BAB I
PENDAHULUAN
H. Latar
Belakang
Setiap perang dan penjajahan pasti akan menimbulkan banyak korban.
Diperkirakan 200 sampai 400 ribu perempuan
Asia berusia 13 hingga 25 tahun dipaksa
menjadi budak seks tentara Jepang.
Selama Perang Dunia II sebanyak 200.000 perempuan Cina, Taiwan, Filipina,
Singapura, Myanmar, Indonesia, Malaysia,
Korea, dan Belanda dijadikan budak seksual militer Jepang sepanjang tahun 1931-1945.
Jumlah tersebut juga termasuk 10.000-15.000
perempuan Indonesia yang dipekerjakan
untuk melayani kebutuhan seksual 280.000 tentara Jepang yang menduduki Indonesia pada saat itu.
Mereka diharuskan untuk memenuhi kebutuhan biologis seksual tentara militer Jepang dalam
jumlah yang besar. Bukan saja mengalami
perkosaan secara sistematis, mutilasi, bahkan hingga pembunuhan.
Perempuan-perempuan ini biasa
disebut dengan Comfort Women atau Jugun Ianfu.
Mumtahanah,”Jugun Ianfu: Sebuah Analisa Hukum”, Suara Apik 14 (2000): 5.
http://gmmatirasa.blogspot.com/2009/04/dokumentasi-kejahatan-perang-jepang-1.html Christine Wawrynek,”World War II Comfort
Women: Japan’s Sex Slaves or Hired Prostitute?”, New York Law School Journal of Human Rights
Summer, U. N. Reports (2003).
Eka Hinrati dan Koichi Kimura, Momoye Mereka
Memanggilku, Jakarta: Penerbit Erlangga: 2007, hal. 275.
Christine Wawrynek, Loc. Cit.
Jugun Ianfu
adalah istilah Jepang terhadap perempuan penghibur tentara kekaisaran Jepang dimasa perang Asia Pasifik,
istilah asing lainnya adalah Comfort Women.
Pada kenyataannya Jugun Ianfu bukan merupakan perempuan penghibur tetapi perbudakan seksual yang brutal,
terencana, serta dianggap masyarakat internasional
sebagai kejahatan perang. Menurut riset oleh Dr. Hirofumi Hayashi, seorang profesor di Universitas Kanto Gakuin,
Jugun Ianfu termasuk orang Jepang, Korea,
Tiongkok, Malaya (Malaysia dan Singapura), Thailand, Filipina, Indonesia, Myanmar,
Vietnam, India, Indonesia, Belanda, dan penduduk
kepulauan Pasifik.
Jumlah perkiraan dari Jugun Ianfu
ini pada saat perang, berkisar antara 20.000 dan 30.000. Pengakuan dari beberapa Jugun Ianfu
yang masih hidup jumlah ini sepertinya berada
di batas atas dari angka di atas. Kebanyakan rumah bordilnya berada di pangkalan militer Jepang, namun dijalankan
oleh penduduk setempat, bukan militer Jepang.
Menurut riset Dr. Ikuhika Hata, seorang profesor di Universitas Nihon. Orang Jepang yang menjadi Jugun Ianfu ini sekitar
40%, Korea 20%, Tionghoa 10%. Dan 30%
sisanya dari kelompok lain.
Konflik perang mulai di Asia beberapa tahun
sebelum pertikaian dimulai di Eropa,
setelah Jepang menginvasi Cina tahun 1931 jauh sebelum Perang Dunia II mulai di Eropa tanggal 1 September 1939 - 14
Agustus 1945. Tanggal 1 Maret 1931 Jepang
menunjuk Henry Pu Yi menjadi raja di Manchukuo, negara boneka di Manchuria. Pada tahun 1937 perang telah
dimulai saat Jepang mengambil paksa Cina.
Tahun 1936 militer Jepang yang
telah menduduki kota Shanghai mulai melaju menuju kota Nanjing yang berjarak sekitar 360
kilometer dari Shanghai. Balatentara Jepang yang berada di sana seluruhnya berjumlah
sekitar 135.000 personil militer. Oleh http://id.wikipedia.org/wiki/Jugun_ianfu karena terus-menerus melakukan peperangan
prajurit Jepang mulai kehabisan persediaan
makanan. Menyadari situasi ini markas besar militer Jepang membuat strategi baru dengan cara mencari makanan dari
mh. Ini artinya prajurit Jepang harus
mulai menjarahi rumah-rumah penduduk untuk memperoleh makanan sebagai upaya bertahan hidup. Tindakan militer Jepang
ini memicu kemarahan rakyat Cina, dalam
keadaan terjepit rakyat Cina mulai melawan dengan memakai cara apa saja.
Tindakan orang Cina ini tentu
saja menimbulkan masalah baru bagi militer Jepang yang sedang melakukan upaya kolonialisasi.
Akibatnya militer Jepang mengeluarkan perintah,
“Bunuh orang Cina yang terlihat di depanmu!” Praktek dari perintah ini prajurit Jepang mulai membunuhi orang-orang
Cina tanpa membedakan kelompok dari
sipil atau militer. Pembunuhan keji yang dilakukan tanpa strategi mengakibatkan
banyak prajurit Jepang rusak mentalnya
dan menjadi gila. Para prajurit Jepang itu bukan hanya melakukan pembunuhan massal,
mereka juga mulai melakukan perkosaan
secara brutal semua perempuan Cina yang terlihat di jalan-jalan. Akibatnya sebagian besar personil militer Jepang
mengalami penyakit kelamin akibat melakukan perkosaan brutal terhadap perempuan-perempuan
Cina. Hal ini mengakibatkan kekuatan
militer Jepang di Cina melemah. Situasi ini membuat khawatir para petinggi militer di Tokyo. Sehingga mengirim seorang
dokter yang bernama Aso Tetsuo untuk menyelidiki
penyebab melemahnya kekuatan militer di Cina. Tak lama setelah penyelidikan berlangsung Aso Tetsuo
mengeluarkan rekomendasi untuk markas militer
Jepang segera membangun fasilitas prostitusi khs personel militer yang dikontrol langsung pihak militer. Peristiwa
bersejarah ini tertuang dalam buku yang berjudul
Karyubyo no Sekkyokuteki Yobaho (Positive Precautinary Measure of Sexual Disease) tahun 1939. Aso Tetsuo mengungkapkan
peristiwa tersebut dalam tulisannya yang
berjudul Shanghai kara Shanghai he (Shanghai to Shanghai). Pembentukan ianjo (rumah bordil militer Jepang) yang
menyediakan jasa pelayanan seksual bagi tentara
dan sipil Jepang dimulai sejak tahun 1932, setelah terjadi kekejaman luar biasa
militer Jepang terhadap rakyat Cina di
Shanghai. Hampir satu dekade sebelum penggunaan
istilah Jugun Ianfu meluas dan menjadi
gejala umum di semua daerah yang
dikuasai Jepang di Asia Pasifik menjelang berakhirnya Perang Dunia II.
Penguasa Jepang terpaksa harus
mempertimbangkan kedisiplinan dan moral militer.
Rencana pusat hiburan yang
pertama kali diperkenalkan tahun 1932 dibawah pengawasan militer Jepang. Hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya tulisan tangan salah
satu komandan kampanye Shanghai Letnan Jenderal Okamura Yasuji, yang mengakui dalam buku hariannya bahwa ia menjadi
pembuat lan pertama kali ianjo untuk militer.
Setelah pengadilan IMTFE selesai, maka
kejahatan perang yang dilakukan oleh
tentara Jepang telah dianggap selesai. Namun, pengadilan tersebut tidak mengungkap mengenai keberadaan Comfort Women
sebagai sebuah bentuk kejahatan perang,
sehingga tidak mengadili dan apalagi memberikan hukuman terkait kasus Usai Perang Dunia II, Jepang yang saat itu
kalah perang, kemudian diadili melalui
sebuah pengadilan bernama The International Military Tribunal for the Far East (IMTFE), atau yang dikenal sebagai the
Tokyo Trials atau The Tokyo War Crimes
Tribunal, dikenal juga dengan The Tribunal. Pengadilan ini dilangsungkan pada tahun 1946 hingga 1948. Tujuan
diselenggarakannya IMTFE adalah untuk mengadili
pemerintah Jepang dalam berbagai kasus kejahatan Perang Dunia II. Ada tiga kategori kejahatan perang yang dituduhkan
kepada Jepang, yakni: kejahatan atas perdamaian,
kejahatan perang, dan kejahatan kemanusiaan selama Perang Dunia II.
Membongkar Sistem Perbudakan Seksual Militer
Jepang (1935-1945) « Replik Duplik Justicie.htm
kejahatan terhadap Comfort Women.
Baru pada tahun 1991, lebih dari 40 tahun usai
berakhirnya Perang Dunia II ditandainya
kekalahan Jepang, sejumlah mantan Comfort Women mulai menuntut keadilan. Para mantan Comfort Women Korea, disl
dengan para mantan Comfort Women
Filipina, Taiwan, Indonesia, dan Belanda tampil menuntut penyidikan, permintaan maaf, ganti rugi, hukuman, hingga
pelurusan sejarah kepada Pengadilan Jepang.
Dalam laporan yang sama juga dinyatakan bahwa terdapat pula mantan Comfort Women yang masih hidup di Malaysia,
Kamboja, Guam, dan Inggris.
Ketika kejahatan Perang Dunia II
telah dianggap ditutup, pengakuan atas
keberadaan Comfort Women sebagai kejahatan perang secara otomatis juga ikut terkubur.
Dengan kata lain, kejahatan terhadap Comfort Women dianggap tidak pernah ada.
Setelah bertahun-tahun mendapat teguran,
rekomendasi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) dan tuntutan dari mantan Comfort Women maupun beberapa kelompok pemerhati Hak Azasi Manusia, Jepang
tidak bersedia melakukan penyidikan dan
pengadilan lebih lanjut mengenai tuntutan para mantan Comfort Women. Hingga akhirnya dibuatlah sebuah
peradilan kejahatan perang terhadap perempuan
yang diberi nama Women’s International War Crimes Tribunal (WIWCT) on Japan’s Military Sex Slavery yang
dipelopori oleh gabungan Non Government Organization
(NGO) Jepang yakni VAWW-NET Jepang, NGO Korea yakni The Korean Council, dan NGO Filipina yakni Asian
Center for Women’s Human Rights “Formal
Menolak; Bila Pengadilan Masyarakat Internasional Mendesak,” Kompas (4 Oktober 2000):26 “Tuntutan Kami atas Penyelesaian Masalah
Perbudakan Seksual Militer Jepang (Perempuan Penghibur),” arsip NGO Violence Woman in War
Network (VAWW-NET) Japan, hal 4.
(ASCENT). Meskipun tidak menjadi pelopor, NGO
Indonesia tetap bergabung dalam tribunal
ini dengan NGO Koalisi Perempuan Indonesia sebagai pihak penuntut.
Melalui kepercayaan bahwa tragedi
Comfort Women merupakan kejahatan terhadap
kemanusiaan, maka sejumlah NGO ini kemudian berani mengajukan pengadilan lain atas pengadilan IMFTE, yaitu
Women’s International War Crimes Tribunal
(WIWCT). Landasan hukum dari WIWCT adalah sebuah konvensi mengenai ketidak berlakuan perang dan
kejahatan terhadap kemanusiaan oleh Majelis
Umum PBB melalui resolusi 2391/XXII tahun 1968 dan Traktat Dewan Eropa, ETS nomor 82 yang diadopsi pada tanggal
25 Januari tahun 1974 serta Pasal 29
ketetapan pengadilan internasional yang menyatakan bahwa berlalunya waktu tidak menghilangkan tanggungjawab negara untuk
mendakwa, mengadili, atau menghukum
orang-orang yang bertanggungjawab terhadap kejahatan kemanusiaan.
Jepang tetap bersikukuh tidak mau menggelar
pengadilan sesuai tuntutan para mantan
Comfort Women. Tanpa persetujuan Jepang, gabungan NGO korban Comfort Women tetap menggelar Women’s International
War Crimes Tribunal On Japan’s Military
Sex Slavery. Pengadilan ini diselenggarakan pada tanggal 8-12 Desember Melalui landasan hukum ini, sejumlah NGO
menuntut agar pengadilan atas tragedi Comfort
Women dapat segera dibentuk oleh masyarakat internasional. Sehingga tidak ada lagi alasan bagi pemerintah Jepang untuk
menunda menyelesaikan kasus ini.
Crimes against humanity are unaffected by
statues of limitation as recognized in the Convention on Imprescriptibility of Crimes of War and
Against Humanity, adopted by the General Assembly of the United Nations, Resolution 2391 (XXII) of 1968, and
in the Council’s of Europes treaty: Non-applicability of Statutory Limitations to Crimes Against Humanity and War
Crimes, E. T. S. No. 82, adopted on January, 25th 1974. This fundamental rule of law was reaffirmed in
Article 29 of the Satute of the International Criminal Court.
http://web.amnesty.org/library.
2000 di kota Tokyo, Jepang. Keputusan sidang
kasus ini diputuskan satu tahun kemudian
pada Final Judgement di Den Haag, 4 Desember 2001.
Hal ini tentunya berakibat pada tidak
diindahkannya putusan final dari WIWCT,
yakni permintaan maaf, pelurusan sejarah, dan kompensasi oleh Jepang.
Bahkan pada Maret 2007, Perdana
Menteri Abe memementahkan kembali semua usaha
WIWCT dengan meragukan keberadaan Comfort Women di negara jajahan Jepang.
Namun kefektifan pengadilan ini
masih menjadi sebuah tanda tanya besar.
Hingga kini, pemerintah Jepang
tidak pernah mengakui keabsahan pendirian pengadilan WIWCT. Pengadilan ini memang hanya
didirikan berdasarkan gagasan gabungan
NGO dan bukan atas kesepakatan negara atau dibentuk oleh lembaga internasional yang memiliki kekuatan
sebagaimana biasanya sebuah pengadilan internasional.
Baru setelah mendapatkan kecaman dari
masyarakat internasional, Perdana Menteri
Abe akhirnya meminta maaf atas penolakan radikalnya dan hendak menyikapi penyidikannya lebih lanjut.
Sikap pemerintahan Jepang yang diwakili oleh
Perdana Menteri Abe membuktikkan bahwa
hingga tahun 2007, selang enam tahun pasca WIWCT, Jepang masih meragukan dan menyangkal keberadaan
Comfort Women sebagai sebuah praktek
kejahatan perang. Indikasi ini menunjukkan bahwa pengadilan ini tidak memiliki kekuatan mengikat layaknya pengadilan
perang dalam pengadilan kejahatan “Sejarah
Harus Ditulis Ulang Dengan Prespektif Perempuan,” Kompas (10 Desember 2001) :
35.
:Meutia Hatta: Jugun Ianfu Kejahatan Perang,”
http://www.tempointeraktif.com, 27 Maret 2007.
Hendrajit,”Jugun Ianfu dan Program Penguatan
Identitas Nasional Jepang” http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=9145,
7 Mei 2007.
perang semisal Nuremberg Trials, Tribunal for
the former of Yugoslavia, Tribunal for Rwanda,
dan International Criminal Court.
Abe mengatakan tetap berpegang
pada pernyataan pemerintah tahun 1993 yang
diucapkan oleh Kepala Sekretariat Kabinet Yohei Kono pada waktu itu.
Pernyataan itu mengakui
keterlibatan langsung tentara Jepang dalam mengadakan tempat-tempat penghibur dan memaksa para
perempuan menjadi Jugun Ianfu.
Sehubungan dengan itu Kono
menyatakan maaf.
Perdana Menteri Abe menyatakan
tetap berpegang pada pernyataan sikap Jepang.
Kono menambahkan pula bahwa Jepang tidak akan minta maaf lagi mengenai masalah Jugun
Ianfu ini. Tidak berselang lama penjabat Kepala Sekretaris Kabinet Hakubun Shimomura kembali mengeluarkan
pernyataan kontroversial. Ia menyatakan keyakinannya
bahwa tentara Jepang tidak terlibat dalam memaksa para perempuan menjadi budak seks. Sebagian pendukung Abe
yang konservatif berpandangan bahwa para
Jugun Ianfu itu adalah pelacur yang dibayar untuk pelayanannya.
Harian Kompas pada Rabu, 5
Desember 2001 menyatakan bahwa Women’s International
War Crimes Tribunal hanyalah pengadilan ‘main-mainan’.
Sebuah fotografi dengan kejelasan saat Ema Katimah asal Indonesia yang
termasuk jugun ianfu menerima salinan
putusan dari pengadilan Women’s International War Crimes Tribunal (Tokyo
Tribunal) yang ditulis sebagai
“...pengadilan main-mainan,” yang seolah-olah mengadili gugatan budak seks
terhadap Pemerintah Jepang. “Selanjutnya
disebutkan bahwa “pengadilan main-mainan” yang dipimpin oleh “hakim” Willy Mutunga di teater dansa Lucent di Den
Haag, Selasa (4/12), memutuskan bahwa Pemerintah Jepang bersalah karena menjadikan perempuan-perempuan
itu sebagai budak seks. Untuk itu, pemerintah Jepang diharuskan membayar ganti rugi.” Kompas (5
Maret 2001): 1.
Tuduhan ini semakin menjadi ketika memang tidak pernah
ada kompensasi yang sampai ke tangan
mantan Comfort Women ke Indonesia hingga penulisan ini dibuat. Padahal, usia para mantan Comfort Women ini sudah
lanjut ketika menanti keadilan. Amat disayangkan
apabila Women’s International War Crimes Tribunal hanya menjadi sebuah pengadilan internasional yang tidak
memiliki kekuatan hukum.
Kedua belah pihak, baik Jepang
maupun NGO perempuan internasional tetap bertahan pada posisinya. Walaupun tidak
menyangkut hubungan antar negara, permasalahan Comfort Women ini tetap menjadi permasalahan
besar. Perlu pengkajian ilmiah mengenai
kejahatan atas Comfort Women dan legalitas WIWCT sebagai pengadilan yang sah dalam hukum
internasional sebagai lembaga penyelesaian
kejahatan perang terhadap Comfort Women yang dilakukan oleh tentara militer Jepang.
I. Permumusan Masalah
Bertitik tolak dari
hal-hal yang disampaikan di atas, maka
Penulis merumuskan pokok dalam
skripsi ini, yaitu: 1. Apakah kekerasan
seksual terhadap Comfort Women dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang? 2. Bagaimana legalitas Women’s International War
Crimes Tribunal sebagai sebuah lembaga
ditinjau dari Hukum Internasional? 3.
Bagaimana kewenangan Women’s International War Crimes Tribunal dalam menyelesaikan
kasus kejahatan perang terhadap Comfort Women?
J.
Tujuan dan Manfaat
Penulisan Adapun tujuan dari pembahasan dan penulisan
skripsi ini adalah: 1. Mengetahui status
kejahatan dan kekerasan seksual terhadap Comfort Women yang
dilakukan pada saat perang.
2.
Mengetahui legalitas Women’s International War Crimes Tribunal sebagai
sebuah lembaga.
3. Mengetahui kewenangan Women’s International
War Crimes Tribunal dalam menyelesaikan kasus kejahatan perang terhadap
Comfort Women.
K. Keaslian Penulisan
Penulisan
ini dilakukan atas ide Penulis sendiri, karena adanya ketertarikan Penulis terhadap kewenangan Women’s
International War Crimes Tribunal dalam dinamisme
hukum internasional sebagai lembaga
penyelesaian kasus kejahatan perang
terhadap Comfort Women yang dilakukan oleh tentara militer Jepang.
L. Metode Penulisan
Sebagai sebuah karya tulis
ilmiah, penulisan skripsi ini haruslah dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Untuk itu
perlu didukung serta dilengkapi oleh
data-data yang valid dan absah.
Guna mendapatkan data-data yang
valid serta absah untuk mencari kebenaran yang dimaksud, maka Penulis menggunakan metode
Studi Kepustakaan (Library Search),
yaitu metode penelitian dimana data-data yang digunakan bersumber dari berbagai kepustakaan, buku-buku, karangan
ilmiah, surat kabar, majalah serta media elektronik, seperti internet yang mendukung
dan relevan dengan permasalahan yang dibahas.
Dengan metode yang sederhana ini, penulis menyadari bahwa sebagai suatu karya tulis, skripsi ini belum memadai dan
masih jauh dari kesempurnaan. Namun, kekurangsempurnaan
tersebut, bukan berarti skripsi ini tidak mengandung kebenaran ilmiah. Dengan kebenaran yang terdapat di
dalam skripsi ini Penulis dapat menganalisa,
menguraikan serta memberikan kesimpulan dan solusi untuk membahas permasalahan di dalam skr ipsi ini.
M. Tinjauan Pustaka
Comfort Women is the euphemism used to describe the
estimated 200.000 Korean, Chinese,
Indonesian, Filipino, Taiwanese, Dutch, and Japanese woman lured, coerced, or forced into prostitution
for the Japanese Army during World War II (1930s-1940s).
Jugun
Ianfu adalah istilah Jepang
terhadap perempuan penghibur tentara kekaisaran
Jepang dimasa perang Asia Pasifik, istilah asing lainnya adalah Comfort Women. Jugun
Ianfu adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada wanita penghibur (bahasa Inggr is Comfort Women) yang terlibat dalam perbudakan seks selama
Perang Dunia II di koloni Jepang dan wilayah perang.
Women’s International War Crimes Tribunal on
Japan’s Military Sexual Slavery is a
people’s tribunal organized by Asian Women and Human Rights Organization and supported by Internatinal
NGO’s, to hear the cases of sexual slavery
and other crimes involving sexual violence commited against the women by Japan.
Brooke Say, “Comments Ripe For Justice: A New Un Tool To Strengthen The
Position Of The Comfort Women and To
Corner Japan Into It’s Reparation Responsibility,” Penn State International Law
Review Spring, Dickinson School of Law,
2005.
http://id.wikipedia.org/wiki/Jugun_ianfu “A Primer On The Women’s International War
Crimes Tribunal and Public Hearing on Current War Crimes,” Tokyo, Japan, (8-12 December 2000):
1. Sebuah Arsip Milik LBH Apik Jakarta, salah satu NGO yang tergabung dalam Koalisi Perempuan Indonesia
dalam Tokyo Tribunal.
Tujuannya adalah: It (Women’s International
War Crimes Tribunal-red) is an international people’s tribunal with groups of women at the
core of project. It is a menas for us to tackle the issue of the criminal
responsibility of the perpetratorsfor the war crimes against women commited by the Japanese
government and military during the AsiaPasific War (1931-1945).
War Crimes: namely, violations of the laws on
customs of war. Such violations shall
include but not be limited to, murder, ill-treatment or deportation to slave
labor or for any other purpose of
civillian population of or in occupied territory, murder or ill-treatment or prisoners of war of persons
on the season killing of hostages, plunder of public on private property, want on
destruction of cities, towns or villages, or devastation not justified by military
necessity.
Definisi “kejahatan perang: menurut Statuta
Roma, 1998 mencakup: Kejahatan perang termasuk salah satu jenis kejahatan yang
sudah dikenal sejak dahulu kala (zaman
kuno), walaupun baru diatur secara tertulis pada abad 19 (Deklarasi Den Haag 1899) dan terakhir diatur
dalam Statuta Roma 1998.
Dunia internasional sudah
mengakui kejahatan perang sebagai salah satu “kejahatan internasional” (international
crime).
a.
Untuk konflik bersenjata internasional: “Question and Answers,” Women’s International
War Crimes Tribunal on Japan’s Military Sexual Slavery, Tokyo, (8-12 December 2000): 1.
Sebuah Arsip Milik LBH Apik Jakarta, salah satu NGO yang tergabung dalam Koalisi Perempuan Indonesia
dalam Tokyo Tribunal.
Nuremberg, Charter of The International
Military Tribunal, 8 Agustus 1945 dan dikuatkan dengan resolusi 3 (1) tanggal 13 Februari 1946 dan 95
(1) tanggal 11 Desember 1946 oleh Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Rome Statute of The International Criminal
Court Text of the Rome Statute circulated as document A/CONF.183/9, 1 Juli 2002.
i.
Pelanggaran berat Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 (yang meliputi delapan bentuk tindak) (Pasal 8 ayat
2(a)); ii. Pelanggaran serius hukum dan
kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata
internasional lainnya, dalam kerangka hukum internasional yang sudah mapan (meliputi 26 bentuk tindak )
(Pasal 8 ayat 2(b)); b. Untuk konflik bersenjata non-internasional: i.
Pelanggaran serius Pasal 3 yang sama pada empat Konvensi Jenewa 12
Agustus 1949 (yang mencakup tiga bentuk tindak) (Pasal 8 ayat 2(c)); ii. Pelanggaran hukum dan kebiasaan yang berlaku
pada konflik bersenjata
non-internasional lainnya, dalam kerangka hukum internasional yang sudah mapan (yang meliputi
dua belas bentuk tindak) (Pasal 8 ayat 2
(e)).
Dengan diaturnya masalah mengenai
hal ini dalam bentuk hukum internasional,
dapatlah kita menarik suatu kesimpulan untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu dalam rangka memimalisasi
praktek-praktek perbudakan seksual terhadap
perempuan.
N. Sistematika Penulisan Secara
keseluruhan, penulisan ini terbagi dalam 5 (lima) bab yang masingmasing bab
terdiri dari sub bab yang dikembangkan. Berikut ini adalah uraian yang merupakan gambaran dari isi skripsi ini secara
terperinci: 1. Bab I adalah merupakan
pendahuluan yang memberikan gambaran umum mengenai Comfort Women sebagai korban
kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara
militer Jepang dan Women’s International War Crimes Tribunal yang dibentuk
sebagai lembaga penyelesaiannya. Bab ini terdiri dari latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan
pustaka, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
2. Bab II adalah pembahasan mengenai tinjauan
umum Comfort Women sebagai korban kejahatan perang, yang terdiri dari 3
(tiga) sub bab yang menguraikan tentang
kejahatan perang, Comfort Women, dan kekerasan gender dalam kejahatan perang.
3. Bab III adalah memuat bahasan mengenai
tinjauan hukum internasional yang meliputi
pengertian, sejarah, dan sumber-sumber hukum internasional, juga Women’s International War Crimes Tribunal,
yang meliputi latar lelakang dibentuknya
Women’s International War Crimes Tribunal, persidangan, serta pro dan kontra keberadaan Women’s International
War Crimes Tribunal.
4. Bab IV adalah memuat bahasan mengenai
tinjauan hukum internasional terhadap Women’s International War Crimes
Tribunal sebagai lembaga penyelesaian kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara
militer Jepang terhadap Comfort Women,
yang meliputi analisa kejahatan terhadap
Comfort Women sebagai kejahatan perang, tinjauan hukum internasional
terhadap Women’s International War
Crimes Tribunal, dan analisa kewenangan
Women’s International War Crimes
Tribunal mengadili kasus kejahatan terhadap Comfort Women.
5. Bab V merupakan bab akhir atau bagian penutup
dari skripsi ini yang memuat kesimpulan
dan saran-saran Penulis yang dilakukan berdasarkan analisa dan evaluasi dari bab terdahulu.
Download lengkap Versi Word