BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tuntutan masyarakat yang makin besar terhadap
pendidikan serta kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, membuat pendidikan tidak mungkin lagi dikelola hanya dengan melalui pola
tradisional, di samping cara ini tidak sesuai
lagi dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan
masyarakat, pemahaman cara belajar, kemajuan
media komunikasi dan sebagainya memberikan arti tersendiri bagi kegiatan pendidikan dan tuntutan ini pulalah
yang membuat kebijaksanaan untuk memanfaatkan
media teknologi dan pendekatan teknologis dalam pengelolaan pendidikan. Pendidikan sebagai bagiandari
kebudayaan merupakan sarana penerus
nilai-nilai, gagasan-gagasan, sehingga setiap orang mampu berperan serta dalam transformasi nilai demi kemajuan bangsa
dan negara. Hal ini berarti bahwa pendidikan
adalah wadah untuk mentransformasikan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kepentingan hidup manusia
(Danim, 1995).
Dunia pendidikan mengalami berbagai perubahan
menuju ke arah perkembangan sebagai
upaya untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi (Darwanto, 2007). Pemanfaatan
teknologi komunikasi untuk kegiatan pendidikan,
teknologi pendidikan serta media pendidikan dilakukan dalam rangka kegiatan belajar mengajar. Melalui pendekatan
ilmiah, sistematis, dan rasional, maka
tujuan pendidikan yang efektif dan efisien akan tercapai (Danim, 1995).
Universitas Sumatera Utara Media elektronik televisisebagai salah satu
bentuk teknologi komunikasi yang banyak
mendapat perhatian akhir-akhir ini telah menunjukkan pengaruhnya yang sangat besar, yaitu dalam berlangsungnya
perubahan sosial, dalam penyebaran
budaya populer, dan dalam mempengaruhi bahkan membentuk persepsi masyarakat terhadap realitas hidup
(Miarso, 2004).
Perkembangan teknologi televisi memangkian
tidak terkendali dan hal ini berpengaruh
ke dalam segala aspek kehidupan serta sangat dirasakan khususnya oleh negara-negara berkembang termasuk di
Indonesia. Dalam dunia pendidikan mengakibatkan
berbagai perubahan menuju ke arah perkembangan sebagai upaya untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan
dan kemajuan teknologi tersebut.
Dengan demikian, antara keduanya terjadi
saling mengisi (Darwanto, 2007).
Kehadiran televisi yang belum tentu bernilai
edukatif merupakan produk teknologi
canggih yang tidak terpisahkan dari kehidupan setiap individu. Televisi memang berwajah dua, satu sisi positif dan
sisi lainnya bisa berwajah menyeramkan
atau negatif. Pada saat tertentu televisi dapat menjadi media yang bernilai tontonan dan sekaligus tuntunan. Pada
saat yang lain, televisi juga dapat menjadi
media yang bernilai sebaliknya. Pada era teknologi informasi semua informasi dari manapun datangnya akan masuk ke
rumah setiap individu tanpa permisi.
Satu hal yang dapat dilakukan oleh orangtua dan masyarakat adalah membentengi anak dengan nurani dan moralitas
yang tangguh melalui pendidikan yang
mencerdaskan (Suparlan, 2004).
Universitas Sumatera Utara Medium televisi pada dasarnya memang tidak
diciptakan untuk fungsi pendidikan,
melainkan untuk hiburan dan penerangan. Meskipun demikian banyak yang berpendapat bahwa idealnya ketiga
fungsi itu (pendidikan, hiburan, dan
penerangan) tergabung menjadi satu, yakni bahwa hiburan mengandung nilai edukatif dan normatif, dan informasi harus
mendidik dan menghibur. Bersamaan dengan
makin berkembangnya penyiaran televisi, berkembang pula keprihatinan dan kepedulian sebahagian individu tentang isi
pesan yang terkandung dalam penyiaran
itu. Hal yang menjadi permasalahan adalah bagaimana potensi televisi yang besar itu dapat diambil manfaatnya dalam
keperluan belajar (Miarso, 1994).
Televisi memang telah memberikan kesempatan
bagi instruksi teknologi ketika pada waktu
yang bersamaan televisiternyata juga menyebabkan masalah di mana anak menghabiskan waktu merekasebelum
layar televisi menayangkan program-program
komersial serta tanpa bimbingan untuk memperhatikan nilai dari apa yang sedang mereka tonton. Para psikolog
dan pendidik harus turut bertanggung
jawab atas efek menonton televisi tersebut karena hal ini menjadi sebuah bagian yang cukup penting dari
pengalaman sang anak tersebut (Berliner &
Calfee, 1996).
Beberapa anak menghabiskan banyak waktunya di
depan televisi daripada berkumpul dengan
orangtua mereka. Padatahun 1990-an, anak menonton televisi rata-rata 26 jam dalam seminggu. Hal ini tentu
saja telah mengurangi jumlah waktu anak
untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan aktivitas yang berhubungan dengan sekolah. (Santrock, 2004). Bahkan
berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan
oleh YPMA (Yayasan Pengembangan Media Anak) pada tahun 2006 Universitas Sumatera Utara bahwa jumlah jam menonton televisi pada anak
di Jakarta-Bandung mendapati angka
sekitar 1.600 jam dalam setahun sementara anak belajar di sekolah dalam setahun hanya 740 jam (Guntarto, 2007).
Sementara berdasarkan hasil pra-survei di
SMP Negeri 1 Medan sendiri didapatkan bahwa jumlah jam menonton yang siswa miliki sangat tinggi, yakni sekitar
1.800 jam dalam setahun atau 35 jam dalam
seminggu. Hal ini tentu menunjukkan bahwa jumlah jam menonton para siswa semakin meningkat dari tahun ke tahun di
mana berarti pula bahwa media televisi
telah berhasil mempengaruhi pemirsanya yang selalu menantikan setiap sajian yang televisi berikan untuk mereka.
Namun berbagai kekhawatiran yang semula ada
tampaknya juga kurang terbukti di mana
masyarakat telah mengubah sudut pandangnya mengenai televisi ke arah yang lebih positif. Jadi kalau semula
televisi dipersalahkan karena menyebabkan
anak enggan ke sekolah, kini masyarakat mulai menyadari bahwa mungkin sekolahlah yang salah karena
tidakberhasil memberikan sesuatu yang menarik
dan merangsang anak. Guru pun mulai menyadari bahwa pengetahuan dan kemampuannya perlu ditingkatkan
terus-menerus, agar dapat mengimbangi jiwa
siswa-siswa yang semakin kritis (Miarso, 1994).
Hal senada diungkapkan oleh Mahdarina, 29
tahun/orangtua (Komunikasi Personal, 11
Januari 2008) mengenai media televisi, yaitu : “...yah mungkin juga bukan televisi yang
salah, kadang kita tu gak sadar...
Ya sebenarnya ya kita sendiri lah yang harus
bentengi diri kita, ya kalo saya sebagai
orangtua, yah harus jaga anak supaya jangan di depan tivi aja...kadang sekolah ni juga kan formalkali
sifatnya...anak kan kadang gak suka yang
formal-formal kek gitu, maunya sekolah bisa pinter-pinter bikin apa kek gitu supaya anak rajin belajar,
gak nonton tivi aja kerjanya...” Universitas Sumatera Utara Bagi
remaja, televisi telah memberikan sebuah dunia yang berbeda dengan segala sesuatu yang ada di mana merekatinggal.
Hal ini berarti bahwa melalui televisi,
remaja dipertunjukkan sebuah variasi yang lebih mendalam mengenai pandangan dan pengetahuan daripada ketika
mereka hanya diinformasikan oleh orang
tua, guru, dan juga teman sebaya (Santrock, 1996). Tahap
operasional formal merupakan suatu tahap perkembangan kognitif bagi para remaja, di mana idealnya para remaja
sudah memiliki pola pikir sendiri dalam
usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak (Setiono, 2002). Menurut Soendjojo (dalam Guntarto,
2004), pada tahap operasional formal ini,
remaja seharusnya memiliki minat terhadap televisi yang mulai menurun, kemampuan memahami dan mengingat isi pokok
acara lebih meningkat, kemampuan
menangkap isi cerita berkembang dengan baik, kemampuan yang baik untuk menyatukan hubungan antar adegan,
perhatian pada iklan mulai menurun,
mengganti saluran televisi jika ada iklan muncul, kurang percaya pada iklan, lebih mampu mengingat dan memahami
iklan, serta memahami maksud dan persuasif
dari iklan.
Berbagai tayangan sinetron di televisi dengan
tema remaja berkecenderungan
mengekploitasi kehidupan remaja dalam satu sisi semata.
Apabila muncul plot cerita, terjadi
simplifikasi, penyederhanaan dengan kasuskasus yang sangat tipologis, dan
mengabaikansisi sosiologis dan psikologisnya.
Akibatnya remaja tidak memiliki kesempatan
mempelajari hakikat kehidupan yang
sebenarnya, selain hanya melihat yang serba artifisal. Demikian pula dalam pembentukan tipe idealitas, media televisi
bisa menjadi pelaku atau hanya sekadar Universitas
Sumatera Utara agen perantara bagi
munculnya konsep-konsep tertentu bagi para remaja (Wirodono, 2006).
Tanpa disadari atau tidak, televisimemang
telah menjadi suatu media pembelajaran
bagi remaja. Secara tidaklangsung, siaran televisi telah dapat mempengaruhi sikap dan cara berpikir remaja
tersebut. Bandura (dalam Parsons, 2001)
mengemukakan tentang figur observational
learningatau disebut juga dengan
modellingmengenai pengaruh televisi terhadap perilaku remaja yaitu merupakan suatu strategi pembelajaran sosial
di mana mengutamakan pembelajaran dengan
menonton atau menirufigur lain. Kekuatan potensial dari modellingsecara langsung ataupun tidak telah
mempengaruhi remaja bahwa hasil modelling terhadap tayangan televisi merupakan hal-hal
yang harus dipertimbangkan, dikaji
ulang, serta diteliti kembali.
Seperti yang dikemukakan oleh Siti Arima, 12
tahun/kelas 1 SMP (Komunikasi Personal,
9 September 2007) mengenai tayangan televisi yaitu : “... tayangan tivi tuh ada yang bagus dan ada
yang jelek, yang bagusnya sinetron-sinetron
Ramadhan karenabisa nambah ilmu agama sedikitsedikit, yang jeleknya seperti
sinetron-sinetron remaja yang pake baju seksi...trus
yang miskindiinjak-injak...perlu lah ada pelajaran tentang tivi...cocok gak ama kenyataan kita...tapi
didampingi orangtua...pagi itu waktu
yang tepat buat nonton, karenakalo malam kan belajar...” Berdasarkan pemaparan tersebut, tidak semua tayangan televisi mempunyai akibat negatif dan menciptakan suatu
figur observational learning yang dapat
berdampak buruk bagi para remaja. Remaja yang idealnya telah berada pada tahap perkembangan kognitif operasional
formal berusaha untuk menyeleksi tayangan
yang tepat untuk ditonton. Untuk itulah diperlukan sebuah pelajaran Universitas Sumatera Utara mengenai televisi agar remaja memahamitentang
tayangan televisi yang tidak selalu
sesuai dengan kenyataan hidup.
Literacy, yang mana sedang berkembang saat ini
merupakan hal yang memungkinkan bagi
perkembangan remaja untuk mengerti dan menggunakan beberapa sistem abstrak yang menopang
representasi yang bervariasi dari dunia nyata
di mana dia berada; salah satunya adalah narasi audio-visual yang nyata dari televisi (Davies, 1997).
Menonton televisi dapat menjadi suatu kegiatan
pasif yang mematikan apabila orang tua
tidak mengarahkan apa-apa yang boleh dilihat oleh para remaja dan sekaligus mengajarkan remaja tersebut
untuk menonton secara kritis serta untuk
belajar dari apa-apa yang mereka tonton (Greenfield, 1989 dikutip dari Darwanto, 2007).
Untuk mengendalikan pengaruh negatif dari
media khususnya televisi ini diperlukan
pembekalan diri tentang media literacy. Pemahaman media literacy yang diperoleh
sejak usia dini diperkirakan dapat mengendalikan pengaruh negatif dari media tersebut. Oleh sebab itu media
literacysebaiknya diperkenalkan sejak usia
dini melalui proses pembelajarandi lingkungan keluarga dan memperoleh kesinambungan dari lingkungan luar
keluargaseperti kelompok sosial informal ataupun sekolah (Dina, 2002).
Seperti tersebut di atas, media televisi
sangat berpengaruh dalam pendidikan
apabila melibatkan orangtuauntuk memberikan pengarahan. Sebab belajar pada hakikatnya tidak mungkin dapat
dilakukan tanpa adanya usaha dari anak
sendiri dan melibatkan pihak lain untuk aktif dalam proses belajar. Karena Universitas Sumatera Utara itulah, khususnya bagi negara berkembang
(termasuk Indonesia) perlu digalakkan media
literacyini terhadap tayangan televisi (Darwanto, 2007).
Media
literacymenjelaskan cara-cara agarremaja mampu mengkritisi media yang dibantu oleh orang tua. Beberapa
hal yang bisa diterapkan antara lain dengan
membatasi jam menonton televisi, memonitor media apa saja yang dikonsumsi termasuk televisi.
Memberikanpenjelasan yang mereka butuhkan, menanyakan perasaan mereka setelah menyaksikan
tayangan televisi, membantu mereka agar
mampu membedakan antara yang fiktif dan yang riil. Sehingga para remaja menjadi tahu bahwa semua itu ada
konsekuensinya (Khairina, 2006).
Remaja yang mengerti bahwa apa yang
ditampilkan oleh media tidaklah nyata,
mereka tidak akan mudah untuk mengadopsi sikap tidak sehat atau perilaku yang ditampilkan oleh media tersebut.
Melaluimedia literacy, remaja mampu mengakses,
menganalisa, mengevaluasi, bahkan memproduksi media. Beberapa studi menyatakan bahwa beberapa pendidikan pada kenyataannya kurang menyentuh remaja. Studi mengenai program media
literacyyang berusaha untuk mendidik
remaja mengenai advertising, sebagai contoh yang telah ditunjukkan secara efektif dalam meningkatkan keterampilan
menonton yang kritis mengenai advertising(DeBenedittis,
2005).
Berbagai pengukuran terhadap media
literacyremaja telah menjadi perhatian,
dengan adanya pengertian mereka terhadap hubungan antara kenyataan dengan gambaran yang mewakili. Mengajarkan
remaja untuk mengerti bagaimana proses
mengedit visual yang mungkin digunakan dalam cara-cara literasi ini harusnya menjadi sebuah bagian dari pendidikan
media literacy(Davies, 1997).
Universitas Sumatera Utara Sadiman (1996) menyatakan bahwa televisi
merupakan media yang menyampaikan
pesan-pesan pembelajaran secara audio-visualdengan disertai unsur gerak. Dilihat dari sudut jumlah
penerima pesannya televisi tergolong ke dalam
media massa. Wirodono (2006) menyatakan bahwa media televisi dengan tingkat penetrasi yang tinggidibanding
media-media massa lainnya, mempunyai tingkat
efektivitas dan efisiensi besar dalam mempengaruhi pikiran, perasaan, emosi dan akhirnya perilaku serta karakter
seseorang. Apalagi jika televisi itu dikonsumsi
oleh seseorang yang tidak memiliki daya imunitas tertentu karena keterbatasan nalar atau emosinya. Maka dari
itu dibutuhkan sebuah literacy televisi.
Pengertian
literacytelevisi mungkin memberi kesempatan untuk menghubungkan dua area dari pendidikan media
(tentang apa yang remaja telah siap
ketahui mengenai televisi dan untuk menanyakan bagaimana mengidentifikasikan apa yang remaja telah
ketahui) serta penelitian penonton terhadap
dasar yang menjadi garis besar mengenai bahasa (Buckingham, 1993).
Hubungan antara pengendalian pengaruh negatif
televisi pada remaja sangat dipengaruhi
banyak hal. Seperti telah disebutkan di atas adalah dengan media literacy. Banyak cara yang dapat dipilih
untuk menyampaikan pembelajaran media literacyini diantaranya adalah melalui
pendekatan humanistik. Proses
pembelajaran yang diterapkan menggunakan pendekatan teori belajar humanistik sebagai upaya mengembangkan
strategi dan teknologi yang lebih
manusiawi dalam rangka memberikan ketahanan dan ketrampilan manusia dalam menghadapi kehidupan yang terus menerus
berubah. Pendidik diharapkan Universitas
Sumatera Utara mampu memfasilitasi aspek
kognitif, afektifdan psikomotorik anak didik dalam proses pembelajaran. Sehingga terbangun
suasana belajar yang kondusif dan siswa
mampu belajar mandiri (self directed learning) dengan metode learning by doing yang dapat mewujudkan ekspresi cara
berpikir kreatif dan aktif (Dina, 2002).
Pendidikan media literacymerupakan pendidikan
kecakapan hidup, sehingga penerapannya
sangat praktis untuk dilakukan. Pendidikan media literacy memiliki nilai lebih, karena pendidikan ini
menempatkan anak didik sebagai subjek.
Hal tersebut membuat perkembangan emosi, pola pikir, karakter, serta perilaku anak didik lebih terkontrol, karena
anak didik dibekali dengan kemampuan
untuk memilih dan memaknai pesan media, sehingga anak didik bukan lagi sebagai imitator media. Hal
tersebut menunjukkan bahwa pendidikan media
literacytidak hanya mencakup kemampuan kognitif, tetapi juga membangun daya analisis, membuat anak didik
dapat menyikapi apa yang terjadi di luar
dirinya (Yayasan Pengembangan Media Anak, 2006).
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI)
telah melakukan sebuah proyek
percontohan untuk mengupayakan tumbuhnya media literacydengan tujuan agar anak mampu berinteraksi dengan
media terutama televisi secara kritis melalui
pembelajaran media literacydi sekolah dan di rumah serta untuk mendisain dan mengevaluasi kurikulum dan
metode pembelajaran media literacy dengan fokus media televisi(Guntarto &
Dina, 2002).
Pembelajaran media literacydiharapkan mencakup
“segala cara mengkaji, mempelajari dan
mengajarkan pada semua tingkat (dasar, menengah, tinggi, Universitas Sumatera Utara dewasa dan pendidikan seumur hidup) dan dalam
semua konteks, sejarah, kreativitas,
penggunaan dan evaluasi media sebagai suatu ketrampilan teknis dan praktis sekaligus sebagai lahan yang ditempati
oleh media dalam masyarakat, dampak sosialnya,
implikasi komunikasi bermedia, partisipasi, modifikasi modus dari persepsi yang dihasilkannya, peran karya
kreatif dan akses ke media” (UNESCO,
1979 dalam Nasution, 1994).
Menurut Dina (2002), pembelajaran media
literacylebih banyak dioptimalkan
melalui jalur sekolah. Pendekatan yang
digunakan dalam menyampaikan media
literacydi sekolah umumnya adalah model inkuiri.
Menurut Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan
Nasional (2003), belajar berbasis
inkuiri (inquiry based-learning) ini
merupakan belajar dengan pendekatan
pengajaran menggunakan strategi pembelajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan
untuk pembelajaran bermakna.
Guntarto & Dina (2002) menyatakan bahwa
setelah siswa memperoleh pembelajaran
mengenai media literacydengan fokus media televisi, maka diharapkan para siswa mengetahui bagaimana
berinteraksi dengan televisi secara kritis,
memiliki sikap dan keinginan yang positif terhadap pola menonton televisi yang kritis, mengurangi jumlah jam menonton
televisi dan dapat memilih acara televisi
yang aman.
Media terutama televisi sering sekali
melebih-lebihkan kejadian menjadi terlihat
sangat luar biasa dan terkadang melengkapi informasi-informasi yang diberikan berdasarkan sumber-sumber yang
kurang reliabel. Tidak ada suatu garansi
bahwa media televisi memberikansuatu kebenaran. Keterampilan berpikir Universitas Sumatera Utara kritis sangat diperlukan dalam hal ini untuk
membuat suatu kesimpulan mendalam mengenai
apa yang seseorang percaya dan lakukan, termasuk proses untuk mengevaluasi argumen terhadap informasi apapun
yang diterima (Moore, 2004).
Download lengkap Versi PDF