BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korupsi
sebagai suatu bentuk perbuatan pidana memberikan suatu akibat yang tidak baik dalam perjalanan suatu negara
khsnya dalam pencapaian tujuan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Korupsi di Indonesia telah melibatkan banyak kalangan, baik di pusat maupun di
daerah, di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan tokoh masyarakat.
Penegakan hukum serta
pengtan secara tuntas dan adil terhadap tindak korupsi memang harus dilaksanakan dan
ditegakkan tanpa pandang bulu. Akan tetapi,
ada berbagai persoalan yang lebih fundamental, agar menumbuhkan sikap arif untuk bersama-sama tidak mengulang dan
membudayakan korupsi dalam berbagai aspek
kehidupan.
Jadi upaya-upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi
dengan berbagai bentuk usaha terus dijalankan, khsnya dengan jalan memberikan perlindungan kepada saksi pelapor.
Masih segar dalam ingatan kita suatu kisah tentang seorang
yang bernama Endin Wahyudi yang
melaporkan perbuatan pidana yang diduga dilakukan oleh beberapa orang Hakim. Kemudian, hakim
tersebut melakukan serangan balik. Sang
Hakim bebas dari hukuman, sementara yang pelapor dihukum pengadilan karena terbukti melakukan tindak
pidana yang dituduhkan.
Kisah tragis sang pelapor yang memberikan
pesan negatif bagi penegakan hukum di
Indonesia. Dimensi yang sangat terasasekali pada akhir-akhir ini adalah Martiman Prodjohamidjojo, 2001, Penerapan
Pembuktian Terbalik Dalam Kasus Korupsi,
Bandung : Mandar Maju, hal. 2 Ibid,
hal. 3.
Sutta Dharmasaputra,
“UU Perlindungan Saksi dan Korban. Sebuah Momentum Baru Penegakan Hukum”, http://www.google.com, Diakses
tanggal 10 Januari 2011.
1 laporan dari Bekas
Kabareskrim Polri yaitu Susno Duadji yang mengungkap kasus korupsi di sektor Pajak juga memberikan
konsekuensi dimintanya perlindungan saksi
oleh Susno Duadji.
Hanya sebagian orang saja yangbersedia
mengambil risiko untuk melaporkan suatu
tindak pidana jika dirinya, keluarganya dan harta bendanya tidak mendapat perlindungan dari ancaman yang
mungkin timbul karena laporan yang dilakukannya.
Begitu juga dengan saksi, Kalau tidak mendapat perlindungan yang memadai, akan enggan memberikan keterangan
sesuai dengan fakta yang dialami, dilihat
dan dirasakannya sendiri.
Persoalan utama
banyaknya saksi yang tidak bersedia menjadi saksi ataupun tidak berani mengungkapkan kesaksian
yang sebenarnya disebabkan tidak ada
jaminan yang memadai, terutama jaminan atas perlindungan tertentu ataupun mekanisme tertentu untuk bersaksi. Saksi
termasuk pelapor bahkan sering mengalami
gugatan balik atau tuntutan hukum atas kesaksian atau laporan yang diberikannya. Saksi akhirnya menjadi tersangka
atau bahkan terpidana. Selama tidak
adanya aturan hukum yang memberikan jaminan bagi saksi atau pelapor, suatu kasus korupsi sangat sulit terungkap.
Peraturan tentang perlindungan saksi,pelapor
dan korban bervariasi dan tersebar di
berbagai peraturan perundang-undangan. Di bidang tindak pidana korupsi, perlindungan terhadap saksi dan
pelapor diatur dalam Pasal 41 ayat (2) e Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
Pasal 15 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Ibid.
Evi Hartanti, 2005,
Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 5.
Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, kemudian yang terbaru adalah UndangUndang No. 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Peraturan Pemerintah
(PP) No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat sebagai pelaksanaan dari UU No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia. Kemudian terdapat PP No. 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Saksi, Penyidik,
Penuntut Umum dan Hakim dalam Perkara Tindak
Pidana Terorisme sebagai pelaksanaan UU No. 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Peraturan Pemerintah
No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khs Terhadap Pelapor dan Saksi Dalam Tindak
Pidana Pencucian Uang (TPPU). PP No. 57
Tahun 2003 ini ditindak lanjuti dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri)
No. 17 Tahun 2005 yang berlaku sejak 30
Desember 2005.
Peraturan sudah cukup
banyak dalam hal penanggulangan tindak pidana korupsi, karena diaturnya secara komprehensif
perlindungan saksi dan pelapor dalam
satu undang-undang khs yaitu Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tetapi
kebanyakan peraturan tersebut memberikan
perlindungan terhadap ancaman yuridis, seperti ancaman gugatan perdata dan pidana terhadap saksi dan pelapor.
Keseluruhan peraturan perundangundangan tersebut yang relatif lebih lengkap
adalah perlindungan saksi dan pelapor berdasarkan
Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU). Atas dasar hal tersebut di atas maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Saksi
Pelapor Dalam Tindak Pidana Korupsi”.
B. Perumusan Masalah Adapun
permasalahan yang diajukandalam penelitian ini adalah : 1.
Bagaimana proses perlindungan saksi dalam tindak pidana korupsi? 2.
Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap saksi tindak pidana
korupsi? 3. Bagaimana faktor-faktor yang menyebabkan
diberikannya perlindungan terhadap saksi
pelapor dalam tindak pidana korupsi? C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini
adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui proses perlindungan saksi
dalam tindak pidana korupsi.
2. Untuk mengetahui
bentuk perlindungan hukum terhadap saksi tindak pidana korupsi.
3. Untuk mengetahui
faktor-faktor yang menyebabkan diberikannya perlindungan terhadap saksi pelapor dalam tindak pidana
korupsi.
Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas penelitian
ini diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut : a. Dari segi teoritis sebagai suatu bentuk
penambahan literatur di bidang hukum acara
pidana khsnya dalam hal pelaksanaan perlindungan terhadap saksi dalam kasus korupsi.
b. Dari segi praktis
sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan masukan para pihak yang berkepentingan sehingga dapat
dicapainya suatu kepastian hukum dalam
bidang perlindungan saksi.
D. Keaslian Penulisan Adapun
penulisan skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Dalam Tindak Pidana Korupsi”
dari hasil penelitian pada Fakultas Hukum
belum ditemukan, sehingga penulisan
skripsi ini masih asli serta dapat
dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.
E. Tinjauan
Kepustakaan Perlindungan hukum pada dasarnya difungsikan
sebagai suatu keadaan terhadap
keberadaan hukum itu sendiri dalam hal mengatur hubungan-hubungan yang terdapat di dalam masyarakat. Jadi pada
dasarnya membicarakan hukum sama dengan
membicarakan pengertian hukum itu sendiri, karena elemen-elemen daripada tujuan hukum itu sendiri Perlindungan hukum adalah suatu keadaan yang
menyangkut penyelenggaraan kehidupan
manusia sebagai kehidupan bersama. Keadaan tertib yang umum menyiratkan suatu keteraturan yang
diterima secara umum sebagai suatu
kepantasan minimal yang diperlukan, supaya kehidupan bersama tidak berubah menjadi anarki. Masalah perlindungan
hukum sering dibahas dengan menggunakan
istilah yang berbeda-beda oleh berbagai penulis. Ada yang menyebutkan sebagai suatu sebab bagi keadaan
damai, ada juga yang menyebutnya Martiman
Prodjohamidjojo, Op.Cit, hal. 21.
sebagai akibat
daripada kepastian hukum. Apapun pengertian yang digunakan untuk perlindungan hukum maka tujuan yang
utama adanya untuk mencapai ketertiban
umum. Perlindungan hukum memerlukan sesuatu yang mampu mengakibatkan bahwa keadaan masyarakat secara
umum adalah tertib, dan bukan sebaliknya,
“tata tertib hukum sebenarnya merupakan kepentingan objektif dan sebenarnya dari semua pihak dalam masyarakat.
Artinya, jika dibiarkan, keadaan umum
masyarakat itu bisa saja menjadi tidak tertib.“.
Pasal 1 angka (1)
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 menjelaskan”saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami
sendiri”.
Menurut hukum acara
pidana, keterangan saksi merupakan bukti yang paling penting. Boleh dikatakan keterangan
saksi dalam setiap proses pemeriksaan perkara
pidana tetap diperlukan walaupun seandainya bukti berupa surat atau keterangan terdakwa telah ada. Meskipun di
atas telah diuraikan bahwa setiap pemeriksaan
perkara pidana untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa harus didukung 2 (dua) alatbukti yang
sah, namun walaupun telah dipenuhi
syarat tersebutdalam prakteknya masih juga diusahakan untuk mendengar keterangan saksi, dan keterangan
saksi tersebut setidak-tidaknya harus ada
dua.
Menurut Pasal 1 butir
ke-26 KUHAP,saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan dan peradilan Budiono Kmohamidjojo,
1999, Ketertiban Yang Adil, Jakarta : Grasindo, hal. 121.
tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.
Selanjutnya pasal 1
butir ke-27 KUHAP mengatur sebagai berikut “keterangan saksi adalah salah satu alatbukti
dalam perkara pidana yang berupa keterangan
dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang iadengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan pengetahuannya itu “.
Dari ketentuan
tersebut di atas, dapat ditarik unsur-unsur yang terpenting yaitu : a.
Adanya peristiwa pidana yang ia (saksi).
b. Dengar sendiri, c.
Lihat sendiri d. Alami sendiri e.
Dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Jadi, agar seseorang dapat didengar
keterangannya sebagai saksi haruslah memenuhi
syarat yaitu dapat memberikan keterangan terhadap peristiwa pidana yang didengarnya sendiri, dilihatnyasendiri
dan dialaminya sendiri.
Pengertian kata
sendiri berarti setiap hal-hal yang secara langsung diketahui oleh saksi akan tetapi baik pendapat
maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil
pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi dan tidak mencakup keterangan yang diperoleh dari orang lain
(testomonium de auditu).
Korupsi berasal dari bahasa Latin : corruptioyang artinya
penyuapan; dan corruptoreyang artinya
merusak, gejala di mana para pejabat, badan-badan negara M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta : Sinar Grafika, hal. 255.
menyalahgunakan
wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidak beresan lainnya.
Secara harfiah
korupsi merupakan sesuatu yang bk, jahat dan merusak.
Hal ini disebabkan korupsi memang menyangkut segi moral,
sifat dan keadaan yang bk, jabatan dalam
instansi atauaparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian,
faktor ekonomi dan politik, serta penempatan
keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya.
Kartono menjelaskan :
Korupsi adalah tingkah laku individu
yang menggunakan wewenang dan jabatan
guna mengeruk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi demi keuntungan
pribadi, salah urus dari kekuasaan, demi
keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang
dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya
dengan alasanhukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
10 Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang berlaku terhitung mulai tanggal 16 Agustus
1999 yang kemudian diubah dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tujuan dengan diundangkannya Undang-Undang Korupsi ini
sebagaimana dijelaskan dalam konsiderans
menimbang diharapkan dapat memenuhi dan mengantisipasi
perkembangan dan kebutuhan hukum bagi masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih
efektif setiap tindak pidana korupsi
yang sangat merugikan keuangan, perekonomian negara pada khsnya Evi Hartanti, Op.Cit, hal. 8.
Kartini Kartono,
2003, Patologi Sosial, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hal. 80.
serta masyarakat pada
umumnya.
Pasal 2, 3 dan 4
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terdapat 3 istilah hukum yang perlu diperjelas, yaitu istilah
tindak pidana korupsi, keuangan negara dan
perekonomian negara. Yang dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi adalah: 1.
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
2. Setiap orang yang
dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara (sesuai Pasal 2 dan 3 UU No. 31
Tahun 1999).
Sedangkan pengertian
Keuangan Negaradalam undang-undang ini adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun
baik yang dipisahkan maupun yang tidak
dipisahkan, termasuk didalamnya segalabagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karenanya : 1.
Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun
ditingkat Daerah.
2. Berada dalam
penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah,
Yayasan, Badan Hukum, dan Perusahaan
yang menyertakan Modal Negara, atau perusahaan
yang menyertakan pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Batasan mengenai
Perekonomian Negara menurut UU tersebut sebagai berikut : kehidupan perekonomian yang disn
sebagai usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan atau usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik
ditingkat pusat maupun di tingkat Daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang Eddy Suhartono, “Perihal Ketentuan-Ketentuan
Tindak Pidana Korupsi”, http/www/google.com/korupsi,
Diakses tanggal 19 Januari 2011.
Ibid.
bertujuan memberikan
manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
Undang-undang bermaksud mengantisipasi atas penyimpangan
keuangan atau perekonomian negara yang
dirasa semakin canggih dan rumit. Oleh karenanya tindak pidana korupsi yang diatur dalam
Undang-undang ini dirumuskan seluasluasnya sehingga meliputi
perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum.
Dengan rumusan tersebut, perbuatan melawan hukum dalam
tindak pidana korupsi dalam pula
mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan
dipidana.
Perbuatan melawan hukum
disini mencakup perbuatan melawan hukum dalam
arti formil maupun materiil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun
apabila perbuatan tersebut dianggap tercela
karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana sesuai Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999.
Selanjutnya Tindak
pidana korupsi dalam undang-undang ini dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil, hal
ini sangat penting untuk pembuktian.
Dengan rumusan formil yang dianut dalam undang-undang ini
berarti meskipun hasil korupsi telah
dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke Pengadilan dan tetap di pidana
sesuai dengan Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999.
Ibid.
Penjelasan Pasal 4
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Penjelasan dari pasal tersebut adalah dalam
hal pelaku tindak pidana korupsi,
melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, dimana pengembalian kerugian negaraatau
perekonomian negara, yang telah dilakukan
tidak menghapuskan pidana sipelaku tindak pidana tersebut.
Pengembalian kerugian
negara atau perekonomian negara, yang telah dilakukan tidak menghapuskan pidana si pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian negara atau perekonomian
negaratersebut hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan pidana bagi pelakunya.
F. Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang dipergunakan
dalampenelitian ini terdiri atas : 1. Jenis Penelitian Jenis
penelitian ini adalah yuridis normatif atau penelitian hukum doktriner, yaitu suatu penelitian yang
dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan
yang tertulis atau bahan hukum yang lain.
2. Jenis dan Sumber
Data Adapun jenis data penelitian ini bersumber
dari data sekunder yang meliputi: a.
Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai 1)
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Kartini Kartono, Op.Cit, hal. 82.
Korban.
2) Hukum Acara Pidana
yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1981.
3) Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 4)
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
b. Bahan hukum
sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang diteliti.
c. Bahan hukum
tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum maupun kamus umum dan website internet baik itu
melalui Google maupun Yahoo.
3. Metode Pengumpulan
Data Metode pengumpulan data yang dipergunakan
untuk mengumpulkan data dalam penelitian
ini adalah berupa studi kepustakaan.
4. Analisis data Untuk
mengolah data yang didapatkandari penelran kepustakaan, maka hasil penelitian ini menggunakan analisa
kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang teori-teori yang dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat
ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini dibagi dalam
beberapa Bab, dimana dalam bab terdiri
dari beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian: Bab
I. Pendahuluan Dalam
Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah,
Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan,
Metode Penulisan serta Sistematika Penulisan.
Bab II. Proses Perlindungan Saksi Dalam Tindak Pidana
Korupsi Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan
tentang: Perkembangan Perlindungan Saksi
Dalam ProsesPeradilan Pidana, Ide Dasar Formulasi
Undang-Undang Perlindungan Saksi, Formulasi UndangUndang Perlindungan Saksi
serta Proses Perlindungan Saksi Dalam Tindak
Pidana Korupsi Bab III.
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Tindak Pidana Korupsi Dalam
bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Tindak Pidana
Korupsi, Lembaga Yang Terkait Dalam
Perlindungan Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi serta Bentuk Perlindungan Hukum
Terhadap Saksi Pelapor Tindak Pidana
Korupsi.
Bab IV. Faktor-Faktor
Yang Menyebabkan Diberikannya
Perlindungan Terhadap Saksi Pelapor
Dalam Tindak Pidana Korupsi Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan
tentang: Beberapa Catatan tentang
Undang-Undang Perlindungan Saksi, Kebijakan Formulasi Hukum Tentang Perlindungan Saksi
Dalam Proses Peradilan Pidana Di Masa
Yang Akan Datang serta Faktor-Faktor Yang
Menyebabkan Diberikannya Perlindungan Terhadap Saksi Pelapor Dalam Tindak Pidana Korupsi Bab
V. Kesimpulan dan Saran Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan
bab terakhir dimana akan diberikan
kesimpulan dan saran.
Hal ini merupakan hambatan dalam
pelaksanaan putusan BPSK dikarenakan
kebingungan yang terjadi akibat tidak tegasnya pengaturan dalam UUPK mengenai kedudukan putusan BPSK tersebut.
Di samping adanya benturan antarperaturan
yang mengatur tentang penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK. Ini berpengaruh terhadap efektifitas
pelaksanaan putusan BPSK yang mana hal
inilah yang menjadi dasar bagi penulis, di samping beberapa hambatan yang dialami BPSK seperti hambatan dalam
pelaksanaan permohonan eksekusi putusan
BPSK, dan hambatan dari peran serta lembaga peradilan umum dalam memeriksa upaya hukum keberatan.
Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen merupakan badan yang bertugas menangani
dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
Namun dalam praktik pelaksanaan
putusannya, BPSK masih mengalami hambatan-hambatan.
Maka berdasarkan uraian di atas dan juga latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, yang menjadi
rumusan masalah yang akan dibahas dan
diteliti adalah: 1. Bagaimanakah
mekanisme pengambilan putusan sengketa konsumen oleh BPSK? Nurul
Hakim, “Efektivitas Pelaksanaan Sistem Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Hubungannya dengan Lembaga
Peradilan”, Januari 2008.
2.
Bagaimanakah upaya hukum terhadap putusan BPSK? 3. Hambatan-hambatan apakah yang dihadapi BPSK
dalam menjaga efektivitas pelaksanaan
putusannya? C. Tujuan dan Manfaat Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan ini
adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimanakah
mekanisme pengambilan putusan sengketa
konsumen oleh BPSK.
2. Untuk mengetahui bagaimanakah upaya hukum
terhadap putusan BPSK.
3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa saja
yang dihadapi BPSK dalam menjaga
efektivitas pelaksanaan putusannya.
Adapun manfaat dari penulisan ini
adalah: 1. Manfaat Teoritis Manfaat
teoritis dari penelitian ini adalah memberikan pemahaman baru bagi konsumen selaku pihak yang dirugikan,
bahwa BPSK merupakan salah satu lembaga
yang dibentuk untuk upaya perlindungan konsumen.
Memberikan kajian akademis
mengenai upaya hukum yang dapat dilakukan
terhadap putusan BPSK kepada para pihak yang berkiprah dalam bidang perlindungan konsumen.
2. Manfaat Praktis Manfaat praktis dari
penelitian ini adalah diharapkan akan memberi sumbangan pengetahuan dalam hukum konsumen,
terutama mengenai putusan BPSK dan
dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dan landasan bagi penelitian lanjutan.
D. Keaslian Penulisan Sebagai
suatu karya tulis ilmiah yang dibuat sebagai pemenuhan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum, maka
seyogyanya skripsi ditulis berdasarkan
buah pikiran yng benar-benar asli tanpa melakukan tindakan peniruan (plagiat) baik sebagian atau keseluruhan dari
karya orang lain. Dengan demikian penulis
berdasarkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki dapat menjamin keaslian skripsi ini sebagai karya tulis
ilmiah yang asli (original) dan benar-benar merupakan hasil pemikiran dan usaha dari
penulis.
E. Tinjauan Kepustakaan BPSK merupakan suatu
lembaga khs yang pembentukannya diatur dalam
UUPK, yang mana tugas utamanya adalah menyelesaikan sengketa atau perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha.
Menurut Menteri Perindustrian dan
Perdagangan RI dengan Surat Keputusan
Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tanggal 10 Desember 2001, pada Pasal 1 angka 8, yang dimaksud dengan sengketa
konsumen adalah sengketa antara pelaku
usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau yang menderita kerugian akibat
mengonsumsi barang dan/atau memanfaatkan
jasa.
Pasal 1 angka 2 UUPK mendefinisikan konsumen
yaitu setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan
diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Di dalam
kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen
akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan
konsumen antara adalah konsumen yang
menggunakan produk sebagai bagian dari proses suatu produk lainnya.
Pengertian konsumen dalam UUPK
adalah konsumen akhir.
Pasal 1 angka 3 UUPK
mendefinisikan pelaku usaha sebagai setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik
sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Pelaku usaha termasuk dalam
pengertian ini adalah perusahaan, korporasi,
koperasi, BUMN, importer, pedagang, dan distributor.
Undang-undang juga mengakui
adanya kegiatan usaha perdagangan, yaitu: 1.
Dilakukan secara individual.
2. Dalam bentuk pelelangan, dengan tidak
membedakan jenis atau macam barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan.
3. Dengan pesanan.
4. Dengan harga khs dalam waktu dan jumlah
tertentu.
Abdul Halim Barkatullah, “Hak-hak
Konsumen”(Nusa Media), Bandung, 2010, hal. 77.
Masalah penyelesaian sengketa dalam UUPK
diatur dalam Bab X yang terdiri dari 4
(empat) pasal, dimulai dari Pasal 45 sampai dengan Pasal 48 UUPK.
Pasal 45 Ayat (1) mengatur bahwa
setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat
pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui
peradilan yang berada di lingkungan
peradilan umum.
Penyelesaian sengketa konsumen di
luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai
kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin
tidak akan terjadi kembali atau tidak akan
terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan
mengacu pada ketentuan tentang peradilan
umum yang berlaku dengan memerhatikan ketentuan dalam Pasal 45 UUPK.
1.
Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.
Ada 4 (empat) kelompok penggugat
yang bisa menggugat atas pelanggaran
yang dilakukan pelaku usaha antara lain: 2.
Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu
berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan
didirikannya organisasi tersebut adalah
untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran
dasarnya.
Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen.
Pasal 48 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen.
4.
Pemerintah dan/atau instansi terkait yang jika barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau dimanfaatkan
mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
Mekanisme penyelesaian sengketa konsumen oleh
BPSK adalah dimulai dengan pengajuan
permohonan sengketa konsumen, kemudian dilakukan proses penyelesaian sengketa konsumen melalui
beberapa cara yang dapat dipilih oleh para
pihak, seperti konsiliasi atau mediasi atau arbitrase. Penyelesaian sengketa konsumen di BPSK tidak berjenjang, maka jika
para pihak telah sepakat memilih salah
satu cara penyelesaian sengketa konsumen, para pihak dilarang melanjutkan penyelesaiannya dengan cara lain
jika cara yang telah dipilih tersebut
tidak mencapai kesepakatan atau gagal. Dan penyelesaian selanjutnya dapat dilakukan melalui peradilan umum.
Hasil penyelesaian sengketa
konsumen dengan cara konsiliasi atau mediasi
dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan. Perjanjian
tertulis tersebut dikuatkan dengan keputusan
majelis BPSK yang ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis dan tidak memuat sanksi administratif.
Sedangkan hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase dibuat dalam
bentuk putusan majelis yang ditandatangani
oleh ketua dan anggota majelis dan dalam keputusan majelis dapat memuat sanksi administatif.
Namun dalam pelaksanaan
putusannya, BPSK mengalami beberapa hambatan
dikarenakan kebingungan yang terjadi akibat tidak tegasnya Pasal 46 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
pengaturan dalam UUPK mengenai kedudukan
putusan BPSK tersebut. Ini berpengaruh
terhadap efektifitas pelaksanaan putusan BPSK yang mana hal inilah yang menjadi dasar bagi penulis, di
samping beberapa hambatan yang dialami
BPSK seperti hambatan dalam pelaksanaan permohonan eksekusi putusan BPSK, hambatan dari peran serta
lembaga peradilan umum dalam memeriksa
upaya hukum keberatan dan benturan antarperaturan yang mengatur tentang perlindungan konsumen.
F. Metode Penelitian Metode penelitian yang
dipergunakan dalam penynan skripsi ini adalah metode yuridis normatif dengan metode
pendekatan kualitatif.
Metode penelitian yuridis
normatif dipergunakan dalam penelitian ini guna melakukan penelran terhadap norma-norma hukum
yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan
perlindungan konsumen yang berlaku, serta untuk memperoleh data maupun keterangan yang
terdapat dalam berbagai literatur di perpustakaan,
jurnal hasil penelitian, Koran, majalah,
situs internet dan sebagainya.
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum
yang mengikat dan terdiri dari: Data
dalam penelitian ini dikumpulkan melalui penelran kepustakaan (library research) atau lazimnya disebut data
sekunder untuk memperoleh bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Sunaryati Hartono, “Penelitian Hukum di
Indonesia pada Akhir Abad ke-20”(Alumni), Bandung, 1994, hal. 139.
1.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
90 Tahun 2001 Tentang Pembentukan BPSK.
4. Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Republik Indonesia Nomor
350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK.
5. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara
Pengajuan Keberatan terhadap Putusan BPSK.
Bahan hukum sekunder yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan untuk
penelitian ini utamanya penulis menggunakan
buku Susanti Adi Nugroho “Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara serta
Kendala Implementasinya” Cetakan Pertama,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008; Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo “Hukum Perlindungan Konsumen”
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004; Yf Shofie “Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Teori
& Praktek Penegakan Hukum” Jakarta:
PT. Citra Aditya Bakti, 2003; Joses Sembiring, Jimmy, ”Cara Menyelesaikan Sengketa Di Luar Pengadilan
(Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase)”,
Jakarta: Visimedia, 2011; Abdul Halim Barkatullah, “Hak-Hak Konsumen”, Bandung: Nusa Media, 2010; Celina
Tri Siwi Kristiyanti, “Hukum Perlindungan
Konsumen”, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Bahan hukum tersier yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.
G.
Sistematika Penulisan Untuk memperoleh data pendukung akan dilakukan
wawancara secara mendalam dengan
mempergunakan petunjuk umum wawancara yang telah dipersiapkan terlebih dahulu pada beberapa
informan yang mengetahui pokok permasalahan
yang menjadi objek penelitian, yaitu beberapa konsumen yang mengadukan sengketanya pada BPSK,
beberapa majelis BPSK dan anggota Sekretariat BPSK.
Penarikan kesimpulan terhadap
data yang berhasil dikumpulkan dilakukan dengan mempergunakan metode penarikan
kesimpulan secara deduktif maupun secara
induktif, sehingga akan dapat diperoleh jawaban terhadap
permasalahanpermasalahan yang telah disn.
Untuk memperjelas pembahasan
dalam skripsi ini adalah antara lain sebagai
berikut: BAB I berisi tentang Pendahuluan yang membahas mulai dari Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan
Kepustakaan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.
Soerjono Soekanto, “Penelitian Hukum
Normatif”(PT. RajaGrafindo Persada), Jakarta, 2003, hal. 13.
BAB II berisi tentang Tata Cara Permohonan
Penyelesaian Sengketa Konsumen, Jangka
Waktu Penyelesaian Sengketa Konsumen, Snan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Kepaniteraan,
Proses Pengambilan Keputusan Sengketa
Konsumen oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang terdiri dari Cara
Konsiliasi, Cara Mediasi dan Cara Arbitrase.
BAB III berisi tentang Kekuatan
Hukum Putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen, Eksekusi Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Pelaksanaan Putusan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) Di BPSK Sejak
Berdirinya, Proses Peralihan Penyelesaian Sengketa Konsumen dari Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen ke Pengadilan Negeri.
BAB IV berisi tentang Hambatan
dalam Pelaksanaan Permohonan Eksekusi
Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Hambatan dari Peran Serta Lembaga Peradilan Umum dalam Memeriksa
Upaya Hukum Keberatan, Efektivitas
Pelaksanaan Putusan Sengketa Konsumen di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen .
BAB V berisi Kesimpulan dan Saran.
Download lengkap Versi Word