SKRIPSI HUKUM: PRINSIP AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI YAYASAN DALAM RANGKA MENCEGAH PRAKTIK PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)


BAB I
PENDAHULUAN  
A.  Latar Belakang Masalah  Kemajuan di bidang pengetahuan dan teknologi yang ditunjang dengan  kemajuan di bidang komunikasi dan informasi dalan era globalisasi ini telah  menyebarkan dampak positif dan negatif keseluruhan dunia. Dampak negatifnya  dapat dilihat dengan semakin berkembangnya the new dimentions of crime, yang  merupakan kejahatan yang dilakukan dengan menerapkan ilmu pengetahuan dan  teknologi dengan pelaku professional.

 Salah satu organisasi internasional yang memberi perhatian besar adalah  The Financial Action Task Force On Money Laundering (FATF), berkedudukan  di Paris yang didirikan oleh G-7 Summit di Paris pada bulan Juli tahun 1989,  bertujuan untuk mengupayakan berbagai cara dan tindakan untuk memerangi  praktik kejahatan pencucian uang (money laundering). Lembaga ini telah  menyn dan mengeluarkan 40  (empat puluh)  rekomendasi yang harus  Kejahatan dalam suatu wilayah negara  maupun lintas batas wilayah negara juga semakin berkembang, diantaranya illegal  logging, perdagangan obat-obatan terlarang, penyelundupan barang,  penyelundupan tenaga kerja, terorisme, penyuapan, korupsi, dan kejahatankejahatan kerah putih (white collor crime), lainnya. Tidak kejahatan ini umumnya  melibatkan dan menghasilkan uang dalam jumlah yang besar.
 Her Kustriyadi Wibawa, Verifikasi Dokumentasi dan Tandatangan Pencegahan dan  Penindakan Kejahatan Perbankan dan Keuangan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002),  hal.1.
 10  dilaksanakan oleh anggotanya. Rekomendasi ini dikenal sebagai “Forty  Recommendations”.
 Indonesia merupakan “surga” untuk praktik pencucian uang (money  laundering). Dengan demikian Indonesia mendapat kesan buruk di mata dunia  internasional dan telah masuk ke dalam barisan daftar hitam (black list) sebagai  NCCT's sejak tahun 2001 oleh FATF, maka Pemerintah Indonesia membuat  ketentuan yang melarang kegiatan pencucian uang (money laundering) dalam  bentuk apapun yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang  Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,  (selanjutnya  disebut sebagai Undang-Undang TPPU), yang merupakan singkatan dari UndangUndang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Tindak lanjut dari terbentuknya FATF tersebut adalah  dengan merekomendasikan beberapa negara yang dikategorikan tidak kooperatif  dalam memerangi kejahatan pencucian uang dan dimasukkan dalam daftar NonCooperative Countries and Teritories (NCCT's).
Tindak pidana pencucian uang (money laundering) tersebut dapat terjadi  setelah dilakukakannya kejahatan awal atau asal (predicate offence), misalnya  korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja,  penyelundupan migran, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme,  penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, dan perjudian.
Setelah itu, proses pencucian uang tersebut terjadi ketika uang tersebut  dipergunakan untuk kepentingan sendiri atau bersama yang dapat dilakukan  melalui bidang  perbankan, pasar modal, asuransi, yayasan, ataupun  untuk   Sutan Remy Sjahdeini, Seluk-Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan  Terorisme, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2004), hal 89.
 11  melakukan kejahatan kembali, misalnya di bidang narkotika ataupun kejahatan  lainnya. Pencegahan praktik pencucian uang tidak hanya dapat diatasi dengan  adanya Undang-Undang TPPU, melainkan juga  harus dibantu dengan adanya  peraturan lain yang bersangkutan dengan praktik pencucian uang tersebut,  misalnya dalam yayasan, maka sangat diperlukan Undang-Undang Yayasan untuk  membantu terselenggaranya pencegahan praktik pencucian uang tersebut.
Sebelum lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun  2001, yang kemudian diamandemen dengan Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan, pendirian yayasan di Indonesia  dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat, doktrin, dan yurisprudensi.
Badan hukum yayasan, di samping untuk tujuan sosial, kemanusiaan, dan  keagamaan, telah pula dipergunakan untuk tujuan-tujuan lain yang menyimpang  dari tujuan semula penciptaan badan hukum ini. Penambahan “keagamaan” dalam  tujuan yayasan, merupakan suatu penekanan karena sebenarnya dalam tujuan  sosial dan kemanusiaan, sudah termasuk tujuan keagamaan. Yayasan telah  dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang bukan tujuan sosial dan kemanusiaan,  seperti untuk memperkaya diri sendiri atau pengurus yayasan, menghindari pajak  yang seharusnya dibayar untuk menguasai suatu lembaga pendidikan untuk  selama-lamanya, untuk menembus birokrasi, untuk memperoleh berbagai fasilitas  dari negara atau penguas, dan berbagai tujuan lain.
  Chatamarrasjid Ais (selanjutnya disebut dengan I), Badan Hukum Yayasan (Suatu  Analisis Mengenai Yayasan Sebagai Suatu Badan Hukum Sosial), cet. 1, (Bandung: Penerbit PT.
Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 104.
 12  Pengaturan yayasan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001  Tentang Yayasan jo. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan  Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, (selanjutnya  disebut sebagai Undang-Undang Yayasan), merupakan perwujudan politik hukum  nasional dalam pembentukan hukum baru. Dengan pengaturan tersebut, yayasan  ditegaskan sebagai badan hukum, sehingga mempunyai landasan hukum yang  kuat dalam melaksanakan kegiatan sesuai dengan maksud dan tujuannya. Oleh  karena kenyataan dalam masyarakat menunjukkan  yayasan tumbuh dan  berkembang begitu pesat dengan berbagai kegiatan, maksud, dan tujuannya yang  juga dapat berperan dalam mendukung kegiatan perekonomian.
Lahirnya undang-undang baru tentang yayasan ini, diharapkan dapat  mengatasi berbagai masalah mengenai yayasan, serta diharapkan akan menjadi  dasar hukum yang kuat dalam mengatur kehidupan yayasan di Indonesia, dan  menjamin kepastian dan ketertiban hukum agar yayasan berfungsi sesuai dengan  maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip akuntabilitas dan transparansi guna  mencegah terjadinya praktik tindak pidana pencucian uang (money laundering).
Salah satu prasyarat dan kondisi yang harus dipenuhi untuk meningkatkan  efektivitas  penerapan  prinsip  akuntabilitas dan transparansi adalah adanya  kesamaan persepsi dan pemahaman oleh yayasan, perbankan, dan aparat penegak  hukum mengenai perlunya penerapan prinsip tersebut. Salah satu upaya yang satu  ini tengah dilakukan adalah komunikasi dan sosialisasi secara intensif dan  berkesinambungan bukan hanya dengan yayasan tetapi juga dengan masyarakat   13  luas. Khs bagi dunia yayasan, persamaan persepsi dimaksud perlu dicapai  mulai dari tingkat kebijakan sampai dengan pelaksanaanya.
Dalam yayasan terdapat prinsip akuntabilitas dan transparansi yang wajib  dijadikan acuan utama oleh tiap-tiap yayasan dalam menyn kebijakan dan  prosedur penerapan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Dengan menerapkan  prinsip akuntabilitas dan transparansi ini diharapkan tindak pidana pencucian  uang (money laundering) dapat dicegah terutama pada sektor keuangan.
B.  Perumusan Masalah
Setiap karya ilmiah selalu mengandung permasalahan yang merupakan  pokok-pokok pembahasan dalam bab-bab selanjutnya. Demikian juga dengan  penulisan skripsi pada kesempatan kali ini yang mencoba mengemukakan  beberapa hal yang menjadi permasalahan untul dibahas, yaitu sebagai berikut: 1.  Bagaimanakah praktik tindak pidana pencucian uang di Indonesia? 2.  Bagaimanakah keberadaan yayasan dalam sistem hukum Indonesia? 3.  Bagaimanakah penerapan prinsip  akuntabilitas  dan  transparansi  yayasan  dalam rangka mencegah praktik pencucian uang (money laundering)?
C.  Tujuan Dan Manfaat
Penulisan 1.  Tujuan penulisan Tujuan dalam pembahasan “Prinsip Akuntabilitas Dan Transparansi  Yayasan Dalam Rangka Mencegah Praktik Pencucian Uang (Money  Laundering)”ini, antara lain adalah:  14  a. Untuk mengetahui praktik tindak pidana pencucian uang di Indonesia.
b. Untuk mengetahui keberadaan yayasan dalam sistem hukum Indonesia.
c. Untuk mengetahui penerapan prinsip akuntabilitas dan transparansi  yayasan dalam rangka mencegah praktik pencucian uang (money  laundering).
2.  Manfaat penulisan Selain dari tujuan penelitian, melalui penulisan ini juga diharapkan  dapat memperoleh manfaat sebagai berikut, yaitu: a. Manfaat praktis 1)  Penulisan skripsi ini bertujuan untuk menelaah masalah penerapan  prinsip akuntabilitas dan transparansi terhadap suatu yayasan di  Indonesia saat ini, khsnya pasca pembentukan peraturan  perundang-undangan yang baru mengenai badan hukum yayasan yaitu  Undang-Undang Yayasan dan juga untuk menelaah masalah tindak  pidana pencucian uang (money laundering) di Indonesia, khsnya  pasca pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru  mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian  uang yaitu Undang-Undang  Nomor  8 Tahun 2010, serta melalui  penulisan ini diharapkan pada masyarakat agar dapat mengetahui serta  memahami perkembangan sebuah yayasan dalam menjalankan  kegiatan usahanya guna mewujudkan fungsi dan tujuan dari yayasan  itu sendiri yang antara lain adalah fungsi sosial, kemanusiaan, dan  keagamaan.
 15  2)  Selain  daripada itu, penulisan skripsi ini diharapkan dapat  memberikan sumbangsihnya kepada masyarakat yang berupa  pengetahuan melalui tulisan bagi perkembangan dan kemajuan  yayasan sebagai salah satu dari badan hukum di Indonesia.
b. Manfaat teoritis 1)  Tulisan ini bermanfaat sebagai referensi dan perbandingan untuk  memperkaya ilmu pengetahuan dalam lingkup hukum ekonomi,  khsnya dalam kegiatan usaha yayasan di Indonesia.
2)  Tulisan ini bermanfaat untuk melengkapi tugas sebagai persyaratan  menyelesaikan studi dan meraih  gelar kesarjanaan dalam program  Strata Satu (S-1).
D.  Keaslian Penulisan
Karya ilmiah yang berjudul “Prinsip Akuntabilitas Dan Transparansi  Yayasan Dalam Rangka Mencegah Praktik Pencucian Uang (Money  Laundering)”, ini benar-benar merupakan luapan dari hasil pemikiran secara  pribadi, bersifat asli, serta sesuai dengan asas-asas keilmuan yakni jujur, rasional,  objektif, dan terbuka. Tulisan ini dikarenakan adanya menaruh minat yang besar  terhadap masalah kegiatan usaha yang dijalankan oleh suatu yayasan dalam mewujudkan tujuan sosial, kemanusiaan, dan keagamaan, khsnya dalam hal  penerapan prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam kegiatan usaha yayasan  tersebut. Selanjutnya lahirlah ide dan gagasan untuk melakukan penelitian yang  berkaitan dengan hal tersebut dan mengangkat tulisan seperti apa yang tertuang   16  dalam skripsi ini. Kalaupun ditemukan pendapat atau kutipan dalam penulisan  inihanya sebagai faktor pendukung dan pelengkap saja yang memang sangat  dibutuhkan demi tercapainya kesempurnaan karya ilmiah ini.
E.  Tinjauan Kepustakaan
“Prinsip Akuntabilitas Dan Transparansi Yayasan Dalam Rangka  Mencegah Praktik Pencucian Uang (Money Laundering)”, adalah merupakan  judul tulisana yang dipilih dalam melengkapi syarat-syarat untuk menyelesaikan  studi Strata Satu (S-1) di Fakultas Hukum  ()  .
Tindak pidana pencucian uang (money laundering) mengandung beberapa  unsur, diantaranya: pelaku; perbuatan (transaksi keuangan atau financial) dengan  maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal l harta kekayaan dari  bentuknya yang tidak sah (ilegal) seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah  (legal); serta merupakan hasil tindak pidana.
Secara garis besar unsur pencucian uang terdiri dari: unsur objektif (actus  reus) dan unsur subjektif (mens rea). Unsur objektif dapat dilihat dengan adanya  kegiatan menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan,  menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negari,  menukarkan atau perbuatan lain atas harta kekayaan (yang diketahui atau patut  diduga berasal dari kejahatan). Sedangkan unsur subjektif dilihat dari perbuatan  seseorang yang dengan sengaja, mengetahui atau patut menduga bahwa harta   17  kekayaan berasal dari hasil kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan  atau menyamarkan harta tersebut.
Ketentuan yang ada dalam Undang-Undang TPPU terkait perumusan  tindak pidana pencucian uang menggunakan kata “setiap orang” yang dalam  Undang-Undang TPPU,  ditegaskan bahwa  setiap orang adalah orang  perseorangan atau korporasi.
 Sementara dalam Undang-Undang TPPU, dikatakan  bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi  baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
 Sementara itu, yang  dimaksud dengan transaksi menurut ketentuan dalam undang-undang ini adalah  seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan  timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih. Adapun transaksi  keuangan diartikan sebagai transaksi untuk melakukan atau menerima  penempatan, penyetoran, penarikan, pemindah bukuan, pentransferan,  pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan atau kegiatan lain yang  berhubungan dengan uang. Transaksi keuangan yang menjadi unsur tindak pidana  pencucian uang adalah transaksi keuangan yang mencurikan atau patut dicurigai  baik transaksi dalam bentuk tunai maupun melalui proses  pentransferan/memindahbukukan.
  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak  Pidana Pencucian Uang, Pasal 1 angka (9).
 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak  Pidana Pencucian Uang, Pasal 1 angka (10).
 Supriadi, “Tindak Pidana Pencucian Uang”,  http://www.negarahukum.com/hukum/1562.html.
 18  Dalam Undang-Undang TPPU, teridentifikasi beberapa tindakan yang  dapat dikualifikasi ke dalam bentuk tindak pidana pencucian uang, yakni tindakan  atau perbuatan yang dengan sengaja:  1.  Menempatkan harta kekayaan ke dalam penyedia jasa keuangan baik atas  nama sendiri atau atas nama orang lain, padahal diketahui atau patut diduga  bahwa harta tersebut diperoleh melalui tindak pidana.
2.  Mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan  hasil dari tindak pidana pencucian uang, dari suatu penyedia jasa keuangan ke  penyedia jasa keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama  orang lain.
3.  Membelanjakan atau menggunakan harta kekayaan yang diketahui atau patut  diduga merupakan harta yang diperoleh dari tindak pidana. Baik atas nama  dirinya sendiri atau atas nama pihak lain.
4.  Menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahui atau  patut diduga merupakan harta yang diperoleh dari hasil tindak pidana, baik  atas namanya sendiri ataupun atas nama pihak lain.
5.  Menitipkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta  yang diperoleh berdasarkan tindak pidana, baik atas namanaya sendiri atau  atas nama pihak lain.
6.  Membawa ke luar negeri harta yang diketahui atau patut diduga merupakan  harta yang diproleh dari tindak pidana.
 Lihat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan  Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 3.
 19  7.  Menukarkan atau perbuatan lainnya terhadap harta kekayaan yang diketahui  atau patut diduga merupakan harta hasil tindak pidana dengan mata uang atau  surat berharga lainnya, dengan tujuan untuk menyembunyikan/menyamarkan  asal l harta kekayaan tersebut.
Tindak pidana pencucian uang (money laundering) tersebut dapat terjadi  setelah dilakukakannya kejahatan awal atau asal (predicate offence), misalnya  korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja,  penyelundupan migran, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme,  penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, dan perjudian.
Setelah itu, proses pencucian uang tersebut terjadi ketika uang tersebut  dipergunakan untuk kepentingan sendiri atau bersama yang dapat dilakukan  melalui bidang perbankan, pasar modal, asuransi, yayasan, ataupun untuk  melakukan kejahatan kembali, misalnya di bidang narkotika ataupun kejahatan  lainnya.
Yayasan sebagai suatu bentuk organisasi yang bergerak di sektor publik  diwajibkan untuk menerapkan pendekatan akuntabilitas dan transparansi yang  digunakan dalam perusahaan. Hal ini dikarenakan dibentuknya suatu undangundang yang mengatur tentang yayasan adalah untuk menciptakan akuntabilitas  dan transparansi yang lebih baik dalam tubuh sebuah yayasan serta agar tidak  terjadinya tindak pidana pencucian uang dalam yayasan tersebut.
Di masa lalu praktik akuntabilitas dan transparansi dalam kegiatan usaha  yang dijalankan oleh suatu yayasan dinilai masih sangat lemah. Fakta  menunjukkan bahwa kecenderungan masyarakat mendirikan yayasan adalah   20  dengan maksud untuk berlindung di balik status badan hukum yayasan demi  memperkaya diri dengan mengenyampingkan tujuan utama yakni sebagai wadah  untuk mengembangkan kegiatan sosial, kemanusiaan, dan keagamaan.
Kecenderungan tersebut menimbulkan berbagai masalah, baik masalah yang  berkaitan dengan kegiatan yayasan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan  yang tercantum di dalam anggaran dasar maupun sengketa antara pengurus  dengan pendiri atau pihak lain.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Yayasan, berarti penerapan  prinsip akuntabilitas dan transparansi yayasan dapat dilaksanakan sesuai dengan  ketentuannya tersebut dan dengan diberlakukannya Undang-Undang  TPPU,  dimaksudkan agar tidak terjadinya praktik tindak pidana pencucian (money  laundering) dalam segala bidang khsnya dalam yayasan tersebut.
F.  Metode Penelitian
1.  Tipe penelitian Tipe  penelitian dalam penulisan skripsi ini, yaitu merupakan tipe  penelitian kualitatif dengan menggunakan metode penelitian kepusatakaan  (library research).  Dengan Library Research  ini dimaksudkan untuk  memperoleh  data-data  yang bersifat teoritis ilmiah yang dipergunakan  sebagai dasar dalam penelitian dan analisa terhadap masalah-masalah yang  timbul.
2.  Pendekatan penelitian Pendekatan penelitian dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan  metode pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis  terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta  mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan  perundang-undangan. Penelitian dilakukan dengan menekankan pada data  kepustakaan dan data dikumpulkan dengan studi dokumen kepustakaan.
3.  Bahan penelitian Bahan yang digunakan dalam skripsi ini adalah data  sekunder. Data sekunder yang dimaksud adalah sebagai berikut:  a. Datahukum primer, antara lain: 1)  Norma atau kaedah dasar.
2)  Peraturan dasar.
3)  Peraturan perundang-undangan yang terkait.
b.  Data hukum sekunder berupa buku yang berkaitan dengan judul skripsi,  artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan sebagainya.
c.  Data hukum tersier yang mencakup data yang memberi petunjuk-petunjuk  dan penjelasan terhadap data hukum primer dan data hukum sekunder,  seperti: kamus umum, kamus hukum, majalah, jurnal ilmiah serta datadata diluar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk  melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.
 Amirrudin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,  2000), hal. 118-119.
 22  4.  Alat penelitian Dalam penulisan skripsi ini, karena metode yang digunakan dalam  mengumpulkan data adalah metode penelitian kepusatakaan (library  research), maka alat yang  dipergunakan dalam  penelitian tersebut adalah  dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti perundangundangan, buku-buku, majalah dan internet yang dinilai relevan dengan  permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.
5.  Analisis penelitian Analisis data yakni dengan analisis secara kualitatif. Data sekunder  yang diperoleh dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan  dalam skripsi ini. Analisis data dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Mengumpulkan data-data  hukum yang relevan dengan permasalahan  yang diteliti.
b.  Memilih kaidah-kaidah hukum yang sesuai dengan penelitian.
c. Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep pasal yang ada d.  Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif kualitatif.
G.  Sistematika Penulisan Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan  kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan memperoleh  manfaatnya. Secara garis besar skripsi ini terbagi atas 5 (lima) bab dan masingmasing bab terdiri dari beberapa sub-sub guna mempermudah dan memperjelas   23  uraiannya. Keseluruhan sistematika ini berupa satu kesatuan yang berhubungan  antara satu dengan yang lain dan dapat dilihat sebagai berikut:  BAB I  PENDAHULUAN Merupakan bab awal yang menguraikan tentang hal-hal yang  bersifat umum, dimulai dari latar belakang, perumusan masalah,  tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode  penelitian, dan sistematika penulisan. Di dalam bab ini diuraikan  hal-hal yang melatarbelakangi ketertarikan untuk mengambil judul  yang dibahas dan selanjutnya dijadikan permasalahan.
BAB II  TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Dalam bab ini menjelaskan tentang pengertian tentang tindak  pidana pencucian uang, mekanisme tindak pidana pencucian uang,  pengaturan tindak pidana pencucian uang menurut UndangUndang Nomor  8 Tahun 2010  Tentang Pencegahan dan  Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dan praktik tindak  pidana pencucian uang di Indonesia.
BAB III  KEBERADAAN YAYASAN DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA Pada bab ini dibahas mengenai pengertian tentang yayasan,  keberadaan yayasan dalam sistem hukum Indonesia, dan  pengaturan yayasan menurut Undang-Undang Nomor  16 Tahun  2001 jo. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004.
 24  BAB IV  PENERAPAN  PRINSIP  AKUNTABILITAS DAN  TRANSPARANSI YAYASAN DALAM RANGKA MENCEGAH  PRAKTIK PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)  Di dalam bab ini berisi tentang pengertian prinsip akuntabilitas,  pengertian prinsip transparansi, dan penerapan prinsip akuntabilitas  dan transparansi yayasan dikaitkan dengan pencegahan praktik  pencucian uang.
BAB V  PENUTUP Bab ini merupakan akhir dari tulisan yang memuat tentang  kesimpulan dan satan-saran yang dikemukakan sesuai dengan apa  yang dibahas dan analisa pada bab-bab sebelumnya.


   Download lengkap Versi Word