis ilmiah yang asli (original) dan benar-benar  merupakan hasil pemikiran dan usaha dari penulis.
E.  Tinjauan Kepustakaan 
BPSK merupakan suatu lembaga khs yang pembentukannya diatur  dalam UUPK, yang mana tugas utamanya adalah menyelesaikan sengketa atau  perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha.
Menurut Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI dengan Surat  Keputusan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tanggal 10 Desember 2001, pada Pasal  1 angka 8, yang dimaksud dengan sengketa konsumen adalah sengketa antara  pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan,  pencemaran dan/atau yang menderita kerugian akibat mengonsumsi barang  dan/atau memanfaatkan jasa.
 Pasal 1 angka 2 UUPK mendefinisikan konsumen yaitu setiap orang  pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam  masyarakat, baik bagi  kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan  tidak untuk diperdagangkan. Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah  konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau  pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen  yang menggunakan produk sebagai bagian dari proses suatu produk lainnya.
Pengertian konsumen dalam UUPK adalah konsumen akhir.
Pasal 1 angka 3 UUPK mendefinisikan pelaku usaha sebagai setiap orang  perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan  badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam  wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama  melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang  ekonomi. Pelaku usaha termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan,  korporasi, koperasi, BUMN, importer, pedagang, dan distributor.
Undang-undang juga mengakui adanya kegiatan usaha perdagangan,  yaitu:  1.  Dilakukan secara individual.
2.  Dalam bentuk pelelangan, dengan tidak membedakan jenis atau macam  barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
3.  Dengan pesanan.
4.  Dengan harga khs dalam waktu dan jumlah tertentu.
 Abdul Halim Barkatullah, “Hak-hak Konsumen”(Nusa Media), Bandung, 2010, hal. 77.
 Masalah penyelesaian sengketa dalam UUPK diatur dalam Bab X yang  terdiri dari 4 (empat) pasal, dimulai dari Pasal 45 sampai dengan Pasal 48 UUPK.
Pasal 45 Ayat (1) mengatur bahwa setiap konsumen yang dirugikan bisa  menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa  antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di  lingkungan peradilan umum.
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk  mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau  mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak  akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
 Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada  ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memerhatikan ketentuan  dalam Pasal 45 UUPK.
 1.  Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.
Ada 4 (empat) kelompok penggugat yang bisa menggugat atas  pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha antara lain: 2.  Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
3.  Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi  syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran  dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi  tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah  melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
 Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
 Pasal 48 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
 4.  Pemerintah dan/atau instansi terkait yang jika barang dan/atau jasa yang  dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar  dan/atau korban yang tidak sedikit.
 Mekanisme penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK adalah dimulai  dengan pengajuan permohonan sengketa konsumen, kemudian dilakukan proses  penyelesaian sengketa konsumen melalui beberapa cara yang dapat dipilih oleh  para pihak, seperti konsiliasi atau mediasi atau arbitrase. Penyelesaian sengketa  konsumen di BPSK tidak berjenjang, maka jika para pihak telah sepakat memilih  salah satu cara penyelesaian sengketa konsumen, para pihak dilarang  melanjutkan penyelesaiannya dengan cara lain jika cara yang telah dipilih  tersebut tidak mencapai kesepakatan atau gagal. Dan penyelesaian selanjutnya  dapat dilakukan melalui peradilan umum.
Hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi atau  mediasi dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh konsumen dan  pelaku usaha yang bersangkutan. Perjanjian tertulis tersebut dikuatkan dengan  keputusan majelis BPSK yang ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis dan  tidak memuat sanksi administratif. Sedangkan  hasil penyelesaian sengketa  konsumen dengan cara arbitrase dibuat dalam bentuk putusan majelis yang  ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis dan dalam keputusan majelis  dapat memuat sanksi administatif.
Namun dalam pelaksanaan putusannya, BPSK mengalami beberapa  hambatan dikarenakan kebingungan yang terjadi akibat tidak tegasnya   Pasal 46 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
 pengaturan dalam UUPK mengenai kedudukan putusan BPSK tersebut. Ini  berpengaruh terhadap efektifitas pelaksanaan putusan BPSK yang mana hal  inilah yang menjadi dasar bagi penulis, di samping beberapa hambatan yang  dialami BPSK seperti hambatan dalam pelaksanaan permohonan eksekusi  putusan BPSK, hambatan dari peran serta lembaga peradilan umum dalam  memeriksa upaya hukum keberatan dan benturan antarperaturan yang mengatur  tentang perlindungan konsumen.
F.  Metode Penelitian 
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penynan skripsi ini adalah  metode yuridis normatif dengan metode pendekatan kualitatif.
Metode penelitian yuridis normatif dipergunakan dalam penelitian ini guna  melakukan penelran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam  peraturan perundang-undangan perlindungan konsumen yang berlaku, serta untuk  memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur di  perpustakaan, jurnal hasil penelitian,  Koran, majalah, situs internet dan  sebagainya.
 Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri  dari: Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui penelran kepustakaan  (library research) atau lazimnya disebut data sekunder untuk memperoleh bahan  hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
 Sunaryati Hartono, “Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20”(Alumni),  Bandung, 1994, hal. 139.
 1.  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
2.  Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif  Penyelesaian Sengketa.
3.  Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tentang  Pembentukan BPSK.
4.  Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia  Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan  Wewenang BPSK.
5.  Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006  Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan terhadap Putusan BPSK.
Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan  hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil  karya dari kalangan hukum, dan untuk penelitian ini utamanya penulis  menggunakan buku Susanti Adi Nugroho “Proses Penyelesaian Sengketa  Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara serta Kendala Implementasinya” Cetakan  Pertama, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008; Ahmadi Miru dan  Sutarman Yodo “Hukum Perlindungan Konsumen” Jakarta: PT. Raja Grafindo  Persada, 2004; Yf Shofie “Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut  Undang-Undang Perlindungan Konsumen Teori & Praktek Penegakan Hukum”  Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 2003; Joses Sembiring, Jimmy, ”Cara  Menyelesaikan Sengketa Di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan  Arbitrase)”, Jakarta: Visimedia, 2011; Abdul Halim Barkatullah, “Hak-Hak   Konsumen”, Bandung: Nusa Media, 2010; Celina Tri Siwi Kristiyanti, “Hukum  Perlindungan Konsumen”, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Bahan hukum tersier yang memberikan petunjuk maupun penjelasan  terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, indeks  kumulatif, dan seterusnya.
 G.  Sistematika Penulisan Untuk memperoleh data pendukung akan dilakukan wawancara secara  mendalam dengan mempergunakan petunjuk umum wawancara yang telah  dipersiapkan terlebih dahulu pada beberapa informan yang mengetahui pokok  permasalahan yang menjadi objek penelitian, yaitu beberapa konsumen yang  mengadukan sengketanya pada BPSK, beberapa  majelis BPSK dan anggota  Sekretariat BPSK.
Penarikan kesimpulan terhadap data yang berhasil dikumpulkan dilakukan  dengan mempergunakan metode penarikan kesimpulan secara deduktif maupun  secara induktif, sehingga akan dapat diperoleh jawaban terhadap permasalahanpermasalahan yang telah disn.
Untuk memperjelas pembahasan dalam skripsi ini adalah antara lain  sebagai berikut: BAB I berisi tentang Pendahuluan yang membahas mulai dari Latar  Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan,  Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.
 Soerjono Soekanto, “Penelitian Hukum Normatif”(PT. RajaGrafindo Persada), Jakarta,  2003, hal. 13.
 BAB II berisi tentang Tata Cara Permohonan Penyelesaian Sengketa  Konsumen, Jangka Waktu Penyelesaian Sengketa Konsumen, Snan Majelis  Badan Penyelesaian  Sengketa Konsumen (BPSK) dan Kepaniteraan, Proses  Pengambilan Keputusan Sengketa Konsumen oleh Badan Penyelesaian Sengketa  Konsumen (BPSK) yang terdiri dari Cara Konsiliasi, Cara Mediasi dan Cara  Arbitrase.
BAB III berisi tentang Kekuatan Hukum Putusan Badan Penyelesaian  Sengketa Konsumen, Eksekusi Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen  (BPSK), Pelaksanaan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Di BPSK  Sejak Berdirinya, Proses Peralihan Penyelesaian Sengketa  Konsumen dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ke Pengadilan Negeri.
BAB IV berisi tentang Hambatan dalam Pelaksanaan Permohonan  Eksekusi Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Hambatan dari Peran  Serta Lembaga Peradilan Umum dalam Memeriksa Upaya Hukum Keberatan,  Efektivitas Pelaksanaan Putusan Sengketa Konsumen di Badan Penyelesaian  Sengketa Konsumen .

Download lengkap Versi Word