SKRIPSI HUKUM: PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA OLEH ISRAEL TERHADAP WARGA SIPIL PALESTINA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL


PENDAHULUAN
A.               Latar Belakang
Masalah hak asasi manusia merupakan isu internasional dan menjadi bahan perbincangan  yang sangat menonjol. Hal ini memerlukan perhatian yang bersungguh-sungguh, karena sangat  berpengaruh dalam kehidupan internasional dan nasional suatu negara.
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan.
Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang  bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat hidup sebagai manusia. Hak ini dimiliki oleh  manusia semata-mata karena ia manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian  negara. Maka hak asasi manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat  lain, atau negara lain. Hak asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha  Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan.
Pengertian yang diberikan mengenai hak asasi oleh Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman  yaitu: “Hak-hak mendasar dimiliki manusia yang diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan  kelahiran dan kehadirannya dalam kehidupan bermasyarakat”.

Suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah oleh siapapun bahwa setiap manusia yang  diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sejak lahir dan hadir dalam kehidupan bermasyarakat,  memiliki hak-hak asasi. Hak-hak asasi itu merupakan hak-hak dasar yang telah diperoleh dan  dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di permukaan bumi. Hak asasi  manusia itu berlaku tanpa adanya perbedaan atas dasar keyakinan agama atau kepercayaan, suku  bangsa, ras dan jenis kelamin dan status sosial. Karena itu hak-hak asasi manusia itu mempunyai  sifat-sifat suci, luhur dan universal.
Kesadaran akan hak asasi manusia, harga diri, harkat dan martabat kemanusiaannya,  diawali sejak manusia ada di muka bumi. Hal itu disebabkan oleh hak – hak kemanusiaan yang  sudah ada sejak manusia itu dilahirkan dan merupakan hak kodrati yang melekat pada diri  manusia. Berbagai peristiwa besar yang terjadi di dunia ini sebagai suatu usaha untuk  menegakkan hak asasi manusia.
Sejarah manusia telah mencatat bahwa penindasan, pemerkosaan dan pelanggaran hukum  atas hak-haki asasi manusia yang dilakukan oleh siapapun ia akan menimbulkan akibat  perlawanan dari berbagai pihak. Pengorbanan jiwa raga dari mereka yang tertindas membuat  harkat dan martabat manusia itu menjadi kehilangan arti dan makna dalam kehidupan bernegara  dan berbangsa. Oleh karena itu setiap tindakan yang menindas dan memperkosa harkat dan  martabat manusia itu perlu mendapat perhatian dan penanganan secara serius.
Hak asasi manusia (human rights yang secara universal dapat diartikan sebagai those  rights which reinherent in our name and without wicht we can’t live as human being) oleh  masyarakat di dunia perumusan dan pengakuannya telah diperjuangkan dalam kurun waktu yang  sangat panjang bahkan sampai saat ini hal tersebut masih berlangsung dengan berbagai dimensi  permasalahan yang muncul karena berbagai spectrum penafsiran yang terkait didalamnya. Hal  ini dibuktikan bahwa diseluruh penjuru di dunia terus berlangsung berbagai perubahan social,  pergolakan, kekacauan peperangan maupun kelaparan. Bencana alampun turut mewarnai proses  terjadinya musibah kemanusiaan.
Pengalaman getir dan pahit dari umat manusia sejak perang dunia yang dua kali telah  terjadi dimana harkat dan martabat hak-hak asasi manusia terinjak-injak, timbul kesadaran umat  manusia dalam menempatkan penghormatan dan penghargaan akan hak-hak asasi manusia  dalam piagam PBB (The Charter United Nations) yang sebagai realisasinya muncul kemudian  pernyataan bangsa-bangsa di dunia tentang hak-hak asasi manusia (The Universal Declarations  of Human Rights) yang diterima secara aklamasi pada tanggal 10 Desember 1948 oleh sidang  Umum Majelis Umum PBB.
Akan tetapi, walaupun telah dicanangkan The Universal Declarations of Human Rights masih saja terjadi pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia salah satunya adalah penderitaan  hak-hak asasi manusia yang dialami oleh warga sipil Palestina yang merupakan hasil dari  serangan tentara Israel, hal ini semakin kompleks karena mereka harus berjuang  mempertahankan diri dari ancaman tentara-tentara yang menyerang sehingga menyiksa mereka  dan memaksa mereka untuk tetap bertahan dengan tidak meninggalkan negaranya.
Konflik Palestina – Israel menurut sejarah sudah 44 tahun ketika pada tahun 1967 Israel  menyerang Mesir, Yordania dan Syria dan berhasil merebut Sinai dan Jalur Gaza (Mesir),  dataran tinggi Golan (Syria), Tepi Barat  dan Yerussalem (Yordania).  Sebelumnya Inggris  mengeluarkan Deklarasi Balfour tahun 1917 yang menjanjikan sebuah negara bangsa Yahudi di  Palestina, dengan menghormati hak-hak umat non-Yahudi di Palestina.
 Konflik Israel-Palestina seringkali dipahami sebagai konflik Yahudi-Islam dan hal ini  berhasil mensugesti hampir seluruh dunia Islam untuk membenci Yahudi. Sikap anti-pati  terhadap Yahudi di kalangan mayoritas Islam bahkan telah ditanamkan demikian mengakar  mulai dari lingkungan keluarga hingga institusi pendidikan Islam. Hingga terjadi konflik IsraelPalestina yang dalam banyak hal dipandang sebagai konflik Yahudi-Islam, analisis tentang  Sampai sekarang  perdamaian sepertinya jauh dari harapan, ditambah lagi terjadi ketidaksepakatan tentang masa  depan Palestina dan hubungannya dengan Israel di antara faksi-faksi di Palestina sendiri hingga jutaan dari mereka terpaksa mengungsi ke Libanon, Yordania, Syria, Mesir dan lain-lain.
 Jimmy Carter, We Can Have Peace In The Holy Land, PT Dian Rakyat, Jakarta, 2010, hal 3.   masalah politik sebagai pemicu konflik juga banyak digulirkan berbagai pihak. Konflik ini  misalnya, merupakan konflik yang dipicu oleh klaim hak atas tanah Palestina dari kedua pihak  yang bertikai.
 Pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Israel kepada warga sipil Palestina  semakin kerap terjadi seperti peristiwa terbunuhnya 30 warga sipil Palestina di sebuah rumah di  Gaza Tengah, yang menjadi sasaran penembakan Israel dan kebijakan Israel yang sengaja  mengabaikan anak-anak dan membuat kelaparan anak-anak yang ibunya tewas akibat serangan  yang mereka lakukan.
Seperti ditulis Trias Kuncahyono, Israel selalu mengatakan posisi legal internasional  mereka atas Jerusalem berasal dari mandat Palestina (Palestine Mandate, 24 Juli 1922). Di pihak  lain, Palestina juga menyatakan Jerusalem (al Quds) akan menjadi ibu kota negara Palestina  Merdeka di masa mendatang atas dasar klaim pada agama, sejarah dan jumlah penduduk di kota  itu. Pertikaian kedua belah pihak pada akhirnya sulit dihindari, sebab klaim hak atas tanah  Palestina bukan sekedar menyangkut latar belakang sejarah dan wilyah politik, melainkan  masalah simbol spiritualitas besar bagi kedua pihak.
 Contoh-contoh di atas hanya segelintir bentuk pelanggaran atas hak asasi manusia yang  dilakukan oleh Israel. Dalam melaksanakan perang, Israel tidak mematuhi batasan-batasan yang  telah diatur dalam hukum humaniter. Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak memberikan sanksi  apapun terhadap pelanggaran ini berdasarkan Hukum Humaniter Internasional yang terjadi pada  Contoh yang lain 30 warga sipil Palestina yang tewas dibunuh ketika  tentara Israel menembaki sebuah bangunan tempat berlindungnya 110 warga sipil Palestina di  wilayah permukiman Zeitoun di Gaza Tengah.
 Trias Kuncahyono , Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir, Jakarta,  2008 hal. 256-  www.kompas.com, Selasa, 13 Januari 2009 ” Israel Melakukan Pelanggaran HAM” diakses pada tanggal  19 Januari 2011.
Perang Palestina dan Israel, tidak ada embargo ekonomi hanya kecaman maupun keprihatinan  yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pada akhir tahun 2010 dunia dikejutkan dengan insiden penyerangan militer Israel  terhadap konvoi bantuan kemanusiaan internasional untuk masyarakat Gaza, Palestina. Israel  menuduh Konvoi enam kapal kapal yang mengangkut relawan di antaranya dari Amerika  Serikat, Turki, Inggris, Prancis, Irlandia, Indonesia, dan Malaysia tersebut telah melanggar batas  wilayah perairan yang sebelumnya sudah diblokir Israel. Padahal, kapal-kapal itu berlayar sekira  65 kilometer di luar Pantai Gaza atau di perairan internasional saat diserang pada subuh 31 Mei  waktu Israel. Sebuah gambar yang diperoleh dari atas kapal Mavi Marmara memperlihatkan  pasukan Israel memasuki kapal dari helikopter, sementara kapal-kapal marimir kecil menembaki  ke sisi Mavi Marmara.
Akibat dari penyerangan ini, sembilan relawan meninggal dunia dan dunia sekali lagi  tidak dapat berbuat banyak mengenai aksi Israel ini. Terbukti tidak ada resolusi yang berarti  dapat menghukum Israel. Sedangkan pemblokiran yang terjadi Perbatasan Gaza masih terus  berlangsung, meskipun beberapa barang tertentu sudah diperbolehkan masuk ke dalam wilayah  Gaza.
Semakin panasnya situasi di Timur Tengah yang sampai saat ini masih berlangsung  sepertinya belum ada titik terang untuk menghentikan perang antara kedua belah pihak, baik  Palestina maupun Israel. Namun demikian dunia internasional perlu melakukan upaya-upaya  semaksimal mungkin untuk tetap menegakkan hak asasi manusia di tengah terjadinya konflik  bersenjata tersebut.
B.      Perumusan Masalah  
Permasalahan adalah pernyataan yang menunjukkan adanya jarak antara rencana dan  pelaksanaan, antara harapan dan kenyataan, juga antara das sollen dan das sein.
 1.  Bagaimanakah hubungan antara hak asasi manusia dan perang ? Dari latar belakang yang diuraikan diatas, maka tulisan ini bermaksud untuk membahas  permasalahan sebagai berikut : 2.  Bagaimanakah pengaturan mengenai perlindungan warga sipil pada saat perang  dalam hukum internasional ? 3.  Bagaimanakah bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Israel  kepada penduduk sipil Palestina ?
C. Tujuan dan Manfaat
Penulisan Adapun tujuan yang hendak dicapai dengan dilakukannya penulisan ini adalah : 1.  Untuk mengetahui hubungan antara hak asasi manusia dengan perang.
2.  Untuk mengetahui pengaturan atas perlindungan warga sipil pada saat perang dalam  hukum internasional.
3.  Untuk mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan  Israel kepada penduduk sipil Palestina dan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh  dunia internasional untuk menegakkan hak asasi manusia dalam konflik Israel  Palestina.
Adapun manfaat dari penulisan ini terdiri dari dua hal, yaitu : 1.  Manfaat Teoritis Memberikan sumbangan akademis bagi perkembangan ilmu hukum pada  umumnya, dan hukum internasional pada khususnya. Selain itu, penulisan skripsi ini   Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal 21.
diharap dapat memberikan gambaran atas bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia  yang dialami warga sipil Palestina dan bagaimana upaya dunia internasional untuk  memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia warga sipil Palestina dengan  mengacu pada pengaturan dalam hukum internasional .
2.  Manfaat Praktis Penulisan ini bermanfaat untuk menjadi suatu bahan referensi pada perpustakaan  Fakultas Hukum  secara khusus dan pembaca pada umumnya  serta dapat dijadikan kajian bagi para pihak akademisi dalam menambah pengetahuan  terutama di bidang hukum internasional.
D. Keaslian Penulisan
Skripsi ini berjudul “Pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh Israel Terhadap Warga Sipil  Palestina ditinjau dari Hukum Internasional”. Sebagai suatu karya tulis ilmiah yang dibuat untuk  memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana, maka skripsi haruslah ditulis berdasarkan buah  pikiran yang benar-benar asli tanpa meniru karya orang lain. Judul yang penulis pilih telah  diperiksa dalam arsip bagian Hukum Internasional dan judul tersebut dinyatakan tidak ada yang  sama dan telah disetujui oleh Ketua Departemen Hukum Internasional.
E.  Tinjauan Pustaka
Dewasa ini masalah hak asasi manusia telah menjadi isu yang mendunia disamping  demokrasi dan masalah lingkungan hidup, bahkan telah menjadi tuntutan yang sangat perlu  perhatian serius bagi negara untuk menghormati, melindungi, membela dan menjamin hak asasi  warga negaranya tanpa diskriminasi.
  Koesparmono Irsan, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yayasan Brata Bhakti, Jakarta, 2009 , hal 1.
Ide tentang hak asasi yang berlaku saat ini merupakan senyawa yang dimasak di kancah  Perang Dunia II. Pembunuhan dan kerusakan yang ditimbulkan Perang Dunia II menggugah  suatu kebulatan tekad untuk melakukan sesuatu guna mencegah perang, untuk membangun  sebuah organisasi internasional yang sanggup meredakan krisis internasional serta menyediakan  suatu forum untuk diskusi dan mediasi, organisasi ini adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa  (PBB).
 Para pendiri PBB yakin bahwa pengurangan kemungkinan perang mensyaratkan adanya  pencegahan atas pelanggaran besar-besaran terhadap hak asasi manusia. Akibat keyakinan ini,  konsepsi PBB yang paling awalpun bahkan sudah memasukkan peranan pengembangan hak  asasi manusia dan kebebasan. Naskah awal Piagam PBB ( 1942 dan 1943) memuat ketentuan  tentang hak asasi manusia yang harus dianut oleh negara manapun yang bergabung dalam  organisasi tersebut, namun sejumlah kesulitan muncul dengan pemberlakuan ketentuan semacam  itu. Oleh karena banyak negara mencemaskan prospek kedaulatan mereka, negara-negara  tersebut bersedia untuk mengembangkan hak asasi manusia namun tidak bersedia untuk  melindungi hak itu.
 Akhirnya diputuskan untuk memasukkan sedikit saja acuan tentang hak asasi manusia  dalam Piagam PBB.
  James W. Nickel, Hak Asasi Manusia , PT. Gramedi Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hal 1.
 Ibid., hal 2.
 Ibid.
Piagam itu sendiri menegaskan kembali keyakinan atas hak asasi manusia  yang mendasar, akan martabat dan harkat manusia, akan persamaan hak antara laki-laki dan  perempuan serta antara negara besar dan negara kecil. Komisi Hak Asasi Manusia  mempersiapkan sebuah pernyataan internasional tentang hak asasi manusia yang disetujui oleh  Majelis Umum pada tanggal 10 Desember 1948 yang kemudian menjadi Deklarasi Universal  Hak Asasi Manusia.
Hak asasi manusia, sebagaimana yang dipahami dalam dokumen-dokumen hak asasi  manusia yang muncul pada abad kedua puluh seperti Deklarasi Universal, mempunyai sejumlah  ciri menonjol. Pertama, supaya kita  tidak kehilangan gagasan yang sudah tegas, hak asasi  manusia adalah hak.
 Kelima, hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun pemerintah.
Adanya kewajiban ini, sebagaimana halnya hak-hak yang berkaitan dengannya dianggap tidak  bergantung pada penerimaan, pengakuan atau penerapan terhadapnya. Pemerintah dan orangorang yang berada di mana pun diwajibkan untuk tidak melanggar hak seseorang, kendati  pemerintah dari orang tersebut mungkin sekaligus memiliki tanggung jawab utama untuk  mengambil langkah-langkah positif guna melindungi dan menegakkan hak-hak orang itu.
Kedua, hak-hak ini dianggap bersifat universal, yang dimiliki oleh manusia  semata-mata karena ia adalah manusia. Ketiga, hak asasi manusia dianggap ada dengan  sendirinya, dan tidak bergantung pada pengakuan dan penerapannya di dalam sistem adat atau  sistem hukum di negara-negara tertentu. Keempat, hak asasi manusia dipandang sebagai normanorma yang penting. Meski tidak seluruhnya bersifat mutlak dan tanpa pengecualian, hak asasi  manusia cukup kuat kedudukannya sebagai pertimbangan normatif untuk diberlakukan di dalam  benturan dengan norma-norma yang bertentangan, dan untuk membenarkan aksi internasional  yang dilakukan demi hak asasi manusia.
 Istilah kejahatan serius terhadap hak asasi manusia biasanya ditujukan terhadap kejahatan  genosida, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ketiga jenis kejahatan tersebut  merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dalam konteks hukum nasional   Ibid., hal 4.
 Ibid., hal 5.
Indonesia, kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan disebut sebagai pelanggaran  hak asasi manusia yang berat. Kejahatan tersebut dikualifikasikan sebagai delicta jure gentium  dan merupakan pengingkaran terhadap jus cogens.
 Dalam konteks hukum pidana internasional tidak terdapat satu pun defenisi atau  pengertian yang baku mengenai apa yang dimaksud dengan kejahatan serius terhadap hak asasi  manusia atau pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Akan tetapi dalam sejarah  perkembangan hukum pidana internasional bila dilihat dari jenis kejahatan internasional, maka  eksistensi kejahatan yang berkaitan dengan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia  berasal dari sejarah perkembangan konvensi mengenai hak asasi manusia. Selain itu, masih ada  jenis kejahatan internasional yang eksistensinya berasal dari kebiasaan yang berkembang di  dalam praktik hukum kebiasaan internaisonal dan kejahatan internasional yang eksistensinya  berasal dari konvensi-konvensi internasional.
 Kendatipun tidak ada defenisi yang baku mengenai apa yang dimaksud dengan  pelanggaran hak asasi manusia yang berat, namun oleh Bassiouni dikualifikasikan sebagai  international crime yang meliputi kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan  kejahatan perang. Kejahatan-kejahatan ini merupakan inhumane act yang secara universal diakui  oleh bangsa-bangsa beradab di dunia.
 Dalam penulisan ini, penulis memfokuskan pelanggaran hak asasi manusia terhadap  warga sipil yang terjadi selama konflik bersenjata antara Israel dan Palestina. Warga sipil adalah   Istilah jure gentium diterjemahkan sebagai law of nations atau hukum bangsa-bangsa. Istilah tersebut  berasal dari hukum Romawi yang berlaku bagi seluruh penduduk Romawi termasuk daerah-daerah yang menjadi  kekuasaan Romawi.
 Jus Cogens adalah hukum pemaksa yang harus ditaati oleh bangsa-bangsa beradab di dunia sebagai  prinsip dasar yang umum dalam hukum internasional yang berkaitan dengan moral.
 Eddy O.S Hiariej, Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius Terhadap HAM, Erlangga, Jakarta, 2010,  hal.
 Ibid., hal 6   seseorang yang bukan merupakan anggota militer. Menurut Konvensi Jenewa 1949, merupakan  sebuah kejahatan perang untuk menyerang seorang warga sipil yang tidak sedang melakukan  penyerangan secara sengaja.
 Dalam Kamus Bahasa Indonesia, perang diartikan sebagai  permusuhan antara dua negara atau pertempuran antara dua pasukan.
 G.P.H. Djatikoesomo  mendefinisikan perang sebagai sengketa dengan menggunakan kekerasan yang sering berbentuk  kekuatan bersenjata.
 Dalam hal hukum perang atau hukum sengketa bersenjata, kemudian dikenal dengan  istilah hukum humaniter internasional, Djatikoesomo memberi defenisi hukum perang sebagai  aturan-aturan dari hukum bangsa-bangsa mengenai perang. Pengertian lain hukum perang atau  hukum sengketa bersenjata adalah bagian dari hukum internasional yang mengatur hubungan  antara negara selama terjadinya sengketa untuk mengurangi sebanyak mungkin penderitaan, dan  kerusakan akibat perang dengan memberikan kewajiban kepada setiap orang dalam negara  namun tidak dimaksudkan untuk menghambat efisiensi militer.
Berdasarkan pengertian di atas, perang pada dasarnya adalah sengketa  yang biasa menggunakan kekuatan bersenjata antara dua negara atau antara para pihak dalam  satu negara.
 Starke menyatakan hukum perang terdiri dari sekumpulan pembatasan oleh hukum  internasional yang mana kekuatannya diperlukan untuk mengalahkan musuh boleh digunakan  dan prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan terhadap individu-individu pada saat berlangsung  perang dan konflik-konflik bersenjata.
  http://id.wikipedia.org/wiki/Warga_sipil, diakses pada tanggal 17 Januari 2010.
 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1990, hal 668.
 Eddy O.S Hiariej, Op. Cit., hal 25.
 Ibid.,hal 25.
 Ibid.,hal 26.
Konferensi Den Haag 1907 menghasilkan 13 konvensi dan satu deklarasi, sedangkan  Konvensi Jenewa yang juga disebut Konvensi Palang Merah terdiri dari empat buku, yaitu : 1.  Konvensi Jenewa 1949 tentang perbaikan keadaan anggota angkatan perang yang  luka dan sakit di medan pertempuran darat.
2.  Konvensi Jenewa 1949 mengenai perbaikan keadaan anggota angkatan perang di laut  yang luka, sakit, dan korban karam.
3.  Konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan orang-orang sipil di waktu perang.
Selain Konvensi Jenewa 1949 juga terdapat Protokol Tambahan 1977 yang mengatur  konflik bersenjata internasional atau konflik bersenjata antar negara dan mengatur  konflik bersenjata yang bersifat noninternasional. Protokol Tambahan ini memuat  beberapa hal penting seperti pengertian kombat, penduduk sipil, sasaran sipil, dan  sasaran militer. Pengertian mengenai tentara bayaran, perang pembebasan nasional  dan tugas komandan.
Hal utama dalam hukum humaniter adalah hak korban untuk mendapat pertolongan dan  ganti kerugian bila terjadi pelanggaran. Oleh karena itu, tujuan umum hukum humaniter adalah  sama dengan tujuan hukum hak asasi manusia, yaitu untuk memastikan perlindungan bagi orang  dalam situasi konflik bersenjata dan dalam keadaan tertentu bagi mereka yang jatuh ke tangan  musuh.
 Dalam hukum humaniter dikenal asas pembedaan, yaitu prinsip yang membedakan  penduduk suatu negara yang sedang berperang dalam dua golongan, yaitu kombatan dan  penduduk sipil. Berkaitan dengan pembedaan ini, jika seorang kombatan tertangkap oleh musuh  maka akan diperlakukan sebagai tawanan perang. Selain itu, yang perlu diperhatikan dalam   Ibid.,hal 29.
hnukum humaniter adalah principles of humanitarian law, yakni military necessity, humanity dan chivalry.
 Istilah kejahatan perang biasanya menunjuk pada tindakan-tindakan yang melanggar  hukum dan kebiasaan perang.
Dalam kaitannya dengan hak asasi manusia, pada hakikatnya hukum humaniter  dan hak asasi manusia memiliki tujuan yang sama, yaitu memberikan jaminan perlindungan  terhadap manusia.
 1.  Pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa berupa perbuatan yang ditujukan  terhadap orang dan/atau benda yang dilindungi oleh konvensi.
Akan tetapi, tidak semua pelanggaran terhadap hukum dan  kebiasaan perang  merupakan kejahatan perang. Pengaturan tentang kejahatan perang diatur  dalam Pasal 8 Statuta Mahkamah Internasional. Secara garis besar, perbuatan-perbuatan yang  dikualifikasikan sebagai kejahatan perang dibagi menjadi empat kelompok : 2.  Pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan konflik bersenjata.
3.  Pelanggaran terhadap Article 3 common to the four Geneva Conventions of 1 dalam hal noninternational armed conflict.
4.  Pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam  noninternational armed conflict.
F.  Metode Penelitian Metode penelitian adalah suatu cara atau usaha bersifat sistematis dan objektif untuk  memperoleh keterangan yang diteliti. Sebagaimana suatu tulisan yang bersifat ilmiah dan untuk   Military necessity atau asas kepentingan militer, yaitu pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan  kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang. Humanity  atau asas  kemanusiaan yakni pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan kemanusiaan, dimana mereka dilarang  untuk melakukan kekerasan yang berlebihan sehingga mengakibatkan penderitaan. Chivalry atau asas kesatriaan,  bahwa dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai macam tipu  daya dilarang digunakan.
 Eddy O.S Hiariej, Op. Cit., hal 31.
mendapatkan data yang relevan dengan tujuan penulisannya maka penulis berusaha semaksimal  mungkin untuk mengumpulkan bahan-bahan untuk skripsi ini.
1.  Jenis Penelitian  Adapun jenis dari penelitian ini adalah dengan menggunakan metode penelitian hukum  normatif (legal research), yakni mengacu pada berbagai norma hukum, dalam hal ini adalah  hukum internasional yang terdapat pada berbagai sumber dan perangkat hukum internasional  yang berkaitan dengan hak asasi manusia serta pengaturan mengenai hukum perang dalam  kaitannya untuk menegakkan hak asasi manusia pada masa perang.
2.  Teknik Pengumpulan Data Dalam bentuk umum dikenal ada dua teknik pengumpulan data yaitu : 1)  Library Research (Studi Kepustakaan) Yaitu pengumpulan data-data melalui bahan buku, karangan ilmiah, media massa,  majalah ditambah dengan media elektronik yaitu televisi yang berhubungan dengan judul  skripsi ini.
2)  Field Research  (Studi Lapangan) Yaitu melakukan penelitian ilmiah melalui wawancara, observasi dan lain-lain.
Dalam hal ini penulis mengumpulkan data melalui metode library research  (studi  kepustakaan).
3.  Sumber Data Penelitian  Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data-data sekunder yang terdiri  dari: a.  Bahan Hukum Primer  Yaitu produk-produk hukum berupa konvensi-konvensi internasional seperti Konvensi  Jenewa 1949 tentang perlindungan warga sipil di waktu perang , Protokol Tambahan  tahun 1977, The Universal Declarations of Human Rights tahun 1948,Statuta Roma  1998, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
b.  Bahan Hukum Sekunder Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti  buku-buku tentang hak asasi manusia, kejahatan-kejahatan internasional, buku-buku yang  membahas situasi perang di Palestina, jurnal-jurnal, majalah, surat kabar, serta media  internet seperti www.google.com, www.legalitas.org, www.wikipedia.com.
c.  Bahan Hukum Tersier Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum sekunder  seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia.
4.  Analisis Data Data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan dan dianalisis secara deskriptif dengan  menggunakan metode deduktif dan induktif.
G. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan pemahaman serta pembahasan di dalam skripsi ini maka penulis  menggunakan sistematika penulisan skripsi sebagai berikut : BAB I  :  Bab ini merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang alasan  pemilihan judul, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka,  metode penelitian dengan memberikan gambaran dan ulasan secara umum.
BAB II  : Pada bab II akan diuraikan mengenai pandangan umum mengenai hak-hak asasi  manusia antara lain sejarah dan perkembangan hak asasi manusia, hak asasi  manusia menurut hukum internasional, tujuan pengaturan hak asasi manusia  serta hubungan ham asasi manusia dengan perang.
BAB III  : Bab III merupakan pembahasan atau uraian mengenai pengaturan perlindungan  warga sipil dalam Konvensi Wina 1949 tentang Perlindungan Korban Perang,  pengaturan tentang kejahatan perang dalam Statuta Roma 1998. Selain itu  dalam bab ini dibahas mengenai prinsip pembedaan dalam hukum humaniter  yang membedakan antara status dan perlakuan kombatan dan non kombatan.
BAB IV  : Tinjauan serta cara penyelesaiaanya dibahas dalam bab IV, yang membahas  antara lain mengenai sejarah singkat kronologis terjadinya perang antara Israel  dan Palestina, bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan  Israel terhadap warga sipil Palestina, dampak perang Israel dan Palestina bagi  pelanggaran hak asasi manusia, serta upaya-upaya dunia internasional dalam  menegakkan hak asasi manusia di Palestina.
BAB V  : Pada bab ini merupakan bab terakhir, dimana pada bagian kesimpulan akan  dipaparkan jawaban-jawaban dari permasalahan di dalam penulisan ini. Pada  bagian saran, penulis akan memaparkan gagasan yang dimiliki penulis  berdasarkan dari fakta-fakta yang telah dikemukakan penulis pada bab-bab  sebelumnya.
  

Download lengkap Versi Word