BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Terorisme adalah
serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap
sekelompok masyarakat.
Terorisme, bukan saja mengancam negara-negara
maju seperti Amerika Serikat, Inggris
dan Australia bahkan juga terjadi di negera-negara yang sedang berkembang misalnya di Indonesia. Hal tersebut
sama dengan yang disebutkan oleh Nasir
Abas dalam bukunya berjudul “Memberantas Terorisme, Memburu Noordin M. Top”, yaitu “terorisme ternyata
belum mati di Indonesia”.
Mencermati penanganan kasus tindak pidana terorisme yang
terjadi dewasa ini, dikaitkan menurut UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang
terorisme, maka peran pihak kepolisian untuk mencegah dan memberantas
sindikat terorisme yang sudah menyebar
keseluruh penjuru dunia harus ditangani secara waspada dan serius.
Terorisme tradisional secara umum ditandai
dengan adanya kelompok dengan personel
dan komando yang jelas, organisasi sistem piramid-hirarkial, aktor terlibat secara penuh mulai perencanaan
sampai ploting target, pemilihan target
sangat selektif, operasi serangan dengan cara konservatif dan organisasi yang melaksanakan mengklaim atau mengakui
perbuatannya.
http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme.
Terorisme model ini terjadi pada masa sebelum gencar-gencarnya
operasi terorisme pasca 9/11, Nasir
Abas., Memberantas Terorisme, Memburu Noordin M. Top, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2009), hal.13.
http://budhiachmadi.wordpress.com/2012/10/08/terorisme-tradisional-baru-dan-hybrid,
diakses pada tanggal 22 April 2003.
dimana kita mengenal nama AL-Qaeda dan Jamaah
Islamiyah (JI). Ketika masa jayanya
Osama Bin Laden, banyak organisasi teroris termasuk JI berupaya merangsek ke Afganistan untuk mendapat restu,
berafiliasi atau mendapatkan dukungan
dengan Al-Qaeda. Pada model ini, keuntungan yang didapat adalah kemudahan dalam menggalang dana dan kemudahan
mengorganisir serangan berskala besar.
Sebagaimana peristiwa, Bom Bali I dan II,
serta Bom J.W.
Marriot I dan II, adalah produksi
dari pola terorisme tradisional. Karena
serangan direncanakan dengan
pengorganisasian, pendanaan dan perencanaan yang baik maka hasil serangan pun sangat dahsyat. Namun
demikian kekurangannya adalah ketika
satu per satu sel-sel terorisme tertangkap atau terbongkar maka seluruh organisasi akan kolaps dan semua aktor
lapangan hingga pimpinan global akan terendus.
Kelemahan pola modern sampai sejauh ini adalah
organisasi teroris lebih sulit untuk
melancarkan serangan-serangan dalam skala besar karena setiap kelompok memiliki anggota, jaringan dan dana
yang minim. Sehingga secara umum terorisme modern menghasilkan kuantitatif
serangan yang lebih intens, sporadik
karena setiap kelompok bergerak terpisah dan target terpisah, namun daya rusak menjadimenurun.
Dan betul adanya, jaringan Al Qaeda dan JI memang menderita
karena tekanan aparat pasca 9/11.
Dalam pola modern, hubungan antar organisasi
bisa terjadi bila memang situasinya
memungkinkan, namun secara umum organisasi teroris telah berubah menjadi grup-grup kecil yang beroperasi secara
parsial. Ketika pada masa jaya Al- Ibid.
Ibid.
Ibid.
Qaeda, Osama Bin Laden menjadi centre of
gravity tempat mohon restu dan dukungan
dana, maka pada pola modern ia hanyalah simbol perjuangan dan ideologi.
Hal ini bertambah nyata ketika
Osama juga mulai menghilang di perbatasan
Pakistan-Afganistan dan kehilangan kontak global. Para teroris senior di masing-masing wilayah termasuk Indonesia,
yang dulunya betul-betul memegang
kendali organisasi, berikutnya hanya menjadi motivator atau simbol perjuangan sebagaimana Osama Bin Laden.
Pola terorisme modern memunculkan
fenomena baru bernama phantom cell
network (jaringan sel hantu), leaderless resistance (tanpa pemimpin) dan lone wolver (serigala tunggal).
Sedangkan “serigala tunggal” adalah
aktor-aktor yang telah termotivasi dan
sanggup merencanakan dan mengeksekusi aksi terorisme secara mandiri.
Dalam hal ini, status si aktor
atau organisasi tidak terlalu penting, yang terpenting Konsepsi jaringan sel hantu terorisme adalah
hubungan antar grup dilaksanakan dengan
jalan sangat rahasia, tidak ada ikatan kelompok, struktur yang tidak jelas, namun tujuan
ideologinya sama. Konsepsi terorisme “tanpa
pemimpin” bisa dikatakan sebagai teori motivasi, dimana sang pemimpin spiritual hanya memotivasi sosok-sosok yang
dinilai sudah ikhlas untukmenjadi martir
untuk menentukan dan menyerang targetnya sendiri.Sosok-sosok tersebut akan digarap dalam pola hubungan yang
dikesankan begitu religius, lalu diperlancar
untuk mendapatkan dukungan logistik untuk menjalankan aksiaksinya.
Ibid.
adalah terorisme terus berjalan, semakin
banyak mendapatkan banyak kader dan serangan
tetap berlangsung walaupun dalam skala kecil.
Setelah pola terorisme baru, berikutnya
dikenal pola terorism hybrid.
Sebagian ahli menjadikan pola
terorisme hybrid sebagai bagian pola baru dan sebagian lain menempatkannya dalam trend yang
terpisah. Dalam kamus Merriam-Wesbter,
hybrid berarti “keturunan, varietas, spesies atau gere dari dua ragam budaya, asal atau komposit yang
heterogen”. Terminologi terorism hybrid yang
paling banyak disepakati adalah versi Boaz Ganor yaitu “organisasi teroris yang menjalankan aksinya melalui kontes
politik dan kekerasan”.
Tidak mengherankan bila menanggapi aksi-aksi para “serigala
tunggal” belakangan ini, akan begitu mudah
bagi sang aktor layar belakang untuk mengatakan tidak terlibat.
Pada konteks ini teroris akan menggunakan
konsep operasional dalam multi-kharakter
berupa instrumen organisasi politik yang sah, namun bisa memotivasi kekerasan lewat “phantom cell
network”, berpura-pura membangun media
pendidikan dan kesejahteraan, membeli simpati dan merekrut dengan paham appocalypstic (cepat atau lambat kiamat
pasti datang) dan menyalurkan aspirasi
perlawanan politik dan indoktrinasi lewat media. Model operasinya pun dinamakan dengan operasi hybrid, yang saya
istilahkan sebagai pernikahan silang dari
pola lama dan baru, untuk menghasilkan hasil yang paling optimal untuk mencapai tujuan.
Serangkaian tragedi bom yang terjadi pada masa
lalu serta faktor yang mempengaruhi adanya sindikat teroris tersebut perlu diwaspadai
dan dicari Ibid.
Ibid.
Ibid.
solusinya oleh Pemerintah dunia khususnya di
Indonesia. Buktinya sindikat teroris tersebut
mampu menggoncangkan Negara adidaya Amerika Serikat hingga menerobos
gedung World Trade Center di Amerika Serikat yang dikenal dengan Tragedi World Trade Center2001. Akibat tragedi
tersebut telahmengguncangkan dunia yang
luar biasa. Ribuan orang meninggal dunia, trauma, luka dan cacat seumur hidup dalam waktu seketika.
Di Indonesia masuknya teroris
mulai merujuk pada ancaman di tempat umum
seperti hotel, mall-mall dan tempat keramaian maupun ancaman melewati media telekomunikasi yang membuat warga panik
sehingga banyak masyarakat yang
bertanya-tanya, apakah negara Indonesia mampu mengatasinya dan masih aman? Fakta membuktikan bahwa terorisme “belum
mati” di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), telah
terjadi beberapa peristiwa terorbom seperti:
di Mesjid Istiqlal pada tanggal 19 April 1999, Bom Malam Natal pada tanggal 24 Desember 2000, Bom di Bursa Efek
Jakarta bulan September 2000, penyanderaan
dan pendudukan Perusahaan Mobil Oil oleh Gerakan Aceh Merdeka pada tahun 2000, peristiwa Bom Bali I
pada tanggal 12 Oktober 2002 di Sari
Club dan Peddy’s Club, Kuta Bali, peledakan bom di JW. Marriot pada tahun 2003, bom di depan Kantor Kedutaan Besar
Australia pada tahun 2004, bom Bali II
pada tahun 2005, dan sekelompok pelatihan teroris di Nangro Aceh Darussalam. Hingga kemudian Detasemen Khusus
(Densus) 88 AntiTeror Polri menembak
mati Noordin M. Top di Temanggung tanggal 8 Agusutus 2009.
Yang berlanjut pada peristiwa perampokan
terhadap Bank CIMB Niaga di Sumatera
Utara pada tanggal 18 Agustus 2010, dimana pelaku perampokan bank tersebut terkait dengan jaringan organisasi
terorisme dalam hal pendanaan operasional
terorisme.
Berdasarkan rangkaian peristiwa pemboman dan
aksi-aksi teroris yang terjadi di
wilayah NKRI telah mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban dari suku, agama, ras
kewarganegaraan. Semuanya itu menjadi
sasaran, sebab pada umumnya teroris
meledakkan bom tersebut tanpa memandang siapa yang menjadi korbannya di tempat-tempat keramaian bahkan bom juga diledakkan didalam Mesjid atau gereja ketika
melaksanakan ibadah atau sholat seperti yang pernah terjadi pada jum’at di
lingkungan Markas Kepolisian Resor Kota
Cirebon, Jawa Barat tanggal 15 April 2011.
Terorisme telah memiliki dimensi dan jaringan
yang luas yang berkaitan dengan berbagai
aspek kehidupan yang melampaui batas-batas negara dan sudah dapat dikatakan sebagai kejahatan yang
melibatkan dunia internasional. Saat ini terorisme tidak hanya menjadikan kehidupan
politik untuk sasarannya sebagaimana
awal kemunculanya, tetapi telah menambah dan menghancurkan berbagai aspek kehidupan manusia, seperti
menurunnya kegiatan ekonomi dan Noordin
M. Top dikenal sebagai tokoh utama dalam terorisme berhasil ditembak mati pada tanggal 8 Agustus 2009 oleh Detasemen
Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri.
Nasir Abas.,
Loc. cit.
http://www.antaranews.com/berita/1284997005/kapolriperampokan-bank-cimb-niaga-terkait-terorisme,
diakses tanggal 23 Januari 2013. Lihat juga, Antara News., Tanggal 20 September 2010, hal.
1.
http://metrotvnews.com/read/newsvideo/2011/04/15/126356/Bom-Bunuh-Diri-diMasjid-
Polresta-Cirebon-Puluhan-Terluka, diakses tanggal 24 Februari 2013.
terganggunya kehidupan dan budaya masyarakat
yang beradab sehingga digolongkan sebagai
salah satu dari delapan trans national crime.
Terorisme adalah kejahatan terhadap umat
manusia yang menjadi ancaman bagi
seluruh bangsa dan serta musuh dari semua pemeluk agama dari dunia ini.
Dewasa ini terorisme dalam
perkembangannya telah membangun suatu organisasi dan memiliki jaringan global dimana
kelompok-kelompok terorisme yang berperan
dan menyebar di berbagai negara telah dikuasai oleh suatu jaringan terorisme internasional serta telah mempunyai
cara dan sistem kerja hubungan mekanisme
antara satu dengan yang lainnya baik dalam segi operasional infrastruktur maupun dalam infrastruktur
pendukung.
Dalam pandangan hukum Indonesia, terorisme
merupakan salah satu permasalahan dan
ancaman yang utama dan nyata baik terhadap pelaksanaan amanat Konstitusi maupun terhadap
kesejahteraan masyarakat Indonesia, antara lain melindungi segenap tanah air Indonesia
dan memajukan kesejahteraan umum.
Oleh karena itu sudah selayaknya
tindakan terorisme dianggap sebagai ancaman bagi kehidupan dan kesejahteraan nasional yang
akan berpengaruh terhadap keamanan dan
stabilitas nasional.
Terwujudnya stabilitas nasional
adalah salah satu kunci terciptanya pemulihan
ekonomi guna meningkatkan taraf hidup masyarakat yang berkualitas bagi Bangsa Indonesia dan salah satu
pendekatannya melalui hukum, khususnya melalui
Kepolisian Republik Indonesia yang mempunyai peran sangat mencolok Moch Faisal Salam (2005), Motivasi tindakan
terorisme jakarta: Mandar Maju hal http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view0,
diakses tanggal 24 Februari 2013.
(spektakuler) dalam mengungkap, memberantas
dan menangani tindak pidana terorisme.
Beberapa negara tertentu seperti
Amerika Serikat, Australia misalnya telah melakukan suatu perubahan kebijakan nasional.
Melalui strategi tersebut mereka membentuk sistem hukum yang baru yang dapat
melindungi masyarakat dari jerat maupun
ancaman terorisme.
Juga negara yang mencoba bangkit untuk
membangun demokrasi dengan cepat
melakukan langkah-langkah yang cenderung mengembalikan suatu represi lama, misalnya, dengan cepat menggunakan dan
mempertahankan Internal security Act
(ISA) Negara-negara tersebut menghidupkan organisasi maupun melakukan pengawasan politik terhadap
mereka yang dianggap memiliki relasi
dengan pelaku terorisme.
atas nama terorisme. Ketentuan hukum yang
bersifat draconia, Ketentuan yang sama juga lahir di berbagai
negara dari Afrika sampai benua Amerika.
Suasana baru politik global seolah-olah memberikan ijin pada rezim-rezim otoritarian guna mempertahankan
kekuasaan dengan menawarkan kemampuan
memerangi dengan apa yang biasa di sebut kelompok “teroris”.
yang bertahun-tahun digunakan
untuk mendominasi kekuatan oposisi, dengan
sangat kuat dipertahankan sebagai bagian dari upaya untuk menanggulangi terorisme.
http://www.academia.edu/735650/Pengaruh_AIPAC_Terhadap_Kebijakan_Amerika_Se
rikat, diakses pada tanggal 23 Maret 2013.
Ibid.
Munir, Menanti Kebijakan Anti Terorisme,
Koalisi Untuk Keselamatan Sipil, Penerbit Iparsial Koalisi Untuk Keselamatan Sipil,
Jakarta, 2003, hal.
Ibid.
Akibat seringnya terjadi teror bom yang
dilakukan oleh sindikat Terorisme di
Indonesia seperti disebutkan diatas, telah mendorong pemerintah atas desakan berbagai pihak menerbitkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu)
Nomor 1 dan 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Bahkan pemerintah memberikan kewenangan yang sangat
luas kepada Badan Intelijen Nasional
(BIN) dan Data Semen Khusus 88 (Densus 88) Anti Teror yang bekerja sama dengan Kepolisian
Republik Indonesia untuk melakukan
berbagai langkah mendukung operasi menyikat habis kelompok yang diidentifikasi sebagai pelaku tindak pidana
terorisme.
Karena dampak terorisme mencakup
berbagai aspek kehidupan, maka pemberantasan
terorisme telah menjadi prioritas utama pemerintah dalam kebijakan politik dan keamanan secara global.
Itu sebabnya kejahatan terorisme digolongkan kepada kejahatan luar buasa (extra
ordinary crime) dan penangangannya pun
harus dilakukan secara luar biasa pula. Oleh sebab, Pemerintah Indonesia bertekad melakukan perang
melawan terorisme dan mengambil langkah-langkah
kebijakan dalam pemberantasan yang serius dengan dikeluarkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2002, Perpu
Nomor 2 Tahun 2002 dan Inpres Nomor 4
Tahun 2002.
Landasan hukum tersebut di atas
diikuti dengan penetapan Skep Menteri Koordinator
Politik dan Keamanan (Menko Polkam)
Nomor Kep-26/Menko/Polkam/11/2002 tentang Pembentukan Koordinasi
Pemberantasan Terorisme. Hampir semua
negara telah menaruh perhatian dan telah memberikan dukungan kongkrit dalam upaya pengungkapan
para pelaku teror serta mengungkap jaringannya sampai keakar-akarnya
hingga mengajukan para pelaku teror bom
ke sidang pengadilan untuk dimintai pertanggungjawabannya secara hukum.
Perubahan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 menjadi undang-undang yaitu
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, diperlukan karena tindak pidana terorisme merupakan suatu tindak
pidana yang luar biasa (extra ordinary crime) dan dibutuhkan pula penanganan
yang luar biasa (extraordinary measures).
Kepolisian Republik Indonesia merupakan ujung
tombak dalam memberantas pelaku tindak
pidana terorisme di Indonesia, menangkap pelaku, mencegah, melakukan penyelidikan dan penyidikan,
bahkan menembak mati para pelaku teror,
membentuk Tim Khusus yaitu Densus 88 Antiteror yang berada pada garis terdepan memberantas terorisme tersebut.
Dari fungsi dan wewenang
Kepolisian tersebut dapat dipastikan, bahwa peranan Kepolisian untuk pemberantasan tindak
pidana terorisme tersebut tidak terlepas
dari tiga fungsi sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat dimana Kepolisian harus melindungi
masyarakat dari tindakan-tindakan yang mengancam jiwa warga negara Indonesia.
Disini Kepolisian melalui Densus 88 Antiteror harus berpedoman kepada
undang-undang yang mendasari yaitu Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonsia (selanjutnya disebut UU Kepolisian).
T. Nasrullah., ”Sepintas Tinjauan Yuridis Baik
Aspek Hukum Materil Maupun Formil Terhadap
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”.
Oleh sebab itu peran kepolisian untuk
menanggulangi tindak pidana terorisme
harus ditingkatkan dan berjiwa profesional, untuk memberantas tuntas teroris
yang ada di Indonesia dengan menggenapi dan melaksanakan seluruh peraturan yang ada, mulai dari UU Kepolisian
yang berkaitan dengan teroris dan UU
terorisme yang berlaku di tanah air, sehingga peran kepolisian dapat dioptimalkan untuk memberantas teroris dan
mewujudkan keamanan bagi Bangsa Indonesia.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, sebagai objek pembahasan dalam penulisan skripsi ini penulis memberikan
rumusan masalah, sebagai berikut : 1.
Bagaimana pengaturan tindak
pidana terorisme menurut UU Nomor. 15 Tahun
2003 tentang terorisme? 2. Bagaimanakah kewenangan kepolisian dalam
memberantas tindak pidana terorisme? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan penulisan
antara lain: 1. Untuk mengetahui pengaturan, dan sanksi hukum
terhadap UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang
tindak pidana terorisme.
2. Untuk mengetahui dan mendalamikewenangan
tugas pokok dan fungsi Polri dalam memberantas
habis tindak pidana terorisme.
Manfaat penulisan antara lain: a.
Secara teoritis, penulisan ini dapat membuka wawasan dan paradigma
berfikir dalam memahami dan mendalami
permasalahan hukum khususnya pemahaman
tentang sejauh mana peranan kepolisian dalam penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana terorisme di
Indonesia. Selain itu, penulisan ini
dapat menjadi bahan perbandingan dan referensi bagi peneliti selanjutannya serta dapat memperkaya ilmu
pengetahuan. Penulisan ini juga sebagai
kontribusi bagi penyempurnaan perangkat peraturan mengenai tindak pidana terorisme di Indonesia.
b. Secara praktis penulisan ini bermanfaat bagi
kalangan aparat penegak hukum khususnya
aparat Kepolisian Republik Indonesia (Polri), agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang kewenangan
lembaga Kepolisian sebagai institusi
yang diharapkan berada pada garda terdepan dalam penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana terorisme.
Peranan kepolisian tersebut meliputi
pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenangnya dalam praktik di lapangan.
D. Keaslian Penulisan Penulisan skripsi ini
adalah asli dari ide, gagasan pemikiran dan usaha penulis sendiri bukan merupakan hasil ciptaan
atau hasil penggandaan dari karya tulis
orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu.
Untuk itu penulis menyatakan
bahwa penulisan Skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan atas keaslian nya.
E.
Tinjauan Kepustakaan 1.
Pengertian Kewenangan Pengertian kewenangan menurut kamus besar bahasa
Indonesia (KBBI) adalah kekuasaan
membuat keputusan memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain.
Secara pengertian bebas kewenangan adalah hak
seorang individu untuk melakukan sesuatu
tindakan dengan batas-batas tertentu dan diakui oleh individu lain dalam suatu kelompok tertentu. Sementara
berbicara tentang sumber-sumber kewenangan,maka
terdapat 3 ( tiga ) sumber kewenangan yaitu : Berbicara kewenangan memang menarik, karena secara alamia manusia sebagai mahluk sosial
memiliki keinginan untuk diakui ekstensinya
sekecil apapun dalam suatu komunitasnya,dan salah satu factor yang mendukung keberadaan ekstensi tersebut adalah
memiliki kewenangan.
1.
Sumber Atribusi yaitu pemberian kewenangan pada badan atau lembaga / pejabat Negara tertentu baik oleh pembentuk
Undang-Undang Dasar maupun pembentuk
Undang-Undang.Sebagai contoh : Atribusi kekuasaan presiden dan DPR untuk membentuk Undang-Undang.
2. Sumber Delegasi Yaitu penyerahan atau
pelimpahan kewenanangan dari badan /
lembaga pejabat tata usaha Negara lain dengan konsekuensi tanggung jawab beralaih pada penerima
delegasi.Sebagai contoh : Pelaksanaan
persetujuan DPRD tentang persetujuan calon wakil kepala daerah.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Pengertian
Kewenangan”, Balai Pustaka, Jakarta Cetakan
ke 3, Hal 439.
http://www.negarahukum.com/hukum/pengertian-kewenangan.html,
diakses pada tanggal 17 April 2003.
3.
Sumber Mandat yaitu pelempahan kewenangan dan tanggung jawab masih dipegang oleh sipemberi mandat. Sebagai contoh : Tanggung jawab memberi keputusan-keputusan oleh menteri
dimandatkan kepada bawahannya.
Dari ketiga sumber tersebut maka
merupakan sumber kewenangan yang bersifat
formal,sementara dalam aplikasi dalam kehidupan social terdapat juga kewenanagan informal yang dimiliki oleh
seseorang karena berbagai sebab seperti :
Kharisma,kekayaan, kepintaran, ataupun kelicikan.
Tapi pada kesempatan ini,akan lebih banyak
berbicara tentang kewenangan yang
bersifat formal dan berkaitan erat dengan konsep hubungan pemerintah pusat dan daerah.Pasal 10 ayat 3
Undang-undang No32 tahun 2004 tentang
pemerintah daerah menyatakan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah (pusat) meliputi : a. Politik luar negeri b. Pertahanan c.
Keamanan d. Yustisi e. Moneter dan fiscal nasional f. Agama 2. Pengertian Tindak Pidana Terorisme Pada saat
ini tidak ada definisi hukum secara universal mengenai istilah terorisme. Hal ini menimbulkan banyak
perdebatan mengenai pelaksanaan suatu aturan
kepada suatu hal yang belum jelas definisi hukum nya. Pembuktian akan Ibid.
suatu hal menjadi sulit ketika hal tersebut
belum mempunyai definisi secara hukum.
Kata Terorisme berasal dari kata
“terrere”yang kurang lebih memiliki arti membuat orang pada dasarnya gemetar atau
menggetarkan. Pada dasarnya ialah “terorisme”
merupakan sebuah kata atau suatu pemikiran yang memiliki konotasi yang sangat sensitif, karena
terorisme mengakibatkan pembunuhan maupun penderitaan terhadap kaum manusia. Tidak ada
negara yang ingin dituduh sebagai negara
yang mendukung gerakan terorisme atau menjadi tempat persembunyian teroris.
Mengenai pengertian yang baku dan definitive
dari apa yang disebut dengan Tindak
Pidana Terorisme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman. Hal ini dapatdibuktikan menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli hukum pidana internasional, mengatakan tidak mudah untuk
mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga
sulit mengadakan pengawasan atas makna
terorisme tersebut.
Sedangkan menurut pendapat para ahli hukum
yang lain terkait dengan pengertian
Terorisme itu adalah sebagai berikut: Brian
Jenkins Terorisme merupakan pandangan yang subjektif. Tidak mudah merumuskan definisi terorisme, tampak dari usaha
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan http://putranto88.blogspot.com/2011/06/definisi-terorisme.html,
diakses pada tanggal 10 Maret 2013.
http://wafflox.blogspot.com/2012/02/perbedaan-kejahatan-terorisme-dengan.html,
diakses pada tanggal 10 Maret 2013.
membentuk Ad Hoc Committee on Terrorism tahun
1972 yang bersidang selama tujuh tahun
tanpa enghasilkan rumusan definisi.
Black’s Law Dictionary Terorisme adalah kegiatan yang melibatkan
unsur kekerasan atau yang menimbulkanefek
bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana, dengan maksud dan tujuan: A. Mengintimidasi penduduk sipil B.
Mempengaruhi kebijakan pemerintah C.
Mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan atau pembunuhan
Webster’s New World College Dictionary 1996 Definisi terorisme adalah “the use of force or
threats to demoralize, intimidate, and
subjugate”, doktrin membedakan terorisme kedalam dua macam definisi, yaitu definisi tindakan teroris (terrorism
act) dan pelaku terorisme (terrorism actor).
Central Intelligence of Agency
(CIA) Terorisme internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintahan atau organisasi asing dan atau
diarahkan untuk melawan negara, lembaga
atau pemerintahan asing.
Ibid.
Federal Bureau of Investigation (FBI) Terorisme
adalah penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah
pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemenya untuk mencapai tujuan-tujua
social atau politik.
Departments of State and Defense Terorisme
adalah kekerasan yang bermotif politik dan dilakukan oleh agen negara atau kelompok subnasional terhadap sasaran
kelompok non kombatan.
Prof. Muladi memberi catatan atas definisi teroris, bahwa hakekat perbuatan terorisme mengandung perbuatan
kekerasan atau ancaman yang berkarakter
politik. Bentuk perbuatan bias merupakan perampokan, pembajakan maupun penyanderaan. Pelaku dapat merupakan
individu, kelompok atau negara.
Sedangkan hasil yang diharapkan
adalah munculnya rasa takut, pemerasan, perubahan
radikal politik, tuntutan Hak Asasi Manusia, dan kebebasan dasar untuk pihak yang tidak bersalah serta kepuasan
tuntutan politik lain.
Sedangkan tujuan-tujuan dari terorisme adalah
: 1. Mempublikasi suatu alasan lewat
aksi kekejaman, karena hanya lewat aksi semacam
itu publikasi yang cepat dan massif dimungkinkan; 2. Aksi
balas dendam terhadap rekan atau anggota kelompok; 3.
Katalisator bagi militerisasi atau mob ilisasi massa; 4. Menebar kebencian dan konflik interkomunal; 5.
Mengumumkan musuh atau kambing hitam; Ibid.
Ibid.
6.
Menciptakan iklim panik massa, menghancurkan kepercayaan public terhadap
pemerintah dan polisi.
2.1. Pengaruh dan Dampak Terorisme Aksi terorisme selain berpengaruh luar biasa
pada ketakutan publik dalam sistem
kenegaraan, aksi terorisme juga berdampak jauh pada hampir semua bidang kehidupan seperti ideologi, ekonomi,
politik pertahanan keamanan bahkan agama.
a. Ideologi Persepsi yang berhasil dibangun di
tengah-tengah masyarakat internasional, Osama bin Laden merupakan musuh nomor
satu Amerika. Osama bin Laden beserta organisasi Al Qaeda dianggap sebagai
kelompok anti kapitalisme.
Sementara bagi kalangan tertentu,
Osama dan organisasinya merupakan pahlawan yang melawan arogansi AS dan
sekutunya sebagai simbol kapitalisme. Perang yang sedang berlangsung saat ini
adalah antara fanatis dan radikalisme agama Islam versus neokolonialisme dan
kapitalisme.
b. Ekonomi Dampak tragedi pengeboman WTC membuat
"trauma berpergian" masyarakat dunia dengan pesawat terbang.
Dampaknya dirasakan berbagai perusahaan penerbangan diberbagai negara
menyebabkan maskapai penerbangan mengalami kerugian.
Moch Faisal Salam, “Motivasi Tindakan
Terorisme”, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2005.
c. Politik Pasca pemboman WTC di New York, 11
September 2001 peta politik dunia berubah drastis. AS mengakomodir kebijakan
luar negeri "pre-emptif' dan menggalang kerjasama berbagai negara untuk
memberantas terorisme. Jaringan Osama bin Laden bersama organisasi Al Qaeda-nya
dijadikan musuh oleh AS dan sekutunya.
d. Pertahanan dan Keamanan Perang terhadap terorisme yang diprakarsai
Amerika melampaui batas wilayah domestik negara. Kedepan, terorisme tidak
mengenal batas wilayah, baik aksi maupun dampak yang ditimbulkannya. Contohnya
penyerangan Amerika Serikat ke
Afganistan dan Irak.
e. Agama Tujuan semua agarna pada dasarnya menjadi
rahmnat, membawa pesan perdamaian umat manusia di dunia. Yang jadi masalah
adalah kalau agama diidiologikan dan ideologi diagamakan sekelompok orang. Bila
agama dijadikan kendaraan politik untuk merebut kekuasaan sesaat, sangat rentan
menyerat umat ke area konflik berkepanjangan.
3.
Pengertian Polisi Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, memberi arti kata
dan makna Polisi adalah: Ibid.
Ibid.
1.
Badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (menangkap orang yang melanggar hukum) 2.
Anggota badan Pemerintah (pegawai negara yang bertugas menjaga keamanan).
Arti kata polisi jika dicerna lebih jauh
pemahamannya dapat memberikan berbagai
pengertian, yakni kesimpulan bahwa dalam kata polisi itu terdapat tiga pengertian yang di dalam penggunaanya
sehari-hari sering melahirkan beberapa
konotasi, kata tersebut adalah: a.
Polisi sebagai fungsi b. Polisi sebagai organ kenegaraan c. Polisi sebagai pejabat atau petugas.
Polisi dalam pengertiannya
sehari-hari sering juga disebut dalam arti petugas atau pejabat, karena merekalah yang
setiap hari bertugas dan berhadapan langsung
dengan masyarakat. Pada awalnya,
pengertian polisi itu adalah orang yang dapat menjaga keselamatan dan ketentraman
kelompoknya, namun dalam bentuk negara
kota, polisi sudah semestinya dibedakan dengan masyarakat biasa, agar rakyat jelas bahwa pada merekalah rakyat
dapat meminta perlindungan dan pengamanan
yang benar-benar terjamin. Tersirat juga maksud bahwa dengan adanya atribut-atribut khusus dapat segera
terlihat bahwa polisi mempunyai kewenangan
untuk menegakan aturan dan melindungi masyarakat.
Namun demikian apapun yang menjadi atribut
yang digunakan oleh polisi, penegakan
hukum adalah wajib tugas pokok polisi sebagai profesi yang mulia Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta Cetakan ke 3, Hal Kunarto(1997),
Etika Kepolisian, Jakarta: PT. Cipta Manunggal, Hal 112.
sehingga taraf aplikasinya harus berkiblat
pada asas Legalitas, atau dengan kata lain
polisi adalah suatu organ negara yang diberikan kewenangan tersendiri dimana kewenangan itu merupakan suatu
kewajiban dan tanggung jawab yang harus
dijalankan dengan sangat professional.
Tugas dan wewenang Kepolisian sebagaimana
ketentuan Pasal 13 UU Kepolisian,
ditentukan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah : 1. Memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat; 2. Menegakkan hukum; dan 3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat.
Tindak pidana terorisme mengancam
stabilitas keamanan masyarakat dan bahkan
menjadi tolok ukur bagi negara-negara di dunia untuk menjalin hubungan internasional dengan negara Indonesia apabila
tindakan-tindakan teroris tersebut tidak
segera dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Hal tersebut sangat erat kaitannya jika dikaitkan dengan fungsi
Kepolisian Negara Indonesia dalam Pasal 2
UU Kepolisian disebutkan bahwa “fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”. Berdasarkan Pasal 2 UU Kepolisian
tersebut, jelas bahwa tindakan terorisme
mengancam NKRI dan Kepolisian memiliki tugas dan fungsi serta wewenang memberantas dan menanggulangi
terorisme berada pada garda terdepan.
Gde, Yasa Tohjiwa (1995), Catatan Kritis,
Jakarta, Hal 19 F. Metode Penelitian Metode
adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran penelitian dari ilmu
pengetahuan yang bersangkutan.
Sedangkan penelitian merupakan
suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan
kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.
Penelitian hukum merupakan suatu
kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang
bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara
menganalisisnya. Dengan demikian metode
penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu.
1. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu Penelitian Hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder, berupa hukum positif dan bagaimana penerapannya dalam praktik di Indonesia.
2. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah melalui penelitian
kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual
dari penelitian terdahulu yang berhubungan
dengan objek yang ditelaah dalam penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, karya
ilmiah, makalah dan karya lainnya.
Data pokok dalam penelitian ini adalah
data-data sekunder yang meliputi: 1.
Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Teorisme (UUPTPT)
dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Republik Indonesia; 2.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku, makalah
hasil-hasil seminar atau hasil pertemuan
ilmiah lainnya, majalah dan jurnal ilmiah, artikel, artikel bebas dari internet, surat kabar, majalah
mingguan, dan dokumen pribadi atau
pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek telaahan dalam penelitian ini; 3. Bahan
hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, seperti
kamus umum (ensiklopedia) dan kamus hukum.
3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data
dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan
dan melakukan identifikasi data atau kasus-kasus
yangada. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna
memperoleh pasal-pasal dalam UUPTPT yang
mengandung kaedah-kaedah hukum yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dihadapi dan
disistematisasikan sehingga Ronny
Hanitijo Soemitro., Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal. 24.
menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan
permasalahan dalam penelitian ini.
Download lengkap Versi Word