PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah hak asasi manusia merupakan isu internasional dan
menjadi bahan perbincangan yang sangat
menonjol. Hal ini memerlukan perhatian yang bersungguh-sungguh, karena sangat berpengaruh dalam kehidupan internasional dan
nasional suatu negara.
Hak asasi manusia adalah hak
dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan.
Hak asasi dapat dirumuskan
sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita
dapat hidup sebagai manusia. Hak ini dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia manusia, bukan
karena pemberian masyarakat atau pemberian negara. Maka hak asasi manusia itu tidak
tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau negara lain. Hak asasi diperoleh
manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat
diabaikan.
Pengertian yang diberikan
mengenai hak asasi oleh Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman yaitu: “Hak-hak mendasar dimiliki manusia yang
diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran dan kehadirannya dalam kehidupan
bermasyarakat”.
Suatu kenyataan yang tidak dapat
dibantah oleh siapapun bahwa setiap manusia yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sejak
lahir dan hadir dalam kehidupan bermasyarakat, memiliki hak-hak asasi. Hak-hak asasi itu
merupakan hak-hak dasar yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau
kehadirannya di permukaan bumi. Hak asasi manusia itu berlaku tanpa adanya perbedaan
atas dasar keyakinan agama atau kepercayaan, suku bangsa, ras dan jenis kelamin dan status
sosial. Karena itu hak-hak asasi manusia itu mempunyai sifat-sifat suci, luhur dan universal.
Kesadaran akan hak asasi manusia,
harga diri, harkat dan martabat kemanusiaannya, diawali sejak manusia ada di muka bumi. Hal
itu disebabkan oleh hak – hak kemanusiaan yang sudah ada sejak manusia itu dilahirkan dan
merupakan hak kodrati yang melekat pada diri manusia. Berbagai peristiwa besar yang terjadi
di dunia ini sebagai suatu usaha untuk menegakkan
hak asasi manusia.
Sejarah manusia telah mencatat
bahwa penindasan, pemerkosaan dan pelanggaran hukum atas hak-haki asasi manusia yang dilakukan
oleh siapapun ia akan menimbulkan akibat perlawanan dari berbagai pihak. Pengorbanan
jiwa raga dari mereka yang tertindas membuat harkat dan martabat manusia itu menjadi
kehilangan arti dan makna dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Oleh karena itu setiap tindakan
yang menindas dan memperkosa harkat dan martabat
manusia itu perlu mendapat perhatian dan penanganan secara serius.
Hak asasi manusia (human rights
yang secara universal dapat diartikan sebagai those rights which reinherent in our name and
without wicht we can’t live as human being) oleh masyarakat di dunia perumusan dan pengakuannya
telah diperjuangkan dalam kurun waktu yang sangat panjang bahkan sampai saat ini hal
tersebut masih berlangsung dengan berbagai dimensi permasalahan yang muncul karena berbagai
spectrum penafsiran yang terkait didalamnya. Hal ini dibuktikan bahwa diseluruh penjuru di
dunia terus berlangsung berbagai perubahan social, pergolakan, kekacauan peperangan maupun
kelaparan. Bencana alampun turut mewarnai proses terjadinya musibah kemanusiaan.
Pengalaman getir dan pahit dari
umat manusia sejak perang dunia yang dua kali telah terjadi dimana harkat dan martabat hak-hak
asasi manusia terinjak-injak, timbul kesadaran umat manusia dalam menempatkan penghormatan dan
penghargaan akan hak-hak asasi manusia dalam
piagam PBB (The Charter United Nations) yang sebagai realisasinya muncul
kemudian pernyataan bangsa-bangsa di
dunia tentang hak-hak asasi manusia (The Universal Declarations of Human Rights) yang diterima secara aklamasi
pada tanggal 10 Desember 1948 oleh sidang Umum Majelis Umum PBB.
Akan tetapi, walaupun telah
dicanangkan The Universal Declarations of Human Rights masih saja terjadi
pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia salah satunya adalah penderitaan hak-hak asasi manusia yang dialami oleh warga
sipil Palestina yang merupakan hasil dari serangan tentara Israel, hal ini semakin
kompleks karena mereka harus berjuang mempertahankan
diri dari ancaman tentara-tentara yang menyerang sehingga menyiksa mereka dan memaksa mereka untuk tetap bertahan dengan
tidak meninggalkan negaranya.
Konflik Palestina – Israel
menurut sejarah sudah 44 tahun ketika pada tahun 1967 Israel menyerang Mesir, Yordania dan Syria dan
berhasil merebut Sinai dan Jalur Gaza (Mesir), dataran tinggi Golan (Syria), Tepi Barat dan Yerussalem (Yordania). Sebelumnya Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour tahun 1917 yang
menjanjikan sebuah negara bangsa Yahudi di Palestina, dengan menghormati hak-hak umat
non-Yahudi di Palestina.
Konflik Israel-Palestina seringkali dipahami
sebagai konflik Yahudi-Islam dan hal ini berhasil mensugesti hampir seluruh dunia Islam
untuk membenci Yahudi. Sikap anti-pati terhadap
Yahudi di kalangan mayoritas Islam bahkan telah ditanamkan demikian mengakar mulai dari lingkungan keluarga hingga
institusi pendidikan Islam. Hingga terjadi konflik IsraelPalestina yang dalam
banyak hal dipandang sebagai konflik Yahudi-Islam, analisis tentang Sampai sekarang perdamaian sepertinya jauh dari harapan,
ditambah lagi terjadi ketidaksepakatan tentang masa depan Palestina dan hubungannya dengan Israel
di antara faksi-faksi di Palestina sendiri hingga jutaan dari mereka terpaksa
mengungsi ke Libanon, Yordania, Syria, Mesir dan lain-lain.
Jimmy Carter, We Can Have Peace In The Holy
Land, PT Dian Rakyat, Jakarta, 2010, hal 3.
masalah politik sebagai pemicu
konflik juga banyak digulirkan berbagai pihak. Konflik ini misalnya, merupakan konflik yang dipicu oleh
klaim hak atas tanah Palestina dari kedua pihak yang bertikai.
Pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan
oleh Israel kepada warga sipil Palestina semakin kerap terjadi seperti peristiwa
terbunuhnya 30 warga sipil Palestina di sebuah rumah di Gaza Tengah, yang menjadi sasaran penembakan
Israel dan kebijakan Israel yang sengaja mengabaikan anak-anak dan membuat kelaparan
anak-anak yang ibunya tewas akibat serangan yang mereka lakukan.
Seperti ditulis Trias Kuncahyono,
Israel selalu mengatakan posisi legal internasional mereka atas Jerusalem berasal dari mandat
Palestina (Palestine Mandate, 24 Juli 1922). Di pihak lain, Palestina juga menyatakan Jerusalem (al
Quds) akan menjadi ibu kota negara Palestina Merdeka di masa mendatang atas dasar klaim
pada agama, sejarah dan jumlah penduduk di kota itu. Pertikaian kedua belah pihak pada
akhirnya sulit dihindari, sebab klaim hak atas tanah Palestina bukan sekedar menyangkut latar
belakang sejarah dan wilyah politik, melainkan masalah simbol spiritualitas besar bagi kedua
pihak.
Contoh-contoh di atas hanya segelintir bentuk
pelanggaran atas hak asasi manusia yang dilakukan
oleh Israel. Dalam melaksanakan perang, Israel tidak mematuhi batasan-batasan
yang telah diatur dalam hukum humaniter.
Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak memberikan sanksi apapun terhadap pelanggaran ini berdasarkan
Hukum Humaniter Internasional yang terjadi pada Contoh yang lain 30 warga sipil Palestina yang
tewas dibunuh ketika tentara Israel
menembaki sebuah bangunan tempat berlindungnya 110 warga sipil Palestina di wilayah permukiman Zeitoun di Gaza Tengah.
Trias Kuncahyono , Jerusalem: Kesucian,
Konflik, dan Pengadilan Akhir, Jakarta,
2008 hal. 256- www.kompas.com,
Selasa, 13 Januari 2009 ” Israel Melakukan Pelanggaran HAM” diakses pada
tanggal 19 Januari 2011.
Perang Palestina dan Israel,
tidak ada embargo ekonomi hanya kecaman maupun keprihatinan yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pada akhir tahun 2010 dunia
dikejutkan dengan insiden penyerangan militer Israel terhadap konvoi bantuan kemanusiaan
internasional untuk masyarakat Gaza, Palestina. Israel menuduh Konvoi enam kapal kapal yang
mengangkut relawan di antaranya dari Amerika Serikat, Turki, Inggris, Prancis, Irlandia,
Indonesia, dan Malaysia tersebut telah melanggar batas wilayah perairan yang sebelumnya sudah
diblokir Israel. Padahal, kapal-kapal itu berlayar sekira 65 kilometer di luar Pantai Gaza atau di
perairan internasional saat diserang pada subuh 31 Mei waktu Israel. Sebuah gambar yang diperoleh
dari atas kapal Mavi Marmara memperlihatkan pasukan Israel memasuki kapal dari helikopter,
sementara kapal-kapal marimir kecil menembaki ke sisi Mavi Marmara.
Akibat dari penyerangan ini,
sembilan relawan meninggal dunia dan dunia sekali lagi tidak dapat berbuat banyak mengenai aksi
Israel ini. Terbukti tidak ada resolusi yang berarti dapat menghukum Israel. Sedangkan pemblokiran
yang terjadi Perbatasan Gaza masih terus berlangsung, meskipun beberapa barang tertentu
sudah diperbolehkan masuk ke dalam wilayah Gaza.
Semakin panasnya situasi di Timur
Tengah yang sampai saat ini masih berlangsung sepertinya belum ada titik terang untuk
menghentikan perang antara kedua belah pihak, baik Palestina maupun Israel. Namun demikian dunia
internasional perlu melakukan upaya-upaya semaksimal mungkin untuk tetap menegakkan hak
asasi manusia di tengah terjadinya konflik bersenjata tersebut.
B. Perumusan
Masalah
Permasalahan adalah pernyataan yang menunjukkan adanya
jarak antara rencana dan pelaksanaan,
antara harapan dan kenyataan, juga antara das sollen dan das sein.
1.
Bagaimanakah hubungan antara hak asasi manusia dan perang ? Dari latar
belakang yang diuraikan diatas, maka tulisan ini bermaksud untuk membahas permasalahan sebagai berikut : 2. Bagaimanakah pengaturan mengenai perlindungan
warga sipil pada saat perang dalam hukum
internasional ? 3. Bagaimanakah
bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Israel kepada penduduk sipil Palestina ?
C. Tujuan dan Manfaat
Penulisan Adapun tujuan yang
hendak dicapai dengan dilakukannya penulisan ini adalah : 1. Untuk mengetahui hubungan antara hak asasi
manusia dengan perang.
2. Untuk mengetahui pengaturan atas perlindungan
warga sipil pada saat perang dalam hukum
internasional.
3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran
hak asasi manusia yang dilakukan Israel
kepada penduduk sipil Palestina dan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh dunia internasional untuk menegakkan hak asasi
manusia dalam konflik Israel Palestina.
Adapun manfaat dari penulisan ini
terdiri dari dua hal, yaitu : 1. Manfaat
Teoritis Memberikan sumbangan akademis bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya, dan hukum internasional pada
khususnya. Selain itu, penulisan skripsi ini Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi
Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal 21.
diharap dapat memberikan gambaran
atas bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang dialami warga sipil Palestina dan
bagaimana upaya dunia internasional untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi
manusia warga sipil Palestina dengan mengacu
pada pengaturan dalam hukum internasional .
2. Manfaat Praktis Penulisan ini bermanfaat
untuk menjadi suatu bahan referensi pada perpustakaan Fakultas Hukum secara khusus dan pembaca pada umumnya serta dapat dijadikan kajian bagi para pihak
akademisi dalam menambah pengetahuan terutama
di bidang hukum internasional.
D. Keaslian Penulisan
Skripsi ini berjudul “Pelanggaran
Hak Asasi Manusia oleh Israel Terhadap Warga Sipil Palestina ditinjau dari Hukum Internasional”.
Sebagai suatu karya tulis ilmiah yang dibuat untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana, maka
skripsi haruslah ditulis berdasarkan buah pikiran yang benar-benar asli tanpa meniru
karya orang lain. Judul yang penulis pilih telah diperiksa dalam arsip bagian Hukum
Internasional dan judul tersebut dinyatakan tidak ada yang sama dan telah disetujui oleh Ketua Departemen
Hukum Internasional.
E. Tinjauan Pustaka
Dewasa ini masalah hak asasi
manusia telah menjadi isu yang mendunia disamping demokrasi dan masalah lingkungan hidup, bahkan
telah menjadi tuntutan yang sangat perlu perhatian serius bagi negara untuk
menghormati, melindungi, membela dan menjamin hak asasi warga negaranya tanpa diskriminasi.
Koesparmono Irsan, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yayasan Brata Bhakti,
Jakarta, 2009 , hal 1.
Ide tentang hak asasi yang
berlaku saat ini merupakan senyawa yang dimasak di kancah Perang Dunia II. Pembunuhan dan kerusakan yang
ditimbulkan Perang Dunia II menggugah suatu
kebulatan tekad untuk melakukan sesuatu guna mencegah perang, untuk membangun sebuah organisasi internasional yang sanggup
meredakan krisis internasional serta menyediakan suatu forum untuk diskusi dan mediasi,
organisasi ini adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Para pendiri PBB yakin bahwa pengurangan
kemungkinan perang mensyaratkan adanya pencegahan
atas pelanggaran besar-besaran terhadap hak asasi manusia. Akibat keyakinan
ini, konsepsi PBB yang paling awalpun
bahkan sudah memasukkan peranan pengembangan hak asasi manusia dan kebebasan. Naskah awal
Piagam PBB ( 1942 dan 1943) memuat ketentuan tentang hak asasi manusia yang harus dianut
oleh negara manapun yang bergabung dalam organisasi tersebut, namun sejumlah kesulitan
muncul dengan pemberlakuan ketentuan semacam itu. Oleh karena banyak negara mencemaskan
prospek kedaulatan mereka, negara-negara tersebut bersedia untuk mengembangkan hak
asasi manusia namun tidak bersedia untuk melindungi hak itu.
Akhirnya diputuskan untuk memasukkan sedikit
saja acuan tentang hak asasi manusia dalam
Piagam PBB.
James W. Nickel, Hak Asasi Manusia , PT. Gramedi Pustaka Utama, Jakarta,
1996, hal 1.
Ibid., hal 2.
Ibid.
Piagam itu sendiri menegaskan
kembali keyakinan atas hak asasi manusia yang mendasar, akan martabat dan harkat
manusia, akan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan serta antara negara besar dan negara
kecil. Komisi Hak Asasi Manusia mempersiapkan
sebuah pernyataan internasional tentang hak asasi manusia yang disetujui oleh Majelis Umum pada tanggal 10 Desember 1948
yang kemudian menjadi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Hak asasi manusia, sebagaimana
yang dipahami dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia yang muncul pada abad kedua puluh
seperti Deklarasi Universal, mempunyai sejumlah ciri menonjol. Pertama, supaya kita tidak kehilangan gagasan yang sudah tegas,
hak asasi manusia adalah hak.
Kelima, hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban
bagi individu maupun pemerintah.
Adanya kewajiban ini, sebagaimana
halnya hak-hak yang berkaitan dengannya dianggap tidak bergantung pada penerimaan, pengakuan atau
penerapan terhadapnya. Pemerintah dan orangorang yang berada di mana pun
diwajibkan untuk tidak melanggar hak seseorang, kendati pemerintah dari orang tersebut mungkin
sekaligus memiliki tanggung jawab utama untuk mengambil langkah-langkah positif guna
melindungi dan menegakkan hak-hak orang itu.
Kedua, hak-hak ini dianggap
bersifat universal, yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia adalah manusia. Ketiga,
hak asasi manusia dianggap ada dengan sendirinya,
dan tidak bergantung pada pengakuan dan penerapannya di dalam sistem adat atau sistem hukum di negara-negara tertentu.
Keempat, hak asasi manusia dipandang sebagai normanorma yang penting. Meski tidak
seluruhnya bersifat mutlak dan tanpa pengecualian, hak asasi manusia cukup kuat kedudukannya sebagai
pertimbangan normatif untuk diberlakukan di dalam benturan dengan norma-norma yang bertentangan,
dan untuk membenarkan aksi internasional yang dilakukan demi hak asasi manusia.
Istilah kejahatan serius terhadap hak asasi
manusia biasanya ditujukan terhadap kejahatan genosida, kejahatan perang dan kejahatan
terhadap kemanusiaan. Ketiga jenis kejahatan tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang
berat. Dalam konteks hukum nasional Ibid.,
hal 4.
Ibid., hal 5.
Indonesia, kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan disebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Kejahatan
tersebut dikualifikasikan sebagai delicta jure gentium dan merupakan pengingkaran terhadap jus
cogens.
Dalam konteks hukum pidana internasional tidak
terdapat satu pun defenisi atau pengertian
yang baku mengenai apa yang dimaksud dengan kejahatan serius terhadap hak asasi
manusia atau pelanggaran hak asasi
manusia yang berat. Akan tetapi dalam sejarah perkembangan hukum pidana internasional bila
dilihat dari jenis kejahatan internasional, maka eksistensi kejahatan yang berkaitan dengan
perlindungan dan penegakan hak asasi manusia berasal dari sejarah perkembangan konvensi
mengenai hak asasi manusia. Selain itu, masih ada jenis kejahatan internasional yang
eksistensinya berasal dari kebiasaan yang berkembang di dalam praktik hukum kebiasaan internaisonal
dan kejahatan internasional yang eksistensinya berasal dari konvensi-konvensi internasional.
Kendatipun tidak ada defenisi yang baku
mengenai apa yang dimaksud dengan pelanggaran
hak asasi manusia yang berat, namun oleh Bassiouni dikualifikasikan sebagai international crime yang meliputi kejahatan
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Kejahatan-kejahatan ini
merupakan inhumane act yang secara universal diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia.
Dalam penulisan ini, penulis memfokuskan
pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga
sipil yang terjadi selama konflik bersenjata antara Israel dan Palestina. Warga
sipil adalah Istilah jure gentium
diterjemahkan sebagai law of nations atau hukum bangsa-bangsa. Istilah tersebut
berasal dari hukum Romawi yang berlaku
bagi seluruh penduduk Romawi termasuk daerah-daerah yang menjadi kekuasaan Romawi.
Jus Cogens adalah hukum pemaksa yang harus
ditaati oleh bangsa-bangsa beradab di dunia sebagai prinsip dasar yang umum dalam hukum
internasional yang berkaitan dengan moral.
Eddy O.S Hiariej, Pengadilan atas Beberapa
Kejahatan Serius Terhadap HAM, Erlangga, Jakarta, 2010, hal.
Ibid., hal 6
seseorang yang bukan merupakan
anggota militer. Menurut Konvensi Jenewa 1949, merupakan sebuah kejahatan perang untuk menyerang
seorang warga sipil yang tidak sedang melakukan penyerangan secara sengaja.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, perang diartikan
sebagai permusuhan antara dua negara
atau pertempuran antara dua pasukan.
G.P.H. Djatikoesomo mendefinisikan perang sebagai sengketa dengan
menggunakan kekerasan yang sering berbentuk kekuatan bersenjata.
Dalam hal hukum perang atau hukum sengketa
bersenjata, kemudian dikenal dengan istilah
hukum humaniter internasional, Djatikoesomo memberi defenisi hukum perang
sebagai aturan-aturan dari hukum
bangsa-bangsa mengenai perang. Pengertian lain hukum perang atau hukum sengketa bersenjata adalah bagian dari
hukum internasional yang mengatur hubungan antara negara selama terjadinya sengketa untuk
mengurangi sebanyak mungkin penderitaan, dan kerusakan akibat perang dengan memberikan
kewajiban kepada setiap orang dalam negara namun tidak dimaksudkan untuk menghambat
efisiensi militer.
Berdasarkan pengertian di atas,
perang pada dasarnya adalah sengketa yang
biasa menggunakan kekuatan bersenjata antara dua negara atau antara para pihak
dalam satu negara.
Starke menyatakan hukum perang terdiri dari
sekumpulan pembatasan oleh hukum internasional
yang mana kekuatannya diperlukan untuk mengalahkan musuh boleh digunakan dan prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan
terhadap individu-individu pada saat berlangsung perang dan konflik-konflik bersenjata.
http://id.wikipedia.org/wiki/Warga_sipil, diakses pada tanggal 17
Januari 2010.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1990, hal 668.
Eddy O.S Hiariej, Op. Cit., hal 25.
Ibid.,hal 25.
Ibid.,hal 26.
Konferensi Den Haag 1907
menghasilkan 13 konvensi dan satu deklarasi, sedangkan Konvensi Jenewa yang juga disebut Konvensi
Palang Merah terdiri dari empat buku, yaitu : 1. Konvensi Jenewa 1949 tentang perbaikan keadaan
anggota angkatan perang yang luka dan
sakit di medan pertempuran darat.
2. Konvensi Jenewa 1949 mengenai perbaikan
keadaan anggota angkatan perang di laut yang
luka, sakit, dan korban karam.
3. Konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan
orang-orang sipil di waktu perang.
Selain Konvensi Jenewa 1949 juga
terdapat Protokol Tambahan 1977 yang mengatur konflik bersenjata internasional atau konflik
bersenjata antar negara dan mengatur konflik
bersenjata yang bersifat noninternasional. Protokol Tambahan ini memuat beberapa hal penting seperti pengertian
kombat, penduduk sipil, sasaran sipil, dan sasaran militer. Pengertian mengenai tentara
bayaran, perang pembebasan nasional dan
tugas komandan.
Hal utama dalam hukum humaniter
adalah hak korban untuk mendapat pertolongan dan ganti kerugian bila terjadi pelanggaran. Oleh
karena itu, tujuan umum hukum humaniter adalah sama dengan tujuan hukum hak asasi manusia,
yaitu untuk memastikan perlindungan bagi orang dalam situasi konflik bersenjata dan dalam
keadaan tertentu bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh.
Dalam hukum humaniter dikenal asas pembedaan,
yaitu prinsip yang membedakan penduduk
suatu negara yang sedang berperang dalam dua golongan, yaitu kombatan dan penduduk sipil. Berkaitan dengan pembedaan
ini, jika seorang kombatan tertangkap oleh musuh maka akan diperlakukan sebagai tawanan perang.
Selain itu, yang perlu diperhatikan dalam Ibid.,hal 29.
hnukum humaniter adalah principles
of humanitarian law, yakni military necessity, humanity dan chivalry.
Istilah kejahatan perang biasanya menunjuk
pada tindakan-tindakan yang melanggar hukum
dan kebiasaan perang.
Dalam kaitannya dengan hak asasi
manusia, pada hakikatnya hukum humaniter dan hak asasi manusia memiliki tujuan yang
sama, yaitu memberikan jaminan perlindungan terhadap manusia.
1.
Pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa berupa perbuatan yang
ditujukan terhadap orang dan/atau benda
yang dilindungi oleh konvensi.
Akan tetapi, tidak semua
pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan
perang merupakan kejahatan perang.
Pengaturan tentang kejahatan perang diatur dalam Pasal 8 Statuta Mahkamah Internasional.
Secara garis besar, perbuatan-perbuatan yang dikualifikasikan sebagai kejahatan perang
dibagi menjadi empat kelompok : 2.
Pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan konflik
bersenjata.
3. Pelanggaran terhadap Article 3 common to the
four Geneva Conventions of 1 dalam hal noninternational armed conflict.
4. Pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan
kebiasaan yang berlaku dalam noninternational
armed conflict.
F. Metode Penelitian Metode penelitian adalah
suatu cara atau usaha bersifat sistematis dan objektif untuk memperoleh keterangan yang diteliti.
Sebagaimana suatu tulisan yang bersifat ilmiah dan untuk Military necessity atau asas kepentingan
militer, yaitu pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi
tercapainya tujuan dan keberhasilan perang. Humanity atau asas kemanusiaan yakni pihak yang bersengketa
diharuskan untuk memperhatikan kemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk melakukan kekerasan yang berlebihan
sehingga mengakibatkan penderitaan. Chivalry atau asas kesatriaan, bahwa dalam perang, kejujuran harus
diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai macam tipu daya dilarang digunakan.
Eddy O.S Hiariej, Op. Cit., hal 31.
mendapatkan data yang relevan
dengan tujuan penulisannya maka penulis berusaha semaksimal mungkin untuk mengumpulkan bahan-bahan untuk
skripsi ini.
1. Jenis Penelitian Adapun jenis dari penelitian ini adalah dengan
menggunakan metode penelitian hukum normatif
(legal research), yakni mengacu pada berbagai norma hukum, dalam hal ini adalah
hukum internasional yang terdapat pada
berbagai sumber dan perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia serta
pengaturan mengenai hukum perang dalam kaitannya
untuk menegakkan hak asasi manusia pada masa perang.
2. Teknik Pengumpulan Data Dalam bentuk umum
dikenal ada dua teknik pengumpulan data yaitu : 1) Library Research (Studi Kepustakaan) Yaitu
pengumpulan data-data melalui bahan buku, karangan ilmiah, media massa, majalah ditambah dengan media elektronik yaitu
televisi yang berhubungan dengan judul skripsi
ini.
2) Field Research (Studi Lapangan) Yaitu melakukan penelitian
ilmiah melalui wawancara, observasi dan lain-lain.
Dalam hal ini penulis
mengumpulkan data melalui metode library research (studi kepustakaan).
3. Sumber Data Penelitian Sumber data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah data-data sekunder yang terdiri dari: a.
Bahan Hukum Primer Yaitu
produk-produk hukum berupa konvensi-konvensi internasional seperti Konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan warga sipil
di waktu perang , Protokol Tambahan tahun
1977, The Universal Declarations of Human Rights tahun 1948,Statuta Roma 1998, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia.
b. Bahan Hukum Sekunder Yaitu bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku tentang hak asasi manusia,
kejahatan-kejahatan internasional, buku-buku yang membahas situasi perang di Palestina,
jurnal-jurnal, majalah, surat kabar, serta media internet seperti www.google.com,
www.legalitas.org, www.wikipedia.com.
c. Bahan Hukum Tersier Yaitu bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum sekunder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia.
4. Analisis Data Data yang diperoleh dari
penelusuran kepustakaan dan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.
G. Sistematika Penulisan Untuk
memudahkan pemahaman serta pembahasan di dalam skripsi ini maka penulis menggunakan sistematika penulisan skripsi
sebagai berikut : BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang
menguraikan tentang alasan pemilihan
judul, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dengan memberikan gambaran
dan ulasan secara umum.
BAB II : Pada bab II akan diuraikan mengenai
pandangan umum mengenai hak-hak asasi manusia
antara lain sejarah dan perkembangan hak asasi manusia, hak asasi manusia menurut hukum internasional, tujuan
pengaturan hak asasi manusia serta
hubungan ham asasi manusia dengan perang.
BAB III : Bab III merupakan pembahasan atau uraian
mengenai pengaturan perlindungan warga
sipil dalam Konvensi Wina 1949 tentang Perlindungan Korban Perang, pengaturan tentang kejahatan perang dalam
Statuta Roma 1998. Selain itu dalam bab
ini dibahas mengenai prinsip pembedaan dalam hukum humaniter yang membedakan antara status dan perlakuan
kombatan dan non kombatan.
BAB IV : Tinjauan serta cara penyelesaiaanya dibahas
dalam bab IV, yang membahas antara lain
mengenai sejarah singkat kronologis terjadinya perang antara Israel dan Palestina, bentuk-bentuk pelanggaran hak
asasi manusia yang dilakukan Israel
terhadap warga sipil Palestina, dampak perang Israel dan Palestina bagi pelanggaran hak asasi manusia, serta
upaya-upaya dunia internasional dalam menegakkan
hak asasi manusia di Palestina.
BAB V : Pada bab ini merupakan bab terakhir, dimana
pada bagian kesimpulan akan dipaparkan
jawaban-jawaban dari permasalahan di dalam penulisan ini. Pada bagian saran, penulis akan memaparkan gagasan
yang dimiliki penulis berdasarkan dari
fakta-fakta yang telah dikemukakan penulis pada bab-bab sebelumnya.
Download lengkap Versi Word